This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, July 30, 2015

Pemaksaan pemagaran oleh TNI di Urutsewu kembali memakan korban


Muhammad Afandi | Juli 30, 2015


Kebumen – Sampai hari ini (30/7) konflik agraria di Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah belum menemui titik terang penyelesaian persoalan. Bahkan belakangan dapat dibilang situasinya terus memanas. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa yang telah terjadi hari ini, pemaksaan pemagaran tanah rakyat di Urutsewu oleh pihak TNI kembali terjadi. Jika dirunut ke belakang, pemaksaan pemagaran ini sebenarnya dapat tercium saat buntunya audiensi tanggal 8 Juli 2015. Di mana pasca audensi tersebut, TNI malah meresponnya dengan berbagai tindakan intimidasi terhadap rakyat Urutsewu.

Berawal dari 29 Juli 2015, di mana sejumlah alat berat, beberapa truk batu dan sejumlah satuan TNI didatangkan di desa Lembupurwo Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen oleh TNI, dengan dalih untuk latihan militer.

Kedatangan alat berat yang notabene tanpa pemberitahuan ke pemerintah desa dan masyarakat (pemberitahuan hanya sebatas akan ada latihan TNI saja) ini tentunya memicu reaksi warga yang sampai hari ini masih menolak dilakukannya pemagaran. Walhasil pada 30 Juli 2015 sekitar 200 orang masyarakat Urutsewu, khususnya warga desa Lembupurwo dan sekitarnya berkumpul di lokasi untuk menolak pemagaran.

Aksi penolakan awalnya berjalan damai, bahkan diiringi dengan tahlil dan doa bersama oleh masyarakat di area pemagaran, mulai dari jam 09.00 WIB. Ba’da dhuhur jumlah pasukan TNI terus didatangkan dan bertambah di lokasi tersebut, yang ini tentunya membuat suasana semakin panas.
Pada pukul 13.00 WIB alat berat dipaksakan untuk merangsek masuk ke lokasi dan memulai penggalian untuk pemagaran dengan pengamanan barikade sepasukan TNI. Warga pun tetap bertahan untuk memblokade usaha pemagaran.

Warga yang hanya bermodal tekad kuat untuk mempertahankan tanahnya terdesak oleh ratusan TNI yang bersenjata lengkap, bahkan aksi saling dorong dan pemukulan juga terjadi. Ini menyebabkan satu korban luka yakni bapak Rubino (30 tahun) warga Rt 02 / Rw 02 desa Wiromartan Kecamatan Mirit, mengalami luka lebam di tengkuk terkena pukul pentungan TNI.
Korban yang terpukul oleh TNI dan sempat pingsan ini kemudian dibawa ke puskesmas Kecamatan Mirit untuk mendapat perawatan. Aksi kekerasan dan juga jumlah yang tidak seimbang antara masyarakat dan pasukan TNI yang didatangkan ini juga pada akhirnya memaksa masyarakat mundur. Sebelum mundur, masyarakat menggelar kembali tahlil dan doa bersama.

Yang menjadi ganjil dari pemagaran ini adalah pertama tidak ada lembaga berwenang yang tampak di lokasi, baik pemerintah daerah maupun BPN. Bahkan usaha pemagaran dan pengoperasian alat berat juga dilakukan oleh TNI sendiri. Bahkan pengamanan dari pihak kepolisian pun tak nampak di lokasi. Selain itu dalih yang dipakai adalah latihan militer, alih-alih yang dilakukan adalah pemagaran. Itu pun tanpa ada pemberitahuan sama sekali kepada pihak pemerintah desa dan masyarakat. Disamping itu juga ratusan personel TNI yang didatangkan dipersenjatai lengkap untuk menghadapi masyarakatnya sendiri, yang seharusnya dilindungi.

Widodo Sunu, koordinator Urutsewu Bersatu (USB) menanggapi pemagaran yang sampai saat ini masih terus berlanjut menyampaikan “meskipun hari ini penolakan warga dipukul mundur, namun gerakan penolakan pemagaran akan terus dilanjutkan”.

Kronologi bentrokan: rakyat Urutsewu Kebumen versus aparat keamanan negara


Tim Penutur Selamatkan Bumi | Juli 30, 2015


Berikut ini kronologi bentrokan rakyat urut sewu, Kebumen, Jawa Tengah melawan aparat keamanan negara.

Rabu, 29 Juli 2015

Pukul: 07.00-08.00 WIB

Kedatangan alat berat, buldozer-eskavator di Koramil Mirit; Penyampaian informasi bahwa akan ada pemagaran di zona pesisir.

Pukul: 09.00-12.00 WIB

Warga bersiap mengantisipasi pemagaran, tetapi pihak militer belum jadi melakukan aktivitasnya;
Warga bubar dan pada malam harinya mendapat info akan ada pemagaran keesokan harinya.

Kamis, 30 Juli 2015

Pukul: 09.00 WIB

Kedatangan truk material pemagaran ke zona pesisir, info pengiriman material melalui jalur wisata, dekat Balai Desa Lembupurwo ke arah selatan.

Pukul: 09.00-10.00 WIB

Massarakyat yang mengantisipasi di jalur sebelah barat, bergerak ke lokasi pemagaran dan mendapati sebagian truk pengangkut material telah membongkar muatannya. Masih ada sekitar 4 truk yang belum masuk ke lokasi yang kemudian diusir pergi oleh massa rakyat.

Pukul: 11.00-11.30 WIB

Massa rakyat berhadap-hadapan dengan kesatuan militer dari Yonif 403 yang memang diterjunkan ke lokasi. Perlu diketahui bahwa Yonif 403 ini juga yang melakukan tindak kekerasan pada Tragedi Setrojenar (16-04-2011).

Ada orasi dari warga yang membawa megaphone, sempat ada “penjelasan” pihak militer tentang aktivitas di hari itu; tetapi massa rakyat membantah seluruhnya.

Massa rakyat yang datang ke lokasi terdiri dari petani, pemuda desa, perempuan; termasuk massa solidaritas dari desa Wiromartan, Mirit, Tlogodepok, Kaibon Petangkuran, Ambalresmi, Entak, Setrojenar, Ayamputih.

Pukul: 11.30-12.00 WIB

Massa rakyat menggelar tahlil dan doa bersama di lokasi pemagaran, jumlah massa sekitar 100-an orang. Pada saat tahlilan digelar, berdatangan lah massa yang bersolidaritas dari desa-desa lainnya.

Pukul: 12.00-13.00 WIB

Setelah tahlilan selesai diketahui ada penambahan jumlah pasukan TNI sebanyak 2 truk, namun dihadang massa rakyat yang melarang militer masuk.

Pada rentang waktu ini lah, Kades Lembupurwo, Bagus Wirawan menghubungi pejabat Sekda Kabupaten Kebumen, namun tidak diangkat. Kemudian ia mengontak Polsek dan Camat Mirit dan terhubung; Intinya melaporkan perkembangan yang terjadi dan direspons pihak kepolisian Polsek dengan mengirim 2 petugas intel ke lokasi.

Pukul: 13.00-14.00 WIB

Pasukan TNI memulai bergerak melakukan penggalian pondasi pagar. Massa rakyat bergerak mendekat dan dihadang oleh kesatuan Zipur tetapi massa rakyat berhasil menembus hadangan militer. Jumlah personel militer ditengarai berasal dari 2 kesatuan, Zipur dan Yonif 403; sebanyak 400-500an personel. Massa rakyat berkonsentrasi di ujung timur galian pondasi yang sempat telah tergali sepanjang 50 meter.

Pukul: 14.00-15.00 WIB

Ibu-Ibu sigap turun ke jalur lubang galian pondasi yang dibuat personel militer dengan tujuan menghentikan penggalian; Aksi ibu-ibu ini mendorong massa rakyat mengikuti tindakan pengurugan galian, tetapi pasukan militer berusaha keras mencegahnya. Terjadi aksi dorong-mendorong yang berlanjut dengan pemukulan dan tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan pasukan militer. Tindakan kekerasan ini mengakibatkan 1 orang warga [Rubino, 30 th] jatuh pingsan karena kena pukul toya dan kehilangan 1 unit HandPhone merk Sony-Ericsson. Korban ini dirawat di Puskesmas Mirit.

 Diketahui ada korban lain yakni perempuan yang terinjak-injak di lokasi dan seorang warga lain [Teguh Wiromartan, 26 th]. Jumlah korban keseluruhan 5 orang, tetapi yang terkena pukulan toya tak terhitung jumlahnya.

Pukul: 15.00-16.00 WIB

Pihak TNI-AD menginisiasi komunikasi untuk meredakan chaos tetapi personel pasukan yang lain melanjutkan pemagaran di lokasi. Kades Kaibon Petangkuran [Muhlisin] menghubungi Bupati Kebumen [Buyar Winarso] dan tersambung tetapi tak terjadi komunikasi intensif karena kualitas jaringan GSM yang tak jelas dan tidak ditelpon balik oleh Bupati. Kades Wiromartan [Widodo Sunu Nugroho] menghubungi Kapolres Kebumen [Faisal] yang berdalih belum berkoordinasi dengan pihak Denpom sehingga tidak bisa melakukan tindakan mengirim pasukan keamanan resmi.

Kapolres menutup komunikasi dan langsung menghubungi Sekda dan memperoleh keterangan pejabat pemerintah ini telah mengutus Camat untuk datang tetapi faktanya tak ada pejabat yang mendatangi lokasi.
Massa rakyat menggelar tahlilan kedua sebelum kemudian membubarkan diri pada jam 16.00 WIB.

Sumber: Litbang & Media-Center  USB

Kronologi Bentrok Urutsewu di Lembupurwo, 30 Juli 2015



Saat-saat menjelang bentrokan pemuda, petani dan perempuan pesisir Urutsewu versus personel militer [Doc. USB]
 
Rabu, 29 Juli 2015 

07.00 – 08.00 : Kedatangan alat berat, buldozer-eskavator di Koramil Mirit;  
Penyampaian informasi bahwa akan ada pemagaran di zona pesisir;

09.00 – 12.00 : Warga bersiap mengantisipasi pemagaran, tetapi fihak    militer belum jadi melakukan aktivitasnya;
                      Warga bubar dan pada malam harinya mendapat info akan ada pemagaran keesokan harinya. 


Massarakyat yang mengantisipasi tindakan pemagaran TNI yang menerjang lahan-lahan holtikultura [Doc. USB]

Kamis, 30 Juli 2015 

09.00            : Kedatangan truk material pemagaran ke zona pesisir, info pengiriman material melalui jalur wisata, dekat Bale Desa Lembupurwo ke arah selatan.



09.00 - 10.00 : Massarakyat yang mengantisipasi di jalur sebelah barat, bergerak ke lokasi pemagaran dan mendapati sebagian truk pengangkut material telah membongkar muatannya;
                      Masih ada sekitar 4 truk yang belum masuk ke lokasi yang kemudian diusir pergi oleh massarakyat;

11.00 – 11.30 : Massarakyat berhadap-hadapan dengan kesatuan militer dari Yonif 403 yang memang diterjunkan ke lokasi;
                      Perlu diketahui bahwa Yonif 403 ini juga yang melakukan tindak kekerasan pada Tragedi Setrojenar (16042011);



                      Ada orasi dari warga yang membawa megaphone, sempat ada “penjelasan” fihak militer tentang aktivitas di hari itu; tetapi massarakyat membantah seluruhnya. 

                      Massarakyat yang datang ke lokasi terdiri dari petani, pemuda desa, perempuan; termasuk massa solidaritas dari desa Wiromartan, Mirit, Tlogodepok, Kaibon Petangkuran, Ambalresmi, Entak, Setrojenar, Ayamputih; 


11.30 – 12.00 : Massarakyat menggelar tahlil dan doa bersama di lokasi pemagaran, jumlah massa sekitar 100-an orang; 

                      Pada saat tahlilan digelar, berdatangan lah massa yang bersolidaritas dari desa-desa lainnya; 

12.00 – 13.00 : Setelah tahlilan selesai diketahui ada penambahan jumlah pasukan TNI sebanyak 2 truk, namun dihadang massarakyat yang melarang militer masuk; 

                      Pada rentang waktu ini lah, Kades Lembupurwo, Bagus Wirawan menghubungi pejabat Sekda Kabupaten Kebumen, namun tidak diangkat; kemudian mengontak Polsek dan Camat Mirit dan terhubung;

                      Intinya melaporkan perkembangan yang terjadi dan direspons fihak kepolisian Polsek dengan mengirim 2 petugas intel ke lokasi. 


13.00 – 14.00 : Pasukan TNI memulai bergerak melakukan penggalian pondasi pagar; 

                      Massarakyat bergerak mendekat dan dihadang oleh kesatuan Zipur tetapi massarakyat berhasil menembus hadangan militer; 

                      Jumlah personel militer ditengarai berasal dari 2 satuan, Zipur dan Yonif 403; sebanyak 400-500an personel; 

                      Massarakyat berkonsentrasi di ujung timur galian pondasi yang sempat telah tergali sepanjang 50 meter; 



14.00 – 15.00 : Ibu-Ibu sigap turun ke jalur lubang galian pondasi yang dibuat personel militer dengan tujuan menghentikan penggalian;

                      Aksi ibu-ibu ini mendorong massarakyat mengikuti tindakan pengurugan galian, tetapi pasukan militer berusaha keras mencegahnya; 

                      Terjadi aksi dorong-mendorong yang berlanjut dengan pemukulan dan tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan pasukan militer; 


                      Tindakan kekerasan ini mengakibatkan 1 orang warga [Rubino, 30 th] jatuh pingsan karena kena pukul toya dan kehilangan 1 unit HandPhone merk Sony-Ericsson. 

                      Korban ini dirawat di Puskesmas Mirit. Diketahui ada korban lain yakni perempuan yang terinjak-injak di lokasi dan seorang warga lain [Teguh Wiromartan, 26 th]. 

Jumlah korban keseluruhan 5 orang, tetapi yang terkena pukulan toya tak terhitung jumlahnya. 


15.00 – 16.00 : Fihak TNI-AD menginisiasi komunikasi untuk meredakan chaos tetapi personel pasukan yang lain melanjutkan pemagaran di lokasi; 

                      Kades Kaibon Petangkuran [Muhlisin] menghubungi Bupati Kebumen [Buyar Winarso] dan tersambung tetapi tak terjadi komunikasi intensif karena kualitas jaringan GSM yang tak jelas dan tidak ditelpon balik oleh Bupati; 

                      Kades Wiromartan [Widodo Sunu Nugroho] menghubungi Kapolres Kebumen [Faisal] yang berdalih belum berkoordinasi dengan fihak Denpom sehingga tidak bisa melakukan tindakan mengirim pasukan keamanan resmi; 

                      Kapolres menutup komunikasi dan langsung menghubungi Sekda dan memperoleh keterangan pejabat pemerintah ini telah mengutus Camat untuk datang tetapi faktanya tak ada pejabat yang mendatangi lokasi; 

                      Massarakyat menggelar tahlilan kedua sebelum kemudian membubarkan diri pada jam 16.00 sore hari.   

Saturday, July 25, 2015

Peran Kaum Tani Memperjuangkan Reforma Agraria di Era Globalisasi

  • Untuk Merealisasi Cita-Cita Revolusi Agustus 1945


Pengantar: Meski telah 14 tahun lalu materi tulisan ini ditulis GWR untuk disampaikan dalam acara Konfernas I PDPI, 22-24 Juli 2005; sepuluh tahun lalu  di Solo, tapi materi isinya masih relevan dengan perkembangan saat ini...

Oleh: Gunawan Wiradi (GWR)

Pertama-tama saya menyampaikan banyak terima kasih atas kehormatan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran saya yang menyangkut masalah kaum tani. Rumusan judul yang panjang, “Peran Kaum Tani Memperjuangkan Reforma Agraria di Era Globalisasi untuk Merealisasi Cita-Cita Revolusi Agustus 1945” adalah atas permintaan panitia. Memang ada dua kata yang sengaja saya ubah, yaitu kata “memperbaharui”, saya ganti “memperjuangkan”, dan kata “penataan” diganti “reforma”.

Lepas dari susunan rumusannya, judul tersebut pada hakekatnya mengandung empat isu berbeda – walaupun saling berkaitan – yang masing-masing memerlukan telaah yang luas dan mendalam. 
Keempat isu itu adalah: a) Apa dan siapa yang dimaksud dengan “kaum tani”. b) Apa yang dimaksud dengan “Reforma Agraria” (RA). c) Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan “globalisasi”. d) Apa sesungguhnya cita-cita Revolusi Agustus 1945 itu. Untuk membahasnya urutannya bisa dibalik-balik.

Dengan demikian, meramu empat isu tersebut menjadi satu tema bukanlah hal mudah, karena memerlukan konsentrasi pikiran agar dapat secara cermat memberi penjelasan secara lebih baik.

Demikianlah, uraian berikut ini terbagi menjadi tiga bagian, berturut-turut globalisasi, cita-cita Revolusi 1945, dan reforma agraria, serta masalah kaum tani. Semua disusun dalam bentuk butiran-butiran ringkas.

Globalisasi dan 'Kristal' di Indonesia

1. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, maka hubungan antara berbagai bangsa menjadi begitu mudahnya sehingga terbayanglah suatu proses “menyatu”-nya semua manusia di bumi (globe) ini menjadi “satu komunitas dunia”, yang tak lagi tersekat-sekat oleh batas-batas negara nasional (border world). Hubungan antar-manusia dari berbagai bangsa yang jaraknya begitu jauh, dalam hitungan detik dapat berlangsung. Gambaran inilah yang kemudian melahirkan istilah “globalisasi” dalam arti yang lebih umum.

2. Kenyataan adanya kemudahan dalam komunikasi ini merupakan peluang bagi berbagai kegiatan yang bersifat antar-bangsa, bahkan antar-manusia, dan peluang ini dimanfaatkan terutama oleh mereka yang melakukan kegiatan ekonomi, khususnya lagi oleh mereka yang memandang adanya kemungkinan untuk menciptakan “satu sistem ekonomi” dunia. Karena itu salah satu definisi “globalisasi” adalah: “Globalisasi adalah ekspansi kegiatan ekonomi yang melintas batas-batas politik nasional dan regional, dalam bentuk peningkatan gerakan barang dan jasa, termasuk modal, tenaga kerja, teknologi, dan informasi melalui perdagangan barang dan jasa” (Morison & Hadisusastro, seperti dikutip oleh Mubyarto, 1998).

3. Definisi tersebut memang tidak salah, namun kurang lengkap karena hanya menyangkut aspek teknis ekonomi, sedangkan nuansa sosial politiknya kurang terungkap.

4. Tiga orang profesor dari Inggris pernah menasihat seorang mahasiswanya: “Jangan sekali-kali mencampuradukkan ‘globalisasi/komunikasi’ dengan ‘globalisasi ekonomi’, dan jangan menjadi naif dan secara membabibuta mempercayai adanya ‘borderless world’. Sebab tidak ada suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain” (lihat Sritua Arif,1998)

5. Globalisasi ekonomi pada hakekatnya merupakan gerakan “Transnational Corporation” untuk melakukan ekspansi penanaman modal dan menciptakan satu sistem ekonomi dunia, yaitu sistem yang dilandasi oleh filsafat ekonomi yang kemudian secara populer dikenal sebagai paham neo-liberalisme. Paham ini mendewakan pasar bebas, sebebas-bebasnya (perdagangan bebas, tenaga kerja bebas, investasi bebas, dan modal bebas). Menurut seorang pakar, dua kata kunci dari paham ini tercermin dalam kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang PM Inggris,  Margareth Thatcher; pertama, “ketimpangan, ketidaksamaan, ketidakmerataan, adalah rahmat Tuhan”. Kedua, “mereka yang (menjadi) miskin adalah kesalahan mereka sendiri”. (Cf. Susan George, 2002)

6. Paham neo-liberal itu sudah dibangun sejak lama, lebih dari 50 tahun yang lalu, dengan tokoh utamanya Friederich von Hayek dan Milton Friedman. Dengan tekun, sabar, sistematis, dan dengan biaya milyaran dolar, mereka membangun jaringan paham ini, sehingga sekarang ini kader-kadernya sudah tersebar ke berbagai negara. (Cf. Susan George, ibid). Ketika kemudian negara-negara sosialis di Eropa runtuh, paham ini dengan leluasa merajalela ke seluruh dunia.

7. Gerakan tersebut pada hakekatnya ingin menciptakan sebuah “global empire”, yang dapat diartikan sebagai bentuk penjajahan baru (lihat John Perkins, 2004). Yang berkuasa bukan lagi pemerintah negara-negara bangsa, melainkan korporasinya lembaga-lembaga bisnis internasional. Karena itu oleh Perkins hal ini disebut sebagai “corporatocracy”.

8. Untuk memfasilitasi semua proses menuju ekonomi liberal itu, dengan cara yang sangat halus, canggih, dan sistematis, berbagai negara berkembang didorong atau dibuat “terpaksa”, untuk mengubah UUD negaranya. Di Indonesia sayangnya tidak banyak orang yang menyadari latar belakang ini. Dengan dalih demokratisasi, dan dengan alasan mengurangi kekuasaan Presiden (yang selama Orba memang sangat represif), maka dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945 yang asli, sebanyak 32 pasal diobrak-abrik, sehingga hasilnya menjadi “amburadul”. Inilah cermin bahwa bangsa kita memang sedang mengalami amburadul. UUD 1945 pasca-amandemen itulah “wajah” kita saat ini.

9. Dewasa ini, berbagai negara bangsa (nation-states) sedang mengalami “triple squeeze”, atau jepitan dari tiga arah (lihat S. Borras, Jr., 2004), yaitu “dari atas”, “dari bawah”, dan “dari samping”. Dari atas berupa desakan untuk mengikuti arus globalisasi ekonomi, dari bawah tuntutan otonomi daerah, dan dari samping dorongan privatisasi dan swastanisasi.  Sekalipun datang dari tiga arah dan dalam bentuk berbeda, namun pada hakekatnya sumbernya sama: neo-liberalisme. Paham pasar bebas memang bertujuan meng-“kerdil”-kan peran negara (lihat Susan George, 2002. Op.cit). Bahkan badan-badan dunia seperti PBB pun cenderung dilecehkan.

10. Terhadap semua itu, sikap orang barangkali dapat dikelompokkan menjadi empat: a) mereka yang secara sadar pro neo-liberalisme, b) mereka yang secara sadar anti neo-liberalisme, c) mereka yang secara tulus melakukan hal-hal yang bersifat parsial, yang dipermukaan nampak “luhur”, tapi secara tidak sadar terseret ke dalam arus yang mungkin ke arah yang mereka tentang sendiri, d) mereka yang tidak punya pendirian, dan ikut-ikutan saja ke mana arus mengalir.

11. Dampak dari semua itu sudah begitu meluas dan mendalam, merasuki seluruh tubuh bangsa. Bukan saja di bidang ekonomi, tapi juga di bidang-bidang lain (sosial, politik, budaya, hukum, dll), sebenarnya semuanya sedang mengalami krisis. Karena itu, di Indonesia, krisis itu saya sebut “kristal”, krisis total! Bangsa Indonesia sebagai totalitas sedang mengalami krisis. 
Rumusan definisi yang paling sederhana: “Crisis is... an unresolved steering problem” (Kellner, 1998), yaitu persoalan “nyetir”, ke arah mana “mobil” bangsa ini hendak dibawa. 

Ini berarti krisis kepemimpinan! Kita memang sedang mengalami disorientasi, seolah-olah kehilangan arah. Hukum yang tumpang tindih, kriminalitas yang meningkat, soal narkoba, pengangguran, pendidikan yang dikomersialkan, biaya kesehatan yang mahal, dan sebagainya, dan seterusnya. Semuanya itu mencerminkan carut-marutnya bangsa kita dewasa ini. (Bersambung)

Andeas JW 

Sunday, July 12, 2015

Ikra Kepentingan Strategis yang Sesungguhnya...



Tepis Issue Provokasi, Petani Konsolidasi



 Sedikit yang tahu bahwa gedung Sekwan DPRD Kebumen "dikepung" tentara saat Tim Delegasi petani Urutsewu ber-audiensi di Komisi A [Foto: Istimewa]

Stigma lama tentang adanya provokator di dalam aksi-aksi petani Urutsewu yang tak henti berjuang mempertahankan hak tanah pesisirnya dari perampasan sistematis militer, jadi selipan topik dalam rapat evaluasi aksi. Rapat petani digelar paska tarawih di rumah Kades Lembupurwo Bagus Wirawan, Sabtu (11/7) berlangsung hingga dinihari berikutnya.

***

Pelempar issue provokasi Kusmayadi, mayor Komandan Dislitbangad Setrojenar harusnya malu dengan kepicikan asumsi subyektifnya. Issue ini berhembus sejak “Tragedi Urutsewu” di Setrojenar 16 April 2011, alih-alih merupakan kedok impunitas tentara pelaku kebrutalan yang hingga kini tak ada proses hukum yang berkeadilan. Terakhir, tudingan adanya provokator ala Orba ini masih ngotot dia sampaikan di depan Komisi A-DPRD Kebumen saat audiensi di Gedung Sekwan (8/7) lalu.

“Tudingan provokasi sudah bukan jamannya. Kini saatnya menolak pemagaran yang dilakukan tentara”, ketus petani yang datang dari desa Ayamputih.  

Malam dingin berkabut mendekati jam 10, belasan petani dari desa-desa sejauh 22 Km pun menyempatkan datang di rapat ini. Padahal, undangan hanya disebar dalam bentuk pemberitahuan melalui pesan pendek SMS. Ini bukti tak ada provokasi fihak tertentu, melainkan kesadaran bersama.

Evaluasi Aksi

Beberapa hal penting terkait perjuangan petani Urutsewu dalam aksi terakhirnya pun terungkap pada gayengnya rapat petani di tengah musim bediding kawasan pesisir yang dingin namun bergelora ini.
Nur Hidayat, mantan Kades Setrojenar yang oleh Kusmayadi juga dituduh provokator, paska aksi terakhir diajak meeting informal oleh beberapa fraksi DPRD. Diantaranya dari PKB, Gerindra dan Demokrat.

Tak diketahui apa motifnya para senator anggota partai di dewan ini mengundang delegasi aksi ke ruang fraksi, bukan secara terbuka pada saat semua dirapatkan di Komisi A. Fenomena ini mengingatkan kejadian paska tragedi (2011) dimana ada seorang anggota dewan lama yang terkesan kucing-kucingan seperti sedang dibawah tekanan atau ancaman, saat menemui Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK) sebelum berangkat ke Jakarta guna menghadap beberapa kementerian di era rezime SBY kemarin.

Kundari, senator fraksi PKB bahkan mendoktrin delegasi aksi tentang dalih “profesionalitas” tentara, seolah dalam konteks ini senator lebih mewakili militer; yang muaranya berujung pada pentingnya tempat latihan tembak. Ini dalih usang yang pernah mendapat kajian kritis di ranah advokasi petani, dan kini kehilangan relevansinya. Karena apa ?.

Karena tak mungkin tempat latihan tembak dan uji coba senjata berat Alutsista berada tak jauh dari pemukiman dan persawahan serta lahan pertanian Urutsewu. Terlebih di masa-masa nantinya ketika infrastruktur jaringan Trans Nasional, Jalan Lintas Selatan-Selatan [JLSS] selesai dibangun. Dimana mobilitas kendaraan dan pupulasi serta mobilitasnya amat tinggi. Terlalu Beresiko. Sementara produk industri persenjataan strategis seperti mortir dan senjata roket berhulu ledak sensor panas.

Tetapi kenapa fihak militer mati-matian bersikukuh pada klaim sefihaknya dalam “menguasai” kawasan yang bakal jadi konsentrasi pertarungan modal di masa-masa yang akan datang? Ini lah rahasia terselubungnya.  

“Sama-sama kepentingan nasional, kenapa antara JLSS, pemagaran pesisir dan pembangunan pertanian itu dibedakan perlakuannya?”, tanya Nur Hidayat.
Tak seorang pun anggota legislator Kebumen mampu menjawab !  

Wednesday, July 08, 2015

Negosiator Urutsewu “dipagari” Tentara

Tim "negosiator" UrutSewu Bersatu dipimpin Widodo Sunu dihadapkan pada "tim pemagaran" yang dipimpin Kusmayadi (duduk di sudut dekat pintu) 

Ada yang menarik untuk dicatat pada aksi petani Urutsewu saat tim negosiator mereka memasuki gedung Sekretariat DPRD (Sekwan). Dimediasi oleh Komisi A DPRD Kebumen, dalam “pertemuannya” dengan pelaksana pemagaran pesisir yang tengah diprotes para petani. Audiensi yang digelar di ruang meeting Sekwan itu ternyata “dikepung” beberapa oknum tentara.

Sampai-sampai Dandim 0709 Kebumen, Letkol Inf. Putra Widyawinaya, SH pun ada di sekitar bawahannya itu. Ihwal keberadaan tentara bersenjata tongkat di seputar gedung Sekwan itu, mungkin dalam rangka mengawal atasannya. Namun boleh jadi “situasi tak aman” tengah mengancam alat negara, sehingga polisi saja dipandang tak cukup untuk mengamankan situasi..

Yang jelas, kenyataan timpang ini dipertanyakan oleh Koordinator UrutSewu Bersatu Widodo Sunu Nugroho, pada awal dimulainya audiensi sebagaimana yang direncanakan dalam skenario aksi (8/7) hari itu.

“Ini bukan audiensi, sebagaimana dimaksud dalam permohonan aksi petani”, dalihnya. Melainkan sebuah mediasi. Sedangkan dari pengalaman aksi terdahulunya para petani menyadari bahwa pemerintah daerah termasuk DPRD tak memiliki kewenangan apa pun dalam kaitan penyelesaian konflik tanah pesisir Urusewu.

Rupanya memang ada skenario untuk “menyederhanakan” konflik agraria Urutsewu, dengan pendekatan parsial dan kasuistik tentang pemagaran pesisir saja. Kontroversi pemagaran pesisir ini memang yang memicu demonstrasi petani untuk ke sekian kalinya ini. 

Itu sebabnya agenda audiensi tim negosiator berubah format menjadi “mediasi” dengan fasilitator Komisi A DPRD Kebumen yang dipimpin ketuanya, Yudi Trihatmanto, SH. Maka didatangkan lah para pelaksana (baca: pekerja pemagaran) berikut Komandan Dislitbangad Kusmayadi di gedung Sekwan itu, disertai dengan regu koersif militer yang berada di seputar gedung Sekwan.

Issue Aksi Tandingan

Teka-teki bakal munculnya aksi tandingan pada demonstrasi massa petani Urutsewu yang muncul sejak dua hari terakhir, siang itu terjawab sudah saat para "pekerja pemagaran" dihadirkan berhadapan di ruang mediasi. Yang ternyata adalah sedulur-sedulur rakyat Urutsewu sendiri. Menyikapi semua ini, beberapa dari tim negosiator aksi petani Urutsewu menegaskan sikap prinsipilnya mengenai penolakan pemagaran pesisir. Penyikapan ini disertai penjelasan yang menyayangkan jika sampai terjadi konflik sesama rakyat.

"Penolakan pemagaran pesisir tak berkaitan langsung dengan kepentingan warga yang pada dasarnya cuma menjadi pekerja pemagaran", papar jubir tim negosiator aksi.

Bahkan pada sessie berikutnya, jubir tim pelaksana pemagaran pun menyatakan sepakat dengan paparan argumentasi tersebut. Disertai pernyataan sikapnya  untuk menghindari gesekan atau pun konflik dengan sesama warga pesisir !

Persoalan kontroversi pemagaran pesisir menjadi cukup jelas singkap tabirnya, justru ketika Kepala Dislibangad, Kusmayadi diberi kesempatan berbicara. Tetapi justru tentara berpangkat mayor ini secara verbal menuding bahwa seluruh aksi-aksi penolakan petani Urutsewu sejak mulanya diakibatkan oleh provokasi fihak lain. Kusmayadi dengan mengabaikan etika bahkan menyebut nama-nama seperti Seniman, Paryono dan petani lainnya sebagai provokator.