This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, September 24, 2014

Statement Aksi Petani Urutsewu

Pernyataan Sikap
FORUM PAGUYUBAN PETANI KEBUMEN SELATAN

Sudah 69 tahun Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, berbagai orde telah dilalui, namun petani selalu mengalami penindasan dari masa ke masa. Sepanjang sejarah, petani tidak pernah diposisikan pada tempat yang semestinya. Meski mayoritas, petani tidak pernah mendapatkan perlindungan yang semestinya dari “gangguan-gangguan” yang menimpanya. Mulai dari klaim sepihak atas tanah, fluktuasi harga komoditas pertanian yang tidak pernah mampu dikendalikan pemerintah,  serta semakin mahalnya harga sarana produksi pertanian. Pemerintah tidak pernah melakukan upaya yang serius untuk membangun pertanian dan mensejahterakan petani, sehingga sebagian besar petani kita hidup dibawah garis kemiskinan.

Urutsewu merupakan kawasan pertanian yang sangat produktif dan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan petani, namun kebijakan pemerintah justru bertolak belakang dengan kepentingan petani. Penetapan Urutsewu sebagai Kawasan pertanian, pariwisata, sekaligus  area latihan dan uji coba senjata berat serta penambangan pasir besi dalam Perda Tata Ruang Kabupaten Kebumen, jelas merupakan kebijakan yang tidak berpihak pada petani karena mudah sekali ditebak apa yang akan terjadi; bahwa petani pasti akan kalah dalam “arena pertarungan”. Ibarat kita memasukkan anak ayam di kandang singa.

Dan memang benar, petani tak berdaya ketika jadwal merawat tanamannya terganggu atau bahkan tanamannya rusak karena adanya latihan militer/uji coba senjata berat TNI-AD. Pun ketika ada anggota keluarganya yang meninggal dunia akibat ledakan sisa peluru maupun dianiaya oleh aparat TNI-AD

Petani juga tak berdaya ketika Perusahaan Tambang Pasir Besi “memaksakan diri” untuk menambang dengan segala tipu daya dan kelicikannya.

Lalu bagaimana kita menjelaskan bahwa pemerintah melindungi kepentingan petani dan tidak malah mengganggunya  ??? bagaimana kita memastikan bahwa pemerintah telah melaksanakan amanat UUD ’45 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” ???

Dan apa gunanya pemerintah jika mereka diam saja ketika petani menjerit karena harga produk pertanian mereka jatuh dan menguras modal pertaniannya ? terlebih jika hal itu terjadi karena adanya kebijakan import.
Oleh karena itu kami, masyarakat yang tergabung dalam FORUM PAGUYUBAN PETANI KEBUMEN SELATAN (FPPKS) menyatakan sikap :

1.      MENOLAK klaim “Tanah Negara” atas tanah-tanah petani di pesisir Urutsewu.

2.      MENOLAK sertifikasi hak pakai yang diajukan oleh TNI-AD terhadap tanah pesisir Urutsewu

3.      MENOLAK  Pemagaran yang dilakukan oleh TNI-AD di tanah-tanah milik rakyat yang dilakukan tanpa alas hak.

4.      MENOLAK penambangan pasir besi di Urutsewu.

5.      MENYAYANGKAN kegagalan pemerintah dalam melindungi kepentingan dan hak-hak petani.

6.      MENGECAM segala bentuk pembodohan, intimidasi dan teror yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab terhadap petani Urutsewu.

7.      MENGECAM pemerintah daerah Kabupaten Kebumen yang melakukan pembiaran terhadap pemagaran yang dilakukan oleh TNI-AD di tanah-tanah milik rakyat.

8.      MENUNTUT  kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk :
a.      Mengembalikan kepemilikan tanah pesisir Urutsewu kepada petani.
b.      Menghentikan pemagaran tanah pesisir Urutsewu dan membongkar pagar yang telah dibangun.
c.       Menghentikan Latihan TNI-AD karena membahayakan keselamatan masyarakat dan mengganggu aktifitas pertanian.
d.      Mencabut izin penambangan pasir besi dan menghentikan penerbitan izin baru di Urutsewu.
e.      Mencukupi kebutuhan dan melindungi kepentingan petani Urutsewu.
f.        Menjadikan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian dan pariwisata rakyat.

Kebumen, 24 September 2014
KETUA
FORUM PAGUYUBAN PETANI KEBUMEN SELATAN


SENIMAN

Aksi Petani Urutsewu di Hari Tani Nasional


Hari Tani Nasional, 24 September 2014; ditandai dengan aksi petani kawasan pesisir Urutsewu di depan gerbang kantor DPRD Kebumen. Aksi yang dimulai pada jam 10.30 wib; dikemas dalam sajian happening-art jadi menarik dan menghadirkan suasana yang berbeda serta jauh dari kesan anarkis. Organ tani yang melakukan aksi hari ini adalah Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan [FPPKS] dan Urut Sewu Bersatu [USB]. Dua organ tani ini secara konsisten melakukan penolakan terhadap pemanfaatan tanah pertanian pesisir untuk latihan militer dan ujicoba senjata berat. Juga menolak pengalihan fungsi tanah pertanian holtikultura untuk pertambangan pasirbesi.  

Belasan pemuda tani melumuri tubuhnya dengan lumpur dan memainkan peran sebagai tanah obyek sengketa agraria yang tak kunjung usai hingga hari ini. Berbagai aksi demonstrasi telah dilakukan hingga terakhir mendatangi Jokowi dan melakukan audiensi di Jakarta. Besarnya harapan petani terhadap presiden terpilih hasil Pilpres 2014 ini pun belum juga mendapatkan gambaran jelas mengenai penyelesaian tuntas atas sengketa agraria yang telah menelan korban nyawa, darah dan harta rakyat Urutsewu.

Bahkan pada Hari Tani ini pun, saat petani tengah kembali melakukan aksi penolakan buat ke sekian kalinya, fihak militer tak menghentikan aksi latihannya hari ini di pesisir Ambalresmi.

Mengingat Kembali Sejarah Tanah Urutsewu

Tak ada kemarahan yang menyala di terik siang, kemarahan petani Urutsewu telah memuncak pada tengara bentrokan atau tepatnya Tragedi Setrojenar 16 April 2011 silam. Hari ini kemarahan itu menguat dalam bahasa simbolik melalui aksi teatrikal yang digelar petani; lengkap dengan iringan gamelan tradisional. Aksi teatrikal ini secara gamblang memaparkan sejarah tanah pesisir Urutsewu sejak masa Klangsiran [1920, 1932] masa Cirat [1932-1952].  Kejayaan aktivitas produksi sosial masalalu yang sempat jadi entitas petani pesisiran, hari-hari ini terganggu oleh gejala dominasi peran militer dengan dalih “tanah Negara” dan issue wilayah pertahanan keamanan.  
Ingatan kolektif atas sejarah tanah pesisir Urutsewu ini muncul dalam peragaan nDoro Klangsir [pejabat agraria kolonial Hindia-Belanda],   yang disertai asisten dan diiringi tabuhan kemong bertalu yang dibunyikan secara ritmik oleh pembantu yang menyertainya. Esensi dari peristiwa Klangsiran adalah pemetaan tanah milik dan pendataan dalam Buku C desa-desa yang dilewatinya.

Dan sejarah tanah pesisir Urutsewu ini tidak lagi diomongkan, sebagaimana dilakukan dalam aksi-aksi selama ini; tetapi diperagakan, didirikan.

Dewan Baru, Problem Lama

Pemaparan aspek historis dalam aksi teatrikal petani Urutsewu hari ini, sungguh sangat lah gamblang. Massa aksi tidak memasuki gedung dewan yang juga pernah berulangkali dimasuki sebelumnya dengan membawa problem yang sama; problem lama. Beberapa anggota DPRD memang turun menemui petani di muka gerbang yang diterpa terik siang

“Kami masih akan mempelajari dulu apa yang kami terima hari ini”, begitu pernyataan sang wakil, entah mewakili siapa.

Tak ada kemarahan menyala di terik siang itu. Tetapi jelas, massa aksi kecewa oleh pernyataan yang lebih merupakan retorika belaka. Dalih bahwa mayoritas anggota dewan adalah orang baru, sepertinya bakal jadi alasan klasik menyikapi problem Urutsewu. Entah sampai kapan secara tuntas diselesaikan, dengan memihak kepentingan rakyat, seperti bunyi katanya.

Tuesday, September 23, 2014

Rakyat Melawan: Aksi Protes Rembang, Pandang Raya dan Kulonprogo

Hari ini, Selasa (23/9/2014), telah terjadi aksi protes di tiga titik berbeda. Aliansi Masyarakat Pandang Raya (Makassar), JMPPK Rembang (Rembang), dan Wahana Tri Tunggal (Kulonprogo) turun ke jalan untuk menggugat pemerintah dan korporasi yang dianggap telah merampas hak rakyat.
JMPPK (Rembang, Jawa Tengah)
Petani Rembang yang didominasi ibu-ibu menggelar aksi damai di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Rembang. Aksi ini dilakukan dalam rangka peringatan 100 hari tenda perjuangan menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng, khususnya di wilayah Kecamatan Gunem dan Bulu. Sejak pagi, ibu-ibu beriringan menuju Kantor Bupati dengan membawa berbagai hasil bumi. Namun, hingga selesai aksi, tak ada satupun perwakilan dari pemerintah yang datang menemui mereka. Alih-alih pejabat, massa malah dihadapkan dengan barisan polisi.
Selain di Rembang, aksi solidaritas juga berlangsung di berbagai kota. Di antaranya, Yogyakarta, Bandung, Kendal, Semarang, Surabaya, dsb.
AMARA (Pandang Raya, Makassar)
Massa yang tergabung dalam AMARA (Aliansi Masyarakat Pandang Raya) berunjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar. Warga yang pemukimannya digusur pada 12 September lalu ini menuntut pengembalian hak mereka atas tanah di Pandang Raya. Karena, berdasarkan fakta hukum, warga berhak atas lahan yang sekarang sudah rata dengan tanah. Mereka menuntut pengusutan atas surat putusan eksekusi yang dinilai cacat hukum dan terindikasi adanya mafia dalam kasus tersebut.
Sejak penggusuran, warga masih bertahan di sekitar puing bekas lokasi pemukiman mereka. Warga pun dengan tegas menolak menyerah atas kedzaliman yang dilakukan pemerintah.
WTT (Kulonprogo, Yogyakarta)
Rakyat tani yang terwadahi dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) melakukan aksi blokade Jalur Lintas Selatan Jawa (Jalan Daendels). Massa memblokir jalan dengan berbagai benda, mulai dari kayu, bebatuan, sekam yang dibakar, hingga sebuah gajebo. Aksi ini pun dibubarkan oleh aparat gabungan, TNI dan Polri.
Aksi blokade merupakan buntut dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam acara sosialisasi pembangunan bandara di Kecamatan Temon, Kulonprogo. Ribuan massa yang hendak menghadiri acara sosialisasi dihadang oleh barisan aparat. Padahal mereka adalah warga yang akan terdampak langsung jika bandara jadi berdiri.
Akibat larangan tersebut, rakyat marah dan memblokir jalan yang menjadi akses strategis tersebut. Sempat terjadi bentrok antara massa aksi dan aparat, bahkan massa disemprot dengan mobil waterkanon. Namun, situasi segera kembali redam. Hingga artikel ini dibuat, rakyat masih bertahan di lokasi.
http://selamatkanbumi.com/rakyat-melawan-aksi-protes-rembang-pandang-raya-dan-kulonprogo/

Thursday, September 11, 2014

Konflik Pandang Raya [Statement]



“tanah Tuhan untuk rakyat bukan untuk pemodal”

Aliansi Masyarakat Anti Penggusuran (AMARA) Pandang Raya:

Penggusuran ada dimana-mana. Atas nama penegakan hukum, keindahan kota, ketertiban masyarakat, dan segala bentuk pembenaran versi penguasa seolah menjadi hal yang wajar dari rutinitas keseharian kita. Sekalipun substansi dari kasus penggusuran tersebut adalah perampasan terhadap hak hidup yang sangat mendasar seperti yang terjadi dalam kasus warga Pandang Raya. Narasi kasus ini ada klik [disini]

Warga masyarakat miskin kota yang bertahan hidup di pusat perkotaan diantara himpitan bangunan-bangunan komersil milik korporasi harus berhadapan dengan keserakahan para pemodal yang tak henti-hentinya berupaya merebut ruang-ruang yang masih tersisa untuk disulap menjadi pundi-pundi rupiah.

Kasus Pandang Raya bermula ketika pada tahun 1998 seorang pemodal a.n. Goman Wisan tiba-tiba menggugat warga dan mengklaim kepemilikan atas tanah seluas 4000 m2 yang dihuni 46 KK. Proses hukum yang timpang dan tidak berimbang menyebabkan warga diharuskan menerima vonis hukum yang prosesnya tak pernah mereka ketahui.

Eksekusi pun berulangkali dilakukan oleh pihak pengadilan. Eksekusi ke-1 pada 12 november 2009, eksekusi ke-2 pada 30 November 2009 dan eksekusi ke-3 pada 23 Februari 2010. Setiap eksekusi yang dilakukan selalu mengalami kegagalan karena proses putusan pengadilan yang cacat.

Ada beberapa poin tentang mengapa tanah warga Pandang Raya tak dapat dieksekusi:

1.Lokasi yang diklaim oleh pihak penggugat (Persil No. S2 a. SII Kohir No. 2160. C 1. Lokasi Jalan Hertasning Kelurahan Panaikang Kecamatan Panakukang) berbeda dengan Lokasi yang di huni oleh warga yang menjadi tergugat/objek eksekusi (No. Persil S2S1 Kohir 1241C1 Kelurahan Pandang Kecamatan Panakukang). Dan diperkuat oleh surat keterangan Kantor kelurahan Pandang yang ditandatangani oleh lurah terkait (Dakhyal S.Sos) tertanggal 5 Agustus 2009 dengan menyatakan bahwa lokasi yang dimaksudkan berdasarkan Persil dan kohir penggugat (Goman Wisan) berada diantara Jln. Adiyaksa dan Jln. Mirah Seruni (Panakukang Square).

2. Pernyataan dalam surat Keterangan oleh camat Panakukang tertanggal 16 Desember 2009 yang ditandatangani oleh camat terkait (A. Bukti Djufri, SP, M.Si) dengan menyatakan bahwa Lokasi pihak penggugat (Goman Wisan) tidak ada dalam buku F di kantor kecamatan Panakukang dan persil Kohir warga berbeda dengan apa yang menjadi objek eksekusi pihak penggugat.

3. Klaim Pihak penggugat (Goman Wisan) yang telah melakukan pembelian dan pengukuran tanah bersama pemilik (A.n. H. Abd. Asis Bunta) ditahun 1994 adalah palsu. Karena pemilik tersebut telah wafat ditahun 1993 yang dibuktikan dengan surat kematian A.n. H. Abd. Asis Bunta dari kelurahan Nunukan Barat yang merupakan kediaman pemilik tanah.

4. Surat pernyataan kepala BPN A.n. H.M. Natsir Hamzah, MM. tertanggal 28 Desember 2009 yang membenarkan dan menguatkan surat keterangan dari kelurahan Pandang.

5. Surat rekomendasi KOMNAS HAM No.727/K/PMT/III 2010 tertanggal 30 Maret 2010 yang meminta Mahkamah Agung RI untuk menindaklanjuti laporan dari LBH Makassar sebagai kuasa hukum AMARAH atas indikasi kesalahan dalam penentuan objek eksekusi.

6. Fatwa Mahkamah Agung No. 262/PAN:/145/C/10/FK.PERD tertanggal 20 April 2010 yang meminta PN Makassar selaku eksekutor tanah warga Pandang Raya untuk memperjelas lokasi/objek eksekusi yang dianggap salah alamat oleh penasehat hukum tergugat. Namun rekomendasi tersebut belum dilaksanakan oleh PN Makassar hingga keluarnya surat eksekusi yang ke-4 pada tanggal 12 September 2014.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka warga Pandang Raya bersama kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam AMARA menyatakan sikap:

“Menolak Penggusuran Tanah warga Pandang Raya”.


Melawan penggusuran bukan hanya soal berebut tanah apalagi tawar menawar harga, tapi ini tentang bagaimana hak-hak warga miskin kota dipertahankan dan keadilan ditegakkan.

Tergusurnya tanah mereka akan menjadi bukti bagaimana aparatus negara dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan birokrasi pemerintahan yang lain ternyata tak berdaya menghadapi belenggu modal. Maka mari bersama bersolidaritas untuk melawan penggusuruan tanah warga Pandang Raya.
“tanah Tuhan untuk rakyat bukan untuk pemodal”.
 

Sunday, September 07, 2014

Respons Jokowi terhadap Sengketa Agraria Urutsewu

Respons Joko Widodo, presiden terpilih hasil Pemilu Presiden 8 Juli 2014, terhadap kemelut tanah pesisir Urutsewu; menumbuhkan benih harapan baru bagi terpenuhinya tuntutan petani pesisir ini. Respons baik ini ditunjukkan saat perwakilan petani aktif beraudiensi dengan Jokowi [5/9] di kantor Gubernur DKI Jakarta. Pada saat mana disampaikan pula penolakan warga Rembang yang tengah berjuang menolak pedirian pabrik semen yang bakal mengeksploitasi sumber daya pegunungan karst Kendeng Utara.
   
"Kalau memang rakyat yang bener ya kasihkan, tapi bisa jadi TNI juga punya dasar hukum yang kuat”, demikian Jokowi menanggapi.

Kemelut Agraria kawasan pesisir Urutsewu sendiri pada intinya dipicu oleh klaim pihak TNI-AD, terutama institusi DislitbangAD; atas tanah-tanah sepanjang 22,5 Km pesisir selatan Kebumen yang mencakup 3 kecamatan dan 15 desa. Pada awalnya, kemelut tanah ini memang tak muncul sebagai konflik terbuka antara petani kawasan pesisir dengan fihak TNI-AD. Tetapi bukan berarti tak ada masalah di dalamnya. Penolakan terhadap kebiasaan latihan TNI dan ujicoba senjata berat sesungguhnya telah dilakukan sejak tiga dasawarsa  lalu. Terlebih karena telah jatuh korban nyawa di Ambal dan tewasnya 5 anak di Setrojenar. Juga beberapa pemuda yang terluka dan cacat permanen seperti yang menimpa warga Entak.

Klaim sepihak TNI-AD sejauh 500 meter dari garis air dan membentang sepanjang pesisir selatan, pada awalnya juga tidak diakuinya. Pejabat militer selalu menyatakan bahwa TNI-AD tidak berkepentingan untuk menguasai tanah pesisir yang diketahui telah puluhan tahun dikelola petani dengan membudidayakan tanaman holtikultura, seperti semangka, melon, maupun tanaman sayuran lain. Bahkan di masa lalu kawasan pesisir selatan ini juga pernah menjadi basis industri garam rakyat. Konflik terbuka bersamaan dengan diketahuinya pihak TNI-AD, melalui Pangdam IV/Diponegoro, mengajukan permohonan ganti rugi "tanah TNI" yang terkena tras jalan JLSS. Padahal posisi tras JLSS ini sejauh 1.000 meter rata-rata dari garis pesisir.    
 
Paska 20 Oktober 2014

Jokowi, yang bakal dilantik jadi presiden pada 20 Oktober 2014, juga sudah mengetahui adanya konflik di pesisir Urutsewu ini. Dimana puncak konflik petani versus TNI-AD ini menyeruak jadi issue nasional pada peristiwa Tragedi Setrojenar, 16 April 2011 silam. Petani pesisir menilai secara faktual bahwa peristiwa ini bukan lah bentrokan, melainkan sebuah serbuan bersenjata satuan jaga tentara Brigif 403 ke kerumunan petani di blokade blok Pendil Setrojenar. Diketahui 13 korban penembakan dan korban aniaya bukan pelaku pengrusakan fasilitas militer. Hingga kini penanganan kasus ini dinilai tak berkeadilan hukum karena masih ada 12 sepeda motor milik warga yang dirusak permanen oleh tentara namun tak jelas juntrung urusannya.

"Kalau memang rakyat yang bener ya kasihkan, tapi bisa jadi TNI juga punya dasar hukum yang kuat". Pernyataan Jokowi terkait konflik tanah dalam audiensi dengan petani Urutsewu, sekilas melegakan. 
“Jakarta saja ada ribuan kasus semacam ini”, tambah Jokowi. Sembari menyampaikan bahwa perlu adanya pembenahan di BPN yang seharusnya bersikap tegas. 

Paska pelantikan Presiden 20 Oktober 2014, baru lah Jokowi bisa mengambil sikap. Pada prinsipnya, Jokowi telah menerima semua yang disampaikan oleh petani kepadanya. 

Sebelum menemui Jokowi, perwakilan petani Urutsewu mengadu ke Komnas HAM dan diterima ketuanya, Nurkholis. Tim yang terdiri dari Widodo Sunu Nugroho [Koordinator USB, Kades Wiromartan], Seniman [Ketua FPPKS], Nur Hidayat [eks Kades Setrojenar], Sapari [Kades Entak], Muklisin [Kades Kaibonpetangkuran], Bagus Wirawan [Kades Lembupurwo], Kyai Mas’udi Zein, Kyai Imam Zuhdi, Paryono, dan perwakilan petani lainnya.