Dua organisasi rakyat tani Urutsewu,
FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan) dan USB (UrutSewu Bersatu)
saling bahu-membahu mengorganisasikan perjuangan petani di kawasan pesisir
selatan Kebumen. Aksi massa hari ini, Rabu 8 Juli 2015, kembali digelar dengan
issue sentral dan tuntutan pemurnian kawasan pesisir Urutsewu sebagai kawasan
Pertanian dan pariwisata rakyat.
Demonstrasi kali ini sebagai respons
atas tindakan Dislitbang TNI-AD yang dalam setahun terakhir ini membangun pagar
di pesisir desa-desa pada 2 kecamatan, Mirit dan Ambal. Tindakan pemagaran
kawasan pesisir, di mata petani Urutsewu merupakan tindakan otoriter dan
arogansi kekuasaan dalam bentuknya yang baru paska kebrutalan mereka dalam
“Tragedi Urutsewu” di Setrojenar, 4 tahun silam; tanpa penegakan hukum yang
berkeadilan.
Tanpa dasar hukum dan aturan jelas
serta perijinan yang semestinya, TNI-AD memaksakan kehendaknya dalam membangun
pagar yang jelas-jelas menabrak lahan-lahan pertanian milik petani. Pemagaran
pesisir Urutsewu adalah sebuah proyek prestisius berbiaya besar, tetapi
penggunaan uang Negara [baca: uang rakyat] justru dialokasikan untuk proyek
yang berakibat terlanggar dan terampasnya hak-hak petani atas tanah pesisir
Urutsewu.
Tanah-tanah di pesisir Urutsewu,
sejak jaman Klangsiran tahun 1922,
1932 [Masa Kolonial] dan masa Rubahan
1958 hingga terakhir Sismiop 2012;
adalah hak petani sebagaimana tertera pada Buku C Desa. Kewajiban membayar
tagihan pajak, sesuai dengan data tanah itu, sejak jaman kolonial menggunakan pethuk hingga sekarang menggunakan SPPT
telah dibayarkan pajaknya oleh petani.
“Saya membayar pajak pada masa
kolonial sebesar 12 kethip”, begitu testimoni Mangun Sastro seorang petani
pesisir Petangkuran yang hingga wafatnya teguh pada pendiriannya.
Sejarah tanah Urutsewu adalah
sejarah hak pemilikan tanah-tanah pertanian, di satu sisi. Di sisi yang lain,
sejarah tanah pesisir Urutsewu adalah sejarah kedaulatan desa-desa atas wilayah
dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, perjuangan dalam
mempertahankan hak atas tanah pesisir ini adalah sebuah perjuangan yang
menyangkut kewajiban sejarah.
Pada prinsipnya, perjuangan rakyat
Urutsewu melalui organisasi petani FPPKS dan organisasi rakyat USB; bukan lah
perjuangan melawan Negara. Sekali lagi, bukan perjuangan melawan Negara !
Tetapi semata-mata sebuah perjuangan
membela dan mempertahankan hak-hak rakyat. Hak atas hidup dengan rasa aman, hak
untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia ini. Ini lah hak dan
kepentingan mendasar petani serta rakyat Urutsewu khususnya dan rakyat
Indonesia pada umumnya.
Tetapi hak dan kepentingan ini telah
lama diharu-biru, terutama sejak munculnya klaim penguasaan dan/atau pemilikan
tanah-tanah pesisir secara sefihak oleh TNI-AD melalui Dislitbang beserta
oknum-oknumnya. Mekanisme okupasi [baca: perampasan] tanah ini dapat dijelaskan
secara terpisah berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Pemagaran yang melanggar tanah-tanah
pertanian pesisir milik petani sebagaimana yang terjadi selama setahun terakhir
ini; bagi kami adalah tindakan pelanggaran hak tetapi dengan mengatasnamakan
seolah-olah kepentingan Negara.
Jika semua ini dibiarkan maka
terampaslah hak dan kemerdekaan petani dan rakyat pesisir Urutsewu.
Padahal Negara sendiri sesuai amanat
kemerdekaan, memanggul kewajiban untuk melindungi hak-hak rakyat serta
mensejahterakannya.
Dengan begitu, rakyat petani pesisir
Urutsewu, melalui organisasi FPPKS dan USB ini mendesak kepada Negara, untuk:
1. Menetapkan
kawasan Urutsewu semata-mata sebagai kawasan pertanian dan pariwisata rakyat;
2. Menghentikan
pemagaran di seluruh pesisir Urutsewu; sekarang juga.
Kebumen, 8 Juli 2015
“Rakyat Urutsewu
Bersatu, Tolak Pemagaran Pesisir”
“Kawasan Urutsewu
untuk Pertanian dan Wisata Rakyat”
0 comments:
Post a Comment