Sunday, February 28, 2010

Gebyag Cah Angon Urutsewu

Entitas Pemuda yang Sadar Budaya

Begitulah. Tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, banyak ditandai dengan serangkaian kegiatan budaya yang melibatkan massa rakyat secara luas. Dan di desa Entak, kecamatan Ambal, telah melibatkan hampir seluruh warga desa di pesisir selatan Kebumen ini. Untuk tahun ini, perhelatan Maulid-an Tradisi dilaksanakan pada sepanjang hari Jum'at, 26 Februari 2010, di pantai pedukuhan Pranji. Serangkaian kegiatan dimaksud, dikemas dalam acara “Gebyag Cah Angon Urut-Sewu”.



















Dalam tradisi masyarakat desa Entak, keberadaan “bocah angon” merupakan realitas sosial yang secara turun-temurun telah memberikan kontribusi penting dalam keberlanjutan hidup.










Jika di tempat lain, ada pasar sekaten dengan kirab pusaka sebagai rangkaian perayaan “maulid-an”, maka di desa Entak sejak ratusan tahun silam dilangsungkan tradisi entak-entik dan kirab cah angon sebagai identitas tradisi maulid-an di desa pesisir ini. Desa agraris yang pada dasarnya memang lebih tepat sebagai desa pertanian dan kawasan wisata spiritual ini, pada hari itu berubah jadi meriah oleh kirab lembu sepanjang 400-an meter. Lebih meriah ketimbang tahun-tahun lalu.

Ada yang unik dan menarik dalam mempersiapkan perhelatan ini, yakni hampir semua warga desa terlibat dan memberikan kontribusi dalam perhelatan ini. Termasuk menyumbang batang bambu yang dikumpulkan dan selanjutnya dijual oleh panitia pemuda sebagai penopang biaya perhelatan.

Filosofi Cah Angon










Dalam pandangan masyarakat di kawasan pesisir, keberadaan “bocah-angon” (penggembala) merupakan entitas dari realitas sosial yang sejak dulunya, tak pernah terpisah dari dinamika desa dalam kesehariannya. Ternak yang digembalakan, umumnya berupa lembu atau kambing, merupakan pusaka warga yang mayoritas sebagai petani desa. Dan di bagian selatan kawasan berpasir halus ini terdapat zona penyangga yang dalam idiom local disebut “Bra-Sengaja”, serta berfungsi sebagai tempat menggembalakan ternak-piaraan. Sehingga dalam realitas keseharian, keberadaan para penggembala ternak menjadi bagian penting yang mewarnai dinamika masyarakat pesisir, sejak ratusan tahun lampau.















Pekerjaan menggembalakan ternak, meski bisa dipandang ringan, tetapi sejatinya beresiko besar. Karena bukan saja soal keselamatan ternak yang merupakan tanggungjawabnya. Tetapi di segala musim dan cuaca, panas dan hujan deras, di bawah terik yang membakar dan di kala badai disertai halilintar; kegiatan "cah angon" dalam menggembalakan ternak tetap berlangsung, demi keberlangsungan hidup itu sendiri. Bocah angon, dalam pandangan masyarakat tradisi, dianggap manusia yang dekat dan dikasihi Tuhan Yang Maha Esa.












Menurut Paridja (65 th), sesepuh dusun Pranji, eksistensi "cah angon" adalah eksistensi manusia yang merdeka.
"Jatining cah-angon kuwe, menungsa ora baen-baen, golonganing wong kang kinacek lan dikasihi Gusti Allah", demikian orangtua ini berfilsafat.
Realitas demikian agaknya yang juga dipupuhkan dalam tembang “ilir-ilir” ciptaan Sunan Kalijaga, salah seorang wali dan pujangga penyebar ajaran islam, penerus Nabi di bumi Jawa ini. Memaknai ajaran (wewarah) para wali-aulia ini menjadi bagian penting yang diperingati tiap Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun, khususnya dalam “maulidan tradisi” di desa Entak ini.

Tradisi “Entak-Entik” atau “Sangon Pesisiran”













Dalam idiom lokal, Entak bermakna selamatan untuk kalangan tua dan Entik adalah selamatan bocah cilik. Sehingga nama Entak ini diabadikan sebagai nama desa pesisir ini. Sejauh ini belum ditemukan data historis yang membeberkan bagaimana awal-mula tempat ini menjadi desa. Namun sejak jaman dulu, masa ketika jumlah cah angon begitu banyaknya, interaksi di tempat penggembalaan yakni di zona “bra-sengaja” ini begitu semarak dan dinamis. 

Anak-anak desa, sejak usia belia, hingga menginjak umur 12-an tahun, terbiasa berfikir bagaimana membawa bekal makan jika seharian dituntut untuk bekerja menggembalakan ternak raja-kaya di kawasan yang terbuka. Itulah sebabnya, meski di rumah ada makanan, dan menjadi cukup istimewa saat tiba hari maulid Nabi; tetapi ketika ingat bahwa saat menggembala ternak sering kesulitan mengisi perutnya, maka "cah angon" belajar dari kasunyatan yang harus dihadapinya. Inilah kearifan lokal yang barangkali pantas disebut sebagai "saving culture" itu.













Dan pilihan bekal yang praktis dan sehat, dalam pengertian memiliki kandungan protein tinggi, menjadi pilihan yang ideal. Dan produk pangan lokal yang mudah diperoleh dari kebiasaan berternak itik warga desa, maka telur bebek menjadi pilihan yang mewakili kepraktisan dan daya tahan. Secara filosofis, telur itik yang -biasanya diasinkan- ini disebut sebagai "telur hijau". 

Ternyata warna "hijau" ini memiliki wewarah sinandi agar orang selalu ingat dengan "kehijauan" desanya. Sumber pangan lokal lainnya yang diingat orang dalam tradisi entak-entik ini adalah "gethuk-pecel". Kultur ketahanan pangan lokal ini terangkat dalam ritual tahunan.












Begitulah, setidaknya setiap setahun sekali, khususnya di hari Maulid Nabi, anak-anak gembala ini tak mau makan di rumah meski makanan itu telah dimasak. Makanan ini akan dibawa sebagai bekal yang akan disantap bersama di tempat menggembala. Maka berlangsunglah "entak-entik" di sana.

Perhelatan yang juga lazim disebut sebagai tradisi “rolasan” ini, juga menampilkan kirab ternak lembu, ritual syukuran dan ditutup dengan ritual “pembakaran gubuk alang-alang” yang diiringi tembang dan do’a memohon keselamatan, dilangsungkan di kawasan pantai dukuh Pranji.

Tembang "Tlutur" dan "Ilir-Ilir"











Di tempat itu juga diadakan lomba “panjat belimbing”, seakan akan memaknai apa yang dipupuhkan dalam tembang para Wali: 
“cah angon, cah angon , penek-na blimbing kuwi, lunyu-lunyu peneken, kanggo mbasuh dodotira...”
Seseorang warga dan pegiat budaya, Afifudin, mendendangkan tembang tradisional dengan pupuh “Dandanggula” yang mengharu-biru dan menggambarkan realitas anak-gembala itu. Dan tak jauh dari tempat dilangsungkan ritual ini, terdapat dua pohon “kranji” yang tumbuh berjajar. Pohon ini, menurut mBah Paridja, ditengarai sebagai identitas lokal yang memiliki kaitan historis dalam penamaan padukuhan “Pranji”.

Pada masa yang lalu, terdapat pohon langka yang disebut-sebut sebagai pohon “Bintaro”. Muasal pohon ini memiliki kaitan dengan sejarah penyebaran agama islam dan keberadaan wali-sanga yang ikut mendukung berdirinya kerajaan islam “Demak-Bintoro” yang pertama di bumi Jawa. Pohon ini, menurut penuturan para tetua, memiliki daun sehalus sutera.

Sayangnya, kini pohon itu telah tiada lagi. Dan jika makin sedikit orang peduli, maka akan ada dan lebih banyak kehilangan khasanah budaya lainnya dari desa. Karena itulah, kepeloporan pemuda desa yang mencerminkan watak “cah-angon” dalam perhelatan budaya sangat pantas mendapatkan apresiasi luas.


1 comment:

  1. peristiwa yang sangat hebat, konon seluruh desa di kawasan 'urutsewu' berpartisipasi dalam perhelatan ini.
    ini juga sebagai bukti bahwa kawasan urutsewu adalah kawasan budaya dan pertanian milik rakyat, bukan milik 'TNI'

    ReplyDelete