This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, November 23, 2009

Geliat Brecong










Senin, 23 Nov 2009. 

Menyusul apa yang telah dilakukan warga desa Setrojenar di sebelah baratnya, desa Brecong bergiat membangun gapura wisata di kawasan pesisir. Peletakan fondasi diawali dengan ritual selamatan di dekat lokasi pembangunan gapura. Keinginan warga desa Brecong membangun gapura wisata, sebenarnya telah cukup lama direncanakan. Tetapi karena belum terkumpul dana pembangunan itu, maka jadi tertunda. Prakarsa untuk membangun gapura wisata ini sesuai dengan aspirasi masyarakat dan juga perencanaan desa. Tetapi karena kurangnya dukungan dana, maka realisasi pembangunan ini mengandalkan dari swadaya warga.

Gapura ini dinilai penting, terlebih karena di lokasi itu terdapat pula cagar budaya tempat pesanggrahan Joko Sangkrib.

Sunday, November 15, 2009

Sidang Perlawanan

Malam ini tengah berlangsung sidang petani di Setro

Friday, November 13, 2009

Surat Tentara Kesekian Kalinya

Surat dari Komandan Kompi Kavaleri Panser 2 bernomor B/742/XI/2009, perihal Pemberitahuan Pelaksanaan Latihan Menembak Senjata Ranpur TA.2009. Surat yang dikirim dari Yogyakarta tertanggal 09 Nopember 2009 dan ditujukan kepada Bupati Kebumen, dengan tembusan kepada Camat Ambal, Kades Ambal, Kades Setrojenar dan Ketua Persatuan Nelayan Cilacap itu kini kembali bikin gusar petani.
Di desa Setrojenar, surat yang ditandatangani Kapt.Kav. Setyawan Wibowo ini seakan telah mengabaikan fakta tingginya resistensi petani setahun terakhir ini. Pada intinya surat ini memberitahukan akan adanya latihan menembak kendaraan tempur Kikavser 2, selama 3 hari sejak Rabu (18/11) hingga Jum'at (20/11). Dan selama itu pula petani dan nelayan tidak boleh melaksanakan pekerjaannya.

Aksi Penghadangan

Kabar kedatangan surat ini segera tersebar luas di kalangan petani. Bahkan dapat menjadi pemicu menghebatnya perlawanan warga yang memang telah meninggi resistensinya; khususnya para petani pemilik tanah di kawasan pesisir selatan itu.
Bahkan bagi Kades Setrojenar, Surip Supangat, yang paling memahami keadaan dan kemauan warga ini, tak berani menjamin akan dapat mengendalikan kemarahan petani, jika tentara benar-benar datang untuk melaksanakan latihan di wilayah desanya.

Tipuan Tentara

Fakta lain tentara menipu petani terjadi hari ini, Sabtu 14 November 2009. Sejak jam 07 pagi mereka melakukan latihan tembak dengan kendaraan tempur di desa Ambal. Padahal di surat pemberitahuan, hal itu baru akan dilaksanakan tanggal 18-20 November yad.
Terhadap kenyataan ini, petani dan khususnya menahan kemarahan. Beberapa tokoh masyarakat berusaha menenangkan untuk tidak sampai melakukan tindakan anarkis.
Sadar bahwa jika bertindak anarkis itu akan menghadapi resiko dikriminalisasikan, maka tipuan (tentara) itu dinilai sebagai provokasi.
Beruntung karena latihan menembak itu dilakukan di lain desa dan kecamatan berbeda. Konon beberapa Kades di sana secara diam2 mengijinkan latihan itu. Meskipun yang disepakati sebenarnya untuk tanggal 18-20 yad. Dan hanya dalam konteks menghabiskan belanja tentara untuk tahun anggaqan 2009.
Tetapi tipuan ini telah memicu keresahan petani dan pemuda khususnya di desa Setrojenar dan sekitarnya.

Sunday, October 25, 2009

Status Quo.. Bupati Ditunggangi ?

Statement Bupati Kebumen pada silaturahmi Selasa 20 Oktober 2009 di pendopo rumah dinas Bupati, adalah pengingkaran terhadap apa yang selama ini diperjuangkan petani kawasan Urut Sewu. Dalam "silaturahmi" yang hanya berisi pernyataan sefihak bahwa persoalan di kawasan Urut-Sewu telah dapat "diselesaikan" ini; pada kenyataannya telah sangat mengecewakan beberapa petani yang diundang ke sana. Kekecewaan ini ditunjukkan dengan mengambil sikap "walk-out" saat acara belum usai. Akan tetapi sikap ini tak "dibaca" oleh para pejabat Pemkab dan tentara.
Di tempat parkir, di sudut halaman pendopo, para petani menyatakan kekesalannya. Dan mensinyalir bahwa acara yang dikemas dalam bentuk "silaturahmi" ini tak lebih sebagai upaya tentara membikin bias persoalan.

Friday, October 23, 2009

Siaga Tani (di) Setro

Tiga hari setelah musyawarah petani kawasan Urut-Sewu menghasilkan ketetapan tekad untuk Menolak Latihan TNI dan mempertahankan kawasan pesisir selatan sebagai kawasan pertanian dan wisata; melayanglah undangan dari Bupati Kebumen. Undangan yang keperluannya tertulis sebagai silaturahmi, melibatkan unsur TNI, Pemkab dan tokoh masyarakat Urut-Sewu; di Pendopo rumah dinas Bupati ini juga dihadiri oleh puluhan petani dari kawasan pesisir selatan.
Sejak keberangkatan para petani ini telah bersepakat, bahwa jika dalam silaturahmi itu disinggung atau digiring untuk ada kesepekatan kompromi dengan tentara; maka petani akan meninggalkan tempat. Ternyata memang benar begitu. Berikut ini adalah cuplikan berita harian Suara Merdeka, edisi Kamis 22 Oktober 2009; TNI Bisa Latihan di Urut Sewu; Petani Boleh Bercocok Tanam:
______

KEBUMEN. Bupati Kebumen KH.M. Nashirudin Al Mansyur menyatakan permasalahan tanah Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD dengan masyarakat di wilayah Urut Sewu, Kebumen untuk sementara menjadi status quo, yakni kembali pada keadaan sebelum terjadinya permasalahan.
Artinya penggunaan lahan untuk kegiatan dilaksanakan seperti sebelum ada permasalahan.
"TNI dapat melaksanakan latihan seperti sedia kala. Sedangkan para petani dapat melaksanakan kegiatan bercocok tanam", ujar Bupati pada acara silaturahmi antara TNI, Pemkab dan tokoh masyarakat Urut Sewu di Pendapa Rumah Dinas Bupati, Selasa (20/10).
______

Menanggapi berita ini, para petani mengkonsolidasikan diri kembali. Agaknya tekad untuk mempertahankan kawasan Urut Sewu sebagai kawasan pertanian dan wisata yang terbebas dari segala aktivitas tentara, bakal jadi perjuangan panjang. Petani menilai bahwa statement Bupati yang menyatakan kawasan itu untuk sementara menjadi "status quo", adalah sebagai pengingkaran terhadap kenyataan bahwa di situ ada masalah yang langsung berkaitan dengan hajat hidup ribuan petani.

Selamatan Dislitbangad

Hari Jum'at, 23 Oktober 2009, di Kantor Dislitbangad yang berada di desa Setrojenar diadakan tahlil selamatan dalam rangka rencana TNI melakukan latihan lagi. Beberapa petani yang berdekatan dengan lokasi dan diundang pada acara itu, memastikan maksud hajatannya memang akan latihan kembali. Kabar ini sontak memicu reaksi warga desa Setrojenar yang lainnya, serta pemuda.
Ribuan orang mengepung kompleks kantor yang sekaligus berdekatan dengan mess asrama.
Beruntung situasi yang kemudian memanas hampir tak terkendali ini dapat diredam, bukan oleh aparat, tetapi terutama oleh para tokoh seperti Kades dan para tokoh lainnya.
Situasi ini menyadarkan semua warga bahwa masih ada ancaman penggunaan kawasan pertanian sebagai zona latihan tentara dan ajang uji-coba senjata. Sehingga tekad untuk menolak segala bentuk latihan TNI makin membaja. Dan sejak lama memang telah disepakati, jika pada saatnya tentara bersikeras mau latihan kembali, maka semua warga akan menghadang dan menggagalkannya.

Profokasi Tentara di Tengah Hari

Malam itu banyak orang berjaga, terutama para pemuda desa Setrojenar. Paginya juga masih berlanjut, meski tak sebanyak saat malam. Banyak petani memutuskan untuk menunda pekerjaan di sawah ladang pada hari itu. Hal ini untuk mengantisipasi segala kemungkinan di siang harinya.
Tetapi sejak pagi kehidupan berjalan seperti biasanya. Para pemancing yang biasa menyalurkan kesukaannya di pantai Setrojenar berdatangan.
Hal yang mencolok pagi hari adalah banyaknya kunjungan anak-anak SD yang kebetulan baru selesai melaksanakan test mide-smesternya. Ribuan anak dikawal para guru mereka naik sepeda. Ada yang datang dari SD Negeri Kalibagor yang jaraknya mencapai belasan kilometer.
Lepas tengah hari, warga yang lewat jalan Daendels menginformasikan ada satu bus tengah berhenti di warung makan sebelah timur kantor Camat. Melihat posisinya, beberapa tentara yang tengah turun untuk keperluan makan siang itu datang dari arah timur. Beberapa orang menunggu di sekitarnya.
Dan saat bus ini berjalan kemudian berbelok arah menuju jalan ke pantai, disampaikanlah pesan waspada. Bus yang tak seberapa besar itu langsung menuju ke pantai, dan bertanya ke beberapa orang mengenai posisi lapangan tembak.
Di kampung, pesan getok tular itu menggerakkan orang untuk keluar rumah dan bergerak ke jalanan desa. Tak lama kemudian berkumpul puluhan warga dan diikuti oleh warga lain di belakangnya.
(bersambung)
(bersambung)

Saturday, October 17, 2009

Resistensi Permanent

Setrojenar - Jum'at, 16 Oktober 2009. Sesuatu yang pernah diputuskan bersama, kemarin malam kembali diteguhkan. Semilir angin laut meninggikan harapan petani hingga dekat nadir malam di desa itu. Pada saat mana, lebih dari 50-an orang berkumpul di sebuah rumah sayap timur, dukuh Kuwang; dukuh yang penuh kekuatan tetapi nampak tenang.. Begitulah jika petani desa bikin agenda kumpulan untuk menyikapi perkembangan penting dalam mata rantai perjuangan panjangnya. Dan tak jauh di perempatan desa itu, puluhan pemuda bergerombol membincang dalam kesantaian yang riang tetapi nampak bahwa mereka berjaga-jaga.
Selama hampir delapan bulan , sejak 24 Februari 2009 lalu, petani kawasan pesisir selatan Kebumen menjalankan keputusan untuk menolak latihan tentara di wilayah yang dikenal dengan sebutan kawasan Urut-Sewu ini, maka pada Jum'at malam 16 Oktober 2009 kemarin, dikukuhkan kembali keputusan penolakan itu.
Dapat dikatakan bahwa musayawarah -yang berakhir hingga jam 23.47 wib- malam itu mencerminkan sikap lebih dari 3.000 keluarga petani pemilik tanah di kawasan pesisir. Di setiap pertemuan dan musyawarah yang dilakukan, selalu ada perwakilan petani dari beberapa desa. Dan keputusan untuk menolak latihan tentara, termasuk uji-coba senjata taktis di kawasan itu; tak berubah sebagaimana diputuskan pada musyawarah pertama.

Tolak Latihan TNI = Harga Mati !

Resistensi petani pada aktivitas tentara bukan dihasilkan dari aktivitas provokatif dan penyusupan -sebagaimana dituduhkan tentara- terhadap gerakan masyarakat sipil dari luar desa. Bahkan terhadap sinyalemen ini, petani mencibir, meski cibiran itu acap tersembunyi dalam hati.
Dalam sharing warga dikemukakan bahwa selama ini, bahkan hingga paska perayaan lebaran kemarin para “kumendan” tentara turun kembali ke beberapa desa, dengan cara yang mereka sebut sebagai silaturahmi dan mendekat kepada rakyat. Tak kurang dari mantan Danramil Buluspesantren beserta isteri yang datang di Senin siang, 21 September 2009. Disusul kemudian pejabat Dandim pada Selasa malam, 22 September 2009 di hari berikutnya.
Silaturahmi ini disambut baik oleh wakil petani yang telah memiliki organisasi bernama Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan.
"Silaturahmi itu baik, terlebih jika itu dilakukan sejak dulunya", kata Ketua FPPKS.
Tak urung dalam pendekatan itu yang belakangan dilakukan, ada cacat komunikasi dengan cara menghimbau pada petani untuk tidak percaya pada LSM atau juga mahasiswa yang masuk ke desa.
Cara pandang tentara ini telah menodai spirit silaturahmi itu sendiri. Bagaimana mungkin perilaku demikian dapat diterima jika dari nadanya saja telah berbau hasut..
Padahal perlawanan petani, dalam konteks ini semata berangkat dari kesadaran atas sejarah dan relasi kepemilikan tanah yang akan dimanipulasi. Bukti-bukti itu dapat disimak kembali pada statement-statement tentara yang berujung pada klaim atas tanah-tanah rakyat di kawasan itu.

Makna "Sedumuk Bathuk Senyari Bumi"

Pomeo Jawa klasik ini lebih dari menginspirasi jagad spiritual petani di kawasan Urut-Sewu, hingga kini. Ruh ini menjadi hidup dan menifest dalam wujud perlawanan petani, justru karena secara langsung petani merasakan dominasi tentara dan segala implikasinya selama 27 tahun. Mengambil keputusan untuk melawan dominasi tentara memiliki kait historis atas tanah pusaka warisan leluhur. Bahwa mempertahankan hak atas tanah menjadi kewajiban hidup telah dimaknai secara personal dan sosial.
Secara personal, setiap petani tak bisa teralienasi dengan tanah sebagai alat produksi utama. Secara sosial tradisi pertanian telah diwariskan secara turun-temurun, berdialektika dengan perkembangan kebutuhan hidup. Setidaknya dalam dekade terakhir ini pelibatan mesin-mesin pertanian dalam budidaya lahan makin massif saja. Jika dahulu, petani cuma bergantung pada tanaman padi varietas kering (gaga) dan palawija. Kini mulai dikembangkan budidaya tanaman perkebunan seperti semangka yang lebih menjanjikan nilai ekonomi. Kelangkaan sumber air kemudian disiasati dengan menggunakan mesin pompa.
(masih bersambung)

Wednesday, October 07, 2009

SetroJenar, di Mata Orang Luar

Seorang penyair Borneo menulis puisi yang mengena bagi pertentangan di bumi Setro. Ini sebuah ukuran bahwa apa yang terjadi di seberang pulau dilihat pula oleh kalangan sastrawan dan direspons menurut tradisi kepenulisannya.

Realitas harian lainnya menunjukkan perkembangan penilaian yang membaik atas kawasan pesisir selatan Kebumen, khususnya pantai Setrojenar di Kecamatan Buluspesantren ini. Betapa tidak. Setiap harinya banyak orang berkunjung ke sana. 

Secara data, pengelolaan wisata pesisir Kebumen selatan di musim lebaran ini pernah mencatat rekor 17.000 kunjungan untuk satu hari lebaran.

Pantai ini seperti mengingatkan telah tersedia syarat-syarat budaya untuk berkembang di masa yang akan datang. Nah, membaca puisi kiriman berikut ini seperti membantu melihat secara jernih problematika yang potensial menghambat syarat-syarat pengembangan kebudayaan rakyat itu. 

Seutuhnya dapat dibaca:

NEGERI YANG MANA

aku melihat engkau menuruni bukit
bukan saja engkau, tapi dia, dia dan dia
tiada pagar pada sawah-sawah hijau
yang sebentar lagi menguning
untuk dipanen dan membayar hutang

aku melihat engkau menatap nanar
pada hamparan sawah membentang luas
kau berkata dalam benakmu
bukan saja kau, tapi dia, dia dan dia
tidak lagi dapat kami tanami
sawah-sawah kami yang rusak
sawah-sawah kami yang beranjau

katanya tentara telah mengambil alih
lahan membentang nyeri
untuk bermain perang-perangan
katanya untuk menjaga negeri

dan kau, bukan saja kau,
tapi dia, dia dan dia
bertanya menjaga negeri
negeri yang mana
kami petani anak negeri
mestikah diam
menyerah pada penjaga negeri

07 Okt 2009

Monday, August 03, 2009

Pelatihan Paralegal bagi Masyarakat Urut-Sewu

Foto-foto dalam postingan ini diambil dari dokumen LPH-YAPHI yang salah satu program advokasinya menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Paralegal bagi Masyarakat Urut-Sewu.







Monday, July 20, 2009

Mushola Setro jadi Sentra Komando

Referensi gerakan massa boleh menukil dari mana saja, termasuk Latin Kontemporer dengan spirit Bolivariannya. Atau juga Filipina dengan peran gereja pada masa penggulingan diktator Ferdinand Marcos.
Di desa Setrojenar, petani belajar dari persoalan laten yang krussialnya. Sehingga mushola, dalam situasi darurat massa, dapat berubah fungsinya menjadi pusat komando gerakan.
Ini terjadi pada lepas tengah hari ini Senin, 20 Juli 2009 lalu.
Inisiasi Bupati Kebumen KH.Nasiruddin al Mansyur, beserta wakilnya Rustriyanto, yang menemui warga Setrojenar di Kantor Camat Buluspesantren, setelah pagi harinya dari Kec.Ambal. Dalam rombongan ini datang pula, Kapolres Akhmad Haydar beserta Kasat Intelkam dan lainnya. Juga Komandan Kodim 0709, dan beberapa staf. Tak ketinggalan Kepala Satpol PP berikut pasukannya. Satuan Polisi Dalmas juga disiagakan beberapa dan ada sepasukan lain yang disiagakan serta diketahui berada di tempat terpisah.
Forum Pertemuan yang difasilitasi Camat Buluspesatren dan dipimpin langsung oleh Bupati ini pada intinya berkaitan dengan program latihan Taruna Akmil. Latihan ini rencananya akan dilaksanakan selama 4 hari, mulai tanggal 22 Juli hingga 25 Juli 2009.
Intinya, TNI-AD melalui Bupati dan jajarannya, meminta masyarakat Urut-Sewu, khususnya petani desa Setrojenar untuk memberikan kesempatan bagi sukses terselengarakannya latihan Akmil itu.
Dua hari sebelumnya juga telah dilayangkan surat pemberitahuan dari Koramil Buluspesantren terkait latihan itu. Terhadap surat ini, petani melalui FPPKS membalas dengan menyurati Kapolres (dengan tembusan para pihak) tentang penegasan penolakannya.
Bahkan dalam surat itu (item 2) dinyatakan Petani akan melakukan penghadangan terhadap tentara dan menggagalkan dengan berbagai cara terhadap rencana latihan TNI.

Resistensi Petani

Penolakan petani terhadap latihan TNI di kawasan itu, pasca Aksi 14 Mei 2009, mendapatkan ujian. Apakah penolakan ini sekedar tuntutan sekelompok golongan reaksioner ataukah memiliki konsistensi dan solidaritas yang terus meluas. Fakta membuktikan alasan yang ke dua. Petani Menolak !. Resistensi ini lalu maujud ke dalam gerakan massa buat yang ketiga. Ratusan orang mengepung Kantor Camat Buluspesantren, tempat diselenggarakannya pertemuan yang dimulai pada jam 14.00 siang itu. Sehingga terakumulasi jumlah hingga ratusan orang banyaknya, meskipun yang diundang dalam pertemuan siang itu hanya beberapa perwakilan petani dan tomas.
Massa yang tertahan di luar pagar halaman dan terpanggang matahari, tak sabar menyikapi perkembangan musyawarah. Saat terhalang waktu sholat ashar dan musyawarah dipending oleh Bupati, massa mulai menunjukkan kekecewaannya. Terjadi dorong-mendorong antara massa yang merangsek dengan aparat polisi di pintu halaman.
Saat itulah didatangkan dua truk pasukan Dalmas yang semula bersiaga di Polsek yang berjarak ratusan meter di utara kantor Camat Buluspesantren. Situasi ini makin memicu kemarahan petani. Lalu beberapa mushola di yang ada di desa Setrojenar mengumandangkan seruan siaga. Merembet diikuti oleh mushola lain di sebelah timurnya. Muncul pula gerakan massa dari desa Brecong dan Entak. Dan saat postingan ini ditulis, susulan massa dari lain desa terlambat tiba.
Beruntung, bahwa pada akhirnya Bupati memutuskan untuk menggagalkan Latihan Taruna TNI di kawasan itu, dan meminta jajaran TNI untuk mengalihkan ke tempat lain.
(to be continued)

Thursday, July 02, 2009

Atribut Aksi Dicuri, Perlawanan Terus Dilakukan

Kabar dicurinya atribut aksi desa FPPKS di Entak, oleh fihak yang identitasnya belum diketahui; tak menyurutkan perlawanan terhadap TNI yang makin meluas.
Setelah semalam dibahas di rapat yang diikuti ratusan warga, diputuskan aksi susulan pagi ini.
Atribut aksi sebagai pengganti atribut yang dicuri sehari sebelumnya, kali ini dibikin langsung di lokasi tanah pertanian dekat patok TNI-AD. Bahan spanduknya dengan kain kafan! Dan ditulis seadanya dengan cat minyak, pilox. Papan-papan peringatan juga dibikin di lokasi itu.
Anak-anak tak mau ketinggalan, disamping musim libur, penting bagi mereka untuk mengerti sejak dini tanah-tanah leluhurnya yang dirampas tentara.
(to be continued)

Wednesday, July 01, 2009

Aksi Penolakan Itu Terus Dilakukan.

Pada hari Rabu, 1 Juli 2009, perempatan jalan desa Setrojenar pagi hari itu nampak seperti biasa saja pada awalnya, tetapi jelang jam 8 terjadi perubahan mencolok mata. Orang-orang bergerak menuju perempatan desa. nDilir dan teratur, laki-perempuan, besar-kecil dan tua-muda. Belum genap setengah jam kemudian, perempatan jalan desa itu terblokir sepenuh badan. Matahari pagi yang cerah menghangatkan badan dan sinar-Nya menguapkan sisa embun yang menyerupai kabut tipis di kawasan pesisir selatan. Atmosfir desa itu seperti penuh dengan pesan moral, harapan besar, spirit baru dan aura kosmik pekerja yang kemudian menggerakkan para petani desa berikut keluarganya. Sebagaimana mau pergi bekerja ke sawah, semua jenis alat pertanian tradisional dibawa serta.
Persis jam 08.41 wib, seorang Imam Zuhdi memimpin massa memanjatkan do'a keselamatan bersama. dan sejenak sebelum dimulai, para petani dan anggota keluarganya merapat serta membentuk barisan aksi. Spanduk dibentangkan, salah satu spanduk dibentangkan juga di atas perempatan itu. Nah, barulah terjelaskan kesibukan apa di pagi hari itu.



Mengapa Aksi Dilakukan di Desa ?

(to be continued)

Monday, June 22, 2009

Berani Mengabaikan Sejarah ?

Setelah baca judul di atas, maka lalu katakanlah: waspadalah.. waspadalah !!
Surat Pengantar Camat Ambal, dengan nomor: 045.2/117 yang diedarkan kepada beberapa Kades di wilayah Urut-Sewu, meliputi: Sumberjati, Kaibon, Kaibon Petangkuran, Ambalresmi, Kenoyojayan, dan Entak
Sepintas, seperti surat dinas biasa, bertanda-tangan pejabat Camat, lengkap dengan stempel. Tetapi menjadi "luar-biasa" ketika ternyata 6 halaman isinya berisi Peta Tanah. Dan Peta Tanah itu, bukannya dibuat oleh Badan Pertanahan sebagaimana mestinya, tetapi dibuat sebagai hasil pengukuran tim yang diketuai oleh "oknum" TNI-AD. Pernyataan resmi dalam Surat Pengantar, menjelaskan bahwa peta ini merupakan Data Batas Tanah Milik dengan Tanah Negara (di) pantai Kec. Buluspesantren, Ambal dan Mirit. Untuk tujuan apa? Keterangan lain menjelaskan bahwa peta ini diedarkan kepada para Kades di pesisir selatan, dengan tujuan "untuk menjadikan periksa dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya".

Bagaimana Mungkin ?

Bagaimana mungkin peta hasil pengukuran itu bisa dijadikan alat periksa dan dapat digunakan sebagaimana mestinya? Kalau itu mau dijadikan data, yang notabene bisa jadi acuan kebijakan, lha wong dibuat pada bulan Maret 1998 kemarin. Dan lagi, itu "cuma" hasil pengukuran tim.
Peta ini cuma memuat kepentingan tentara. Tetapi, jelas-jelas dengan cara memanipulasi sejarah tanah itu sendiri. Lalu apakah hak kepemilikan petani atas tanah yang berada di peta itu mau dihapus begitu saja?
Berani-beraninya pejabat sekarang memanipulasi sejarah.

Camat dan "oknum" Tentara Memicu Kontroversi!

Sebelum ini ada upaya pematokan tanah dengan patok yang "bukan bikinan BPN". Petani pemilik tanah ga terima, maka dirusaklah patok itu. Kasad mengancam akan mematok ulang dan menyatakan akan diambil tindakan tegas bagi siapa pun yang mencabut atau merusak. Takutkah petani? Tidak! Petani Urut-Sewu malah menyiapkan kentongan bakal buat bikin "titir kampung" jika tentara berani matok tanah mereka, bakal diserbu.
Setelah pematokan tanah yang (bahkan jaraknya lebih dari 500 m dari garis air) dilakukan TNI-AD menimbulkan reaksi keras yang meluas, kini muncul modus baru yang memicu kontroversi lain. Baca semua postingan Kisah Tentang Pal-Budheg itu Fakta Sejarah; di weblog ini. Itu saksi bisu yang sejatinya tak bisa ditawar dalam menjelaskan fakta. Fakta ini bahkan diakui oleh pemerintah penjajah sekalipun.
Batas tanah negara itu ya cuma sejauh "pal-budheg". Atau, sebagaimana pernyataan BPN dalam acara audensi Petani Urut-Sewu dengan Bupati (AsBup I dan AsBup II), di beberapa desa seperti Setrojenar, malah jaraknya cuma 210 hingga 220 meter dari garis air. Itu Tanah Negara yang di zaman kolonial dulu disebut Tanah Kumpeni. Terakhir, BPN Jawa Tengah turun ke kawasan Urut-Sewu dengan Peta Tanah yang sesungguhnya. Batas Tanah Negara dengan Tanah Rakyat ya cuma rata-rata sejauh 200-an meter dari garis air. Baca: 200-an meter. Itu bukan pernyataan persun, tapi mewakili lembaga yang berwenang dalam soal tanah!
Nah, kenapa jadi ada ukuran sampai 500 meter; itu ada juga sejarahnya. Luasan yang rata-rata berjarak 200-an meter dari garis air itu, jika dipakai latihan TNI-AD atau uji coba senjata taktis; tak cukup luas. Maka pihak Dislitbangad waktu itu mendekati para Kades lama guna meminta pinjam tanah di wilayah pesisir desanya untuk dipakai pada saat-saat latihan dan uji-coba itu.
Ingat: Pinjam Pakai ! Dan ingat lagi: Kebijaksanaan itu diputuskan oleh Kades. Bukan oleh dan dengan musyawarah Petani Pemilik Tanah!
Tetapi justru karena kebaikan itu, malah pada gilirannya jadi momentum klaim kepemilikan TNI-AD atas tanah. Sudah dikasih Hati malah ngrampas Rempela, itu namanya.
Dan berani-beraninya pejabat sekarang memanipulasi sejarah. Sebab siapa yang mengabaikan sejarah, akan digilas oleh sejarah itu sendiri.

Saturday, May 23, 2009

Betapa Cerobohnya Tentara !

Betapa Cerobohnya Tentara. Lihat gambar disamping ini. Bom Mortir yang bisa meledak sewaktu-waktu, ditanam pada kedalaman tak lebih dari 0,5 meter di bawah permukaan tanah. Dan lokasinya berada tak jauh dari jalan menuju pantai Setrojenar. Kira-kira 25 meter di barat jalan. Diperkirakan ada 20-an bom yang ditanam di situ. Dan lokasi itu adalah lahan pertanian produktif yang dibudidayakan petani.
Bayangkan apabila bom ini meledak. Jumlahnya ada 20-an. Kehancuran seperti apa yang bisa diakibatkan dari ledakan itu ? Padahal, kini, setiap hari banyak orang berkunjung ke pantai Setrojenar. Terlebih di hari-hari libur, jumlahnya berlipat.
Ini sebuah ancaman (hazaard) yang membahayakan keselamatan orang banyak. Dan ancaman terhadap keselamatan orang banyak adalah kejahatan kemanusiaan.
Masih ingat trauma lalu? Tahun 1998, lima anak mati dengan tubuh berkeping! Karena ledakan mortir sejenis ini. Semua karena kecerobohan tentara yang berlatih di sana !

Saturday, May 16, 2009

Tolak Kawasan Hankam di Urut-Sewu; Sebuah Catatan Demonstrasi

Benih Revolusi telah ditebar dan bersemi di kawasan Urut-Sewu. Lalu muncul hasil semaiannya pada hari Kamis siang itu, 14 Mei 2009, di jalanan kota Kebumen. Ribuan petani dari kawasan Urut-Sewu Kebumen Selatan itu bergerak dalam barisan aksi sepanjang 200 meter. Mereka membentangkan spanduk, bendera, poster-poster tuntutan dan membagikan selebaran.
Banyak orang terkejut. Tak kurang pula aparat Polres Kebumen yang dibuat khawatir setelah menerima surat pemberitahuan koordinator aksi demonstrasi yang dilayangkan sejak tiga hari sebelumnya. Sehingga sampai tengah hari Rabu siang pihak polisi belum berani memberikan surat tanda terima pemberitahuan terkait demonstrasi petani Urut-Sewu itu. Kekhawatiran ini lebih dipicu lantaran jumlah massa yang diprediksikan sebelumnya sebesar 1.000 orang itu, potensial menimbulkan aksi anarkis. Dan polisi tak memiliki cukup personel untuk memastikan keamanan aksi tani yang baru dilaksanakan untuk yang pertama kalinya ini.
Meskipun begitu, phobia anarkisme gerakan massa dalam persepsi aparat tak pernah terbukti, meski jumlah massa aksi ternyata bertambah hingga 1.500 an orang; termasuk di dalamnya adalah perempuan. Karena sejak awalnya, aksi tani ini adalah aksi yang terkoordinir dan dipersiapkan melalui serangkaian rembug-rembug warga.

Aksi Tani Urut-Sewu: Keniscayaan!
Tak ada alasan untuk menginterupsi kehendak mayoritas petani di kawasan ini, bahkan dengan dalih keamanan petani itu sendiri. Desa Setrojenar yang mengambil peran 'revolusioner' sebagai pionir perlawanan terhadap tentara, telah teruji mengamankan wilayah desanya sendiri. Keamanan wilayah bukan lagi wacana kusir di sana. Tetapi telah menjadi sebuah sikap, sebuah identitas desa dan perilaku sosial. Lihat saja situasi di desa Setro, bagaimana ternak-ternak peliharaan mereka (kecuali saat hujan) tak pernah dikandangkan siang malam. Dan tak pernah ada kasus pencurian ternak.
Itu artinya, keamanan telah menjadi budaya, tata nilai dalam relasi kearifan lokal. Pernah mendengar analogi dalam jagad wayang, mengenai kawasan yang aman: "sato rojokoyo dhatan cinancangan". Bahwa hewan piaraan di sana tak ada dikandangkan dan terkunci, tetapi tak ada durjana pencuri. Jadi sebaiknya tak usah bicara keamanan desa dengan mereka. Termasuk dengan pemuda yang kemarin membangun gapura pantai Setrojenar itu juga. Pondasi dan wuwungan gapura itu dibangun dari konsep "ideologis" yang disebut keamanan dan ketertiban sejati.
Maka ketika perlawanan tani kawasan urut-sewu mencuat dalam bentuk aksi massa 14 Mei 2009, yang dipelopori oleh petani Setro, terbukti aman dan tertib.
Upaya untuk memoderasi munculnya aksi ini tidaklah kecil.

Thursday, May 14, 2009

Seribuan Petani Pesisir Selatan Kebumen Tolak Latihan Penembakan TNI

Kamis, 14 Mei 2009 | 15:37 WIB

KEBUMEN, KOMPAS.com
- Setidaknya seribu petani kawasan Urut Sewu yang meliputi sembilan desa di Kecamatan Buluspesantren dan Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen berunjukrasa di DPRD Kebumen, Kamis (14/5), menuntut agar kegiatan latihan menembak TNI Angkatan Darat di desa mereka dihentikan. Mereka mengaku kecewa dengan sikap TNI AD yang memperlebar kawasan latihan tembak dengan seenaknya sehingga areal pertanian semakin sempit.
 Dalam pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten dan DPRD Kebumen beserta jajaran Komando Distrik Militer 0709 Kebumen, salah seorang petani Nur Hidayat mengatakan konflik petani dengan TNI AD mulai muncul sejak tahun 2007, ketika Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD memasang patok teritorial TNI AD di sekitar areal pertanian. Hal itu menyebabkan, garis aman bagi areal pertanian mundur, dari semula 500 meter dari bibir pantai menjadi 750 meter dari bibir pantai.

"Bahkan belakangan, TNI AD mengklaim memiliki areal latihan uji coba senjata sepanjang satu kilometer dari bibir pantai," katanya.

Hal itu terbukti dengan keluarnya Surat Gubernur Jawa Tengah pada 5 Oktober 2007, yang memuat pernyataan ganti rugi bagi areal latihan uji coba TNI AD di Jalur Diponegoro untuk pembangunan jalur lintas selatan. Padahal Jalur Diponegoro berada 750 meter dari bibir pantai yang menjadi kawasan aman bagi warga setempat.

Menurut koordinator unjuk rasa Paryono, latihan tembak TNI AD di sekitar kawasan Urut Sewu yang membentang dari Sungai Wawar sampai Sungai Luk Ulo sepanjang 22,5 kilometer lebih itu juga telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Pada tahun 1997, katanya, lima orang anak tewas akibat terkena ledakan mortir aktif yang ditemukan salah seorang anak di sekitar pantai. Pada tahun 2008, dua orang petani yang sedang bekerja juga mengalami cidera karena terkena pecahan mortir ketika latihan tembak TNI AD berlangsung.

Latihan tembak dengan menggunakan pesawat juga dilakukan di atas sekitar pemukiman warga sehingga menimbulkan suasana mencekam di sekitar pemukiman warga. "SD Negeri 2 Setrojenar juga tak luput dilewati oleh pesawat penembak saat mengadakan latihan tembak di sekitar kawasan Urut Sewu," kata Paryono.

Kepala Perwakilan Dislitbang TNI AD Mayor Infanteri Kusmayadi tak menampik kalau sejauh ini, areal TNI AD di kawasan Urut Sewu yang bersertifikat hanya seluas dua hektar. Di atas areal itu telah didirikan Kantor Dislitbang TNI AD.

Sementara area latihan tembak, katanya, menggunakan kawasan pantai sepanjang kawasan Urut Sewu, yang kini menjadi area konflik dengan petani setempat. "Dari dulu, area pantai itu sudah digunakan untuk latihan tembak. Memang sudah seperti itu," katanya.

Di Indonesia pun, lanjutnya, uji coba senjata berat sekelas meriam 105 milimeter juga hanya diadakan di kawasan pantai Urut Sewu itu. "Tetapi uji coba itu kan tidak setiap hari. Dalam sebulan paling hanya dua sampai tiga hari. Totalnya dalam setahun, paling hanya satu setengah bulan," katanya.

Tak dapat berbuat banyak

Karena masih berkonflik, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kebumen Solehan Anwar mengatakan, pihaknya tak dapat berbuat banyak. Apalagi sampai mengeluarkan sertifikat tanah untuk petani maupun TNI AD. Prinsipnya, kawasan pantai di sepanjang Urut Sewu itu kawasan lindung milik pemerintah, katanya.


Menanggapi tuntutan petani, Ketua DPRD Kebumen Probo Indartono mengatakan, pihaknya akan membentuk tim untuk menyampaikan aspirasi petani Urut Sewu kepada Departemen Pertahanan Kemanan. "Masalah ini sangat terkait dengan kepentingan nasional. Karena itu, kami tak bisa memutuskannya. Semuanya harus dilaporkan ke pemerintah pusat," jelasnya.
Editor :

http://nasional.kompas.com/read/2009/05/14/15373132/seribuan.petani.pesisir.selatan.kebumen.tolak.latihan.penembakan.tni.

Wednesday, April 22, 2009

Selamatan Gapura Setrojenar

Sosok gapura setìnggi 4 meter yang dibangun sejak awal Februari 2009 itu nampak kukuh dan tegar, seakan siap menghadapi gempa dan badai laut selatan.
Siang itu, Rabu 22 April 2009, jam 13.00 wib sekitar 30-an pemuda Desa Setrojenar berkumpul disana untuk melakukan ritual peresmian gapura yang kini menjadi ikon baru wisata pantai Setro.
Ritual dìpimpin seorang tokoh agama, Imam Zuhdi, dengan membuka kunci pintu portal di sisi barat dan timur jalan. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan do'a mohon keselamatan dan diamini bersama.

Arus Pengunjung

Belakangan ini pantai Desa Setrojenar selalu dikunjungi orang dan makin ramai saja pada setiap harinya. Terutama kalangan anak muda. Seperti pada siang itu, meskipun memang bukan hari libur. Jika pada hari Minggu atau hari libur, jumlah pengunjung akan jauh lebih banyak. Menurut para pemuda yang mengelola parkìr kendaraan, kini ada 4 sampai 6 kelompok yang mengelola parkir kendaraan saja.

Ikon Wìsata Rakyat

Di sela peresmian gapura, Imam Zuhdi berpesan kepada semua pemuda untuk menjaga dan memanfaatkan fungsi gapura sebagai pintu masuk untuk menertibkan arus dan parkir kendaraan pengunjung pantai.
"Pemuda lah yang paling pas buat menjaga dari segala gangguan, termasuk dari pihak-pihak yang mengancam", pesannya. Imam ini mendoakan para pihak yang tak setuju supaya sadar.
Ditemui di tempat terpisah, mantan Kades Setrojenar, Mardjo, menyayangkan pihak-pihak yang tak senang atas pembangunan di obyek wisata pantai, termasuk pembangunan gapura.
Alasan yang mendasari pendapatnya adalah bahwa pengembangan potensi wisata pantai Setro telah membuka peluang kerja bagi pemuda dan sektor riil masyarakat kelas bawah. Juga telah memberikan kontribusi yang cukup signifìkan, bukan hanya di sektor ekonomi. Tetapi juga pada sektor sosial budaya serta peringatan hari-hari besar Islam.
Satu hal ditegaskan Mardjo, jika tentara melakukan klaim atas tanah-tanah pesisir, itu suatu kesalahan besar.

Monday, April 20, 2009

Kisah Tentang Pal-Budheg itu Fakta Sejarah !

Inilah wujud Patok-GG (eigendom) dengan kodefikasi Q222, yang dalam idiom lokal disebut dengan Pal-Budheg. Secara filosofis, patok ini budheg atau tuli. Maknanya adalah bahwa ia merupakan saksi bisu yang tak mau dan tak bisa dengar apa-apa. Kecuali bahwa ia adalah jejak kebenaran sejarah masa lalu.
Sebagai sebuah bukti sejarah, ia punya kisah. Sebagaimana dituturkan oleh mBah Karto alias Amad Bambung (88 tahun). Patok ini didirikan sebagai tanda batas tanah, saat ada pemetaan tanah; yang dalam bahasa lokal disebut dengan Klangsiran tanah di kawasan Urut-Sewu; yakni pada tahun 1932 lalu.
Saat itu ia telah menyelesaikan pendidikan rendah di desa yang ditempuhnya dalam rentang dua tahun. Mungkin karena itu pula, ia dipercaya oleh Dipamamad, ayahnya, untuk memegang "setik" atau surat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah keluarganya. Mad Karto kecil, tetapi berpendidikan menurut ukuran anak-anak waktu itu; diajak mengiringi tugas seorang Mantri Klangsir, yakni pejabat pemetaan tanah pada masa penjajahan Belanda.
Pejabat Mantri Klangsir ini begitu dihormati, disebut pula sebagai nDoro Klangsir oleh penduduk pesisir selatan yang populer dengan sebutan kawasan "urut-sewu" itu. Sampai-sampai dalam melaksanakan tugasnya, selalu ada penduduk yang memegang payung untuk menahan terik matahari sepanjang pekerjaan pemetaan.
Catatan terpenting yang dihasilkan dari klangsiran tanah ini adalah pengakuan pemerintah kolonial atas tanah-tanah di kawasan itu. Sejauh ini, pernyataan pengakuan pemerintah kolonial memang hanya menghuni ingatan kolektif masyarakat pesisir selatan Kebumen. Tetapi memang ada data-data valid yang konon dipegang oleh seorang eks pejabat kemiliteran bernama Soerjadi.
Tentu saja dokumen itu amat penting artinya. Tetapi penting juga kesaksian para pelaku sejarah atas tanah-tanah di sana. Dan Mad Karto yang kini telah beranjak tua tetapi masih cukup sehat untuk bekerja di lahannya itu memiliki kesaksian sendiri. Menurutnya, batas tanah gg yang ditandai dengan pal-budheg itu adalah bukti. Bahwa di sebelah selatan patok ini diakui sebagai tanah negara atau pada masa itu disebut tanah "Kumpeni". Sedangkan tanah-tanah di sebelah utara dari patok gg ini adalah tanah-tanah rakyat tani. Jarak patok GG ini ke tepi air berkisar antara 220 meter hingga 250 meter.
Di era sebelum ada "Klangsiran" tanah, sebagaimana dituturkan Kasan Mardji alias Kasan Simur (90 tahun), penduduk Kaibon Petangkuran, di Kecamatan Ambal; bahkan para petani sejak dulunya mengolah lahan hingga "banyuasin" alias sampai tepi air.
Pemerintah kolonial saja mengakui bahwa tanah "Kumpeni" itu sebatas jarak 250-an meter dari garis air sepanjang pantai selatan. Di luar itu, ke arah utara, adalah tanah-tanah rakyat!

( to be continued)

Sunday, April 19, 2009

Apa Yang Bisa Dibanggakan dari TNI-AD..

Pertanyaan ini selalu muncul saat ada pernyataan -biasanya dari pejabat pemerintah- bahwa seharusnya masyarakat (Setrojenar dan UrutSewu) bangga dengan adanya TNI-AD (Dislitbangad) di wilayahnya.
Dalam logika formal, mungkin seharusnya begitu. Tetapi dalam realita obyektif, banyak fakta bicara sebaliknya.
Jadi, dalam hal kenyataan yang dilakukan Dislitbangad, khususnya klaim tentara atas tanah rakyat, khususnya di Setrojenar, memang lebih dari pantas dipertentangkan. Kenyataannya malah memanipulasi dan mengingkari sejarah kepemilikan tanah rakyat di sana.
Jadi, apa yang bisa dibanggakan dari TNI-AD dengan Dislitbangad di kawasan pesisir UrutSewu Kebumen Selatan itu?
-to be continued-

Thursday, April 16, 2009

" Kami telah ambil sikap: meLawan Dislitbangad ! "

Pertemuan 7 desa di Setro Rabu, 15 April 2009 menghasilkan peneguhan tekad untuk bersama melawan tentara. Ancaman Kasad TNI-AD soal pematokan ulang disikapi petani tanpa rasa takut sama sekali. Justru jika TNI-AD mau pasang patok lagi akan ada 'titir' lintas desa untuk menghadang dan mencabut kembali patok tentara.
"Memangnya inì tanah siapa?"
"Sejak kapan tentara punya kewenangan untuk patok pertanahan?"
"Seperti sejarah Kumpeni mematok tanah-tanah di Tegalrejo pada picu awal jaman Perang Diponegoro.."
Macam-macam bentuk komentar sebagai reaksi atas rencana pematokan ulang oleh TNI.

Seruan Waspada

Rencana pematokan ulang itu pastilah punya maksud tertentu dan tidak berdiri sendiri.
Ditengarai demìkian, mengingat kini yang turun ke Setro adalah orang nomor satu di jajaran TNI-AD. Jika dilihat sepintas pernyataan Kasad tak pantas untuk konsumsi publik. Tetapi agaknya memang disengaja demikian, sebagai sebuah manuver atau trik dalam manajemen konflik.
Artinya, boleh jadi itu cuma umpan dalam jebakan taktis. Jika semua disikapi reaksioner semata, lalu petani yang jumlahnya tak kurang dari 3000-an cuma 'rebut-patok' dengan tentara di lapangan.
Tetapi di sisi yang luput dari perhatian, lalu dìam-diam Dislitbang TNI-AD mendesak proses legal penguasaan dan pensertifikatan tanah. Celaka.
"Terjadi lakon Rebutan Kikis Tunggorono" seperti dalam wayang.
Tapì massa rakyat kehilangan hak tanah dan legalitas kepemilikannya.
"Jadi, jangan kita lengah"
dalam menghadapi kemelut tanah.
Sejatinya, semua jadi kemelut, justru setelah tentara bercokol di sana.

Wednesday, April 15, 2009

Sejarah Tanah dan Mekanisme PerampasanNya

Tak rumit buat mencermati pola tentara dalam mencaplok tanah-tanah petani desa Setro.
Pertama, petinggi TNI-AD cuma mencopy-paste dan meneruskan sejarah kebijakan para penjajah negeri ini. Dengan kata lain, tentara meneruskan mekanisme penjajahan warisan kolonial Kompeni dan fasisme Jepang.
Kedua, membuat klaim sepihak pemilikan tentara atas tanah-tanah adat milik petani, membangun opinì publik lewat media. Sehingga nampak seolah nyata bahwa TNI-AD memang berhak atas keseluruhan zona di kawasan itu. Dengan kata lain, TNI-AD memanipulasi sejarah untuk pertahankan kepentingannya di sana, tetapi sejarah kepemilikan petani sendiri atas tanah itu sama sekali diabaikan.
Ketiga, secara politis mengeksploìtasi wacana Tata Ruang dan Wilayah kawasan Kebumen Selatan. Padahal siapa pun tahu bahwa sejak tahap riset bagi persiapan Raperda Tata Ruang, pada pertengahan Desember 2008 masyarakat sudah menolak sejak awal. Secara hukum tak ada penetapan Rencana Tata Ruang. Dokumen yang ada cuma Ressume Eksekutif dan jelas-jelas itu diprotes petani pada paparan pleno DPRD 14 Desember 2008; dan bahkan juga ditolak DPRD.
Bagaimana sebuah Executive Ressume yang dihujat rakyat dan ditolak pihak Legislatif ini bisa dipakai dasar klaim "pemìlikan" pihak Dislitbang TNI-AD atas tanah-tanah rakyat di kawasan pesisir?

Membaca Kepentingan Tentara

Teori bahwa kawasan 'urut-sewu' adalah kawasan pertahanan dan keamanan boleh diterima hanya ketika negara dalam kondisi darurat. Misalnya dalam perang atau terancam atau diserang oleh negara lain.
Ada kesalahan besar dalam memaknai teori itu, terlebih dengan pandangan stereotip yang pada gilirannya meniadakan aktivitas produktif dan budaya (pertanian dan ruang publik) sebagaimana tercantum dalam Executive Summary Pemkab Kebumen, tahun 2007. Maka, makin besarlah keresahan rakyat.
Lalu untuk apa TNI-AD menebalkan muka dìsana?

Kesaksian Atas Sejarah Tanah

Ada begitu banyak kesaksian yang bisa jadi referensi dalam menyìngkap selubung kepentingan tentara di sana.
Adalah Amad Bambung, penduduk desa Ayamputih yang dilahirkan pada 5 Maret 1921. Keturunan Dipamamad yang pernah mengabdi pada Sultan Hamengku Buwono IX ini, di tahun 1930 ( usia 9 tahun), masuk sekolah 'ongko loro'. Pada tahun ke dua, meski masa itu masih kecil, ia sudah diserahi 'setik' tanah orangtua yang merupakan waris leluhurnya.
Saksi pelaku sejarah tanah Urut-Sewu ini menuturkan bagaimana pada tahun 1932, saat ia mengikuti apa yang disebut sebagai proses “Klangsiran” tanah di kawasan itu. Klangsiran adalah suatu proses pemetaan tanah dan dilakukan oleh pejabat atau disebut Mantri Klangsir di masa penjajahan kolonial Belanda yang waktu itu dipegang Ratu Wilhelmina dan beralih ke Ratu Yuliana pada era berikutnya. Tanah yang diklangsir itu juga berarti diverifikasi berkaitan dengan kelas atau kategori tanah. Secara umum terjadi perubahan kelas tanah dalam klangsiran itu. Ada tanah yang semula baik menjadi jelek; begitu juga sebaliknya.
Dicontohkan tanah yang jelek berubah baik adalah tanah tinggalan lepen atau tanah bekas sungai. Tanah berkategori baik tetapi berubah jelek adalah tanah yang terlanda sungai atau dilanda bencana alam lainnya. Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam proses klangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah. Sedangkan tanah yang tidak terkena klangsiran meliputi: lumbung desa atau bandha desa, jalan, sekolahan dan tanah kuburan. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar. Di luar batas ini diakui sebagai tanah Kumpeni, yakni tanah yang berada pada jarak 250 meter dari garis pantai.
Hingga kini, pal atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat menyebutnya sebagai pal budheg dan terdapat menyusur sepanjang pesisir. Di sebelah utara dari batas patok yang berjarak 250 meter dari air laut ini, adalah tanah milik kaum tani di masing-masing desa.
Fakta lain berkaitan dengan sejarah tanah pertanian Desa Setrojenar dituturkan oleh Samidja, mantan Kadus Dusun Godi yang telah bekerja sejak tahun 1962 saat Kades dijabat oleh Durohman. Pada saat itu telah ada batas atau pal yang berjarak 16 Km dari Kota Kebumen. Pal itu kini berada di lokasi dekat sungai LukUlo dan sekaligus merupakan batas Desa Ayamputih dengan Desa Tanggulangin. Areal tanah di utara pal ini adalah tanah milik rakyat; atau dalam idiom tradisi disebut tanah pemajekan.
Sejak tahun 1962 sebagai Kadus ia bertugas menarik pajak atas tanah-tanah di kawasan selatan Desa Setrojenar berdasarkan legalitas kepemilikan tanah yang disebut “pethuk” dan bukan dengan Tupi atau SPPT. Pada tahun 1963, di depan rumah ada tanah lapang yang kemudian ditempati oleh tentara.
Pada masa Kades Durohman itu ia menerima penjelasan bahwa kelak jika tanah di bagian selatan itu dipakai latihan tentara dan mengakibatkan kerusakan pada tanaman penduduk maka harus ada ganti kerugiannya. Dan jika tentara mau memanfaatkan untuk latihan harus meminta ijin kepada pihak desa. Pihak desa akan membantu mengumumkan kepada penduduk untuk tidak melewati ruas jalan Diponegoro ketika sedang ada latihan militer. Maka untuk jalan Diponegoro itu disebut pula sebagai Diponegoro Pemantauan.
Setelah masa Kades Durohman ini dan berganti dengan Kades Moh Ghojali, terdapat desas-desus bahwa Sang Kades menjual tanah desa. Kades Moh Ghojali memang menjual tanah desa, yakni seluas 50 meter ke selatan dan 200 meter ke timur pada lokasi dekat perempatan jalan desa itu. Di luar tanah desa ini, Kades Moh Ghojali tidak menjual tanah lainnya. Kemudian pada tanah itu dibangun kantor dan mess Dislitbangad dengan menambah beli tanah penduduk seluas 50 meter kali 200 meter bagian sebelahnya. Total tanah yang dibeli fihak militer seluas 100x200 m = 20.000 meter persegi.
Memang ada kegiatan pengurugan tanah di utara pal GG atas permintaan pengusaha dari Malang. Kebetulan Kadus dan Petengan menjadi mandor pengurugan blumbang.
Mantan Kadus ini juga bertugas pada masa Kades Mardjo selama 8 tahun berikutnya. Pada masa Kades Mardjo inilah muncul kemelut atas tanah pertanian Setrojenar yang diakibatkan oleh oknum tentara dengan memberlakukan sistem sewa dan bagi hasil. Komposisi pembagian atas hasil pertanian penduduk adalah sepertiga bagian hasilnya untuk Desa, sepertiga bagian untuk tentara dan sepertiga sisanya menjadi bagian petani.

Tanah Milik TNI-AD Cuma Asumsi

Momentum kasus ini menyebabkan asumsi atau anggapan bahwa tentara memiliki tanah di areal pertanian itu. Demikian juga yang terjadi ketika Kades Setrojenar berganti Nur Hidayat selama 8 tahun. Sebagai mantan Kadus yang mengetahui sejarah tanah pertanian Setrojenar, ia merasa tidak rela apabila tanah-tanah itu diklaim sebagai milik tentara. Alasan lain yang lebih mendasar dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua tanah itu
merupakan tinggalan dari alur waris para orang tua di masa lalu.
Kesaksian juga diberikan oleh Lasidja, bahwa di Brecong dan Setrojenar khususnya dan Buluspesantren pada umumnya, tidak atau belum ada tanah milik ABRI atau TNI-AD. Jika ada asumsi bahwa sejak jaman Belanda tempat itu sudah jadi tempat latihan itu tidak benar. Lebih aneh lagi jika Dislitbang AD mengklaim memiliki tanah di kawasan itu atas dasar apa? Atas dasar tinggalan sejak jaman Belanda?
Pada masa lalu, kepentingan pemerintah kolonial Belanda di kawasan ini, menurut sepengetahuannya, bermaksud membangun kawasan pariwisata. Tetapi pada akhirnya rencana ini gagal karena kekalahan Belanda atas Jepang dalam perang. Rumah-rumah yang dibangun ditinggalkan oleh Belanda dan hingga sekarang sisa-sisanya masih ada.
Dalam hal kemelut tanah di kawasan “urut-sewu” ini, sebagian besar petani penduduk Desa Kaibon Petangkuran di Kecamatan Ambal berada pada posisi yang sama dengan petani Desa Setrojenar. Seorang Sarengat, penduduk Kaibon Petangkuran yang juga memiliki tanah di kawasan ini mengingatkan hasil-hasil pertemuan saat audensi ke DPRD Kabupaten Kebumen, pada 14 Desember 2008 lalu.
Saat itu ada bertemu para pihak yang berkaitan dan berkepentingan dengan tanah pertanian di kawasan :urut-sewu”, seperti Asisten Bupati, BPN, Camat, Wakil dari Kodim 0709 Kebumen, serta pelaksana riset bagi perencanaan Tata Ruang yakni CV. Wisanggeni dari Magelang. Tak kurang pula beberapa lembaga masyarakat, LBH, LSM, aktivis mahasiswa dan perwakilan petani dari desa-desa di kawasan Kebumen Selatan.
Jika kini TNI-AD mengaku memiliki tanah dengan mendasarkan pada aturan Tata Ruang dan Wilayah, itu sama sekali tidak benar. Pasalnya, semua yang dipaparkan waktu itu hanya Ressume sebagai hasil riset CV. Wisanggeni Magelang. Semua perwakilan desa yang hadir memprotes dan DPRD sendiri menolak serta meminta Ressume itu direvisi dahulu. Setelah itu, sampai sekarang, belum pernah ada penetapan rencana Tata Ruang menjadi aturan yang secara hukum memiliki cukup syarat untuk diberlakukan.
Dengan kata lain belum ada aturan mengenai pemanfaatan Tata Ruang di kawasan ini, termasuk pemanfaatan bagi aktivitas pertahanan dan keamanan.
Pernyataan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri terkait dengan status tanah itu menyatakan bahwa untuk tanah-tanah di kawasan pantai itu belum ada yang memiliki. Artinya, tanah-tanah yang ada masih dikuasai oleh masing-masing desa. Sedangkan dalam Buku C desa, jelas bahwa yang berhak atas tanah itu tak lain adalah para petani, penduduk desa yang selama ini memelihara dan membayar pajaknya. Jika ada pihak-pihak lain, termasuk TNI-AD yang mengaku memiliki, maka amat tak berdasar dan telah mengingkari hak-hak masyarakat tani atas tanah.

Tuesday, April 14, 2009

Pernyataan Kasad Cerminkan Watak Penjajah

Pernyataan Kasad, sebagaimana dimuat harian Suara Merdeka, 7 April 2009, Kebumen, hlm.E yang untuk selengkapnya dapat disimak berikut ini:

KASAD MINTA SENGKETA TANAH DISELESAIKAN
- Antara Warga dan Dislitbang TNI-AD

KEBUMEN - Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Agustadi SP angkat bicara mengenai sengketa tanah antara Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD dengan warga Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren.
Orang pertama di jajaran TNI-AD ìtu meminta kepada Pemkab Kebumen segera menyelesaikan persoalan tersebut.
Kasad menegaskan, sejak zaman Belanda, kawasan Pantai Bocor yang kini menjadi pangkalan uji coba Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Dìslitbang TNI-AD merupakan kawasan pertahanan dan keamanan.
Seharusnya tanah tersebut steril dari kegiatan penduduk, seperti kegiatan pertanian.
"Namun kenyataannya di kawasan latihan ini, penduduk justru melakukan kegiatan pertanian. Kalau tanamannya rusak, TNI yang disalahkan", kata Jenderak TNI Agustadi SP saat menyaksikan uji coba amunisi kaliber 105 buatan empat negara, Sabtu (4/4).
Dia juga mengaku tidak habis pikir terhadap pembangunan gapura yang menjadi pintu masuk menuju obyek wìsata Pantai Setrojenar yang dibangun di kawasan tersebut. Padahal seharusnya pemerintah desa bisa membangun gapura tersebut di dekat pemukiman penduduk.
"Kami juga prihatin atas dirusaknya patok-patok yang dipasang. Namun akan dibuat lagi dan jika dirusak lagi, kami tidak segan-segan bertindak tegas", tandasnya.

Milik Warga

Pemerintah Desa Setrojenar sebelumnya meminta kepada Bupati KH.Nashìrudin Al Mansyur agar tidak melakukan pembongkaran terhadap gapura yang menjadi pintu masuk menuju obyek wisata Pantai Setrojenar.
Surat Nomor 60/III/2009 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Setrojenar Surip Supangat menanggapi surat Kodim 0709 perihal permohonan pembongkaran gapura permanen di kawasan Dislitbang TNI-AD. Menurut Surip Supangat, pembangunan gapura dilakukan oleh pemerintah desa Setrojenar berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa No.04 Tahun 2005. Dimana RPJM Des tersebut juga telah dilegalisasi oleh Bupati Kebumen.
Hingga saat ini pihak desa juga masih bersikukuh bahwa kawasan pantai tersebut mìlik warga.
Menurut Supangat, warga juga menolak buku petunjuk penyempurnaan tata ruang Kabupaten Kebumen tentang kawasan pertahanan dan keamanan untuk radius 11 kilometer dari lapangan tembak dari Sungai LukUlo sampai pertemuan yang digelar di pendopo kecamatan Buluspesantren, Kamis (8/11).
Mereka menuntut Dislitbang TNI-AD untuk mencabut patok yang ditanam di tanah mereka. Hal itu dipicu kekhawatiran mereka, jika setelah pemasangan patok itu, pihak TNI-AD akan mengklaim hak tanah itu.
"Pemasangan itu memang tanpa didahului dengan sosialisasi" ujar Ketua BPD desa Setrojenar, Mokh. Syabani yang dibenarkan Ketua BPD Brecong, Mansyur kepada RM Cybernews, Kamis (7/11).
Dalam pertemuan itu hadir Kepala Perwakilan Dislitbang, Kapten Inf. Suseno, perwakilan Kodim 0709 Kebumen, Kapten M. Choliludin serta Muspika Buluspesantren. Kapten Suseno menegaskan pematokan yang dilakukan olei pihak TNI-AD hanya sebagai penanda daerah latihan saja.
"TNI tidak akan mengklaim tanah milik warga", ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kapten M. Choliludin dari Kodim. Namun warga tetap khawatir dan meminta pihak TNI mencabut patok itu. Sampai akhir pertemuan yang digelar kedua kali itu, tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan.
Camat Buluspesantren Chumdori BcHk menjelaskan, berdasarkan ketentuan yang sudah dibuat tahun 1982, tanah yang dimiliki TNI-AD berada pada radius 500 m dari bibir pantai.
Untuk memperoleh kepastian kepemilikan tanah yang dipatok, pihaknya akan meminta penjelasan Kantor Pertanahan mengukur tanah yang yang menjadi milik warga dan TNI-AD. Memang, lokasi tersebut selama ini dikenal sebagai daerah yang digunakan untuk uji coba senjata berat milik TNI-AD. Saat digunakan memasang bendera sebagai tanda aman dan daerah terlarang untuk umum.
"Kalau memang untuk keamanan, dengan bendera saja sudah cukup", kata sejumlah warga.
___
-sumber: wap.suaramerdeka.com/isi_berita.php?-d=51830
___________________________________________________

Bagaimana kita membaca pernyataan petinggi TNI-AD yang demikian itu? Bukan saja emosional, tetapi menunjukkan bahwa aspek sejarah yang dijadikan legitimasi keberadaan militer di sana hanyalah pewarisan spirit kolonial belaka. Jika ini yang menjadi dasar keberadaan TNI-AD di sana. Maka mau dibilang apa? Selain bahwa TNI-AD melulu meneruskan watak penjajahan yang mestinya sudah jadi masa lalu saja.
Padahal pemerintah kolonial Belanda (Kumpeni) sejak 1932 pun telah mengakui bahwa batas kepemilikan tanah oleh kolonial itu tak lebih dari sejauh 250 meter dari garis air. Fakta atas ini adalah sebagaimana kesaksian Amad Bambung (88 th) yang mengikuti pemetaan oleh Mantri Klangsiran.
Petani Setrojenar memiliki basis sejarah kepemilikan mereka atas tanah-tanah pertanian di sana. Fakta lain menyangkut kepemilikan warga adalah sebagaimana yang tercatat di Buku C Desa Setrojenar, serta realita pembayaran pajak selama ini.

Wednesday, March 25, 2009

Refleksi Perlawanan Tani Setrojenar - 2

Gambaran kondisi umum desa Setrojenar tak beda jauh dengan 38 desa lainnya di kawasan 'urut-sewu' pesisir selatan khususnya, dan petani Indonesia umumnya.

Petani dengan kepemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 ha; jelas tak mencukupi kebutuhan tiap keluarga tani. Belum lagi harus berhadapan dengan semua ekses kebijakan neo-liberalism.
Kepemilikan lahan minimum, biaya produksi tinggi, rendah teknologi, keharusan bertarung dengan banjir produk impor negara maju, implikasi teknologi trans-genetika.. Bla bla bla!
Kini ditambah kewajiban untuk memerangi hegemoni tentara. Kehadiran tentara dengan kepentingannya di sana, lambat laun telah menggeser lahan yang menjanjikan kemakmuran, menjadi pasetran yang menyimpan ancaman.
Keselamatan umum dan kelestarian lingkungan dipertaruhkan.
Ironi termenarik dari desa Setrojenar adalah 'deklarasi' perlawanan semestanya terhadap tentara pada tahap ini, justru dilancarkan saat semua orang berkonsentrasi pada Pemilu. Tetapi tak seorang pun yang tengah berkepentingan memenangkan Pemilu itu, peduli membantu, membela atau berjuang bersamanya.

Sejarah Pertanian Setro

Sejarah tanah 'pasetran' Setrojenar tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat di kawasan 'urut-sèwu' itu.
Kasan Mardji (93 th), penduduk KaibonPetangkuran, Ambal; menuturkan kesaksian historis atas tanah-tanah warisan nenek-moyangnya. Dahulu ia dan petani lain mengolah lahan ujungnya sampai ke 'banyuasin'. Maksudnya, lahan adat yang diwariskan itu sampai ke tepi air. Pada masa lurah Djiman, katanya, lahan-lahan itu 'dipunggel' atau mengalami pengurangan.
Hanya ada penjelasan semua dilakukan dengan alasan mengurangi beban pajak petani. Alasan ini ditengarai amat manìpulatif, meski dilakukan oleh penguasa desa.

Menurut Purwanto, 36 th, warga Setrojenar, hak Dislitbang TNI-AD atas tanah di Setrojenar tak lebih dari 20.000 meter persegi. Yakni tanah 200 m panjang x lebar 100 m yang sejak 1981 dibangun kantor Dislitbangad beserta mess asrama itu. Dia tak habis pikir jika tentara berasumsi memiliki tanah diluar yang 20.000 meter persegi itu. Kapan tentara beli tanah di luar yang dipakai asrama itu? Atau jangan-jangan cuma memanipulasi fakta yang ada.

Fakta yang ada bahkan membuktikan betapa Dislitbang TNI-AD telah sama sekali mengabaiakan hak rakyat atas tanah di situ. Mau bukti? Gambar di samping ini adalah keberadaan PosKo latihan dan uji coba di sisi timur jalan masuk, sekitar 500 meter dari garis pantai Setrojenar. Bangunan berlantai 3 ini dibangun di atas tanah bersertifikat asli SHM atas nama Mihad, penduduk Setrojenar. Dan, jangankan denagan proses membeli; bahkan Dislitbang TNI-AD membangun semuanya tanpa pamit!!

Monday, March 23, 2009

Refleksi Perlawanan Tani Setrojenar - 1

Mengapa desa Setrojenar melawan tentara, dalam hal ini TNì-AD? Adalah karena tentara, lewat institusi Balitbang TNì-AD telah merampas tanah-tanah petani di kawasan itu. Bagaimana mekanisme perampasan itu, akan dijelaskan oleh fakta empiris yang ada.

Profil Desa

Desa Setrojenar termasuk salah satu dari 38 desa di kawasan 'urut-sewu' yang memiliki pantai samudera Indonesia. Posisi geografis desa ini terletak pada 7 derajat 47'25" Lintang Utara dan 109 derajat 39'51" Bujur Timur.
Desa ini masuk wilayah Kec. Buluspesantren , di Kab. Kebumen. Berbatasan dengan desa Ayamputih di sebelah barat, dì sebelah utara ada desa Bocor. Sedang di sebelah timur berbatasan dengan desa Brecong dan batas selatan adalah Samudera Indonesia.

Luas desa: 252,827 Ha. Terdiri dari 184,185 ha ladang/tegal dan pemukiman seluas 68,642 ha. Selebihnya ada 16,301 ha tanah Kas Desa, lapangan 1,392 ha dan lainnya 16,140 ha.

Jumlah penduduk: 2.772 orang; terdirì dari 1.391 laki-laki dan 1.381 perempuan. Terhimpun dalam 774 KK. Tercatat ada 240 tamat SD, 207 tamat SMP dan lulusan SLA ada 120 orang. Ada 2 orang berpendidikan D1, 24 tamat D2 serta 18 orang menamatkan S1.

Mata pencaharian mayoritas penduduk Setrojenar adalah Petani: 1.177 orang. Kemudian Buruh: 257 orang, Buruh Swasta: 155 orang dan PNS: 38 orang serta TNI/Polri: 10 orang. Pensiunan: 22 orang dan 14 orang jadi pamong/perdes. Terdapat 111 pengrajin, 64 pedagang, 4 peternak, 3 montir.

Desa Setrojenar hanya berjarak 0,5 Km dari kota kecamatan, terletak di kawasan pesisir dengan suhu rata-rata 28 derajat Celcius.
Di sektor pertanian desa ini menghasilkan beberapa komoditas dari tanaman pangan yang ada.

Tanaman jagung dengan luasan lahan 80 ha menghasilkan 5,6 ton/ha. Kedelai dengan 5 ha lahan hasilkan 1,5 ton/ha. Kacangtanah dan tanaman sayuran seperti kacangpanjang, ubi jalar, cabe, mentimun, dll.
Juga terdapat tanaman padi ladang atau lazim disebut padi 'gaga' dengan luasan lahan 40 ha dan dapat menghasilkan rata-rata 3 ton/ha. Tanaman pangan lain adalah ubi kayu dengan 5 ha lahan menghasilkan 10,8 ton/ha.

Potensi Agrokultur

Khusus untuk lahan berpasir di kawasan sepanjang pesisir, kini petani mengembangkan tanaman semangka yang di desa Setrojenar telah dibudidaya seluas 20 ha dengan rata-rata hasil 1,8 ton/ha. Budidaya tanaman ini relatif membutuhkan modal besar disamping ketersediaan lahan. Persiapan lahan, pemupukan, perawatan yang mencakup ongkos produksi, termasuk menyiasati kelangkaan air dengan mobilisasi mesin penyedot air. Membutuhkan intensitas penanganan yang tinggi, rutinitas harian yang massif.

Total Keluarga Petani desa Setrojenar yang memiliki lahan ada 649 KK.
624 KK diantaranya memiliki lahan dibawah 0,5 ha. Hanya ada 25 KK yang kepemilikan lahannya antara 0,5 hingga 1 ha. Di luar itu masih ada 71 KK petanì yang tidak memiliki lahan pertanian!
Ketiadaan lahan telah menjadi problem nyata bagi banyak keluarga petani penggarap atau buruh tani ini.

Wednesday, March 18, 2009

SETROJENAR VS TENTARA

Aura perang 'desa melawan tentara' makin kuat saja, ketika Selasa (17 Maret) malam itu sebanyak 66 orang berkumpul di rumah Marsino. Tak hanya warga Setro yang ngumpul di sana, tetapi juga para pemuda dari Entak.
Mereka intens membahas:

- Pertama, surat Kodim 0709 yang meminta supaya Bupati membongkar portal yang dibangun "sekelompok warga Desa Setrojenar" di jalan masuk pantai Setrojenar. Kalimat tendensius 'sekelompok warga Desa Setrojenar', sebagaimana ditulis pada surat Kodim 0709 itu, seakan berpretensì untuk pojokkan warga sebagai 'gerombolan liar' saja.

- Kedua, pada prinsipnya, warga akan mempertahankan gapura yang sudah selesai dibangun itu. Pernyataan sikap ini menjadi "gembleng" dan diamini semua yang hadir pada pertemuan malam itu.

Nyatalah bahwa ancaman terhadap gapura pantai Setrojenar kini jadi identik dengan ancaman terhadap warga. Meskipun warga tahu bahwa soal gapura itu cuma ekses, sebagai akibat saja. Sama seperti soal-soal yang pernah muncul -atau bahkan yang akan muncul- di sana. Selama ada Dislitbang TNI-AD yang mengklaim dan memanfaatkan (baca: menguasai) kawasan pantai sebagai "milik" tentara.
Inilah areal pertanian yang secara adat dimiliki oleh petani desa Setrojenar. Kawasan yang sesungguhnya dapat diubah menjadi lahan subur ini, jika diolah dengan baik akan mendatangkan nilai ekonomi yang signifikan memperbaiki kesejahteraan. Kawasan ini, pada awalnya, disebut kawasan "brosengojo" atau dalam tradisi pertanian lama disengajakan untuk tidak dibudi-dayakan lantaran alasan-alasan ekologis. Jadi dalam konsep (kearifan) tradisional, telah ada teori ekologi.
Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kebutuhan, maka areal ini mulai ditanami.

Dalam perspektif pertanian rakyat, kawasan itu lebih baik diolah dan ditanami dengan baik, sehingga terjaga kesuburan tanahnya. Ketimbang "dikuasasi" tentara dan dipakai latihan perang dan buangan limbah mesiu.

Lagi-lagi, bertemu dengan tentara. Jadi, akar persoalan yang mengganggu warga. khususnya petani Setrojenar dan petani sepanjang "urut sewu" adalah adalah bercokolnya TNì-AD dengan lembaga Dislitbang di sana. Bahkan, tentara, secara sefihak telah mengklaim kepemilikan mereka atas tanah-tanah adat yang jelas-jelas sejarah kepemilikannya tercatat di Buku C Desa. Selama ini warga juga membayar pajak atas tanah-tanah itu dengan bukti 'tupi' atau 'petuk' alias SPPT.

Inilah akar munculnya perang Desa melawan tentara.

Program Desa

Secara khusus, berkaitan dengan pembangunan gapura itu, sejatinya merupakan program desa dalam hal memanfaatkan dan mengembangkan potensi desa, khususnya di bidang wisata pesisir. Belakangan ini, melalui organ Paguyuban Petani Kebumen Selatan (PPKS) muncul prakarsa untuk mengembangkan kawasan ini sebagai kawasan agrowisata dan industri pertanian.
Jadi memang pembangunan gapura ini merupakan bagian integral dari program desa Setrojenar, sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des). Dokumen ini telah mendapat persetujuan Bupati.

Menurut Kades, Surip Supangat, ia tidak bisa mengabaikan apa yang menjadi kehendak dan aspirasi warga.
"Apa yang menjadi kehendak masyarakat, itu yang dilaksanakan", tegasnya.

Jadi jelaslah kinì, akan apa yang menjadi kehendak warga desa Setrojenar, bahkan juga warga desa-desa pesisir 'urut-sewu' itu. Desa melawan Tentara.

Friday, March 13, 2009

MELAWAN HEGEMONI MILITER DI BUMI SETROJENAR


Meski fihak Dislitbang TNI-AD berkeberatan, pembangunan portal oleh warga tetap dilanjutkan. Ini sebuah keputusan penting bagi rakyat Setrojenar.
Dalam perspektif kerakyatan, larangan TNì-AD jelas tak berlaku bagi masyarakat. Jika Dislitbang TNì-AD melarang warga mengembangkan potensi kawasan pesìsir Setro, maka harus ada evaluasi secara menyeluruh terkait keberadaan TNì-AD di sana.

Tata Ruang dan Wilayah

Jum'at (13/3) datang (tembusan) surat permohonan pembongkaran gapura. Surat tertanggal 10 Maret 2009 dengan 14 tembusan, dilayangkan Kodìm 0709 Kebumen ini, pada intinya memohon kepada Bupati untuk melaksanakan pembongkaran atas gapura yang dibangun warga.
Alasannya, gapura itu dibangun di tanah Lapbak Dislitbangad, tidak minta ijin kepada Kadislìtbangad serta menyalahi prosedur penyusunan dan penetapan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).

Dalam hal RUTR ini, nuansa hegemoni militer atas kehidupan petani memang kentara. Setidaknya, begitulah yang dìrasakan petani dan warga Setrojenar sejak kawasan itu dijadìkan tempat latihan TNI-AD dan ajang uji coba senjata taktis.

Perda tentang RUTR sendiri mestinya bukan produk hukum yang hanya dimaknai berdasarkan kepentingan sefihak yang implementasinya cuma untungkan institute tentara, tapi berakibat menegasikan hak-hak sipil. Hak petani dan warga atas kawasan itu tak boleh diabaikan begitu saja.

Kita masih ingat penolakan petani Kebumen Selatan terhadap Rencana UmumTata Ruang di kawasan itu. Pada pleno DPRD, 13 Desember 2007 lalu, 60 petani "urut-sewu" menolak kawasan itu dijadikan kawasan pertahanan.

Artinya, ada persoalan di sana. Militer, dalam hal ini Dislitbang TNì-AD, tak bisa semaunya memanfaatkan kawasan itu. Sebab, setìdaknya ada 2 alasan penting terkait pemanfaatan kawasan itu. Pertama, dan ini didukung data-data Buku Desa, tanah di kawasan itu adalah tanah adat milik petani. Sehingga lebih tepat peruntukannya untuk lahan pertanian rakyat.
Kedua, kawasan itu punya potensi wisata dan ramai didatangi pengunjung.

Thursday, March 12, 2009

BPN AJAK DEPHAN SELESAIKAN SENGKETA TANAH TNI *)

JAKARTA. Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan mengajak Departemen Pertahanan (Dephan) untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah TNI di berbagaì tempat di Indonesia.
Kepala BPN, Joyo Winoto mengatakan hal itu, usai melakukan rapat koordinasi penyelesaian sengketa tanah bersama Kapolri Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis.
“Pada 30 Desember 2008 ini, kami akan menandatangani MoU (Nota Kesepahaman) dengan Dephan untuk menyelesaikan kasus tanah TNI” kata Joyo.
Menurut dia, tanah yang dipakai TNI selama ini memiliki beberapa kekhususan dibandingkan dengan tanah di negara lain, antara lain statusnya tanah negara. Sehìngga penyelesaian harus mengacu pada UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Hingga kini, darì sekitar empat ribu hektare tanah TNI baru sekitar 10 persen yang bersertìfikat. Kasus sengketa tanah TNI yang menonjol adalahtanah pusat latihan tempur di Grati, Pasuruan, Jatim. Hingga menyebabkan empat warga tewas terkena peluru marinir pada 30 Mei 2007 lalu.
Warga pernah menggugat TNI soal tanah itu ke PN Pasuruan; namun kalah.
TNI menyerahkan penyelesaian kasus tanah ini ke Dephan. (Antara)

*] Sumber: Antara. dapat pula diakses di
www.balitbang. dephan.go.id

Wednesday, March 11, 2009

Berita Media: RadarSemarang - SuaraMerdeka

Berita Radar Semarang: Portal Pantai Setrojenar Disoal

KEBUMEN. Pembangunan portal (pintu masuk) oleh warga di pantai Setrojenar menuai masalah antara TNI dan warga. Sambil menunggu kata sepakat, pembangunan portal yang sudah 75 persen itu diminta dihentikan sementara. 

Untuk mencari jalan keluar terbaik, Muspika Kecamatan Buluspesantren berinisiatif mempertemukan kedua belah pihak. Jum'at pagi (20/2) kemarin di kantor Sekretariat PPK kecamatan setempat. Kepala Perwakilan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD, Mayor (Inf) Kusmayadi dari TNI bertemu dengan Kepala Desa Setrojenar, Surip Supangat beserta warga.

Pertemuan ini juga dihadiri oleh Camat Buluspesantren Sodikin dan Kapolsek Buluspesantren AKP Sudarmo DS. Menurut Kusmayadi, lokasi portal yang berada pada jarak 200 m dari garis pantai dinìlai melanggar aturan. Pasalnya batas teritorial lahan kepemilikan TNI-AD adalah sejauh 500 m dari garis pantai. Sementara, warga tetap bersikukuh untuk melanjutkan pembangunan portal dengan tinggi 4 m itu.

Pembangunan sudah berjalan sejak awal Februari lalu ìtu. Jika TNI tetap melarang pembangunan portal, warga meminta sejumlah uang ganti rugi.
Seperti diketahui, wilayah pantai desa Setrojenar itu termasuk wilayah yang menjadi latìhan pusat TNI-AD. Panjangnya mencapai 23 km dari kali Wawar di kecamatan Mirit hingga muara sungai Lukulo di kecamatan Klirong.
"Warga boleh membangun namun syaratnya (bangunan portal) jangan bersifat permanen. Hal itu bisa ditempuh dengan membuat pondasi dari tembok dengan ketinggian 1,5 m. Sementara atapnya pakai kayu", ujar Kusmayadi memberi jalan tengah
Kepala Desa Setrojenar, Surip Supangat menyatakan akan segera mengumpulkan warganya untuk diberi pengertian sekaligus mendengarkan aspirasi mereka. Katanya, sumber dana pembangunan portal berasal dari dana swadaya masyarakat sebesar Rp. 19 juta rupiah. (cahjpnn/ton)

* Sumber: http://radarsemarang.com/daerah/jateng/5093-portal-pantai-setrojenar-disoal.htm
___

Berita: SuaraMerdeka, ed 8-11-2007
TANAH DIPATOKI TNI, WARGA TIGA DESA PROTES

Kebumen, Cybernews.
Ratusan warga dari tiga desa di kecamatan Buluspesantren Kebumen beramai-ramai protes kepada Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD agar mencabut patok yang dipasang di tanah mereka. Mereka adalah warga desa Setrojenar, Brecong dan Ayamputih yang memiliki tanah di pesisir selatan yang ditanami patok bertuliskan TNI-AD.

Tuntutan tersebut mereka sampaikan dalam pertemuan yang digelar di pendopo kecamatan Buluspesantren, Kamis (8/11).

Mereka menuntut Dislitbang TNI-AD untuk mencabut patok yang ditanam di tanah mereka. Hal itu dipicu kekhawatiran mereka, jika setelah pemasangan patok itu, pihak TNI-AD akan mengklaim hak tanah itu.
"Pemasangan itu memang tanpa didahului dengan sosialisasi" ujar Ketua BPD desa Setrojenar, Mokh. Syabani yang dibenarkan Ketua BPD Brecong, Mansyur kepada RM Cybernews, Kamis (7/11).
Dalam pertemuan itu hadir Kepala Perwakilan Dislitbang, Kapten Inf. Suseno, perwakilan Kodim 0709 Kebumen, Kapten M. Choliludin serta Muspika Buluspesantren. Kapten Suseno menegaskan pematokan yang dilakukan olei pihak TNI-AD hanya sebagai penanda daerah latihan saja.
"TNI tidak akan mengklaim tanah milik warga", ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kapten M. Choliludin dari Kodim. Namun warga tetap khawatir dan meminta pihak TNI mencabut patok itu. Sampai akhir pertemuan yang digelar kedua kali itu, tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan.

Camat Buluspesantren Chumdori BcHk menjelaskan, berdasarkan ketentuan yang sudah dibuat tahun 1982, tanah yang dimiliki TNI-AD berada pada radius 500 m dari bibir pantai.

Untuk memperoleh kepastian kepemilikan tanah yang dipatok, pihaknya akan meminta penjelasan Kantor Pertanahan mengukur tanah yang yang menjadi milik warga dan TNI-AD. Memang, lokasi tersebut selama ini dikenal sebagai daerah yang digunakan untuk uji coba senjata berat milik TNI-AD. Saat digunakan memasang bendera sebagai tanda aman dan daerah terlarang untuk umum.
"Kalau memang untuk keamanan, dengan bendera saja sudah cukup", kata sejumlah warga.
___
-sumber: wap.suaramerdeka.com/isi_berita.php?-d=51830