This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, April 27, 2018

Polisi Tembak Mati Warga Penolak Ukur Lahan di Sumba NTT

Prima Gumilang, CNN Indonesia | Jumat, 27/04/2018 14:06 WIB



Warga pesisir Pantai Marosi, Sumba Barat, menolak pengukuran lahan. Polisi melepaskan tembakan ke arah warga. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Aparat kepolisian menembaki warga yang menolak pengukuran tanah di pesisir Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang tewas tertembak di bagian dada, sementara lainnya mengalami luka.

Peristiwa ini bermula dari aktivitas pengukuran lahan seluas 200 hektare yang tersebar di tujuh bidang di pesisir Pantai Marosi. Pengukuran oleh pihak Dinas Pertanahan Kabupaten Sumba Barat dan PT. Sutra Marosi itu didampingi sekitar 50 personel aparat kepolisian bersenjata lengkap dengan atribut dan mobil antihuru-hara.

Warga setempat menggelar aksi protes sejak tim pengukur hadir didampingi polisi. Mereka mempertanyakan legalitas izin. Polisi mengusir dan menembaki warga dengan gas air mata dan tembakan peringatan.


Aksi mulai mereda saat pejabat setempat berdialog dengan warga. Sebagian massa menuju ke Gedung DPRD untuk menyampaikan aspirasi, sementara lainnya tetap berada di lokasi pengukuran.

Proses pengukuran berlanjut hingga di bidang keempat. Brimob bersenjata laras panjang ikut mengawal. Saat itu, warga hanya menyaksikan aktivitas pengukuran.

Situasi mulai memanas kembali ketika pengukuran dilanjutkan di bidang kelima. Polisi marah karena sebagian warga mengambil foto melalui ponsel dan merekam video aktivitas pengukuran tersebut. 

Ponsel warga dirampas polisi, disertai aksi pemukulan. Melihat tindakan kekerasan aparat, sejumlah warga mendatangi lokasi. Saat itulah polisi langsung memberondong dengan tembakan.

Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan atas kejadian itu seorang warga bernama Poroduka, pria 40 tahun, tewas tertembak di dada. Warga lainnya bernama Matiduka juga tertembak di bagian kaki.

Selain itu, setidaknya 10 orang mengalami luka akibat tindak kekerasan aparat, termasuk di antaranya seorang anak usia sekolah menengah pertama. 


Usai penembakan itu, warga lari berhamburan karena ketakutan. Sementara proses evakuasi korban yang meninggal dilakukan oleh pihak kepolisian.
"Polisi, BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan perusahaan sedari awal memang sudah berupaya mengintimidasi warga dengan persiapan keamanan yang seolah-olah darurat. BPN juga harus bertanggungjawab atas peristiwa ini," kata Umbu kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/4).
Kepala Bidang Humas Polda NTT Kombes Jules Abraham Abast mengatakan proses pengukuran tanah itu dikawal 131 personel gabungan dari Polres Sumba Barat, Brimob Polda NTT, dan Raimas Polda NTT serta Kodim 1613 Sumba Barat.

Menurut Jules, warga sempat mengadang dan melempari batu ke arah aparat selama proses pengukuran tanah yang dipimpin Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Sumba Barat Jaungkap E Simatupang.

Polisi Tembak Mati Warga Penolak Eksekusi Tanah di Sumba NTT
Polisi sempat diadang saat warga menolak pengukuran tanah di Sumba Barat, NTT. (Dok. Istimewa)
Jules mengatakan polisi dan TNI mengamankan proses pengukuran tanah berdasarkan surat permohonan bantuan keamanan dari Janis dan Associates selaku kuasa hukum PT Sutera Marosi Kharisma. Surat itu bernomor 325/JA-EXT/IV/2018 pada 9 April 2018.
"Kegiatan pengamanan berlangsung sekitar pukul 10.00 Wita. Saat pengukuran tanah Sertifikasi HGB nomor 3 sampai dengan 7 atas nama Oki Rehardi Lukita U/An PT. Sutera Marosi Kharisma oleh pihak pertanahan Kabupaten Sumba Barat," kata Jules melalui keterangan tertulis.
Jules menyebut mayoritas warga membawa parang dan mengamuk sambil melempari batu ke arah aparat. Dia mengakui petugas melakukan tembakan peringatan merespons reaksi warga.
"Dalam kondisi terdesak, akhirnya petugas mengeluarkan tembakan gas air mata," ujar Jules.
Akibat insiden itu, pihak pemohon dan petugas pertanahan menghentikan proses pengukuran. Mereka memutuskan untuk kembali ke Kota Waikabubak.


Kronologi Konflik
Umbu menjelaskan konflik bersumber dari perizinan PT. Sutra Marosi yang melakukan aktivitas pariwisata di pesisir Pantai Marosi.

Berdasarkan informasi dari warga, luas HGB perusahaan yaitu 200 hektare tersebar di tujuh bidang. Tanah di bidang pertama dan kedua dianggap tanah terlantar. Sementara bidang ketiga hingga ketujuh terindikasi tanah terlantar.

Warga menolak keberadaan PT. Sutra Marosi yang dinilai tidak memiliki legalitas yang jelas. Mereka pun menolak aktivitas pengukuran lahan oleh pihak dinas pertanahan dan perusahaan.

Proses mediasi sempat dilakukan oleh Bupati Sumba Barat namun tak menghasilkan titik temu. Warga terus mempertanyakan legalitas kepemilikan lahan tersebut. Sejak 1995 tanah yang disengketakan itu dibiarkan terlantar hingga kemudian kasus tersebut mencuat pada 2017.

Umbu mengatakan warga yang menolak pengukuran tanah pada dasarnya hanya meminta BPN menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah tersebut. Jika tuntutan itu dipenuhi, maka warga setempat tak akan melawan.

"Masyarakat hanya meminta pihak BPN menunjukkan bukti sertifikat milik PT (Sutra Marosi). Tetapi tidak ditunjukkan dan malah pihak BPN atas permintaan dari pihak PT (Sutra Marosi) secara sepihak melakukan pengukuran di atas tanah tersebut," kata Umbu dalam keterangan tertulis.
Catatan Redaksi: Berita ini sebelumnya berjudul 'Polisi Tembak Mati Warga Penolak Eksekusi Tanah di Sumba NTT'. Polda NTT mengklarifikasi bahwa peristiwa tersebut berkaitan dengan pengukuran pengembalian batas tanah berdasarkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang dilakukan oleh tim dari Dinas Pertanahan Kabupaten Sumba Barat. Dengan klarifikasi ini, kekeliruan telah dikoreksi.

Sumber: CNN Indonesia 

_____

Hasil Penelusuran WALHI



Kronologi Tragedi Penembakan di Pesisir Marosi

24 April 2018- Pada tanggal 24 April, Bupati Sumba Barat bersama Dinas Pertanahan Sumba Barat, Kantor ATR/BPN dan Perwakilan PT. Sutera Marosi melakukan proses mediasi untuk menyelesaikan persoalan antara PT. Sutera Marosi dengan warga desa Patiala, Kecamatan Lamboya. Mediasi tersebut dilakukan di kantor kecamatan Lamboya. Mediasi tersebut dipenuhi protes warga karena mempertanyakan legalitas perusahan dan status tanah yang telah dinyatakan terlantar dan terindikasi terlantarkan. Warga juga meminta agar pemilik lama perusahan Sutera Marosi untuk dihadirkan tapi tidak bisa ditunjukan apa yang diminta masyarakat. Mediasi pun tidak menghasilkan titik temu, karena warga terus mempertanyakan legalitas dari kepemilikan lahan tersebut.
- Pada saat pertemuan tersebut, Bupati Sumba Barat bersama Dinas Pertanahan Sumba Barat, Kantor ATR/BPN dan Perwakilan PT. Sutera Marosi untuk mediasi mengatakan PT dan BPN mengatakan akan tetap melakukan pengukuran.dan akan dikawal oleh aparat keamanan. Warga meminta tidak dilakukan pengukuran sebelum segala hal yang dipertanyakan dan diminta oleh warga dipenuhi oleh pihak pihak terkait

25 April 2018- 25 April 2018, sekitar pukul 09.00 wita, Pihak PT. Sutera Marosi bersama pegawai BPN yang dikawal ratusan orang polisi bersenjata lengkap dilengkapi dengan pasukan bersenjata lengkap dengam menggunakan Rompi anti peluru, senjata laras panjang, kendaraan anti huru hara, kendaraan taktis penghalau massa, brimob kurang lebih 60-70 orang, belum termasuk anggota dari Polsek Lamboya dan bantuan TNI
- Dari awal kedatangan Tim Pengukur yang didampingi Polisi, warga melakukan aksi protes terhadap pihak BPN dan PT. Sutra Marosi dengan menanyakan legalitas izin. Serta meminta legalitas tertulis dan menghadirkan pemilik lama perusahan seperti yang dimintakan saat proses mediasi ( 24 April) Masyarakat kemudian diusir dan ditembaki dengan gas air mata dan tembakan peringatan. Pemda didalamya Camat, Dinas Pertanahan Sumba Barat, Camat Lamboya dan Kepala Desa Pati Jala Bawa mencoba komunikasi dan dialog dengan warga dan berhasil. setelah itu aksi protes mulai mereda dan masyarakat menarik diri mejauh dari lokasi pengukuran.
- Setelah itu sebagian warga menuju ke gedung DPRD untuk menyampaikan aspirsasinya, dan sebagian lagi tetap berada di sekitar lokasi pengukuran. Setelah istirahat makan sekitar jam 13.30 wita proses pengukuran dilanjutkan lagi oleh pihak BPN, dan PT dengan dikawal oleh Brimob bersenjata lengkap dan menggunakan senjata laras panjang dan rompi anti peluru, pengukuran terus berlanjut sampai sekitar jam 16.00 wita
- Sepanjang kegiatan pengukuran puluhan warga hanya melihat aktivitas pengukuran
- Setelah selesai melakukan pengukuran pada bidang 3 dan 4, pengukuran dilanjutkan ke bidang 5;
- Dalam melakukan aktivitas pengukuran di bidang 5, warga mengambil foto dan rekaman aktiivtas tersebut;
- Polisi marah karena warga mengambil foto dan merekam aktivitas tersebut, kemarahan ini dilakukan dengan merampas hp dan melakukan pemukulan; beberapa warga yang merasa teman/saudaranya mendapat kekerasan melakukan pelemparan batu ke arah petugas
- Melihat ada tindakan kekerasan dari Polisi di lokasi pengukuran, warga yang berada di atas bukit (dekat kampong) yang terdiri dari laki laki, perempuan dan anak anak turun ke lokasi bergerombol karena melihat ada kekerasan. Mereka turun dari bukit karena merasa yang mendapat kekerasan dari polisi adalah saudaranya. dan seketika Polisi langsung melakukan mengeluarkan gas air mata dan penembakan dengan senjata ke arah warga
- Tindakan penembakan terjadi sekitar pukul 15.00 siang, dan mengakibatkan seorang warga bernama Poroduka, laki-laki, 40 tahun, meninggal tertembak dada dan Matiduka, laki-laki, luka ditembak di kedua kaki;
- Selain itu, lebih dari 10 orang mengalami tindakan kekerasan dari aparat Polres Sumba barat, 1 diantaranya seorang anak SMP
- Proses evakuasi warga yang meninggal dan korban luka tembak di kaki dilakukan oleh Polisi, karena warga berhamburan lari karena panik akan tertembak dan karena adanya korban penembakan;

- Pihak BPN tetap melakukan pengukuran di lokasi selama 1 hingga 1 setengah jam hingga bidang 6 pasca
- penembakan walaupun sudah ada korban meninggal dan korban tertembak kaki serta korban lainnya.

Source: 
Walhi-NTT 

Monday, April 16, 2018

Pemerintah Masih Abaikan Petani Urutsewu


* 7 Tahun Tragedi Urutsewu di Setrojenar:


TRAGEDI: Peringatan 7 Tahun Tragedi Urutsewu (16/4/2011) diikuti oleh ratusan petani pesisir Kebumen selatan. Peringatan digelar (16/4) di lapangan Desa Setrojenar, Bulupesantren [Foto: Teguh P]

Tragedi Urutsewu yang terjadi di Blok Pendil Desa Setrojenar pada Sabtu, 16 April 2011, telah lewat 7 tahun silam; kembali diperingati oleh ratusan petani di kawasan pesisir Kebumen selatan. Peringatan ini dihelat warga pada Senin (16/4) di lapangan desa setempat, persis di seberang markas Dislitbang TNI-AD.

Rangkaian peringatan diawali sholat hajat dilanjutkan dengan istighotsah berjamaah. Nampak diantara jamaah yang hadir Kepala Kesbangpol Linmas Kebumen Nurtakwa Setyabudi, Camat Suis Idawati yang diiringi Kasie Trantib Kecamatan Buluspesantren. Peringatan 7 tahun “Tragedi Urutsewu” juga banyak diikuti petani dan warga tetangga lain desa yang berdatangan dari Kecamatan Ambal dan Mirit.

Ketua FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan) Seniman Marto Dikromo juga datang dan melantunkan puisi “Kidung Pesisiran” diiring pupuh tembang mocopat dan gambuh di sela musik tradisional yang dimainkan petani warga Desa Wiromartan Mirit; sebuah desa di ujung timur Urutsewu yang juga pernah mengalami kekerasan lainnya yang dilakukan tentara hingga melukai Kades Sunu dan beberapa warganya.

Lantunan “Kidung Pesisiran” seakan menggugah kembali ingatan petani dari suasana keseharian dan menghadapkan pada dua situasi yang menuntut perjuangan antara hidup sebagai pejuang ketahanan pangan dan pejuang hak pemilikan lahan.

Dari kiri ke kanan: Seniman 9Ketua FPPKS), Teguh Purnomo (Koordinator TAPUK), Suri Supangat (Kades Setrojenar) [Foto: teguh P]


Keadilan yang Terluka

Beberapa dari 14 korban kekerasan militer, 6 diantaranya ditembak dan kesemuanya harus rawat inap di RSU kala itu; juga saling bertemu dan tak bisa mengelak dari suasana yang mengharu. Mustofa, 71, petani yang saat tragedi berusia 64 tahun dan diserang 6 tentara hingga pingsan di lokasi; nampak merah kusut dan basah matanya di usia yang menua.

Paryono, ketua panitia yang memprakarsai peringatan ini mengingatkan betapa timpangnya keadilan diterapkan. Faktanya, 6 petani rekannya telah menjalani hukuman atas sangkaan perusakan fasilitas Dislitbang. Tetapi hingga hari ini, tentara yang melakukan kekerasan dan perusakan 12 sepeda motor warga tak tersentuh hukum. Bahkan ke 12 sepeda motor milik warga yang rusak permanen dan disita tanpa keterangan, tak jelas keberadaan dan penanganannya hingga hari ini.

Ketua Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK), Teguh Purnomo yang juga hadir menyebut kejadian ini sebagai merugikan petani.
“Kasus konflik agraria seperti ini tak hanya terjadi di Urutsewu saja”, terangnya sambil menjelaskan kasus serupa sebagaimana terjadi di Temon Kulonprogo atas petani yang menolak pembangunan bandara. Ia melihat di setiap relasi konflik seperti ini, termasuk di Kedungombo; masyarakat kecil seperti petani selalu rentan pada posisi korban atau bahkan dikriminalkan. 
“Perlu komitmen bersama semua pihak. Selama ini pemerintah masih abai terhadap penyelesaian konflik pertanahan”, terangnya.
Tak kurang, koordinator Urutsewu Bersatu (USB) Widodo Sunu Nugroho lebih menyoroti perkembangan konflik paska tragedi 16 April 2011, dimana pada kenyataannya TNI-AD malah memaksakan proyek pemagaran pesisir sepanjang 22,5 Km yang mencakup 15 desa di 3 kecamatan yang ada.  
“Sebenarnya ketika TNI-AD memaksakan pemagaran itu jelas melanggar hukum”, tegas Sunu yang kini menjabat Kades Wiromartan itu.
Masih dalam perkembangan konflik yang sama, Kades Sunu ini pernah mengiring warganya yang menolak pemagaran lahan pertanian milik petani yang diterjang pembangunan pagar. Tetapi bukannya mendapat penjelasan TNI-AD, Sunu dan beberapa warganya malah dipukul tentara hingga pingsan dan terluka.
“Padahal, jelas petani Urutsewu memiliki bukti pemilikan tanahnya”, pungkasnya.

Sunday, April 08, 2018

Pelajar Kebumen Berjaya di Malang Film Festival 2018

8 April 2018

Kameramen film “Melawan Arus”, Jauhari, mewakili tim produksi SMKN 1 Kebumen menerima penghargaan dari Juri Malang Film Festival 2018. (dok.sinemakedung/purwokertokita)
Purwokertokita.com – Film bertajuk “Melawan Arus”  garapan sutradara Eka Saputri dari SMK Negeri 1 Kebumen menyabet Film Fiksi Pendek Pelajar Terbaik diajang Malang Film Festival (Mafifest) 2018. Malam penganugerahan festival yang memasuki tahun ke-14 digelar di Hellypad Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (7/4).
Film berdurasi 10 menit ini berlatar cerita sengketa tanah antara petani Urut Sewu Kebumen dengan TNI. Siti, petani setempat percaya bahwa proses penangkapan suaminya, Yono, merupakan korban fitnah akibat konsekuensi rumit dari sengketa tanah antara petani dan TNI yang tak berkesudahan. Situasi tak menentu berujung pada keinginan pindah Yono yang ditolak Siti.
Menurut Eka Saputri, film yang disutradarainya terinspirasi kakak kelas yang tahun lalu menggarap dokumenter pendek petani Urut Sewu dan sempat menjuari di Mafifest 2017 di kategori Dokumenter Pendek Pelajar.
“Ada kesempatan mewujudkan ide yang sama namun dalam film fiksi pendek yang semoga bisa kembali mengingatkan bahwa perjuangan petani Urut Sewu masih berlanjut, terutama dikuatkan peran perempuan yang turut melawan,” jelasnya, kemarin.
Dia mengatakan, produksi film pendek “Melawan Arus” dan dua film pendek lainnya,  terwujud lewat kerja kolaboratif program Sinema Kedung Meng Desa-Desa (SKMDD) dari Sinema Kedung pada 11 Agustus-5 November 2017. Pada pelaksanaan tahun kedua itu menghadirkan lokakarya produksi difasilitasi CLC Purbalingga.
Program ini dibawah naungan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) yang didukung Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta Perpusda Kebumen, Roemah Martha Tilaar Gombong, dan Sangkanparan Cilacap.
Salah satu dewan juri, Lulu Ratna mengatakan, “Melawan Arus“ dipilih karena mampu mengoptimalkan bahasa visual meski masih menyisakan pesan verbal.
”Konten film yang diangkat cukup berani dan menguji kepekaan setidaknya bagi pembuat film seusia pelajar,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Komunitas Sinema Kedung Kebumen, Puput Juang mengatakan, film sebagai medium gambar dan suara bisa menjadi pilihan tepat menyuarakan keberpihakan terhadap posisi rakyat yang masih terpinggirkan. “Seperti terjadi pada nasib para petani Urut Sewu yang masih menggantung karena pemagaran lahan pertanian mereka,” tegasnya. (NS)

Sumber: PurwokertoKita 

Monday, April 02, 2018

Rahmat Ajiguna: Bagi-bagi Sertifikat Tanah Bukan Reforma Agraria


Pebriansyah Ariefana | Erick Tanjung
Senin, 02 April 2018 | 09:02 WIB

Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat Ajiguna. (suara.com/Erick Tanjung)
Reforma agraria ketika pemerintah mengambilalih tanah-tanah yang dimonopoli tuan-tuan tanah besar swasta maupun perusahaan negara, dan diredistribusikan kepada petani tak bertanah.
Tudingan Presiden Joko Widodo pembohong di program bagi-bagi sertifikat tanah belakangan heboh keluar dari mulut politikus senior Amien Rais. Bahkan disebutkan lebih dari setengah luas tanah di Indonesia dikuasai asing.

Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRARahmat Ajiguna sebagian setuju dengan tudingan Amien. Alasannya, program Reforma Agraria yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dinilai tidak berhasil mengurangi monopoli kepemilikan lahan garapan di berbagai daerah.

Sebaliknya, program reforma agraria yang mengandalkan kebijakan sertifikasi tanah rakyat tersebut justru meningkatkan monopoli tanah di tangan segelintir tuan tanah besar baik perusahaan swasta maupun negara.

AGRA adalah organisasi massa petani, masyarakat adat, dan kaum minoritas berskala nasional, yang mempromosikan reforma agraria sejati (genuine agrarian reform) guna membangun industri nasional kuat. AGRA menilai program sertifikasi tanah Jokowi-JK hanyalah land administration project (LAP), atau hanya mendata dan melegalisasi tanah-tanah yang sebelumnya sudah dimiliki perorangan.

AGRA sendiri mengartikan reforma agraria ketika pemerintah mengambilalih tanah-tanah yang dimonopoli tuan-tuan tanah besar swasta maupun perusahaan negara, dan diredistribusikan kepada petani tak bertanah.
Suara.com menemui Rahmat di Jakarta pekan lalu. Aktivis yang sudah malang melintang membela hak petani ini, biasanya berkeliling Indonesia memberikan pendampingan ke petani yang tidak bisa menanam karena tanahnya dirampas pihak tertentu.

Rahmat memberikan pemahaman lebih terkait pemenuhan hak atas tanah dan reforma agraria yang perlu dilakukan pemerintah sebenarnya. Rahmat juga mengkritisi kebijakan pangan pemerintah yang justru tidak melindungi petani.

Berikut wawancara lengkapnya:

Belakangan pernyataan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbohong terkait program sertifikasi tanah rakyat membuat polemik. Bagaimana pandangan anda?

‎Hampir 3 tahun ini Jokowi berkuasa, dia berbicara reforma agraria. Salah satu bentuk yang dia lakukan pembagian sertifikat tanah dan lahan. Dan betul bahwa itu bukan lah reforma agraria, pembagian sertifikat hanyalah kepastian hak atas tanah dalam bentuk surat sertifikat.

Sementara reforma agraria adalah redistribusi tanah kepada buruh tani dan petani miskin. Sehingga mengurangi penguasaan, monopoli atas tanah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, negara dan lain sebagainya.
Dalam konteks itu Amin Rais mengatakan Jokowi berbohong, saya sepakat. Bahwa itu memang terjadi pembohongan terhadap rakyat. Kalau dia mau bicara soal legalisasi aset, bicara lah legalisasi aset, sertifikasi dan sebagainya.

Jangan dibungkus dengan program agraria, karena tidak ada sedikit ‎pun program yang dijalankan Jokowi sampai hari ini mengurangi monopoli atas tanah.

Jadi bagi-bagi sertifikat tanah ke masyarakat bukan bagian dari reforma agraria?

Bukan.
Karena orang yang mendapat dan mengurus sertifikat adalah orang-orang yang punya tanah. Sementara kita tahu bahwa banyak petani di Indonesia sekarang tidak memiliki tanah.

Data BPS itu hampir 25 juta kepala keluarga petani menjadi petani buram. Setiap 5 tahun banyak kaum tani berimigrasi dari petani, ke mana? Kan nggak dijelaskan oleh BPS.

Harusnya program agraria memberikan tanah-tanah ke petani yang saat ini tidak punya tanah. Kalau pakai data formal yang dikeluarkan oleh pemerintah saja, artinya ada 25 juta kepala keluarga yang tak punya tanah.
Kalau masing-masing kaum tani rata-rata punya 4 anggota keluarga, artinya sudah 100 juta keluarga kaum tani yang tak diberi sertifikat, karena dia tak punya tanah.

Artinya petani harus diberi tanah, ‎dari mana tanah itu? Negara harus menguasai tanah. Misalnya dalam bentuk PTPN. Banyak PTPN-PTPN yang sampai kini tanahnya terlantar, tidak digarap karena berkonflik dengan masyarakat. Begitu juga perkebunan-perkebunan besar dan kehutanan.

Di Pulau Jawa tidak mungkin dijalankan reforma agrarian. Hutan di Jawa sudah tidak memadai karena kurang dari 30 persen. Tapi kita kan tidak melihat ke situ, yang harus dilihat sekarang berapa persen petani di Jawa yang punya tanah dan tidak punya tanah? Pasti jumlahnya lebih besar dibanding di luar Jawa.

Pemerintah tidak boleh mengelak dengan mengatakan Jawa tak mungkin dijalankan reforma agraria, menurut saya sangat mungkin. Karena tanah yang dikuasai PTPN banyak yang menganggur.

Bagaimana dengan desa-desa yang ada di kawasan hutan, apakah juga harus diberikan hak atas tanahnya?

Ada sekitar 6.000 desa berada di kawasan hutan, ‎kenapa itu tidak dikeluarkan dari kawasan hutan? Di situ ada kampung, program sosial dan sebagainya. Harusnya program reforma agraria menyasar itu, bukan sebaliknya. 

Bagaimana dengan pernyataan sebanyak 75 persen tanah di Indonesia bukan milik orang Indonesia?

Di Bali banyak bangunan-bangunan mewah yang bukan milik orang Bali, itu berbentuk hotel dan sebagainya. Kalau itu disertipikatkan dengan alasan menjamin kepastian hukum atas tanah, tetap saja rakyat mayoritas kaum tani itu tidak punya tanah.

Kedua tidak mengurangi monopoli tanah oleh segelintir orang. Ada dari beberapa NGO menyebutkan ada 25-29 perusahaan besar menguasai hampir setengah dari konsesi yang ada di Indonesia.‎

Jadi ketika Amin Rais berani mengatakan 75 persen tanah di indonesia‎ sudah bukan milik orang Indonesia, iya.

Kalau studi itu benar sudah bukan milik orang Indonesia. Seperti punya group Sinarmas, Wilmar dan lain-lain. Coba kalau kita track, dari mana modal mereka, pasti dari korporasi internasional.

Ini rakyat kaum bawah benar-benar tak punya tanah. Di Jakarta saja berapa sih warga yang punya tanah? Saya nggak punya data lengkapnya, tapi kalau kita lihat di beberapa tempat saja seperti Kuningan, Sudirman itu korporasi besar semua, nggak ada yang punya rakyat.

Di pinggiran pesisir sekarang, itu sudah dimiliki PIK, Agung Podomoro dan sebagainya. Terus rakyat diberbagai tempat itu digusur dan dipindahkan dengan dibangunkan rusun dan sebagainya. Artinya mereka menyadari dengan dibangun rusun itu mereka mengatakan bahwa tanah di Jakarta sudah tak punya rakyat lagi.

Anda menyebut petani tidak punya tanah. Lalu bagaimana dengan solusi ketercukupan pangan, terutama soal beras?

Sebenarnya sekarang terjadi krisis pangan di dunia. Krisis yang terjadi sebenarnya bukan karena tak ada pangan, tapi karena permainan kartel yang dikuasai oleh korporasi besar. Mereka butuh pasar, Indonesia adalah pasar terbesar.
Artinya bagi pasar, pangan potensi cukup besar.
Bagi Indonesia, berapa pun beras yang dihasilkan, pemerintahnya pasti akan impor. Data PBB, Indonesia penghasil beras nomor 4 di dunia, tapi nomor 2 pengimpor terbesar.

Bagaimana sistem ideal agar Indonesia tidak impor beras?

Pertama, yang diinginkan rakyat bukan soal kepastian hukum dalam bentuk sertipikat, tapi keamanan mereka berproduksi. Artinya dia ada tanah, dia dilegalkan tuk menggarap sebagai kaum tani. Soal kepemilikan itu soal lain.
Karena sekarang banyak konflik, rakyat berkonflik dengan area perkebunan, PTPN dan sebagainya. Mereka bercocok tanah di situ, tapi mereka kepastian dari pemerintah sikap pemerintah ini di mana.
Tapi dilihat dari kenyataannya, sikap pemerintah mendukung pengusaha‎. Mereka memberikan HGU, yang kemudian bisa diperpanjang bisa 3 kali sampai jadi 90 tahun. Itu sudah satu generasi orang.

Artinya rakyat di pedesaan mau menggarap kebun itu harus menunggu 90 tahun, satu generasi. Anak atau cucunya baru bisa mengambil. Karena pada kenyataannya, tanah rakyat yang diambil paksa sampai hari ini kan tidak dikembalikan. Sejak jaman Belanda, jaman jepang, tetap saja jadi milik perkebunan yang sudah dinasionalisasi, banyak yang lari ke tentara.

Artinya bagaimana reforma agraria, pemerintah harus bisa memastikan bahwa ini adalah programnya rakyat. Bagaimana keterlibatan rakyat dalam perumusan program itu.

Apa indikator pembagian sertipikat itu mensejahterakan rakyat?
Nggak ada. Menggadaikan ke bank iya. Karena jokowi bilang bisa digadaikan ke bank.

Sampai kini adakah kebijakan pemerintah yang telah berkontribusi terhadap pengentasan kerawanan pangan di Indonesia?

Perendaman bendungan Jatigede, itu hampir 400 ribu hektar sawah di sekitar Jatigede itu, 3 kali dalam setahun bisa panen. Sekarang hilang direndam.

Pemerintah bilang bendungan itu untuk mengalirkan sawah untuk 90 ribu hektar sawah di luar Jatigede, Indramayu dan sebagainya, nggak ada sama sekali. Berapa lapangan golf di Karawang, tadinya sawah. berapa pabrik di karawang yang tadinya merupakan lumbung padi.

Harusnya kalau ngomong kedaulatan pangan, diproteksi dong lahan pertanian padi. Jangan digusur. Nggak ada perlindungan petani sekarang.

Salah satu janji Jokowi yang didengar publik ‎adalah mencetak 2 juta lahan pertanian dan itu dinilai mensejahterakan petani. Bagaimana menurut Anda?

Betul dia bilang akan mensejahterakan rakyat, yaitu program padat karya. Tapi lahan 2 juta hektar yang akan mereka cetak itu bukan untuk kepentingan rakyat. Itu program pertanian terintegrasi, ada padi dan sawit, terintegrasi di situ.

Lalu apakah pemerintah mendukung produktivitas petani?

‎Tidak ada mereka mendukung petani, tapi mendukung pengusaha iya. Dengan keringan pajak, tax amnesty dan lain-lain.

Rahmat Ajiguna: Bagi-bagi Sertifikat Tanah Bukan Reforma Agraria


Pebriansyah Ariefana | Erick Tanjung
Senin, 02 April 2018 | 09:02 WIB

Reforma agraria ketika pemerintah mengambilalih tanah-tanah yang dimonopoli tuan-tuan tanah besar swasta maupun perusahaan negara, dan diredistribusikan kepada petani tak bertanah.

Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat Ajiguna. (suara.com/Erick Tanjung)

Tudingan Presiden Joko Widodo pembohong di program bagi-bagi sertifikat tanah belakangan heboh keluar dari mulut politikus senior Amien Rais. Bahkan disebutkan lebih dari setengah luas tanah di Indonesia dikuasai asing.

Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRARahmat Ajiguna sebagian setuju dengan tudingan Amien. Alasannya, program Reforma Agraria yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dinilai tidak berhasil mengurangi monopoli kepemilikan lahan garapan di berbagai daerah.

Sebaliknya, program reforma agraria yang mengandalkan kebijakan sertifikasi tanah rakyat tersebut justru meningkatkan monopoli tanah di tangan segelintir tuan tanah besar baik perusahaan swasta maupun negara.
AGRA adalah organisasi massa petani, masyarakat adat, dan kaum minoritas berskala nasional, yang mempromosikan reforma agraria sejati (genuine agrarian reform) guna membangun industri nasional kuat. AGRA menilai program sertifikasi tanah Jokowi-JK hanyalah land administration project (LAP), atau hanya mendata dan melegalisasi tanah-tanah yang sebelumnya sudah dimiliki perorangan.

AGRA sendiri mengartikan reforma agraria ketika pemerintah mengambilalih tanah-tanah yang dimonopoli tuan-tuan tanah besar swasta maupun perusahaan negara, dan diredistribusikan kepada petani tak bertanah.
Suara.com menemui Rahmat di Jakarta pekan lalu. Aktivis yang sudah malang melintang membela hak petani ini, biasanya berkeliling Indonesia memberikan pendampingan ke petani yang tidak bisa menanam karena tanahnya dirampas pihak tertentu.

Rahmat memberikan pemahaman lebih terkait pemenuhan hak atas tanah dan reforma agraria yang perlu dilakukan pemerintah sebenarnya. Rahmat juga mengkritisi kebijakan pangan pemerintah yang justru tidak melindungi petani.

Berikut wawancara lengkapnya:

Belakangan pernyataan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbohong terkait program sertifikasi tanah rakyat membuat polemik. Bagaimana pandangan anda?

‎Hampir 3 tahun ini Jokowi berkuasa, dia berbicara reforma agraria. Salah satu bentuk yang dia lakukan pembagian sertifikat tanah dan lahan. Dan betul bahwa itu bukan lah reforma agraria, pembagian sertifikat hanyalah kepastian hak atas tanah dalam bentuk surat sertifikat.

Sementara reforma agraria adalah redistribusi tanah kepada buruh tani dan petani miskin. Sehingga mengurangi penguasaan, monopoli atas tanah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, negara dan lain sebagainya.
Dalam konteks itu Amin Rais mengatakan Jokowi berbohong, saya sepakat. Bahwa itu memang terjadi pembohongan terhadap rakyat. Kalau dia mau bicara soal legalisasi aset, bicara lah legalisasi aset, sertifikasi dan sebagainya.

Jangan dibungkus dengan program agraria, karena tidak ada sedikit ‎pun program yang dijalankan Jokowi sampai hari ini mengurangi monopoli atas tanah.

Jadi bagi-bagi sertifikat tanah ke masyarakat bukan bagian dari reforma agraria?

Bukan.
Karena orang yang mendapat dan mengurus sertifikat adalah orang-orang yang punya tanah. Sementara kita tahu bahwa banyak petani di Indonesia sekarang tidak memiliki tanah.

Data BPS itu hampir 25 juta kepala keluarga petani menjadi petani buram. Setiap 5 tahun banyak kaum tani berimigrasi dari petani, ke mana? Kan nggak dijelaskan oleh BPS.

Harusnya program agraria memberikan tanah-tanah ke petani yang saat ini tidak punya tanah. Kalau pakai data formal yang dikeluarkan oleh pemerintah saja, artinya ada 25 juta kepala keluarga yang tak punya tanah.
Kalau masing-masing kaum tani rata-rata punya 4 anggota keluarga, artinya sudah 100 juta keluarga kaum tani yang tak diberi sertifikat, karena dia tak punya tanah.

Artinya petani harus diberi tanah, ‎dari mana tanah itu? Negara harus menguasai tanah. Misalnya dalam bentuk PTPN. Banyak PTPN-PTPN yang sampai kini tanahnya terlantar, tidak digarap karena berkonflik dengan masyarakat. Begitu juga perkebunan-perkebunan besar dan kehutanan.
Di Pulau Jawa tidak mungkin dijalankan reforma agrarian. Hutan di Jawa sudah tidak memadai karena kurang dari 30 persen. Tapi kita kan tidak melihat ke situ, yang harus dilihat sekarang berapa persen petani di Jawa yang punya tanah dan tidak punya tanah? Pasti jumlahnya lebih besar dibanding di luar Jawa.

‎Pemerintah tidak boleh mengelak dengan mengatakan Jawa tak mungkin dijalankan reforma agraria, menurut saya sangat mungkin. Karena tanah yang dikuasai PTPN banyak yang menganggur.

Bagaimana dengan desa-desa yang ada di kawasan hutan, apakah juga harus diberikan hak atas tanahnya?

Ada sekitar 6.000 desa berada di kawasan hutan, ‎kenapa itu tidak dikeluarkan dari kawasan hutan? Di situ ada kampung, program sosial dan sebagainya. Harusnya program reforma agraria menyasar itu, bukan sebaliknya. 

Reforma agraria ketika pemerintah mengambilalih tanah-tanah yang dimonopoli tuan-tuan tanah besar swasta maupun perusahaan negara, dan diredistribusikan kepada petani tak bertanah.

Bagaimana dengan pernyataan sebanyak 75 persen tanah di Indonesia bukan milik orang Indonesia?

Di Bali banyak bangunan-bangunan mewah yang bukan milik orang Bali, itu berbentuk hotel dan sebagainya. Kalau itu disertipikatkan dengan alasan menjamin kepastian hukum atas tanah, tetap saja rakyat mayoritas kaum tani itu tidak punya tanah.

Kedua tidak mengurangi monopoli tanah oleh segelintir orang. Ada dari beberapa NGO menyebutkan ada 25-29 perusahaan besar menguasai hampir setengah dari konsesi yang ada di Indonesia.‎
Jadi ketika Amin Rais berani mengatakan 75 persenn tanah di indonesia‎ sudah bukan milik orang Indonesia, iya.

Kalau studi itu benar sudah bukan milik orang Indonesia. Seperti punya group Sinarmas, Wilmar dan lain-lain. Coba kalau kita track, dari mana modal mereka, pasti dari korporasi internasional.

Ini rakyat kaum bawah benar-benar tak punya tanah. Di Jakarta saja berapa sih warga yang punya tanah? Saya nggak punya data lengkapnya, tapi kalau kita lihat di beberapa tempat saja seperti Kuningan, Sudirman itu korporasi besar semua, nggak ada yang punya rakyat.

Di pinggiran pesisir sekarang, itu sudah dimiliki PIK, Agung Podomoro dan sebagainya. Terus rakyat diberbagai tempat itu digusur dan dipindahkan dengan dibangunkan rusun dan sebagainya. Artinya mereka menyadari dengan dibangun rusun itu mereka mengatakan bahwa tanah di Jakarta sudah tak punya rakyat lagi.

Anda menyebut petani tidak punya tanah. Lalu bagaimana dengan solusi ketercukupan pangan, terutama soal beras?

Sebenarnya sekarang terjadi krisis pangan di dunia. Krisis yang terjadi sebenarnya bukan karena tak ada pangan, tapi karena permainan kartel yang dikuasai oleh korporasi besar. Mereka butuh pasar, Indonesia adalah pasar terbesar.

Artinya bagi pasar, pangan potensi cukup besar.
Bagi Indonesia, berapa pun beras yang dihasilkan, pemerintahnya pasti akan impor. Data PBB, Indonesia penghasil beras nomor 4 di dunia, tapi nomor 2 pengimpor terbesar.

Bagaimana sistem ideal agar Indonesia tidak impor beras?

Pertama, yang diinginkan rakyat bukan soal kepastian hukum dalam bentuk sertipikat, tapi keamanan mereka berproduksi. Artinya dia ada tanah, dia dilegalkan tuk menggarap sebagai kaum tani. Soal kepemilikan itu soal lain.
Karena sekarang banyak konflik, rakyat berkonflik dengan area perkebunan, PTPN dan sebagainya. Mereka bercocok tanah di situ, tapi mereka kepastian dari pemerintah sikap pemerintah ini di mana.

Tapi dilihat dari kenyataannya, sikap pemerintah mendukung pengusaha‎. Mereka memberikan HGU, yang kemudian bisa diperpanjang bisa 3 kali sampai jadi 90 tahun. Itu sudah satu generasi orang.

Artinya rakyat di pedesaan mau menggarap kebun itu harus menunggu 90 tahun, satu generasi. Anak atau cucunya baru bisa mengambil. Karena pada kenyataannya, tanah rakyat yang diambil paksa sampai hari ini kan tidak dikembalikan. Sejak jaman Belanda, jaman jepang, tetap saja jadi milik perkebunan yang sudah dinasionalisasi, banyak yang lari ke tentara.
Artinya bagaimana reforma agraria, pemerintah harus bisa memastikan bahwa ini adalah programnya rakyat. Bagaimana keterlibatan rakyat dalam perumusan program itu.

Apa indikator pembagian sertipikat itu mensejahterakan rakyat?

Nggak ada. Menggadaikan ke bank iya. Karena jokowi bilang bisa digadaikan ke bank.

Sampai kini adakah kebijakan pemerintah yang telah berkontribusi terhadap pengentasan kerawanan pangan di Indonesia?

Perendaman bendungan Jatigede, itu hampir 400 ribu hektar sawah di sekitar Jatigede itu, 3 kali dalam setahun bisa panen. Sekarang hilang direndam.

Pemerintah bilang bendungan itu untuk mengalirkan sawah untuk 90 ribu hektar sawah di luar Jatigede, Indramayu dan sebagainya, nggak ada sama sekali. Berapa lapangan golf di Karawang, tadinya sawah. berapa pabrik di karawang yang tadinya merupakan lumbung padi.

Harusnya kalau ngomong kedaulatan pangan, diproteksi dong lahan pertanian padi. Jangan digusur. Nggak ada perlindungan petani sekarang.

Salah satu janji Jokowi yang didengar publik ‎adalah mencetak 2 juta lahan pertanian dan itu dinilai mensejahterakan petani. Bagaimana menurut Anda?

Betul dia bilang akan mensejahterakan rakyat, yaitu program padat karya. Tapi lahan 2 juta hektar yang akan mereka cetak itu bukan untuk kepentingan rakyat. Itu program pertanian terintegrasi, ada padi dan sawit, terintegrasi di situ.

Lalu apakah pemerintah mendukung produktivitas petani?

‎Tidak ada mereka mendukung petani, tapi mendukung pengusaha iya. Dengan keringan pajak, tax amnesty dan lain-lain.