This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, March 25, 2009

Refleksi Perlawanan Tani Setrojenar - 2

Gambaran kondisi umum desa Setrojenar tak beda jauh dengan 38 desa lainnya di kawasan 'urut-sewu' pesisir selatan khususnya, dan petani Indonesia umumnya.

Petani dengan kepemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 ha; jelas tak mencukupi kebutuhan tiap keluarga tani. Belum lagi harus berhadapan dengan semua ekses kebijakan neo-liberalism.
Kepemilikan lahan minimum, biaya produksi tinggi, rendah teknologi, keharusan bertarung dengan banjir produk impor negara maju, implikasi teknologi trans-genetika.. Bla bla bla!
Kini ditambah kewajiban untuk memerangi hegemoni tentara. Kehadiran tentara dengan kepentingannya di sana, lambat laun telah menggeser lahan yang menjanjikan kemakmuran, menjadi pasetran yang menyimpan ancaman.
Keselamatan umum dan kelestarian lingkungan dipertaruhkan.
Ironi termenarik dari desa Setrojenar adalah 'deklarasi' perlawanan semestanya terhadap tentara pada tahap ini, justru dilancarkan saat semua orang berkonsentrasi pada Pemilu. Tetapi tak seorang pun yang tengah berkepentingan memenangkan Pemilu itu, peduli membantu, membela atau berjuang bersamanya.

Sejarah Pertanian Setro

Sejarah tanah 'pasetran' Setrojenar tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat di kawasan 'urut-sèwu' itu.
Kasan Mardji (93 th), penduduk KaibonPetangkuran, Ambal; menuturkan kesaksian historis atas tanah-tanah warisan nenek-moyangnya. Dahulu ia dan petani lain mengolah lahan ujungnya sampai ke 'banyuasin'. Maksudnya, lahan adat yang diwariskan itu sampai ke tepi air. Pada masa lurah Djiman, katanya, lahan-lahan itu 'dipunggel' atau mengalami pengurangan.
Hanya ada penjelasan semua dilakukan dengan alasan mengurangi beban pajak petani. Alasan ini ditengarai amat manìpulatif, meski dilakukan oleh penguasa desa.

Menurut Purwanto, 36 th, warga Setrojenar, hak Dislitbang TNI-AD atas tanah di Setrojenar tak lebih dari 20.000 meter persegi. Yakni tanah 200 m panjang x lebar 100 m yang sejak 1981 dibangun kantor Dislitbangad beserta mess asrama itu. Dia tak habis pikir jika tentara berasumsi memiliki tanah diluar yang 20.000 meter persegi itu. Kapan tentara beli tanah di luar yang dipakai asrama itu? Atau jangan-jangan cuma memanipulasi fakta yang ada.

Fakta yang ada bahkan membuktikan betapa Dislitbang TNI-AD telah sama sekali mengabaiakan hak rakyat atas tanah di situ. Mau bukti? Gambar di samping ini adalah keberadaan PosKo latihan dan uji coba di sisi timur jalan masuk, sekitar 500 meter dari garis pantai Setrojenar. Bangunan berlantai 3 ini dibangun di atas tanah bersertifikat asli SHM atas nama Mihad, penduduk Setrojenar. Dan, jangankan denagan proses membeli; bahkan Dislitbang TNI-AD membangun semuanya tanpa pamit!!

Monday, March 23, 2009

Refleksi Perlawanan Tani Setrojenar - 1

Mengapa desa Setrojenar melawan tentara, dalam hal ini TNì-AD? Adalah karena tentara, lewat institusi Balitbang TNì-AD telah merampas tanah-tanah petani di kawasan itu. Bagaimana mekanisme perampasan itu, akan dijelaskan oleh fakta empiris yang ada.

Profil Desa

Desa Setrojenar termasuk salah satu dari 38 desa di kawasan 'urut-sewu' yang memiliki pantai samudera Indonesia. Posisi geografis desa ini terletak pada 7 derajat 47'25" Lintang Utara dan 109 derajat 39'51" Bujur Timur.
Desa ini masuk wilayah Kec. Buluspesantren , di Kab. Kebumen. Berbatasan dengan desa Ayamputih di sebelah barat, dì sebelah utara ada desa Bocor. Sedang di sebelah timur berbatasan dengan desa Brecong dan batas selatan adalah Samudera Indonesia.

Luas desa: 252,827 Ha. Terdiri dari 184,185 ha ladang/tegal dan pemukiman seluas 68,642 ha. Selebihnya ada 16,301 ha tanah Kas Desa, lapangan 1,392 ha dan lainnya 16,140 ha.

Jumlah penduduk: 2.772 orang; terdirì dari 1.391 laki-laki dan 1.381 perempuan. Terhimpun dalam 774 KK. Tercatat ada 240 tamat SD, 207 tamat SMP dan lulusan SLA ada 120 orang. Ada 2 orang berpendidikan D1, 24 tamat D2 serta 18 orang menamatkan S1.

Mata pencaharian mayoritas penduduk Setrojenar adalah Petani: 1.177 orang. Kemudian Buruh: 257 orang, Buruh Swasta: 155 orang dan PNS: 38 orang serta TNI/Polri: 10 orang. Pensiunan: 22 orang dan 14 orang jadi pamong/perdes. Terdapat 111 pengrajin, 64 pedagang, 4 peternak, 3 montir.

Desa Setrojenar hanya berjarak 0,5 Km dari kota kecamatan, terletak di kawasan pesisir dengan suhu rata-rata 28 derajat Celcius.
Di sektor pertanian desa ini menghasilkan beberapa komoditas dari tanaman pangan yang ada.

Tanaman jagung dengan luasan lahan 80 ha menghasilkan 5,6 ton/ha. Kedelai dengan 5 ha lahan hasilkan 1,5 ton/ha. Kacangtanah dan tanaman sayuran seperti kacangpanjang, ubi jalar, cabe, mentimun, dll.
Juga terdapat tanaman padi ladang atau lazim disebut padi 'gaga' dengan luasan lahan 40 ha dan dapat menghasilkan rata-rata 3 ton/ha. Tanaman pangan lain adalah ubi kayu dengan 5 ha lahan menghasilkan 10,8 ton/ha.

Potensi Agrokultur

Khusus untuk lahan berpasir di kawasan sepanjang pesisir, kini petani mengembangkan tanaman semangka yang di desa Setrojenar telah dibudidaya seluas 20 ha dengan rata-rata hasil 1,8 ton/ha. Budidaya tanaman ini relatif membutuhkan modal besar disamping ketersediaan lahan. Persiapan lahan, pemupukan, perawatan yang mencakup ongkos produksi, termasuk menyiasati kelangkaan air dengan mobilisasi mesin penyedot air. Membutuhkan intensitas penanganan yang tinggi, rutinitas harian yang massif.

Total Keluarga Petani desa Setrojenar yang memiliki lahan ada 649 KK.
624 KK diantaranya memiliki lahan dibawah 0,5 ha. Hanya ada 25 KK yang kepemilikan lahannya antara 0,5 hingga 1 ha. Di luar itu masih ada 71 KK petanì yang tidak memiliki lahan pertanian!
Ketiadaan lahan telah menjadi problem nyata bagi banyak keluarga petani penggarap atau buruh tani ini.

Wednesday, March 18, 2009

SETROJENAR VS TENTARA

Aura perang 'desa melawan tentara' makin kuat saja, ketika Selasa (17 Maret) malam itu sebanyak 66 orang berkumpul di rumah Marsino. Tak hanya warga Setro yang ngumpul di sana, tetapi juga para pemuda dari Entak.
Mereka intens membahas:

- Pertama, surat Kodim 0709 yang meminta supaya Bupati membongkar portal yang dibangun "sekelompok warga Desa Setrojenar" di jalan masuk pantai Setrojenar. Kalimat tendensius 'sekelompok warga Desa Setrojenar', sebagaimana ditulis pada surat Kodim 0709 itu, seakan berpretensì untuk pojokkan warga sebagai 'gerombolan liar' saja.

- Kedua, pada prinsipnya, warga akan mempertahankan gapura yang sudah selesai dibangun itu. Pernyataan sikap ini menjadi "gembleng" dan diamini semua yang hadir pada pertemuan malam itu.

Nyatalah bahwa ancaman terhadap gapura pantai Setrojenar kini jadi identik dengan ancaman terhadap warga. Meskipun warga tahu bahwa soal gapura itu cuma ekses, sebagai akibat saja. Sama seperti soal-soal yang pernah muncul -atau bahkan yang akan muncul- di sana. Selama ada Dislitbang TNI-AD yang mengklaim dan memanfaatkan (baca: menguasai) kawasan pantai sebagai "milik" tentara.
Inilah areal pertanian yang secara adat dimiliki oleh petani desa Setrojenar. Kawasan yang sesungguhnya dapat diubah menjadi lahan subur ini, jika diolah dengan baik akan mendatangkan nilai ekonomi yang signifikan memperbaiki kesejahteraan. Kawasan ini, pada awalnya, disebut kawasan "brosengojo" atau dalam tradisi pertanian lama disengajakan untuk tidak dibudi-dayakan lantaran alasan-alasan ekologis. Jadi dalam konsep (kearifan) tradisional, telah ada teori ekologi.
Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kebutuhan, maka areal ini mulai ditanami.

Dalam perspektif pertanian rakyat, kawasan itu lebih baik diolah dan ditanami dengan baik, sehingga terjaga kesuburan tanahnya. Ketimbang "dikuasasi" tentara dan dipakai latihan perang dan buangan limbah mesiu.

Lagi-lagi, bertemu dengan tentara. Jadi, akar persoalan yang mengganggu warga. khususnya petani Setrojenar dan petani sepanjang "urut sewu" adalah adalah bercokolnya TNì-AD dengan lembaga Dislitbang di sana. Bahkan, tentara, secara sefihak telah mengklaim kepemilikan mereka atas tanah-tanah adat yang jelas-jelas sejarah kepemilikannya tercatat di Buku C Desa. Selama ini warga juga membayar pajak atas tanah-tanah itu dengan bukti 'tupi' atau 'petuk' alias SPPT.

Inilah akar munculnya perang Desa melawan tentara.

Program Desa

Secara khusus, berkaitan dengan pembangunan gapura itu, sejatinya merupakan program desa dalam hal memanfaatkan dan mengembangkan potensi desa, khususnya di bidang wisata pesisir. Belakangan ini, melalui organ Paguyuban Petani Kebumen Selatan (PPKS) muncul prakarsa untuk mengembangkan kawasan ini sebagai kawasan agrowisata dan industri pertanian.
Jadi memang pembangunan gapura ini merupakan bagian integral dari program desa Setrojenar, sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des). Dokumen ini telah mendapat persetujuan Bupati.

Menurut Kades, Surip Supangat, ia tidak bisa mengabaikan apa yang menjadi kehendak dan aspirasi warga.
"Apa yang menjadi kehendak masyarakat, itu yang dilaksanakan", tegasnya.

Jadi jelaslah kinì, akan apa yang menjadi kehendak warga desa Setrojenar, bahkan juga warga desa-desa pesisir 'urut-sewu' itu. Desa melawan Tentara.

Friday, March 13, 2009

MELAWAN HEGEMONI MILITER DI BUMI SETROJENAR


Meski fihak Dislitbang TNI-AD berkeberatan, pembangunan portal oleh warga tetap dilanjutkan. Ini sebuah keputusan penting bagi rakyat Setrojenar.
Dalam perspektif kerakyatan, larangan TNì-AD jelas tak berlaku bagi masyarakat. Jika Dislitbang TNì-AD melarang warga mengembangkan potensi kawasan pesìsir Setro, maka harus ada evaluasi secara menyeluruh terkait keberadaan TNì-AD di sana.

Tata Ruang dan Wilayah

Jum'at (13/3) datang (tembusan) surat permohonan pembongkaran gapura. Surat tertanggal 10 Maret 2009 dengan 14 tembusan, dilayangkan Kodìm 0709 Kebumen ini, pada intinya memohon kepada Bupati untuk melaksanakan pembongkaran atas gapura yang dibangun warga.
Alasannya, gapura itu dibangun di tanah Lapbak Dislitbangad, tidak minta ijin kepada Kadislìtbangad serta menyalahi prosedur penyusunan dan penetapan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).

Dalam hal RUTR ini, nuansa hegemoni militer atas kehidupan petani memang kentara. Setidaknya, begitulah yang dìrasakan petani dan warga Setrojenar sejak kawasan itu dijadìkan tempat latihan TNI-AD dan ajang uji coba senjata taktis.

Perda tentang RUTR sendiri mestinya bukan produk hukum yang hanya dimaknai berdasarkan kepentingan sefihak yang implementasinya cuma untungkan institute tentara, tapi berakibat menegasikan hak-hak sipil. Hak petani dan warga atas kawasan itu tak boleh diabaikan begitu saja.

Kita masih ingat penolakan petani Kebumen Selatan terhadap Rencana UmumTata Ruang di kawasan itu. Pada pleno DPRD, 13 Desember 2007 lalu, 60 petani "urut-sewu" menolak kawasan itu dijadikan kawasan pertahanan.

Artinya, ada persoalan di sana. Militer, dalam hal ini Dislitbang TNì-AD, tak bisa semaunya memanfaatkan kawasan itu. Sebab, setìdaknya ada 2 alasan penting terkait pemanfaatan kawasan itu. Pertama, dan ini didukung data-data Buku Desa, tanah di kawasan itu adalah tanah adat milik petani. Sehingga lebih tepat peruntukannya untuk lahan pertanian rakyat.
Kedua, kawasan itu punya potensi wisata dan ramai didatangi pengunjung.

Thursday, March 12, 2009

BPN AJAK DEPHAN SELESAIKAN SENGKETA TANAH TNI *)

JAKARTA. Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan mengajak Departemen Pertahanan (Dephan) untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah TNI di berbagaì tempat di Indonesia.
Kepala BPN, Joyo Winoto mengatakan hal itu, usai melakukan rapat koordinasi penyelesaian sengketa tanah bersama Kapolri Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis.
“Pada 30 Desember 2008 ini, kami akan menandatangani MoU (Nota Kesepahaman) dengan Dephan untuk menyelesaikan kasus tanah TNI” kata Joyo.
Menurut dia, tanah yang dipakai TNI selama ini memiliki beberapa kekhususan dibandingkan dengan tanah di negara lain, antara lain statusnya tanah negara. Sehìngga penyelesaian harus mengacu pada UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Hingga kini, darì sekitar empat ribu hektare tanah TNI baru sekitar 10 persen yang bersertìfikat. Kasus sengketa tanah TNI yang menonjol adalahtanah pusat latihan tempur di Grati, Pasuruan, Jatim. Hingga menyebabkan empat warga tewas terkena peluru marinir pada 30 Mei 2007 lalu.
Warga pernah menggugat TNI soal tanah itu ke PN Pasuruan; namun kalah.
TNI menyerahkan penyelesaian kasus tanah ini ke Dephan. (Antara)

*] Sumber: Antara. dapat pula diakses di
www.balitbang. dephan.go.id

Wednesday, March 11, 2009

Berita Media: RadarSemarang - SuaraMerdeka

Berita Radar Semarang: Portal Pantai Setrojenar Disoal

KEBUMEN. Pembangunan portal (pintu masuk) oleh warga di pantai Setrojenar menuai masalah antara TNI dan warga. Sambil menunggu kata sepakat, pembangunan portal yang sudah 75 persen itu diminta dihentikan sementara. 

Untuk mencari jalan keluar terbaik, Muspika Kecamatan Buluspesantren berinisiatif mempertemukan kedua belah pihak. Jum'at pagi (20/2) kemarin di kantor Sekretariat PPK kecamatan setempat. Kepala Perwakilan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD, Mayor (Inf) Kusmayadi dari TNI bertemu dengan Kepala Desa Setrojenar, Surip Supangat beserta warga.

Pertemuan ini juga dihadiri oleh Camat Buluspesantren Sodikin dan Kapolsek Buluspesantren AKP Sudarmo DS. Menurut Kusmayadi, lokasi portal yang berada pada jarak 200 m dari garis pantai dinìlai melanggar aturan. Pasalnya batas teritorial lahan kepemilikan TNI-AD adalah sejauh 500 m dari garis pantai. Sementara, warga tetap bersikukuh untuk melanjutkan pembangunan portal dengan tinggi 4 m itu.

Pembangunan sudah berjalan sejak awal Februari lalu ìtu. Jika TNI tetap melarang pembangunan portal, warga meminta sejumlah uang ganti rugi.
Seperti diketahui, wilayah pantai desa Setrojenar itu termasuk wilayah yang menjadi latìhan pusat TNI-AD. Panjangnya mencapai 23 km dari kali Wawar di kecamatan Mirit hingga muara sungai Lukulo di kecamatan Klirong.
"Warga boleh membangun namun syaratnya (bangunan portal) jangan bersifat permanen. Hal itu bisa ditempuh dengan membuat pondasi dari tembok dengan ketinggian 1,5 m. Sementara atapnya pakai kayu", ujar Kusmayadi memberi jalan tengah
Kepala Desa Setrojenar, Surip Supangat menyatakan akan segera mengumpulkan warganya untuk diberi pengertian sekaligus mendengarkan aspirasi mereka. Katanya, sumber dana pembangunan portal berasal dari dana swadaya masyarakat sebesar Rp. 19 juta rupiah. (cahjpnn/ton)

* Sumber: http://radarsemarang.com/daerah/jateng/5093-portal-pantai-setrojenar-disoal.htm
___

Berita: SuaraMerdeka, ed 8-11-2007
TANAH DIPATOKI TNI, WARGA TIGA DESA PROTES

Kebumen, Cybernews.
Ratusan warga dari tiga desa di kecamatan Buluspesantren Kebumen beramai-ramai protes kepada Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD agar mencabut patok yang dipasang di tanah mereka. Mereka adalah warga desa Setrojenar, Brecong dan Ayamputih yang memiliki tanah di pesisir selatan yang ditanami patok bertuliskan TNI-AD.

Tuntutan tersebut mereka sampaikan dalam pertemuan yang digelar di pendopo kecamatan Buluspesantren, Kamis (8/11).

Mereka menuntut Dislitbang TNI-AD untuk mencabut patok yang ditanam di tanah mereka. Hal itu dipicu kekhawatiran mereka, jika setelah pemasangan patok itu, pihak TNI-AD akan mengklaim hak tanah itu.
"Pemasangan itu memang tanpa didahului dengan sosialisasi" ujar Ketua BPD desa Setrojenar, Mokh. Syabani yang dibenarkan Ketua BPD Brecong, Mansyur kepada RM Cybernews, Kamis (7/11).
Dalam pertemuan itu hadir Kepala Perwakilan Dislitbang, Kapten Inf. Suseno, perwakilan Kodim 0709 Kebumen, Kapten M. Choliludin serta Muspika Buluspesantren. Kapten Suseno menegaskan pematokan yang dilakukan olei pihak TNI-AD hanya sebagai penanda daerah latihan saja.
"TNI tidak akan mengklaim tanah milik warga", ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kapten M. Choliludin dari Kodim. Namun warga tetap khawatir dan meminta pihak TNI mencabut patok itu. Sampai akhir pertemuan yang digelar kedua kali itu, tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan.

Camat Buluspesantren Chumdori BcHk menjelaskan, berdasarkan ketentuan yang sudah dibuat tahun 1982, tanah yang dimiliki TNI-AD berada pada radius 500 m dari bibir pantai.

Untuk memperoleh kepastian kepemilikan tanah yang dipatok, pihaknya akan meminta penjelasan Kantor Pertanahan mengukur tanah yang yang menjadi milik warga dan TNI-AD. Memang, lokasi tersebut selama ini dikenal sebagai daerah yang digunakan untuk uji coba senjata berat milik TNI-AD. Saat digunakan memasang bendera sebagai tanda aman dan daerah terlarang untuk umum.
"Kalau memang untuk keamanan, dengan bendera saja sudah cukup", kata sejumlah warga.
___
-sumber: wap.suaramerdeka.com/isi_berita.php?-d=51830

Monday, March 09, 2009

Kebangkitan Pemuda dan Petani Setro



Hari Selasa, 24 Februari 2009 menjadi sebuah moment penting bagi masyarakat pesisir selatan Kebumen, khususnya warga Setrojenar, Kec. Buluspesantren. Di sebuah mushola yang biasa pula dipakai sholat berjamaah dan mengaji, malam itu berganti suasana. Sebanyak 48 warga terdiri dari petani, pamong, tomas, perdes serta pemuda mengadakan pertemuan di mushola depan rumah Kades. Pada intinya, pertemuan di malam itu membahas soal larangan tentara terhadap inisiatif warga desa dan pemuda yang membangun portal di jalan masuk ke arah "pantai Bocor".

Keberatan fihak tentara atas apa yang dilakukan pemuda Setro ini telah di'rakor'kan di kantor Camat pada hari Jum'at, 20 Februari 2009 sebelumnya. Di saat mana 6 orang wali masyarakat diundang tanpa penjelasan tertulis mengenai tujuan 'rakor' pada surat undangan yang diterima. Alih-alih bermusyawarah, tetapi di kantor Camat yang memfasilitasi rapat ini telah menunggu petugas Satpol PP dari Kabupaten Kebumen. Suasana yang tidak menentramkan hati buat berembug ini disikapi dengan legawa oleh wali masyarakat yang agaknya telah terbiasa menerima berbagai perlakuan tak enak selama ini.

Sampai 'rakor' dilangsungkan, ternyata wali masyarakat ini dihadapkan bukan saja dengan komandan Dislitbang TNI-AD; tetapi di sana ada pula aparatus negara dari Polres dan Kodim 0709 Kebumen, Polsek dan Koramil Buluspesantren.
Menurut mantan Kades Setrojenar, Nur Hidayat, yang ikut dalam rapat itu, pada intinya fihak Dislitbang TNI-AD keberatan atas dibangunnya portal permanen oleh pemuda desa. Jika harus membangun di areal itu, menurut Dislitbang, sebaiknya dengan setengah permanen, mengingat di kawasan itu sekaligus menjadi zona latih, atau tepatnya uji coba persenjataan TNI.

Gambar di samping ini adalah bangunan portal (gapura) yang disoal oleh Dislitbang TNI-AD itu. Adapun pembangunannya sendiri baru mencapai sekitar 75 persen saja, dan terpaksa dihentikan untuk sementara. Tetapi, memang tak ada titik temu yang dihasilkan dalam rakor Jum'at (20 Februari 2009) di kantor Camat itu. Dan oleh karena pembangunan gapura ini, menurut warga, lebih merupakan prakarsa masyarakat yang juga bertujuan untuk menertibkan dan mengamankan lokasi wisata pantai Setrojenar; maka akan dipertahankan oleh pemuda. Setelah musyawarah warga di malam hari itu menghasilkan ketetapan tekad untuk melanjutkan pembangunan portal, maka pada keesokan harinya pembangunan dilanjutkan kembali.

Menyoal Aturan

Tudingan fihak tentara bahwa pembangunan portal itu melanggar aturan, menurut warga, itu cuma asumsi sefihak. Tak ada atau belum ada aturan yang melarang warga untuk membangun apapun, termasik portal, di tempat itu. Inisiatif membangun portal murni berangkat dari kebutuhan untuk menata dan menertibkan kendaraan pengunjung pantai di wilayah desa Setrojenar. Jika fihat Dislitbang melarang, maka atas dasar apakah larangan itu? Sebaliknya, justru hal ini mengundang pertanyaan balik. Apa kepentingan tentara di sana?

Jauh sebelum tentara datang ke desa Setrojenar, kawasan itu telah menjadi bagian dari wilayah desa. Pada tahun 1981, saat tentara memulai membangun infrastruktur yang kemudian diketahui sebagai instrumen Litbang TNI-AD, tak ada masalah. Pada tahun berikutnya, saat pengoperasian tempat itu dimulai, pun tidak ada persoalan. Relasi TNI dan warga masyarakat adalah hubungan yang setara dan saling menghargai. Jika harus bicara aturan, maka warga mempertanyakan atas aturan apa fihak TNI-AD berada di sana dan melegitimasi diri untuk memanfaatkan potensi kawasan itu.

Mengganggu Warga

Persoalan muncul ketika intensitas TNI-AD dalam memanfaatkan kawasan pantai Setrojenar meningkat. Pantai S yang semula aman tenteram dan masyarakat dapat leluasa memanfaatkan kawasan itu untuk aktivitas produktif terutama untuk kegiatan pertanian dan rekreasi, lambat laun mulai menyimpan bahaya yang mengancaman keselamatan banyak orang.

Gambar disamping menjelaskan bahwa tanaman kelapa milik petani, juga tak luput dari hantaman peluru mortir yang ditembakkan dari moncong senjata taktis tentara. Belum lagi tanaman pangan lain, seperti semangka, jagung, kacang tanah, cabe; yang tergilas roda panser atau tank saat latihan.

Pada pertengahan tahun 1997, lima anak harus mati karena keteledoran tentara. Bermula dari dua anak yang menemukan peluru mortir yang tidak meledak usai latihan uji tembak di sana, memungut benda yang berbahaya itu dan memboyong ke rumahnya. Dan ketika dicungkil bagian yang mirip sirip pada peluru mortir itu, maka meledaklah. Ada pernyataan terhadap insinden ini bahwa anak-anak itu telah menemukan peluru mortir yang merupakan sisa perang melawan kolonial dulu.

Kemudian pada tahun 2008 lalu, dua petani yang tengah merawat tanaman pangan, terluka karena terkena pecahan mortir yang ditembakkan pada saat latihan tentara dan meledak tak jauh dari tempatnya bekerja. Menurut kesaksian warga, seringkali pula jika tentara melakukan latihan, tidak didahului dengan peringatan kepada petani. Tak terhitung pula tentara menunjukkan kebrutalannya dengan tank atau panser menggilas tanaman pertanian seperti semangka, jagung, cabe milik petani. Petani tak berani repot menuntut ganti rugi atas semuanya. Lama hidup dibawah tekanan cemas dan rasa takut, telah memberi pelajaran tentang hidup bermartabat sebagai petani yang mesti membela harkat hidupnya.

Dan ketika pemuda membangun portal, kemudian dilarang fihak tentara, maka dimulailah perlawanan itu !

(to be continued)