This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, July 11, 2018

Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil Menentang Tindakan Penindasan dan Penggusuran Lahan Masyarakat untuk Pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA)


Press Release

 Penghancuran lahan pekarangan milik petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran - Kulon Progo (PWPP-KP) di Desa Glagah Temon pada Kamis (28/7). [Kredit Foto: Dok. PWPP-KP]

Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil Menentang Tindakan Penindasan dan Penggusuran Lahan Masyarakat untuk Pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA)

Jakarta, 11 Juli 2018

Atas nama beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia mengecam keras tindakan penindasan dan praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparatur negara terkait dengan pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) terhadap masyarakat di sekitar Kulon Progo, Yogyakarta.

pt. Angkasa Pura I (Persero) sebagai pemrakarsa dan pt. Pembangunan Perumahan (PP) sebagai pelaksana teknis melakukan perusakan terhadap tanaman-tanaman pangan siap panen dan pepohonan sumber ekonomi milik petani yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP).

Koalisi sangat perihatin atas peristiwa yang menimpa warga Kulon Progo yang mengalami penggusuran secara paksa oleh aparatur negara dan PT. Angkasa Pura I. Negara yang seharusnya memastikan bahwa perlindungan warga terhadap pengusiran paksa dan hak asasi manusia atas perumahan yang layak, malah bertindak sebaliknya.  
Selain itu, lahan pertanian yang menjadi sumber ekonomi masyarakat di Kulon Progo juga telah dirusak oleh pt. Angkasa Pura yang saat itu datang dengan dikawal oleh TNI, Polri, dan Satpol PP dan juga merusak alat pertanian warga berupa mesin diesel, alat semprot air, pipa air, dan berbagai alat lainnya.


Tindakan ini tidak sesuai dengan prinsip larangan pengusiran paksa Komite Ekosob, dimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ekosob tersebut, sebagaimana tertuang di dalam Komentar Umum No. 7 Hak atas Perumahan Layak dalam Pasal 11 (1) Konvensi Ekosob.

Koalisi juga menyayangkan adanya tindakan PT. Angkasa Pura I yang tidak melibatkan pendampingan Komnas HAM untuk menjamin bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM dalam proses pengosongan lahan dan banyak praktik-praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pt. Angkasa Pura I (Persero) dan pt. PP yang melibatkan beberapa aparat negara seperti; TNI, Polri, Satpol PP yang menimpa seluruh lapisan masyarakat mulai dari anak-anak, golongan disabilitas, lansia, juga perempuan.

Seharusnya penilaian dampak terhadap HAM dilakukan sejak awal sebagaimana sesuai dengan Komentar Umum No. 7 Komite Ekosob terkait hak atas perumahan layak paragraf 10 bahwa;
“Perempuan, anak-anak, remaja, orang tua, penduduk asli, etnis dan minoritas lainnya, individu dan kelompok rentan lainnya semua menderita secara tidak proporsional dari praktik pengusiran paksa... Ketentuan non-diskriminasi Pasal 2.2 dan 3 dari Konvensi mewajibkan tambahan pada Pemerintah untuk memastikan bahwa tidak ada bentuk diskriminasi apapun yang terlibat.”

Untuk itu HRWG mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

Menghentikan sementara aktivitas pt. Angkasa Pura I (Persero) dan pt. PP dalam proses pengosongan lahan untuk New Yogyakarta International Airport (NYIA) paling tidak untuk menjamin bahwa penggusuran memenuhi Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman terhadap Penggusuran Paksa PBB dan nilai-nilai Hukum HAM Internasional;

Memberikan sanksi yang tegas apabila pt. Angkasa Pura I (Persero) dan pt. PP terbukti melakukan pelanggaran (pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran administrasi, dan berbagai pelanggaran lainnya) dalam proses pengosongan lahan untuk New Yogyakarta International Airport (NYIA);

Menindak secara tegas semua pihak yang terlibat dalam proses pengosongan lahan yang disertai dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia meskipun para pelakunya adalah aparat negara (Polisi, TNI, dan Satpol PP) sesuai dengan Komentar Umum No. 7  Komite Ekosob terkait hak atas perumahan layak;

Tidak melibatkan aparat penegak hukum dan tidak melakukan tindakan represif kepada masyarakat Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP);

Menerjunkan tim untuk meninjau langsung kondisi terkini yang ada di lapangan tempat pengosongan lahan terjadi (Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta), serta menyusun kerangka penyelesaian yang partisipatif dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada di dalam Komentar Umum No. 7 Komite Ekosob;

Melakukan upaya-upaya pemulihan pada masyarakat Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP) yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia saat proses pengosongan lahan terjadi;

Menegur keras aparatur keamanan negara dengan tegas setiap anggotanya yang terbukti terlibat dalam proses pengosongan lahan NYIA dan melakukan tindakan represif yang melanggar hak asasi manusia.
____________

Muhammad Hafiz
(+62 812-8295-8035)
Direktur Eksekutif HRWG

Tuesday, July 10, 2018

Menolak NYIA Melawan Ketidakadilan Agraria [1]


Penulis: Setro Jenar*

PWPP: Foto rumah petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran - Kulon Progo (PWPP-KP) yang diurug halaman pekarangannya, dibuat parit sekelilingnya; seakan disengaja untuk sama sekali mengisolir petani yang melawan ketidakadilan pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport). [Foto: Dok.PWPP-KP]

Bagaimana situasi terkini masyarakat yang tersudut dalam kronik agraria dan bagaimana “ikatan suci”1 yang melandasi perjuangan para petani di tengahnya; tak banyak yang memahami dengan seutuhnya. Pada kasus penggusuran agraria di Temon Kulon Progo, dimana tak kurang dari 37 KK petani membangun resistensi atas ketimpangan megaproyek bandara internasional New Yogyakarta (NYIA); banyak orang melihat resistensi itu sebagai perlawanan waton sulaya semata.2

Pada suatu malam refleksi pasca “pembuldozeran” lahan dan tanaman petani3, yang ternyata telah berulang dan sebagian tanaman di lahan itu tengah berproduksi, para petani gempung hati dan fikirnya lantaran jelas-jelas teraniaya; makin membulatkan tekadnya untuk tak takluk pada kesewenang-wenangan. Perlakuan tak manusiawi ini, dalam berbagai bentuknya, secara khusus dibahas dalam rapat warga. 

BULDOZER: Seorang tentara menjaga pembuldozeran lahan cabai milik petani yang baru panen perdana. Kejadian penghancuran lahan produktik yang masih Hak Milik petani ini berlangsung di Glagah (28/6) dan Palihan (29/6). 

Alih-alih mendapat pembelaan dari pengayom masyarakat, ribuan polisi juga tentara, bahkan mengawal proses penghancuran lahan dan tanaman milik para petani itu.
“Polisi bukannya mengayomi masyarakat, tapi malah mengawal seluruh proses perusakan (penghancuran lahan_Red) itu”, tukas Hermanto yang dibenarkan warga lainnya. “Sangat tidak manusiawi”, sambungnya.
Tak ada pembelaan dari mana pun.4 Tak juga dari rejim “negara agraris” yang lebih mengimani pembangunanisme sebagai pandangan dalam menentukan kebijakan makronya, melampaui kewajiban menyejahterahkan rakyatnya yang diamanatkan konstitusi. Sehingga tatkala alat-alat berat meluluhlantakkan tanaman holtikultura di lahan milik petani pun, dianggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan umum berupa pembangunan itu.

KECEWA: Foto eksekusi penghancuran lahan pertanian, meski dilawan mati-matian oleh warga, penghancuran itu terjadi juga. Sebelumnya ada statement dari Bupati Bantul dan pihak Angkasa Pura bahwa jika eksekusi ini dilakukan akan menyertakan Komnas HAM. Tapi faktanya negara tak hadir di lokasi dan penghancuran telah terjadi [Dok. PWPP-KP]  

Tetapi pembangunan bandara internasional New Yogyakarta (NYIA) yang dilaksanakan dengan cara menggusur rakyat setempat terutama petani yang secara kultur telah menjalin relasi agraris turun temurun, itu bukan saja tak bisa disederhanakan atas nama pembangunan. Tetapi juga karena Temon mesti dilihat sebagai ruang hidup yang dibangun turun temurun, melintasi zaman dan menjadi puzzle tata-nilai suatu peradaban bercorak agraris di Kulon Progo.  

Budaya agraris, berikut tradisi dan relasi-relasinya, tak bisa begitu saja diabaikan dan disederhanakan dengan cara paksa memindahkan lokasi (relokasi) warga petaninya ke ruang hunian baru. Manakala pemaksaan ini yang terjadi maka itu artinya picu perlawanan rakyat telah ditarik.  
“Ini semua hunian manusia yang memang harus dijaga dan dimanusiawikan”, kata seorang relawan di sela berlangsungnya rapat warga.

Watak Pembangunan dan Pentingnya Solidaritas


POLISI: Keberadaan ratusan polisi, dan juga militer, di lokasi; bukan untuk mengayomi asset milik warga, melainkan untuk mengawal penghancuran lahan [Foto: Dok. PWPP-KP]

Kenapa mesti bersolidaritas? Karena semua orang, bahkan juga pemerintah, telah mengabaikan dan menjauh meninggalkan persoalan ini. Kemelut agraria yang diciptakan picunya dari kuasa kebijakan makro rejim infrastruktur penggusur, makin hari makin menjamur kuantitasnya. Sementara dari perspektif rakyat, sebagaimana mengemuka dalam refleksinya; pembangunan tak selalu harus dilaksanakan dengan cara menggusur warga dimana-mana.

Demikian pula yang terjadi di Temon Kulon Progo. Negara bukan saja tak hadir untuk melindungi rakyatnya dalam menghadapi kemelut agraria ini. Tetapi justru ia -negara- itu menjadi pangkal dari semua kemelut itu dan malah jadi bagian dari masalah. Dan karena negara bukan representasi kedaulatan rakyatnya serta memposisikan pada pengabdian terhadap kekuasaan modal dengan mengabaikan esensi berkeadilan sosial; maka dari situlah resistensi tumbuh bersemi.

Sebagaimana kemelut agraria pesisir Urutsewu di sebelah baratnya, maka petani PWPP-KP dibiarkan menghadapi ancamannya sendirian. Terhadap kasus pemaksaan pemindahan (relokasi) penduduk pun disingkiri oleh para pemangku kepentingan dan otoritas kewenangan di sektor agraria. Watak rejim pembangunan yang dilaksanakan hari ini makin jelas tak berbasis pada pemajuan dan pengembangan budaya agraris.
Lantas apa yang bisa diperbuat?

Bersolidaritas adalah sebuah cara yang paling mungkin buat dilakukan. Meski terhadap kemelut agraria PWPP-KP di Temon, solidaritas itu telah dibangun –terutama- oleh para relawan; tetapi kuasa modal kembali menghancurkannya. Kehancuran memang bukan melulu pada lahan-lahan pertanian yang dibuldozer atau rumah-rumah yang diratakan tanah. Solidaritas sosial yang mencerminkan kearifan budaya gotong-royong pun dideranya.

Portal yang dipasang pada sarana mobilitas umum di Jalan Daendels, dan dijaga 24 jam; hanyalah satu dari sekian fakta tentang Temon hari ini.

[Bersambung]

___
1 Ikatan suci yang dimaksud adalah ikrar suci dengan asma Tuhan dan dengan alam ciptaanNya, yang telah dilangsungkan dalam situasi komunal yang disakralkan. Dalam konteks ini, ikrar dilakukan warga petani Temon Kulon Progo yang menolak penggusuran pembangunan bandara NYIA.
2 Terminologi Jawa untuk sebuah pertentangan berdalih “pokoknya”, tanpa landasan yang -khususnya- secara idiil dapat dipertanggungjawabkan.
3  Dibawah pengawalan aparat (polisi dan militer) pihak Angkasa Pura lancarkan “pembuldozeran” lahan -cabai- pertanian jelang dan pada masa panen di dusun Glagah (28/7) dan Palihan (29/7). Pengoperasian alat berat lainnya melakukan penggalian dan pengurugan tanah “hak milik” seperti halaman dan sekitar rumah petani yang menolak NYIA.    
4 Statement Bupati Kulon Progo dan fihak Angkasa Pura yang akan menyertakan Komnas HAM saat -eksekusi- lahan dan pembersihan tanaman dinilai sebagai ingkar janji.   

* Setro Jenar, petani pedukuhan Godi, pegiat agraria korban kekerasan militer pada Tragedi Urutsewu 16 April 2011 

Sunday, July 08, 2018

Warga Penolak Bandara Kulon Progo Pasang Patok Tanah

Minggu 08 Juli 2018, 12:13 WIB | Ristu Hanafi


Warga penolak Bandara Kulon Progo pasang patok tanah. Foto: Dok Warga

Kulon Progo - Warga penolak proyek Bandara Kulon Progo/New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP.KP) memasang patok tanah di kawasan Izin Penetapan Lokasi (IPL) NYIA. Warga memasang patok yang sebelumnya rusak dan hilang saat proses land clearing (pembersihan lahan) oleh PT Angkasa Pura I. 
"Warga memasang patok untuk menegaskan batas tanah milik mereka yang hingga saat ini belum mereka serahkan atau alihkan hak miliknya ke pihak manapun," kata kuasa hukum PWPP.KP, Teguh Purnomo saat dihubungi detikcom, Minggu (8/7/2018).
Teguh mengungkapkan warga yang masih mempertahankan lahan mereka berjumlah 86 Kepala Keluarga yang terdiri dari sekitar 300 jiwa. Seluruhnya berada di dalam kawasan IPL.

Menurut Teguh, apa yang dilakukan warga dengan memasang patok tanah itu adalah hal yang wajar karena mereka merasa hak milik tanah belum beralih.
"Bahkan pemasangan ini wujud kepedulian warga agar tidak ada konflik antar warga karena patok sebelumnya rusak, bisa memicu potensi gesekan batas antara tanah satu dengan yang lain," jelasnya. 

Warga penolak Bandara Kulon Progo pasang patok tanah.Warga penolak Bandara Kulon Progo pasang patok tanah. Foto: Dok Warga
Setelah pemasangan patok ini, lanjutnya, warga akan kembali bertanam dan memasang papan berisi tulisan lahan masih milik warga dan hak miliknya belum beralih.
"Ini bentuk perlawanan dan penegasan sikap warga bahwa warga masih solid menolak proyek bandara," imbuh Teguh. 
Pekan lalu, PT Angkasa Pura I melalui PT Pembangunan Perumahan melanjutkan proses land clearing dengan merobohkan dan meratakan tanaman yang masih berdiri di kawasan IPL. Dikerahkan belasan alat berat dan ratusan petugas keamanan gabungan dari Polri, TNI, dan Satpol PP.

Saat itu warga sempat melawan namun karena kalah jumlah akhirnya warga pasrah dan terpaksa merelakan tanaman yang mereka tanam dirobohkan petugas Angkasa Pura. 
(sip/sip)


Sumber: NewsDetik