This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, June 21, 2011

Memoar 2 Bulan Serangan Brutal Tentara


Tindak kekerasan militer terhadap petani pada Sabtu, 16 April 2011 [Foto: Dokument FPPKS, Litbang&Media-Center]

Agar tidak bias, maka terlebih dulu perlu ditegaskan bahwa insiden di Setrojenar pada Sabtu (16/4) siang itu bukanlah bentrokan. Melainkan serangan brutal bersenjata yang dilakukan sekelompok tentara terhadap warga sipil. Logika bentrokan itu jika dua fihak saling serang pada saat yang sama. Fakta serangan tentara ini tak terlepas dari serangkaian penolakan masyarakat terhadap latihan TNI dan ujicoba senjata alutista yang dilakukan sejak waktu-waktu sebelumnya. 

Dan catatan ini dibuat untuk menandai 2 bulan insiden itu berlalu, tetapi tidak ada langkah signifikan yang mengindikasikan bahwa keadilan hukum diberlakukan terhadap semuanya dengan tanpa pandang bulu.

Jika dicermati essensi penolakan masyarakat petani terhadap latihan TNI dan ujicoba senjata berat di kawasan pesisir Urutsewu, bukan melulu menyangkut pemakaian tanah-tanah pertanian untuk kegiatan dan infrastuktur militer. Atau yang secara ideal pernah disebut pemanfaatan sebagai kawasan hankam. 

Sedang kegiatan latihan dan ujicoba senjata berat, sejak semula memang tak mencuat sebagai perselisihan; meski bukan berarti tanpa masalah. Tetapi banyak masalah. Persoalannya, bentuk penolakan ini, disamping tidak dilakukan secara massif, juga karena warga ketakutan. Dan protes yang muncul tak pernah dianggap sebagai penolakan.

Padahal penolakan telah muncul sejak lama. Komandan yang bertugas rupanya sekarang tak diberitahu soal itu. Resistensi petani muncul sejak awal latihan resmi dibawah Dislitbang-AD. Yakni sejak tahun 1980-an, di Ambal karena memang ijin awalnya cuma di Ambal. 

Tetapi paska memakan korban seorang anak tewas, yakni Surip bin Kasiman, warga desa Ambalresmi; para ulama dan petani setempat mempersoalkan dan menolak latihan tentara. Pada masa berikutnya, atas usul Kades Setrojenar di masa lalu, latihan dipindah di Setrojenar. Usulan Kades (Moh. Gojali_Red) ini tak menyertakan musyawarah dengan para petani pemilik tanah. 

Lalu pada tahun 1997, tepatnya 22 Maret 1997, insiden anak tewas terulang lagi. Bahkan di Setrojenar itu jumlah yang tewas mencapai 5 anak yang berasal dari 3 KK petani.

Sejak itu, sesungguhnya, telah muncul penolakan. Terlebih karena orangtua korban tewas tak mendapat santunan apa pun dari fihak Dislitbang-AD. Di desa Entak, desa lain di Kecamatan Ambal, juga muncul korban anak petani hingga menimbulkan cacat pemanen. Juga pekerja muda yang tengah bekerja menyiram semangka di lahan pertanian. 

Penolakan Terbuka

Penolakan latihan TNI dan ujicoba alutsista menguat jadi momentum penolakan tercatat sejak awal 2009 lalu. Dipicu oleh keinginan pemuda dan warga desa membangun gapura wisata di sekitar pantai desa Setrojenar. 

Ketika menginjak pertengahan bulan Februari 2009 dan pelaksanaan pembangunan gapura ini mulai menunjukkan bentuk visualnya, tiba-tiba dilarang oknum tentara. Dengan alasan belum atau tanpa ijin ke fihak TNI. Dikatakan oleh oknum (tentara) itu bahwa daerah tersebut adalah kawasan TNI. 
Lho, koq jadi kendala buat pengembangan desa.
Sejak saat ini ada keputusan politik penting yang dihasilkan melalui sidang musyawarah warga, dan yang mengikuti musyawarah ini bukan hanya warga desa Setrojenar kecamatan Buluspesantren saja, melainkan juga warga desa Brecong dan bahkan desa Entak, serta beberapa perwakilan warga dari kecamatan Ambal. 

Pelaksanaan pembangunan gapura tetap dirampungkan hingga bentuk yang sekarang dapat dilihat. Gapura ini menjadi salah satu ikon perlawanan warga.

Fihak TNI-AD melalui Kodim 0709/ Kebumen, mulai menunjukkan reaksi dengan melayangkan surat kepada Bupati Kebumen (KH. Nashirudin AM) waktu itu, dan memohon Bupati melakukan pembongkaran terhadap gapura di pesisir desa.

 Dalam surat itu tertera, dasar permohonan fihak Kodim, yang menjelaskan indikasi “klaim” pemilikan TNI atas tanah pesisir ini, yakni adanya permohonan ganti rugi “tanah TNI” yang akan terkena tras pembangunan Jalan Lintas Selatan-Selatan (JLSS). Surat ini dimohonkan oleh PanglimaTNI-AD Kodam IV/Diponegoro ditujukan kepada Gubernur Jateng selaku Ketua Tim Pengadaan Tanah tingkat Profinsi Jateng.

Klaim TNI versus Penolakan Petani

Perihal indikasi “klaim” ini menyadarkan ingatan kolektif warga akan ancaman penguasaan yang mengarah pada klaim pemilikan tanah pesisir wilayah desa. Opsi penolakan latihan TNI dan ujicoba alutsista kian meluas. Rapat-rapat warga berulangkali dilakukan. Bukan hanya di desa Setrojenar, tetapi juga di desa-desa lain dari kecamatan Ambal. 

Penolakan ini lebih menguat seiring indikasi penguasaan tanah-tanah pesisir yang kian kuat juga. Dan secara kasat mata TNI-AD memang telah melakukan pematokan tanah-tanah sepanjang pesisir Urutsewu. Meski dengan dalih hanya sebagai tanda pembatas atau zona aman saat latihan. Padahal jika hanya sebagai tanda pengaman latihan maka cukup dengan memancang bendera merah sebagaimana biasanya jika mereka berlatih.

Respon atas keberadaan patok ini, menstimulus munculnya inisiatif warga untuk mencabut patok yang ada di tanah pertanian. Atas tindakan warga ini, Pangdam IV-Diponegoro, secara terbukadi media, pernah ultimatum akan melakukan pematokan ulang. Dan jika dirusak lagi, maka akan diambil tindakan tegas. 

Ini makin menyadarkan warga, betapa telah terjadi bias asumsi yang sudah kelewatan porsi. Termasuk keberadaan bangunan gardu pengawas berjumlah 33 yang tersebar sepanjang bentangan pesisir Urutsewu. Gardu ini juga dibangun di atas tanah-tanah pertanian milik warga tanpa pernah meminta ijin pemiliknya.

Bahkan di desa Setrojenar, terdapat bangunan infrastruktur TNI-AD berupa menara pengawas berlantai tiga yang dibangun di atas tanah bersertivikat Hak Milik atas nama Mihad; petani desa Setrojenar. Belasan bangunan infrastruktur lain juga bertebaran di lahan-lahan pemajekan milik petani desa. 

Semua fakta ini bukannya tidak ada penolakan dari petani. Jika menurut para petinggi militer yang berdalih bahwa selama ini tak muncul penolakan warga; maka itu bohong belaka. Barangkali memang telah lama terjadi bias pelaporan dari para pelaksana lapangan. Atau bahkan memang ada kepentingan konspiratif jangka panjang atas penguasaan kawasan pesisir Urutsewu?

Perihal indikasi konspiratif ini memang ada. Tim riset partikelir yang terdiri dari aktivis Urutsewu menemukan bukti adanya sebuah “surat persetujuan” pemanfaatan tanah pesisir yang notabenenya milik para petani ini untuk dipergunakan sebagai usaha pertambangan pasirbesi. 

Ini mencuat seiring dengan issue pertambangan pasirbesi yang akan dimulai di pesisir 6 desa dalam wilayah kecamatan Mirit. Ada konspirasi berbasis kepentingan ekonomi politik yang tidak dimaklumkan terbuka secara luas. 
Dan itu dilakukan oleh fihak (atau oknum) TNI-AD melalui surat No: 1461/IX/2008 tertanggal 25 September 2008. Surat ini ditandatangani oleh Mayjen TNI Haryadi Soetanto.

Konspirasi yang cuma menguntungkan segelintir orang tapi bakal mengancam kelestarian ekosistem pesisir Urutsewu. Dan itu lah sebabnya kenapa penolakan latihan TNI dan ujicoba senjata alutista begitu gigih dan gagah berani dilakukan oleh warga, khususnya petani desa Setrojenar. 

Dan sejatinya seluruh aksi yang dilakukan selama ini hingga dibalas dengan penembakan dan serangan brutal tentara; tak lepas dari itu semua. Yang dipertahankan itu bukan melulu hak sejarah dan hak pemilikan petani akan tanah pesisir ini. Bukan hanya yang terkait Setrojenar saja, tetapi juga menyangkut kelestarian pesisir Urutsewu seluruhnya. []

Thursday, June 09, 2011

Proses Hukum Warga: Jalan. Proses Hukum Tentara ?

Diantara ratusan pejuang pembebasan tlatah Urutsewu dari desa Setrojenar ini, ada 7 yang terjerat pasal pidana dan 6 diantaranya ditahan sejak paska serangan brutal tentara (16/4) lalu. Dalam pandangan warga, ke 7 orang ini memang pejuang, meski pun harus ditahan polisi dan dijebloskan ke penjara karena 3 tuduhan. Pengrusakan, penganiayaan dan penghinaan institusi.

Pada hari Rabu (8/6) ini, berkas hasil pemeriksaan secara resmi dilimpahkan ke Kejari Kebumen. Ke 6 pejuang yang ditahan ini dikeluarkan dari LP Kebumen untuk diperiksa oleh Kasi Tindakan Pidana Umum pada Kantor Kejari. Pemeriksaan terkait sangkaan melakukan pengrusakan gapura dan gudang peluru melibatkan 4 orang dan yang berkaitan dengan penganiayaan ada 2 orang. Pemeriksaan berlangsung hingga jam 14.15 wib dan ke 6 pejuang Setrojenar dimasukkan kembali ke LP.

(bersambung)

Sunday, June 05, 2011

Haruskah Ada: Perang Diponegoro Babad KeDua ?

"Patok Kumpeni kah yang mau dipasang ini?", gumam petani dalam hati.

Begitulah saat acara sosialisasi pemasangan patok di Balai Desa Entak (Ambal) dilaksanakan. Menjelang tengah hari siang itu, Selasa (31/5), beberapa pejabat tingkat kecamatan juga datang. Camat Ambal, petugas dari Koramil (Misno) dengan beberapa petugas intel (Teguh, dkk), Martijo sekdes dari desa lain (Kenoyojayan), seperti sebuah tim yang dipersiapkan.
Sedangkan dari desa Entak sendiri, ada Ngatiman (Kades), Rajimin (Congkog), Purwaningsih (Sekdes) dan para Kadus dari Pranji, Daleman dan Mijen serta unsur BPD juga ada.
Acara yang dipandu Safari (Kaur Umum) desa Entak ini, merupakan kelanjutan penolakan warga desa dan petani Entak atas tindakan TNI memasang patok tanah di lahan desa.

Pemasangan patok dilaksanakan hari Minggu (29/5) dan diprotes oleh petani yang melaporkan insiden ini kepada Kades. Untuk menghindari kejadian buruk, Kades Ngatiman meminta petugas patok menghentikan pekerjaannya. Hal ini memang sangat disesalkan, karena jelas-jelas bahwa lahan dimana patok itu ditanam adalah lahan milik petani warga desa Entak. Petugas ini telah mengabaikan azas musyawarah dengan pemilik tanah.
Ternyata bahkan ihwal pematokan tanah ini juga telah dilakukan di beberapa desa sebelumnya. Seolah TNI memang sengaja mengabaikan segala yang melekat di atas tanah yang dipasang patok itu. Jika dicermati, kelakuan ini mirip dengan tindakan provokasi Tentara Kumpeni yang mematok tanah-tanah petani pada awal Perang Jawa, yakni Perang Diponegoro (1825-1830) di masa lalu.

Perluasan Resistensi Desa

Bukti bahwa penolakan terhadap aktivitas TNI di UrutSewu, sejatinya, bukan cuma fakta yang sebagaimana terjadi di desa Setrojenar, yang telah menimbulkan kebrutalan serdadu terhadap warga sipil. Filosofi "Sedumuk Bathuk Senyari Bumi" juga telah mendapatkan pemaknaan kultural yang luas masyarakat di bumi Jawa. Termasuk dalam konteks ini, di kawasan pesisir selatan Kebumen.
Yang terjadi pada "meeting" di Balai Desa Entak (Kec. Ambal) pada Selasa (31/5) siang dan Minggu (29/5) malam, dimana warga jelas-jelas menolak pematokan, apa pun alasannya; harus dilihat sebagai manifestasi kedaulatan (desa dan warga) atas wilayah pesisirnya.

Pernyataan pemerintah, melalui retorika yang disampaikan Camat Ambal, memang pantas dipertanyakan basis konsistensinya. Bahwa TNI-AD tidak akan menguasai dan/atau memiliki tanah-tanah petani di kawasan UrutSewu ini. Itulah, tetapi ketika warga desa Entak meminta kepastian hukum atau jaminan mengenai "pernyataan" yang diulang ini; maka tak ada satu pun pejabat pemerintah atau pun pejabat tentara yang berani konsisten. Termasuk saat Diar, pejabat Danramil Ambal menyusul dihadirkan di forum sipil ini. Terhadap tuntutan warga desa yang butuh kepastian ini, bahkan dianggap tuntutan warga tidak riil. Justru..

Lalu terbang kemana keberanian itu...