Aura perang 'desa melawan tentara' makin kuat saja, ketika Selasa (17 Maret) malam itu sebanyak 66 orang berkumpul di rumah Marsino. Tak hanya warga Setro yang ngumpul di sana, tetapi juga para pemuda dari Entak.
Mereka intens membahas:
- Pertama, surat Kodim 0709 yang meminta supaya Bupati membongkar portal yang dibangun "sekelompok warga Desa Setrojenar" di jalan masuk pantai Setrojenar. Kalimat tendensius 'sekelompok warga Desa Setrojenar', sebagaimana ditulis pada surat Kodim 0709 itu, seakan berpretensì untuk pojokkan warga sebagai 'gerombolan liar' saja.
- Kedua, pada prinsipnya, warga akan mempertahankan gapura yang sudah selesai dibangun itu. Pernyataan sikap ini menjadi "gembleng" dan diamini semua yang hadir pada pertemuan malam itu.
Nyatalah bahwa ancaman terhadap gapura pantai Setrojenar kini jadi identik dengan ancaman terhadap warga. Meskipun warga tahu bahwa soal gapura itu cuma ekses, sebagai akibat saja. Sama seperti soal-soal yang pernah muncul -atau bahkan yang akan muncul- di sana. Selama ada Dislitbang TNI-AD yang mengklaim dan memanfaatkan (baca: menguasai) kawasan pantai sebagai "milik" tentara.
Inilah areal pertanian yang secara adat dimiliki oleh petani desa Setrojenar. Kawasan yang sesungguhnya dapat diubah menjadi lahan subur ini, jika diolah dengan baik akan mendatangkan nilai ekonomi yang signifikan memperbaiki kesejahteraan. Kawasan ini, pada awalnya, disebut kawasan "brosengojo" atau dalam tradisi pertanian lama disengajakan untuk tidak dibudi-dayakan lantaran alasan-alasan ekologis. Jadi dalam konsep (kearifan) tradisional, telah ada teori ekologi.
Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kebutuhan, maka areal ini mulai ditanami.
Dalam perspektif pertanian rakyat, kawasan itu lebih baik diolah dan ditanami dengan baik, sehingga terjaga kesuburan tanahnya. Ketimbang "dikuasasi" tentara dan dipakai latihan perang dan buangan limbah mesiu.
Lagi-lagi, bertemu dengan tentara. Jadi, akar persoalan yang mengganggu warga. khususnya petani Setrojenar dan petani sepanjang "urut sewu" adalah adalah bercokolnya TNì-AD dengan lembaga Dislitbang di sana. Bahkan, tentara, secara sefihak telah mengklaim kepemilikan mereka atas tanah-tanah adat yang jelas-jelas sejarah kepemilikannya tercatat di Buku C Desa. Selama ini warga juga membayar pajak atas tanah-tanah itu dengan bukti 'tupi' atau 'petuk' alias SPPT.
Inilah akar munculnya perang Desa melawan tentara.
Program Desa
Secara khusus, berkaitan dengan pembangunan gapura itu, sejatinya merupakan program desa dalam hal memanfaatkan dan mengembangkan potensi desa, khususnya di bidang wisata pesisir. Belakangan ini, melalui organ Paguyuban Petani Kebumen Selatan (PPKS) muncul prakarsa untuk mengembangkan kawasan ini sebagai kawasan agrowisata dan industri pertanian.
Jadi memang pembangunan gapura ini merupakan bagian integral dari program desa Setrojenar, sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des). Dokumen ini telah mendapat persetujuan Bupati.
Menurut Kades, Surip Supangat, ia tidak bisa mengabaikan apa yang menjadi kehendak dan aspirasi warga.
"Apa yang menjadi kehendak masyarakat, itu yang dilaksanakan", tegasnya.
Jadi jelaslah kinì, akan apa yang menjadi kehendak warga desa Setrojenar, bahkan juga warga desa-desa pesisir 'urut-sewu' itu. Desa melawan Tentara.
Wednesday, March 18, 2009
SETROJENAR VS TENTARA
Wednesday, March 18, 2009
No comments
0 comments:
Post a Comment