Kamis, 26 September 2019
07:30 WIB
Presiden Joko Widodo berbicara di depan ribuan warga yang telah
mendapatkan sertifikat tanah di Sukabumi, Jawa Barat, 7 April 2018. Jokowi
membagikan sebanyak 3.063 sertifikat yang berasal dari 5 Kota dan Kabupaten di
Jawa Barat yaitu Kota dan Kabupaten Sukabumi, Kantor pertanahan Cianjur,
Kabupaten Bandung Barat, dan Purwakarta. ANTARA/Puspa Perwitasari
DEWAN Perwakilan Rakyat sebaiknya menunda pengesahan
Rancangan Undang-Undang Pertanahan di ujung masa kerja. Rancangan itu sarat
masalah: menabrak konstitusi, bertentangan dengan undang-undang lain, dan tidak
sesuai dengan semangat reforma agraria.
Niat pembuatan undang-undang baru itu, seperti yang
dimuat dalam konsiderans, sebetulnya bagus. Tujuannya antara lain memberikan
kepastian hukum soal kepemilikan tanah, mencegah krisis ekologi, mengatasi
konflik agraria, dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun tujuan mulia ini
tidak tecermin dalam batang tubuh rancangan.
Rancangan itu justru tak mengatur mekanisme penyelesaian
konflik agraria secara komprehensif. Aturan malah melempar masalah ini ke
pengadilan pertanahan, yang jelas terbatas wewenangnya dalam mengatasi problem
pertanahan yang kompleks.
Asas domein verklaring yang telah disingkirkan oleh
Undang-Undang Agraria bahkan dihidupkan kembali. Ini berarti semua tanah yang
tak bisa dibuktikan kepemilikannya akan diklaim sebagai tanah negara. Konsep
yang dulu diterapkan Stamford Raffles saat menjajah Indonesia itu jelas
bertentangan dengan konstitusi. Banyak penduduk dan masyarakat adat yang tak
memiliki sertifikat tanah karena berbagai alasan akan dirugikan.
Rancangan itu tampak pula berpihak kepada pemodal besar.
Pasal 26 dalam rancangan itu, misalnya, memberikan impunitas kepada perusahaan
yang selama ini menabrak aturan kepemilikan hak guna usaha. Korporasi yang
seharusnya dihukum karena menguasai lahan yang berlebihan malah diputihkan.
Lokasi hak guna usaha selama ini banyak yang
tumpang-tindih dengan izin pertambangan, hutan tanaman industri, hutan alam,
dan hutan lindung. Sebagian perusahaan pemilik konsesi itu kini sedang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemutihan akan menghapus masalah pidana
dan perdata yang mungkin timbul akibat pelanggaran aturan.
Dampak besar akibat dari pemutihan itu adalah lenyapnya
jutaan hektare kawasan hutan yang telah dialihfungsikan sebagai perkebunan
sawit. Apalagi rancangan itu juga tak memberikan perlindungan sosial dan
ekologi yang memadai. Bila semua ini terjadi, Presiden Joko Widodo dapat
dianggap seperti Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang mengizinkan pembukaan
hutan Amazon untuk kebutuhan perkebunan, industri, dan pertambangan tanpa
menimbang dampak lingkungannya.
Kelemahan lain: rancangan undang-undang itu juga
memberikan kewenangan yang banyak kepada Menteri Agraria dalam mengelola tanah
negara. Sang Menteri mengatur dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hingga hak pengelolaan. Wewenang besar itu tanpa dikontrol mekanisme
pengawasan yang memadai. Hal ini membuka peluang terjadinya penyelewengan.
Begitu pula aturan mengenai pembentukan bank tanah-badan
khusus yang bertugas mengelola dan mendistribusikan tanah. Seperti kekuasaan
Menteri Agraria, wewenang lembaga ini yang besar juga tidak diimbangi dengan
mekanisme pembentukan yang terinci dan pengawasan. Rancangan itu menyerahkan
pengaturan urusan yang penting tersebut kepada pemerintah.
DPR sebaiknya mengkaji lagi Rancangan Undang-Undang
Pertanahan dan tak perlu buru-buru menyelesaikan pembahasan sebelum habis masa
kerja.
Pemerintah pun semestinya tidak membiarkan rancangan yang
bermasalah itu disahkan parlemen. Presiden Jokowi bersama parlemen perlu
memastikan rancangan itu benar-benar mengatur pemanfaatan tanah demi kemakmuran
rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.
0 comments:
Post a Comment