Saturday, July 25, 2015

Peran Kaum Tani Memperjuangkan Reforma Agraria di Era Globalisasi

  • Untuk Merealisasi Cita-Cita Revolusi Agustus 1945


Pengantar: Meski telah 14 tahun lalu materi tulisan ini ditulis GWR untuk disampaikan dalam acara Konfernas I PDPI, 22-24 Juli 2005; sepuluh tahun lalu  di Solo, tapi materi isinya masih relevan dengan perkembangan saat ini...

Oleh: Gunawan Wiradi (GWR)

Pertama-tama saya menyampaikan banyak terima kasih atas kehormatan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran saya yang menyangkut masalah kaum tani. Rumusan judul yang panjang, “Peran Kaum Tani Memperjuangkan Reforma Agraria di Era Globalisasi untuk Merealisasi Cita-Cita Revolusi Agustus 1945” adalah atas permintaan panitia. Memang ada dua kata yang sengaja saya ubah, yaitu kata “memperbaharui”, saya ganti “memperjuangkan”, dan kata “penataan” diganti “reforma”.

Lepas dari susunan rumusannya, judul tersebut pada hakekatnya mengandung empat isu berbeda – walaupun saling berkaitan – yang masing-masing memerlukan telaah yang luas dan mendalam. 
Keempat isu itu adalah: a) Apa dan siapa yang dimaksud dengan “kaum tani”. b) Apa yang dimaksud dengan “Reforma Agraria” (RA). c) Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan “globalisasi”. d) Apa sesungguhnya cita-cita Revolusi Agustus 1945 itu. Untuk membahasnya urutannya bisa dibalik-balik.

Dengan demikian, meramu empat isu tersebut menjadi satu tema bukanlah hal mudah, karena memerlukan konsentrasi pikiran agar dapat secara cermat memberi penjelasan secara lebih baik.

Demikianlah, uraian berikut ini terbagi menjadi tiga bagian, berturut-turut globalisasi, cita-cita Revolusi 1945, dan reforma agraria, serta masalah kaum tani. Semua disusun dalam bentuk butiran-butiran ringkas.

Globalisasi dan 'Kristal' di Indonesia

1. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, maka hubungan antara berbagai bangsa menjadi begitu mudahnya sehingga terbayanglah suatu proses “menyatu”-nya semua manusia di bumi (globe) ini menjadi “satu komunitas dunia”, yang tak lagi tersekat-sekat oleh batas-batas negara nasional (border world). Hubungan antar-manusia dari berbagai bangsa yang jaraknya begitu jauh, dalam hitungan detik dapat berlangsung. Gambaran inilah yang kemudian melahirkan istilah “globalisasi” dalam arti yang lebih umum.

2. Kenyataan adanya kemudahan dalam komunikasi ini merupakan peluang bagi berbagai kegiatan yang bersifat antar-bangsa, bahkan antar-manusia, dan peluang ini dimanfaatkan terutama oleh mereka yang melakukan kegiatan ekonomi, khususnya lagi oleh mereka yang memandang adanya kemungkinan untuk menciptakan “satu sistem ekonomi” dunia. Karena itu salah satu definisi “globalisasi” adalah: “Globalisasi adalah ekspansi kegiatan ekonomi yang melintas batas-batas politik nasional dan regional, dalam bentuk peningkatan gerakan barang dan jasa, termasuk modal, tenaga kerja, teknologi, dan informasi melalui perdagangan barang dan jasa” (Morison & Hadisusastro, seperti dikutip oleh Mubyarto, 1998).

3. Definisi tersebut memang tidak salah, namun kurang lengkap karena hanya menyangkut aspek teknis ekonomi, sedangkan nuansa sosial politiknya kurang terungkap.

4. Tiga orang profesor dari Inggris pernah menasihat seorang mahasiswanya: “Jangan sekali-kali mencampuradukkan ‘globalisasi/komunikasi’ dengan ‘globalisasi ekonomi’, dan jangan menjadi naif dan secara membabibuta mempercayai adanya ‘borderless world’. Sebab tidak ada suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain” (lihat Sritua Arif,1998)

5. Globalisasi ekonomi pada hakekatnya merupakan gerakan “Transnational Corporation” untuk melakukan ekspansi penanaman modal dan menciptakan satu sistem ekonomi dunia, yaitu sistem yang dilandasi oleh filsafat ekonomi yang kemudian secara populer dikenal sebagai paham neo-liberalisme. Paham ini mendewakan pasar bebas, sebebas-bebasnya (perdagangan bebas, tenaga kerja bebas, investasi bebas, dan modal bebas). Menurut seorang pakar, dua kata kunci dari paham ini tercermin dalam kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang PM Inggris,  Margareth Thatcher; pertama, “ketimpangan, ketidaksamaan, ketidakmerataan, adalah rahmat Tuhan”. Kedua, “mereka yang (menjadi) miskin adalah kesalahan mereka sendiri”. (Cf. Susan George, 2002)

6. Paham neo-liberal itu sudah dibangun sejak lama, lebih dari 50 tahun yang lalu, dengan tokoh utamanya Friederich von Hayek dan Milton Friedman. Dengan tekun, sabar, sistematis, dan dengan biaya milyaran dolar, mereka membangun jaringan paham ini, sehingga sekarang ini kader-kadernya sudah tersebar ke berbagai negara. (Cf. Susan George, ibid). Ketika kemudian negara-negara sosialis di Eropa runtuh, paham ini dengan leluasa merajalela ke seluruh dunia.

7. Gerakan tersebut pada hakekatnya ingin menciptakan sebuah “global empire”, yang dapat diartikan sebagai bentuk penjajahan baru (lihat John Perkins, 2004). Yang berkuasa bukan lagi pemerintah negara-negara bangsa, melainkan korporasinya lembaga-lembaga bisnis internasional. Karena itu oleh Perkins hal ini disebut sebagai “corporatocracy”.

8. Untuk memfasilitasi semua proses menuju ekonomi liberal itu, dengan cara yang sangat halus, canggih, dan sistematis, berbagai negara berkembang didorong atau dibuat “terpaksa”, untuk mengubah UUD negaranya. Di Indonesia sayangnya tidak banyak orang yang menyadari latar belakang ini. Dengan dalih demokratisasi, dan dengan alasan mengurangi kekuasaan Presiden (yang selama Orba memang sangat represif), maka dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945 yang asli, sebanyak 32 pasal diobrak-abrik, sehingga hasilnya menjadi “amburadul”. Inilah cermin bahwa bangsa kita memang sedang mengalami amburadul. UUD 1945 pasca-amandemen itulah “wajah” kita saat ini.

9. Dewasa ini, berbagai negara bangsa (nation-states) sedang mengalami “triple squeeze”, atau jepitan dari tiga arah (lihat S. Borras, Jr., 2004), yaitu “dari atas”, “dari bawah”, dan “dari samping”. Dari atas berupa desakan untuk mengikuti arus globalisasi ekonomi, dari bawah tuntutan otonomi daerah, dan dari samping dorongan privatisasi dan swastanisasi.  Sekalipun datang dari tiga arah dan dalam bentuk berbeda, namun pada hakekatnya sumbernya sama: neo-liberalisme. Paham pasar bebas memang bertujuan meng-“kerdil”-kan peran negara (lihat Susan George, 2002. Op.cit). Bahkan badan-badan dunia seperti PBB pun cenderung dilecehkan.

10. Terhadap semua itu, sikap orang barangkali dapat dikelompokkan menjadi empat: a) mereka yang secara sadar pro neo-liberalisme, b) mereka yang secara sadar anti neo-liberalisme, c) mereka yang secara tulus melakukan hal-hal yang bersifat parsial, yang dipermukaan nampak “luhur”, tapi secara tidak sadar terseret ke dalam arus yang mungkin ke arah yang mereka tentang sendiri, d) mereka yang tidak punya pendirian, dan ikut-ikutan saja ke mana arus mengalir.

11. Dampak dari semua itu sudah begitu meluas dan mendalam, merasuki seluruh tubuh bangsa. Bukan saja di bidang ekonomi, tapi juga di bidang-bidang lain (sosial, politik, budaya, hukum, dll), sebenarnya semuanya sedang mengalami krisis. Karena itu, di Indonesia, krisis itu saya sebut “kristal”, krisis total! Bangsa Indonesia sebagai totalitas sedang mengalami krisis. 
Rumusan definisi yang paling sederhana: “Crisis is... an unresolved steering problem” (Kellner, 1998), yaitu persoalan “nyetir”, ke arah mana “mobil” bangsa ini hendak dibawa. 

Ini berarti krisis kepemimpinan! Kita memang sedang mengalami disorientasi, seolah-olah kehilangan arah. Hukum yang tumpang tindih, kriminalitas yang meningkat, soal narkoba, pengangguran, pendidikan yang dikomersialkan, biaya kesehatan yang mahal, dan sebagainya, dan seterusnya. Semuanya itu mencerminkan carut-marutnya bangsa kita dewasa ini. (Bersambung)

Andeas JW 

0 comments:

Post a Comment