Monday, April 20, 2009

Kisah Tentang Pal-Budheg itu Fakta Sejarah !

Inilah wujud Patok-GG (eigendom) dengan kodefikasi Q222, yang dalam idiom lokal disebut dengan Pal-Budheg. Secara filosofis, patok ini budheg atau tuli. Maknanya adalah bahwa ia merupakan saksi bisu yang tak mau dan tak bisa dengar apa-apa. Kecuali bahwa ia adalah jejak kebenaran sejarah masa lalu.
Sebagai sebuah bukti sejarah, ia punya kisah. Sebagaimana dituturkan oleh mBah Karto alias Amad Bambung (88 tahun). Patok ini didirikan sebagai tanda batas tanah, saat ada pemetaan tanah; yang dalam bahasa lokal disebut dengan Klangsiran tanah di kawasan Urut-Sewu; yakni pada tahun 1932 lalu.
Saat itu ia telah menyelesaikan pendidikan rendah di desa yang ditempuhnya dalam rentang dua tahun. Mungkin karena itu pula, ia dipercaya oleh Dipamamad, ayahnya, untuk memegang "setik" atau surat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah keluarganya. Mad Karto kecil, tetapi berpendidikan menurut ukuran anak-anak waktu itu; diajak mengiringi tugas seorang Mantri Klangsir, yakni pejabat pemetaan tanah pada masa penjajahan Belanda.
Pejabat Mantri Klangsir ini begitu dihormati, disebut pula sebagai nDoro Klangsir oleh penduduk pesisir selatan yang populer dengan sebutan kawasan "urut-sewu" itu. Sampai-sampai dalam melaksanakan tugasnya, selalu ada penduduk yang memegang payung untuk menahan terik matahari sepanjang pekerjaan pemetaan.
Catatan terpenting yang dihasilkan dari klangsiran tanah ini adalah pengakuan pemerintah kolonial atas tanah-tanah di kawasan itu. Sejauh ini, pernyataan pengakuan pemerintah kolonial memang hanya menghuni ingatan kolektif masyarakat pesisir selatan Kebumen. Tetapi memang ada data-data valid yang konon dipegang oleh seorang eks pejabat kemiliteran bernama Soerjadi.
Tentu saja dokumen itu amat penting artinya. Tetapi penting juga kesaksian para pelaku sejarah atas tanah-tanah di sana. Dan Mad Karto yang kini telah beranjak tua tetapi masih cukup sehat untuk bekerja di lahannya itu memiliki kesaksian sendiri. Menurutnya, batas tanah gg yang ditandai dengan pal-budheg itu adalah bukti. Bahwa di sebelah selatan patok ini diakui sebagai tanah negara atau pada masa itu disebut tanah "Kumpeni". Sedangkan tanah-tanah di sebelah utara dari patok gg ini adalah tanah-tanah rakyat tani. Jarak patok GG ini ke tepi air berkisar antara 220 meter hingga 250 meter.
Di era sebelum ada "Klangsiran" tanah, sebagaimana dituturkan Kasan Mardji alias Kasan Simur (90 tahun), penduduk Kaibon Petangkuran, di Kecamatan Ambal; bahkan para petani sejak dulunya mengolah lahan hingga "banyuasin" alias sampai tepi air.
Pemerintah kolonial saja mengakui bahwa tanah "Kumpeni" itu sebatas jarak 250-an meter dari garis air sepanjang pantai selatan. Di luar itu, ke arah utara, adalah tanah-tanah rakyat!

( to be continued)

0 comments:

Post a Comment