Saturday, October 26, 2019

Aturan Pertanahan untuk Siapa


Kamis, 26 September 2019 07:30 WIB

Presiden Joko Widodo berbicara di depan ribuan warga yang telah mendapatkan sertifikat tanah di Sukabumi, Jawa Barat, 7 April 2018. Jokowi membagikan sebanyak 3.063 sertifikat yang berasal dari 5 Kota dan Kabupaten di Jawa Barat yaitu Kota dan Kabupaten Sukabumi, Kantor pertanahan Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Purwakarta. ANTARA/Puspa Perwitasari

DEWAN Perwakilan Rakyat sebaiknya menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan di ujung masa kerja. Rancangan itu sarat masalah: menabrak konstitusi, bertentangan dengan undang-undang lain, dan tidak sesuai dengan semangat reforma agraria.

Niat pembuatan undang-undang baru itu, seperti yang dimuat dalam konsiderans, sebetulnya bagus. Tujuannya antara lain memberikan kepastian hukum soal kepemilikan tanah, mencegah krisis ekologi, mengatasi konflik agraria, dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun tujuan mulia ini tidak tecermin dalam batang tubuh rancangan.

Rancangan itu justru tak mengatur mekanisme penyelesaian konflik agraria secara komprehensif. Aturan malah melempar masalah ini ke pengadilan pertanahan, yang jelas terbatas wewenangnya dalam mengatasi problem pertanahan yang kompleks.

Asas domein verklaring yang telah disingkirkan oleh Undang-Undang Agraria bahkan dihidupkan kembali. Ini berarti semua tanah yang tak bisa dibuktikan kepemilikannya akan diklaim sebagai tanah negara. Konsep yang dulu diterapkan Stamford Raffles saat menjajah Indonesia itu jelas bertentangan dengan konstitusi. Banyak penduduk dan masyarakat adat yang tak memiliki sertifikat tanah karena berbagai alasan akan dirugikan.

Rancangan itu tampak pula berpihak kepada pemodal besar. Pasal 26 dalam rancangan itu, misalnya, memberikan impunitas kepada perusahaan yang selama ini menabrak aturan kepemilikan hak guna usaha. Korporasi yang seharusnya dihukum karena menguasai lahan yang berlebihan malah diputihkan.

Lokasi hak guna usaha selama ini banyak yang tumpang-tindih dengan izin pertambangan, hutan tanaman industri, hutan alam, dan hutan lindung. Sebagian perusahaan pemilik konsesi itu kini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemutihan akan menghapus masalah pidana dan perdata yang mungkin timbul akibat pelanggaran aturan.

Dampak besar akibat dari pemutihan itu adalah lenyapnya jutaan hektare kawasan hutan yang telah dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit. Apalagi rancangan itu juga tak memberikan perlindungan sosial dan ekologi yang memadai. Bila semua ini terjadi, Presiden Joko Widodo dapat dianggap seperti Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang mengizinkan pembukaan hutan Amazon untuk kebutuhan perkebunan, industri, dan pertambangan tanpa menimbang dampak lingkungannya.

Kelemahan lain: rancangan undang-undang itu juga memberikan kewenangan yang banyak kepada Menteri Agraria dalam mengelola tanah negara. Sang Menteri mengatur dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hingga hak pengelolaan. Wewenang besar itu tanpa dikontrol mekanisme pengawasan yang memadai. Hal ini membuka peluang terjadinya penyelewengan.

Begitu pula aturan mengenai pembentukan bank tanah-badan khusus yang bertugas mengelola dan mendistribusikan tanah. Seperti kekuasaan Menteri Agraria, wewenang lembaga ini yang besar juga tidak diimbangi dengan mekanisme pembentukan yang terinci dan pengawasan. Rancangan itu menyerahkan pengaturan urusan yang penting tersebut kepada pemerintah.

DPR sebaiknya mengkaji lagi Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan tak perlu buru-buru menyelesaikan pembahasan sebelum habis masa kerja.

Pemerintah pun semestinya tidak membiarkan rancangan yang bermasalah itu disahkan parlemen. Presiden Jokowi bersama parlemen perlu memastikan rancangan itu benar-benar mengatur pemanfaatan tanah demi kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.

0 comments:

Post a Comment