This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, September 25, 2017

Aliansi Anak Tani Memperingati Hari Tani Nasional 2017

Senin, 25 September 2017 | 08.46




Tak dapat kita lupakan sejarah yang telah menuliskan perjuangan-perjuangan rakyat indonesia untuk memenangkan tanah untuk rakyat. Tanah harus dibagikan kepada rakyat bukan hanya dimiliki oleh raja-raja, oleh segelintir orang. Dari kesadaran akan pentingnya tanah untuk rakyat lahirlah UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Untuk memperingati kemenangan atas lahirnya UU tersebut maka diperingatilah Hari Tani Nasional yang jatuh pada setiap tanggal 24 September.

Pagi hari (25/9/17) pukul 10.00 WIB kawan-kawan yang tergabung dalam Aliansi Anak Tani (AAT) berkumpul di samping Parkiran Abu Bakar Ali Yogyakarta untuk memperingati Hari Tani Nasional 2017. Mereka duduk dibawah pepohonan sambil berbincang dan beberapa dari mereka menikmati hisapan rokok, mereka pun juga mempersiapkan perlengkapan aksi yang sudah disiapkan saat teklap (teknis lapangan) di malam hari sebelum aksi. Poster-poster yang bertuliskan "Tolak SG/PAG, "Tolak Pasar Bebas", "Laksanakan Agraria Sejati" telah disiapkan. 

Setiap menit kawan-kawan berdatangan ikut berkumpul duduk di bawah pepohonan sambil menunggu kawan-kawan yang lain. Massa aksi pun berdatangan hingga jumlahnya ratusan yang datang dari berbagai organisasi dan tak lama kemudian, pukul 11.00 WIB Korlap (Koordinator Lapangan) memanggil kawan-kawan massa aksi untuk berbaris dengan rapi, menunjukan bahwa massa aksi adalah massa aksi yang terdidik.

"Kapitalisme! Hancurkan!", "Imperialisme! Musnahkan!", "Tanah untuk rakyat! Sekarang juga!", begitulah Korlap membuka aksi massa dengan menyampaikan yel-yel perlawanan.

Indonesia yang masyarakatnya selain terdiri dari para pekerja atau buruh juga banyak yang petani, namun tanah-tanah petani tergusur dan terampas oleh kepentingan modal. Rezim Jokowi JK yang berjanji bahkan telah memasukkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada program Nawacita hanya menjadi janji-janji tanpa implementasi.

"Seharusnya Jokowi Jk harus melaksanakan reforma agraria sebagaimana yang telah tercantum pada program Nawacita. Namun Jokowi JK tidak melaksanakannya, Jokowi JK telah berpihak pada para pemilik modal yang alhasil petani-petani pun tergusur, tersungkur!" teriak kawan dari organisasi FMN saat menyampaikan orasi politik.

Deven, kawan yang mewakili organisasi PEMBEBASAN dalam penyampaian orasi politik pun juga menyampaikan pentingnya reforma agraria, pun juga pentingnya menghapuskan pengklaiman tanah yang dilakukan Gubernur DIY selaku Sultan DIY dengan dalih adanya tanah Sultan Ground/Pakualaman Ground (SG/PAG). Tak lupa, Deven juga menyampaikan pentingnya persatuan organisasi-organisasi tanpa melibatkan organisasi yang telah bersetubuh pada militer, telah berselingkuh dari rakyat dan menjalin kemesraan dengan militer. Deven menyampaikan kritiknya terhadap organisasi yang mengaku berjuang untuk rakyat namun bersetubuh dan menjalin kemesraan dengan musuh rakyat yakni dengan mengundang militerisme dalam agenda diskusi-diskusinya.

Adalah penting menjelaskan seterang-terangnya siapa musuh rakyat. Selain dari kapitalisme dan imperialisme, musuh rakyat yang lainnya adalah militerisme. Fitri yang menyampaikan orasi politik mewakili SIEMPRE (Serikat Pembebasan Perempuan) juga menjelaskan, "kita tentu tidak dapat berjuang apabila masih bermesraan dengan militer yang telah membunuh berjuta-juta rakyat pada tahun 65/66, yang membunuh kawan-kawan saat aksi Kuda Tuli, yang menembaki kawan-kawan saat berlawan menumbangkan Rezim Soeharto, yakni Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, belum lagi militer yang telah membunuh jutaan rakyat West Papua hingga populasi Orang Asli Papua tersisa tidak sampai 50%".

Watak yang militeristik memang digunakan oleh kapitalisme untuk melindunginya agar eksploitasi, ekspansi dan akumulasi profitnya berjalan mulus tanpa suatu halangan sekecilpun. Militerpun terlibat dalam urusan sipil rakyat dengan menggusur tanah-tanah petani, melarang dan mengintimidasi petani yang berlawan. Dalam aksi hari tani tersebut tentu salah satu pernyataan sikapnya adalah tolak militer terlibat dalam urusan sipil rakyat.

Aksi tersebut berlangsung hingga pukul 14.00 WIB. Pernyataan sikap rakyat dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Anak Tani (AAT) diantaranya adalah :

1.  Jalankan reforma agraria sejati

2. Berikan tanah kepada petani

3. Stop kriminalisasi terhadap petani

4. Tolak privatisasi lahan

5. Hentikan monopoli & perampasan tanah melalui berbagai skema pembangunan infrastruktur, perkebunan besar, taman nasional, pertambangan, dll yg merugikan petani

6. Hentikan tindak kekerasan, intimidasi, teror, dan kriminalisasi dari militer terhadap petani & rakyat

7. Tolak kebijakan anti demokrasi

8. Tolak pasar bebas

9. Berikan kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat bagi rakyat

10.  Tuntaskan pelanggaran HAM

11. Cabut PP 78

12. Cabut UUPT no 12 tahun 2012

Sumber: PembebasanJogja 

Thursday, September 14, 2017

Patok, Tombak dan Meledaknya Perang Jawa

Reporter: Ivan Aulia Ahsan | 14 September, 2017

Ilustrasi perang Jawa. FOTO/Wikimedia Commons
Sebab khusus meletusnya Perang Jawa adalah pembangunan jalan raya oleh Belanda.

Pangeran Dipanegara kaget bukan kepalang mendengar kabar kebun-kebun miliknya bakal digusur. Patok-patok telah menancap di sepanjang kebun yang telah ia rawat selama bertahun-tahun sejak muda. Nyai Ageng, mbah buyutnya, mewariskan kebun-kebun yang luas untuk Sang Pangeran. 

Sejak bayi Dipanegara memang sudah nunut dengan mbah buyutnya itu. Permaisuri Pangeran Mangkubumi, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I, ini adalah perempuan kuat dengan hati yang lembut. Ia mendidik buyut kesayangannya dengan etos dan disiplin seorang santri. Ketika Dipanegara masih balita, ia meminta sendiri agar si bocah dipelihara olehnya di Tegalrejo.

Dipanegara kaget soal penggusuran itu karena tidak menerima pemberitahuan lebih dulu. Tidak Residen, tidak juga Patih, atau utusan siapapun, yang mengabari tanah-tanah miliknya bakal dilewati jalan raya. Tanah-tanah tersebut begitu berharga bukan hanya karena menjadi sumber pemasukan, tapi juga, di beberapa bagian, menjadi tempat pemakaman leluhurnya. 

Sebulan sebelum pematokan tanah, Residen Yogyakarta Anthonie Henrik Smissaert memberi perintah agar jalan lingkar di luar kota Yogyakarta, yang melintasi daerah Tegalrejo, diperbaiki dan diperlebar. Tujuannya: meningkatkan laju perdagangan sehingga pendapatan negara meningkat. Meski Smissaert tidak punya pengalaman bertugas di keraton-keraton Jawa Tengah, ia dianggap sosok yang tepat: dikenal sebagai pejabat yang ahli dalam urusan olah-olah duit. 

Ada dua alasan penting mengapa Gubernur Jenderal Van der Capellen menunjuk Smissaert. Pertama, agar dia punya pendapatan tambahan dari jabatan barunya sehingga dia bisa menghidupi anggota keluarga yang berjumlah puluhan orang. Kedua, Smissaert diharapkan bisa mengelola urusan persewaan tanah di Yogyakarta yang sering tersendat di tangan residen sebelumnya. Dan orang tamak macam Smissaert tentu saja lebih fokus pada yang pertama ketimbang kedua.

Di balik kejeliannya soal duit, penampilan Smissaert sangat komikal. Willem van Hogendorp, pejabat tinggi Belanda, menggambarkan Smissaert sebagai seorang “bertubuh kecil, gemuk, dan pemalu”. Pelukis Belgia A.A.J. Payen punya perbandingan menarik: Smissaert digambarkan bak Sancho Panza, punakawan yang satir dan konyol dalam novel karya Miguel Cervantes Don Quixote de la Mancha (1615).

Kedatangan Tuan Residen yang gempal dan pemalu inilah yang membuat hubungan Dipanegara dengan keraton Yogyakarta dan pemerintah kolonial makin runyam. Lima tahun menjelang Perang Jawa, terjadi berbagai konflik internal dalam tubuh keraton, terutama sejak diangkatnya Danureja IV menjadi Patih. Smissaert membuat keadaan itu kian rumit.

Dipanegara tidak diberitahu Danureja bahwa tanahnya akan dilewati jalan raya. Tindakan ini adalah kesengajaan. Semua orang di Yogyakarta tahu, Danureja memendam kedongkolan tersendiri terhadap sang pangeran. Danureja menganggap Dipanegara selalu menghalangi langkah-langkahnya yang korup dan memperkaya diri.

Bagi Dipanegara, Danureja terlalu pro-Belanda dan hanya memikirkan kesenangan diri sendiri: mabuk-mabukan, main perempuan, bergaya ke-Belanda-Belanda-an. Danureja dipandang sebagai simbol paling nyata dekadensi moral yang terjadi di keraton Yogyakarta selama bertahun-tahun.

Orang alim seperti Dipanegara tentu saja gelisah melihat kebobrokan macam itu. Baginya keraton sudah tidak layak lagi memegang otoritas moral untuk membimbing rakyat Jawa. Situasi itu pula yang membuatnya berpikir untuk menuntut kekuasaan Jawa dibagi dua: penguasa politik dan penguasa spiritual. 

Dalam konsepsi kekuasaan Jawa, penguasa politik dan penguasa spritual digabung jadi satu. Tercermin dalam gelar raja-raja Jawa “senopati ing alaga khalifatullah sayidin panatagama”. Secara ringkas artinya “panglima perang sekaligus pemimpin agama”. Dipanegara ingin meraih kepemimpinan yang kedua. 

Pada 17 Juni 1825, tukang-tukang mulai berdatangan ke perkebunan Dipanegara untuk memasang patok-patok di tanah yang akan digunakan sebagai ruas jalan. Mereka datang atas perintah Danureja. 

Dipanegara dan para pengikutnya jadi repot dengan adanya patok-patok itu. Para pengikutnya, yang sebagian besar merupakan petani penggarap kebun yang merasa nyaman bekerja di atas lahan Dipanegara karena bebas dari pungutan, tidak bisa pergi ke sawah dengan leluasa.

Beberapa hari kemudian terjadi cekcok keras antara para petani dengan tukang-tukang pemasang patok. Penduduk dari desa-desa sekitar Tegalrejo juga berduyun-duyun membantu para petani.

Suasana makin memanas sebab pengikut Dipanegara yang berdatangan kian bertambah. Niat mereka yang paling utama adalah membela sang pangeran dari tindakan sewenang-wenang Belanda dan Danureja. Pada awal Juli 1825, konsentrasi massa semakin bertumpuk di Tegalrejo dan menyebabkan pemerintah kolonial mulai mengkhawatirkan kericuhan yang lebih besar.

Sang Pangeran, sementara itu, semakin sering menyepi dan bertapa untuk memohon petunjuk Yang Maha Kuasa. Agaknya dia masih bimbang dengan opsi perang dan mencari jalan spiritual, barangkali pertolongan Tuhan segera datang. Tapi keributan antara para pengikutnya dengan tukang-tukang patok makin membulatkan tekadnya bahwa perang memang tak bisa dihindari. Rencana pemberontakan yang sudah ia susun sebelumnya dan akan dikobarkan pada Agustus sepertinya harus dipercepat.

Pada pertengahan Juli, menyaksikan keadaan yang makin ruwet dan kejengkelannya terhadap Belanda sudah berada di puncak, Sang Pangeran akhirnya memilih jalan yang subtil tapi tegas: memerintahkan patok-patok jalan diganti dengan tombak. Dan dalam dunia ksatria Jawa, dipasangnya tombak adalah pesan yang jelas: sebuah tantangan perang. 
Patok, Tombak dan Meledaknya Perang Jawa
Sejarawan Inggris Peter Carey, yang menghabiskan empat puluh tahun karier kesejarawanannya untuk meneliti Dipanegara, menyimpulkan begini dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (hlm. 704): Pangeran tersebut menganggap pembangunan jalan raya yang tanpa pemberitahuan itu sebagai casus belli (penyebab perang).

Di hari patok-patok itu diganti tombak, ia memerintahkan anak-anak, para istri dan kerabat yang lain mengungsi dari Tegalrejo ke Selarong. Mereka dibekali sejumlah besar uang dan barang-barang berharga. Uang ini kelak dipakai untuk membiayai Perang Jawa.

Danureja dan Smissaert tentu saja mengetahui keadaan genting itu dan mereka berdua tampaknya juga merasa jika pemberontakan sudah di ambang pintu. Pada 18 Juli 1825, Smissaert mengeluarkan ultimatum agar Sang Pangeran mesti datang ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan kelakuannya. 

Justru ultimatum Smissaert ini semakin mempersempit ruang Dipanegara untuk memilih opsi di luar perlawanan bersenjata. Sang Pangeran, menurut Peter Carey, “kini menjadi tawanan pendukungnya sendiri, yang telah bersumpah untuk bertempur dan tidak membiarkan dia pergi ke Yogya untuk berunding dengan Smissaert” (hlm. 705).

Lantaran Dipanegara tetap keras kepala, Smissaert mengirimkan pasukan besar ke Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Mereka dilengkapi atribut dan alat kemiliteran penuh. Harapannya: Dipanegara segera ditangkap dan diseret ke Yogyakarta.

Setibanya di Tegalrejo, pasukan itu dihadang pengikut Dipanegara yang sudah bersiap. Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Pasukan akhirnya berhasil mengepung kediaman Sang Pangeran dan membakarnya.

Sementara Dipanegara dan para pengikutnya berhasil lolos lewat gerbang barat Tegalrejo. Mereka mengambil rute jalan setapak melalui daerah persawahan sehingga pasukan penyerbu sulit mengejar. Beberapa jam kemudian bahkan mereka masih sempat salat maghrib berjamaah di jalan raya dekat Sentolo. 

Esok harinya, Kamis 21 Juli 1825, mereka sudah sampai di Selarong, berkumpul dengan sejumlah pasukan dan para kerabat yang sudah lebih dulu tiba. “Dan di sana,” tutur Peter Carey, “dekat gua tempat Pangeran sering bersemadi dan tinggal berhari-hari dalam kesenyapan, mereka menancapkan panji pemberontakan." 

Dari sinilah dentum Perang Jawa pun meledak. 
Sumber: Tirto.Id 

Wednesday, September 13, 2017

Dua Jalan Daendels yang Membelah Pulau Jawa

Reporter: Iswara N Raditya | 13 September, 2017


Daendels yang dijadikan nama jalan di pesisir selatan Jawa bukan Herman Willem Daendels yang menggagas jalur panjang di Pantura.

Kebanyakan orang mengira bahwa jalur lurus di sepanjang pesisir selatan Jawa dari Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan) hingga Cilacap (Jawa Tengah bagian barat daya) adalah jalan yang juga digagas oleh Herman Willem Daendels, pemrakarsa pembangunan jalan di pesisir utara dari Anyer sampai Panarukan. Ternyata bukan. Ada dua Daendels berbeda.

Daendels yang mempelopori pembukaan jalur sepanjang 1.000 kilometer di pesisir utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan adalah Gubernur Hindia Belanda era 1808-1811. Jalur yang disebut Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) itu dibangun Daendels pada awal masa kepemimpinannya di Hindia Belanda (Ewout Frankema, eds., Colonial Exploitation and Economic Development, 2013:43).

Sementara yang dijadikan sebagai nama jalan di pesisir selatan Jawa yang menghubungkan Bantul (Yogyakarta), Purworejo, Kebumen, hingga Cilacap, berbeda dengan Daendels yang gubernur jenderal itu, alias bukan orang yang sama. Kedua Daendels ini hidup dalam masa yang berbeda pula.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memberikan nama untuk masing-masing jalur pesisir yang mengapit Jawa tersebut. Untuk jalur Pantai Utara, namanya adalah Postwegen atau Jalan Raya Pos, sedangkan jalur Pantai Selatan—yang kini memiliki panjang sekitar 130 kilometer—dinamakan Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama.

Dua Daendels yang Berbeda

H.W. Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. Atas rekomendasi Napoleon Bonaparte, ia ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa guna menghadapi Inggris yang berpusat di India (M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia,2011:69). Kala itu, Belanda berada di bawah pengaruh Perancis.

Memerintah hingga 1811, Daendels membuat sejumlah kebijakan krusial. Salah satunya pembangunan Jalan Raya Pos, menghubungkan bagian barat sampai timur Pulau Jawa dengan menyusuri pesisir utara, meski masih diperdebatkan apakah jalur tersebut benar-benar dibangun dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo) pada era Daendels.

Pekerjaan berat ini menelan belasan ribu korban jiwa dari orang-orang bumiputra yang dijadikan sebagai pekerja paksa tanpa dibayar (Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, 2014:113). Jalur panjang ini kemudian dikenal dengan nama Jalur Pantura (Pantai Utara) yang kini menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Indonesia.

Sementara Daendels yang dijadikan sebagai nama jalan di pesisir Pantai Selatan Jawa ternyata bukan orang yang sama dengan Daendels si pencetus Jalur Pantura.

Jika H.W. Daendels berkedudukan setara dengan presiden selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda, maka Daendels yang kedua ini punya jabatan pemerintahan yang lebih rendah.

Ia adalah A.D. Daendels. Diketahui, Daendels yang satu ini menjabat sebagai asisten residen di wilayah Ambal (kini nama kecamatan di Kabupaten Kebumen) pada 1838, atau tiga dekade setelah H.W. Daendels mulai menempati posisi tertinggi sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Overzigt der Reis in Nederlandsch Indie, 1838:63).

Dengan demikian, A.D. Daendels merupakan pembantu residen. Residen adalah jabatan untuk menyebut pemimpin karesidenan, wilayah administratif pada masa kolonial yang menaungi beberapa kabupaten dan bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Setelah 1950, wilayah administratif karesidenan ditiadakan, dari provinsi langsung ke kabupaten/kotamadya.

Semasa A.D. Daendels menjabat sebagai asisten residen, Ambal masuk dalam wilayah administratif Karesidenan Bagelen yang membawahi sejumlah daerah di Purworejo dan Kebumen (Jawa Tengah). Karesidenan ini dihapus pemerintah kolonial sejak 1 Agustus 1901 dan digabungkan dengan Karesidenan Kedu (Susanto Zuhdi, Perkembangan Pelabuhan dan Kota Cilacap, Jawa Tengah, 1830-1940, 1991:6).

Jalur Lama Kerajaan Jawa

A.D. Daendels adalah pembantu (asisten) Residen Bagelen yang ditugaskan membawahi wilayah Ambal. Maka, Jacobus Anne van der Chijs (1903:357) dalam Geschiedenis van de Gouvernements Thee-cultuur op Java menyebut A.D. Daendels sebagai Adsistent-resident van Ambal.

Selain Ambal, Karesidenan Bagelen menaungi tiga wilayah lain, yang dipimpin oleh asisten residen, yakni Kebumen, Ledok, dan Kutoarjo. Lantas, apakah peran A.D. Daendels dalam pembangunan jalan di pesisir selatan Jawa sama dengan H.W. Daendels sebagai pemrakarsa Jalur Pantura?

Kemungkinan besar tidak. Nama jalan pantai selatan Jawa kerap disebut dengan nama Jalan Daendels hanya karena jalur tersebut melewati wilayah Ambal yang kala itu dipimpin oleh A.D. Daendels. Dengan kata lain, jalan pesisir selatan tersebut sudah ada sejak sebelum orang Belanda itu tiba di wilayah ini.

Sebelumnya, jalan ini sempat menyandang nama Jalur Diponegoro. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya pernah bergerilya di ruas jalan ini, tepatnya di wilayah Karesidenan Bagelen, dalam Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung sejak 1825 hingga 1830 (Saleh Asʾad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro, 2004: 173).

Bagelen, yang kini termasuk Kabupaten Purworejo, saat itu menjadi areal penting dalam Perang Diponegoro (Nanik Sri Prihartini, Dolalak Purworejo, 2007:13). Wilayah ini sangat strategis sebagai jalur perdagangan serta arus lalu lintas. Terlebih lagi, Bagelen dialiri empar sungai besar: Sungai Bedono, Sungai Jali, Sungai Lebang, dan Sungai Bogowonto. Peran Bagelen ibarat pintu gerbang barat sebelum memasuki wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Jalan pesisir Pantai Selatan sudah ada sejak abad ke-14, yang dijadikan sebagai penghubung kerajaan-kerajaan di Jawa. Sejarawan asal Kebumen, Ravie Ananda, seperti dikutip dari Republika (24 Januari 2014), menyebut jalan tersebut merupakan “jalur upeti kerajaan di Jawa, yang menghubungkan Kediri, Majapahit, Pajang, Mataram, Cirebon, hingga ke Demak di utara.”

Dari Bagelen ke arah barat hingga Cilacap, tepatnya antara Sungai Bogowonto dan Sungai Donan, pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam pada era Sultan Agung (1613-1645). Area ini disebut dengan nama Sewu, satu dari delapan bagian wilayah “Negaraagung” milik Mataram Islam (S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, 2010). “Negaragung” adalah daerah-daerah di luar pusat pemerintahan yang harus membayar pajak kepada keraton.

Dua Jalan Daendels yang Membelah Pulau Jawa

Antara Daendels dan Diponegoro

Keputusan Pangeran Diponegoro memilih jalur pantai selatan sebagai salah satu rute perjuangannya dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda bukan hal yang mengherankan. Sebagai anggota keluarga Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro setidaknya memahami medan jalur yang pernah dirintis oleh leluhurnya itu.

Setelah Perang Jawa usai, yang berakhir dengan kemenangan Belanda yang bersiasat menangkap Pangeran Diponegoro, jalur lama Mataram Islam itu mulai dikenal sebagai Jalur Daendels seiring kehadiran A.D. Daendels.

Jalur ini memang kemudian lebih lekat dengan nama Daendels ketimbang Diponegoro meski orang masih sering salah kaprah mengenai sosok Daendels yang dimaksud. Nama Daendels barangkali dipilih untuk membedakan dengan penggunaan nama Diponegoro yang sudah jamak dipakai sebagai nama jalan, termasuk di Purworejo sendiri, yang sisi selatannya juga bagian dari Jalur Daendels.

Di Purworejo, penggunaan Diponegoro untuk menamai jalan bahkan lebih dari satu. Salah satunya adalah Jalan Diponegoro yang menjadi ruas jalan dalam rangkaian Jalur Daendels itu sendiri, tepatnya terletak di daerah Ngombol. Ada juga Jalan Diponegoro di pusat kota Kutoarjo, salah satu kecamatan penting di Kabupaten Purworejo.

Jalan Daendels selatan sendiri sempat menyandang citra suram, tidak sering dilewati kendaraan, berbeda dengan Jalan Daendels utara yang bahkan menjadi jalur transportasi utama antar-kota di Jawa. Kondisi jalan yang buruk dan kurangnya penerangan dan marka jalan memicu sering terjadi aksi begal, yang membuat jalur pesisir selatan ini seolah terabaikan.

Namun, kesan buram itu kini perlahan sirna. Jalur yang semula dari wilayah Brosot (Kulon Progo) hingga Cilacap itu kini dimulai lebih ke timur, dari pesisir Pantai Samas di Bantul. Alas jalannya pun sudah diaspal mulus dan menjadi jalur alternatif menuju Jakarta atau sebaliknya, dari barat ke Yogyakarta, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Jawa Tengah atau timur melalui jalur tengah.

Terlepas dari sisi baik-buruknya, rencana pembangunan bandar udara baru di kawasan Glagah, Kulon Progo, sebagai pengganti Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta boleh jadi akan semakin mengaburkan kesuraman yang sebelumnya melekat pada jalur Daendels selatan. Jalur ini mulai berbenah untuk setidaknya mengimbangi fungsi Jalan Daendels di Pantura dalam hal akses transportasi.
Sumber: Tirto.Id