This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, September 20, 2019

RUU Pertanahan Akan Diskriminasi Warga Urut Sewu dan Daerah Lain

09/20/2019
Oleh:Persma Poros


Persoalan konflik agraria di Urut Sewu, Kebumen, mestinya menjadi isu yang diperdebatkan dalam skala nasional. Bagaimana tidak, isu yang muncul sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sampai saat ini belum ada penyelesaian. Maka, ketika persoalan di Urut Sewu menjadi isu nasional, diharapkan dapat diurai dan dibongkar akar masalah dan penyelesaian. Sekaligus, masyarakat luas mengerti kondisi negara saat ini: tidak sedang baik-baik saja.

Konflik agraria di Urut Sewu kembali pecah pada Rabu (11/9), antara warga Urut Sewu, Bercong, pesisir selatan Kebumen dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) dari Kodim 0709/Kebumen dan Batalyon Infanteri 403/ Wirasada Pratista Yogyakarta. Hal ini dipicu adanya pengklaiman secara sepihak dan pemagaran oleh TNI AD atas tanah warga seluas 500 meter dari bibir pantai dan panjang 22,5 kilometer.

Kejadian ini terjadi saat warga berusaha menghalangi proses pemagaran yang dilakukan oleh TNI AD. Bukan hanya itu, beredar di media sosial, bahwa ada tindakan biadab dan kejam dari Aparat, dalam hal ini TNI AD, yang memukul, menggebuk, menginjak, dan menembak warga dengan peluru karet. Perlakuan tersebut jelas bertolak belakang dari tugas TNI AD yang harusnya melindungi dan mengayomi rakyat, bukannya menindas dan mempersekusinya. Dalam peristiwa ini ada 16 warga terluka dan sempat dibawa ke puskesmas untuk dilakukan visum.

Peristiwa ini seperti mengulang kejadian di tahun 2011. Dikutip dari tirto.id, pada 2011, tujuh orang ditembak TNI, 13 luka-luka, dan 12 motor rusak. Warga juga ada yang ditangkap dan dijadikan tersangka pengrusakan gardu milik TNI. Kemudian pada 2015, 17 orang terluka. Bahkan, ketika saya ke Urut Sewu untuk bertemu dengan kawan-kawan di sana.

Konflik semacam ini muncul karena adanya perampasan-perampasan lahan dan ruang hidup warga untuk pembangunan, perkebunan, pertambangan hingga penguasaan oleh lembaga negara.

Dilansir dari inews.id, Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), Seniman Marto Dikromo mengatakan sejak tahun 2011, FPPKS berjuang agar apa yang menjadi hak warga dikembalikan. Tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan aktivitas warga di kawasan pesisir selatan Urut Sewu diklaim menjadi milik negara, dalam hal ini TNI AD.

Menurutnya, berawal dari izin menggunakan tempat untuk latihan uji coba senjata, sejak tahun 1982, TNI AD perlahan tidak menghormati petani sebagai pemilik tanah.

Ketika saya di Urut Sewu pada Sabtu (14/09), pemagaran yang dilakukan TNI AD, dari 22,5 kilometer, hanya tersisa lima kilometer yang belum dieksekusi. Sebab, bentrok antaran warga dan TNI AD pada Rabu (11/09), Bupati Kebumen menginstruksikan untuk memberhentikan pemagaran dan menarik alat berat. Meski demikian, Minggu (15/09) alat berat masih terlihat tidak jauh dari lokasi bentrok. Artinya, ada kemungkinan pemagaran akan kembali dilakukan oleh pihak TNI-AD.

Sebenarnya, konflik di Urut Sewu hanyalah satu dari banyaknya konflik agraria di Indonesia. Didapat dari Mongabay.co.id, data KPA, dalam periode Jokowi-Jusuf Kalla, terekam 1.769 kasus agraria dengan menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi. Hebat bukan rezim saat ini?

Semua yang saya urai di atas bertentangan dengan semangat reformasi dan Nawa Cita yang di usung Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Poin yang tidak sejalan paling kentara adalah pada poin satu yang berbunyi:

Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

Ditambah pula dengan Rancangan Undang-Undang (UU) Pertanahan yang baru bertolak belakang dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.  Rancangan UU Pertahanan ini semakin cetho welo-welo, bahwa UU ini dibuat untuk kepentingan pemilik modal dan korporasi yang tidak menutup kemungkinan akan mengeksploitasi dan menindas rakyat.

Didapat dari Koran Kompas Edisi Senin, 16 September 2019, Rancangan UU Pertanahan antara lain:

1.    Mengahapus hukum adat sebagai dasar pengaturan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan lahan.

2.    Mereduksi makna “wilayah” pada hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanahnya menjadi hanya ruang lingkupnya pada Kawasan non-hutan (pasal 6). Hak atas tanah tidak dapat diberikan di atas tanah ulayat secara langsung.

3.    Di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan Hak Milik (HM) dapat diberikan Hak Guna Usaha (HGU) (Pasal 23 Ayat 2): menyamakan kedudukan tanah negara, tanah HPL, dan tanah HM.

4.    Memberikan kemudahan bagi yang kuat posisi tawarnya dan tidak memberikan keadilan yang seimbang bagi pihak yang lemah posisi tawarnya melalui pengaturan tentang HGU (Pasal 23-27).

5.    Manipulasi definisi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) (Pasal 1 Butir 8 RUUP) yang menyebabkan HMSRS bisa diberikan kepada (Warga Negara Asing (WNA) yang benar-benar berstatus Hak Guna Bangunan (HGB).

6.    Mengakui tanah bekas milik adat dan didaftar melalui penegasan/pengakuan hak (Pasal 20 Ayat 4). Tetapi RUUP juga mengatur kalau tanah tersebut tidak didaftar dalam jangka waktu 2 tahun akan didaftarkan berdasarkan pemberian hak-artinya dianggap sebagai tanah negara (Pasal 101).

7.    Mengusulkan pengadilan pertahanan (Pasal 81), tetapi tidak menganggap penting dibentuknya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang bersifat independen.

Sekarang, kita mengerti bahwa  rasa aman, nyaman dan kehangatan bernegara tidak lagi dijamin oleh negara. Saat ini, kita sesama orang-orang kecil yang ditindas, dirampas dan diperlakukan tidak adil oleh negara harus saling membantu, berupaya mengamankan satu sama lain dan memberikan pengayoman dan kasih sayang. Sebab, fungsi negara bukan lagi melindungi dan mengayomi, tapi menakut-nakuti dengan cara yang menakutkan pula.

Warga Urut Sewu, Kendeng, Kulon Progo dan daerah-daerah yang dimarjinalkan sekaligus dikriminalisasi adalah kawan-kawan kita yang butuh perlindungan dan bantuan dari kedunguan nasional dan kepongahan korporasi elit internasional.

Penulis : Adil, Mahasiswa PBSI

Friday, September 13, 2019

Perempuan di Garis Depan Perlawanan Urutsewu


Salah satu argumen TNI-AD dalam melaksanakan -pemaksaan- pemagaran di tanah-tanah "pemajekan" milik petani kawasan pesisir Urutsewu, adalah bahwa pagar yang mereka buat itu untuk menjaga asset negara disana. 

Klaim sepihak soal asset negara ini, konon, menurut kalangan tentara, mendasarkan pada adanya serah terima dokumen dari KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Artinya, ada asumsi bahwa tanah pesisir Urutsewu itu milik Kumpeni yang diwariskan oleh KNIL dalam suatu serah-terima kepada TNI. 


Sesungguhnya, "teori" ini telah sejak lama "ditertawakan" warga. Tetapi, ihwal adanya dokumen ini, tidak pernah sekali pun ditunjukkan kepada petani atau pejabat pemerintah yang mencoba memediasi kemelut ini. Apakah pesisir Urutsewu itu warisan Belanda, jika ada itu dokumen tahun berapa, bagaimana isinya, kapan dimana serah-terimanya; tak pernah ada yang tahu.


Di pihak lain, baik dari petani maupun dari pejabat desa telah membuka dan menunjukkan bukti berupa data administrasi tanah dalam Buku C Desa, bukti sertivikat Hak Milik (Dinas Agraria, 1962-1969), bukti pembayaran pajak (dari sejak menggunakan Pethuk atau TUPI hingga SPPT - Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), yang telah ditunjukkan dalam berbagai kesempatan. 





Tampilnya Perempuan
"Wong dudu tanah negara kok arep dipager tentara", demikian sergah seorang ibu di muka tentara yang menjaga pemagaran. "Mbok coba tentara mikir...", lanjutnya. 
Pemagaran ini, yang sejak awalnya mendapat penolakan dan perlawanan dari para petani karena jelas-jelas dilakukan dengan menerjang tanah-tanah pemajekan milik warga, memicu amarah para petani; tak terkecuali ibu-ibu warga Urutsewu desa Brecong yang juga tak rela karenanya. 

Itu sebabnya para perempuan ini langsung bergerak ke lahan pertanian begitu mendengar maklumat yang disuarakan melalui Toa masjid desa dan mushola. Sebagian perempuan  bersama warga lainnya telah lebih dahulu berada karena memang tengah bekerja di lahan garapannya. 

Rekaman video di atas, menjelaskan bagaimana petani, termasuk perempuan mengambil semua resiko menghadapi tentara di lapangan yang tengah memaksakan kehendaknya membangun pagar. Sebelum insiden kekerasan Rabu (11/9) ini, beberapa kali juga terjadi friksi di lokasi pemagaran. []

Respon Darurat dan Penyelesaian Ditunggu Rakyat


Respon Darurat dan Penyelesaian Ditunggu Rakyat



Kepada Yth.:

- Kepala Kantor Staf Presiden (KSP)
- Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI)
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
- Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI)
- Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN RI)
- Menteri Pariwisata
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
- Gubernur Sumatera Utara dan Gubernur Jawa Tengah
- Direktur Badan Pengelola Otoritas Dana Toba (BPODT)

Dengan hormat,

Rentang dua hari ini, Rabu-Kamis, (11-12/9) telah terjadi penggusuran diikuti tindakan kekerasan aparat keamanan di dua wilayah berbeda, yakni:

Pertama, penggusuran diikuti aksi kekerasan oleh aparat TNI AD terhadap warga Urut Sewu yang mempertahankan tanahnya di Desa Brencong, Kec.Bulus Pesantren Kab.Kebumen, Jawa Tengah. Peristiwa ini mengakibatkan 16 orang terluka di bagian kepala, tangan badan hingga kaki. Kejadian ini terkait konflik agraria lama masyarakat dengan TNI AD di atas tanah warga seluas 1.150 hektar yang diklaim sepihak TNI AD untuk kepentingan latihan militer dan ujicoba alutista.

Kedua, penggusuran dan tindakan kekerasan yang terjadi di Desa Sigapiton, Toba Samosir, Sumatra Utara. Peristiwa ini menyebabkan satu orang terluka dan seorang ibu pingsan akibat didorong aparat polisi saat menghalangi penggusuran. Ibu-ibu terpaksa melakukan aksi telanjang karena aparat terus melakukan penggusuran paksa dengan alat backhoe. Peristiwa ini disebabkan penetapkan zona otoritatif seluas 386,5 ha yang dikuasakan kepada BPOPDT. 120 ha di dalamnya adalah tanah adat dari marga Raja Na Opat di Desa Sigapiton.

Kasus Sigapiton ini pada Agustus lalu telah dilaporkan ke Kantor Staf Presiden (KSP), yang berjanji akan memanggil Bupati Toba Samosir. Termasuk warga melaporkan ke KLHK. Belum ada tindak lanjutnya hingga terjadinya peristiwa tersebut. 

Di tengah Presiden berjanji menyelesaikan konflik agraria dalam kerangka reforma agraria, dan berjanji melindungi petani serta masyarakat adat, Kami menyayangkan dan mengutuk keras berulangnya tindakan kekerasan dan represifitas aparat terhadap masyarakat. 

Harusnya pemerintah mengedepankan dialog dengan warga, bukan menurunkan aparat keamanan untuk merepresi dan merampas tanah masyarakat.

Kami meminta pemerintah pusat dan daerah agar segera turun tangan untuk menghentikan penggusuran dan perampasan tanah rakyat. Hentikan pelibatan TNI, Polisi dan Satpol PP yang diposisikan vis a vis dengan masyarakat.

Selanjutnya segera tuntaskan konflik agraria di Urut Sewu dan Toba Samosir. Penuhi hak-hak rakyat atas tanah dan wilayah hidupnya secara utuh.

Demikian kami sampaikan. Kami menunggu para pihak terkait untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit yang berkeadilan bagi masyarakat.

Terima kasih

Hormat Kami,
Konsorsium Pembaruan Agraria


Dewi Kartika
Sekretaris Jendral

Kontak: 081 394 475 484

Thursday, September 12, 2019

Perampasan Lahan, Warga Urut Sewu Terus Melawan


Penulis: Kontributor Selbum - September 12, 2019


Rabu (11/9), bentrokan terjadi antara warga Urut Sewu, Bercong, pesisir selatan Kebumen dengan TNI AD. Kejadian ini terjadi saat warga berusaha menghalangi proses pemagaran yang dilakukan oleh TNI AD. Sebanyak 16 warga yang mengalami luka-luka dibawa ke Puskesmas Buluspesantren untuk dilakukan visum.

Dari berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan selamatkanbumi.com, didapatkan keterangan bahwa sebagian warga yang luka-luka karena terkena peluru karet yang ditembakkan.

Menurut Teguh Purnomo yang sejak kejadian ikut mendampingi warga, bentrokan terjadi karena warga Urut Sewu mempertahankan tanah kepemilikannya.
“Ini akar masalahnya adalah konflik tanah yang diabaikan penyelesaiannya oleh pemerintah. Harusnya TNI tidak main hakim sendiri memagar tanah rakyat dan melakukan kekerasan seperti itu,” jelas Teguh.
Menurut keterangan warga, Umi Ma’rufah, setelah dipukul mundur oleh TNI AD, pihak warga kemudian menuju ke Pendopo Kabupaten Kebumen untuk menyampaikan kondisi lapangan dan melaporkan kepada Bupati Kebumen, Yazid Mahfud. Yazid Mahfud menyampaikan bahwa dirinya hanya dapat menghentikan pemagaran yang terjadi di Desa Brecong saja.

Perampasan Lahan Sejak Lama

Sejak 1830-1871 telah dilakukan penataan tanah atau yang dikenal dengan sebutan “Galur Larak” pada masa pemerintahan Bupati Ambal R. Poerbonegoro. Penataan ini berupa pembagian tanah berdasarkan arah mata angin yaitu membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut selatan. Kemudian pada 1920 juga dilakukan Blengketan Desa yaitu penggabungan desa-desa di Urut Sewu yang masih digunakan sampai saat ini.

Pada 1932 dilakukan Klangsiran tanah II berupa pemetaan tanah yang dilakukan oleh pejabat yang disebut Mantri Klangsir pada masa penjajahan kolonial Belanda bersama petani Urut Sewu. Hasil dari tanah yang telah di-Klangsir dipetakan berdasarkan nilai ekonomi sehingga menghasilkan kelas tanah D I, D II, D III, D IV dan D V. Kelangsiran atau pemetaan kelas-kelas tanah ini terutama bertujuan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh masyarakat.

Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam proses klangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar. Di luar batas ini di-klaim oleh Belanda, sehingga masyarakat menyebutnya  sebagai “tanah kompeni”, yakni tanah yang berada pada jarak k.l 150 –  200 meter dari garis pantai.

Klaim “tanah kompeni” tersebut mendapatkan perlawanan keras dari warga, dalam bentuk perusakan gudang garam milik Belanda. Bentuk perlawanan yang lain adalah bahwa masyarakat tetap membuat garam di lokasi “tanah kompeni” tersebut serta membuat jaringan pemasaran sendiri yang dipusatkan di Desa Tlogopragoto.

Berdasarkan realese Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) konflik yang dialami oleh masyarakat Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah telah berlangsung cukup lama. Sedikitnya ada 15 desa terdampak yang terletak di tiga kecamatan.

Pada 1937 lahan tersebut digunakan oleh tentara Belanda untuk latihan militer, namun saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 tanah tersebut dijadikan tempat latihan para pasukan Dai Nippon. Setelah Indonesia merdeka berangsur-angsur tanah tersebut kembali ke tangan rakyat, disusul dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 berhasil disahkan.

Setelah pengesahan UUPA, Departemen Agraria/Dirjen Agraria melakukan pendaftaran atau sertifikasi massal dengan mendata bukti-bukti sertifikat tanah warga dan perjanjian jual beli yang ditanda tangani oleh asisten wedono dan kepala desa.

Namun pasca meletusnya tragedi kemanusiaan 1965 gejolak kembali muncul dan menghambat Reforma Agraria. Banyak warga yang tidak berani mengakui kepemilikan tanah mereka karena takut dianggap komunis.

Berikutnya pada 1982, TNI AD mulai masuk kewilayah Urut Sewu. Pihak TNI AD kemudian meminjam lahan untuk dijadikan latihan tempur. TNI AD melakukan mekanisme peminjaman lahan di pesisir selatan Urut Sewu ke pemerintah Kabupaten Kebumen pada 1997- 2009, namun belakangan mereka tidak melakukan mekanisme izin kembali dan hanya melayangkan surat pemberitahuan bahkan melakukan klaim kepemilikan lahan


Perampasan dan Tindakan Represif yang Dialami Warga

Menurut FNKSDA motif utama perampasan lahan yang dilakukan TNI AD yaitu legitimasi negara dengan dalih keamanan dan pertahanan negara. Kemudian, motif ekonomi yakni pernah hadirnya tambang pasir besi di wilayah selatan Urut Sewu. Menurut keterangan warga, klaim yang dilakukan oleh pihak TNI AD juga dibarengi dengan tindakan represif.

Selain itu menurut Devy Dhian Cahyati, penulis buku Konflik Agraris di Urutsewu Pendekatan Ekologi Politik bahwa wujud kekuasaan yang ditunjukan oleh pihak TNI AD sangat ditonjolkan, klaim atas tanah dibarengi dengan tindakan represif kerap kali dilakukan.

Terlihat sejak 1982, TNI AD kerap kali menggunakan lahan seluas 500 meter dari bibir pantai di sepanjang pesisir Urut Sewu untuk digunakan sebagai latihan pengujian persenjataan militer. Pada 1997, akibat letusan mortir sisa latihan senjata telah menewaskan lima anak Urut Sewu.

“Perusakan motor dan harta benda lain, pemagaran tanah, intimidasi, bahkan penembakan kepada masyarakat Urutsewu juga dilakukan oleh tentara. Sampai hari ini, konflik pertanahan di Urutsewu masih berlangsung” tegasnya.

Terakhir saat pemagaran yang dilakukan oleh TNI AD pada Rabu (11/9) telah melukai sebanyak 16 warga Urut sewu. Kekerasan yang dialami berupa pemukulan hingga luka-luka yang dialami akibat tembakan peluru karet.
Pihak Kodam IV/ Diponegoro membenarkan tindakan represif yang terjadi (11/9). Hal tersebut  dikatakan TNI AD untuk mengamankan pekerjaan pemagaran aset TNI AD.
“Perlu diketahui, berdasarkan Surat DJKN Kanwil Prov. Jateng Nomor S-825/KN/2011 tanggal 29 April 2011 tentang penjelasan bahwa tanah kawasan latihan TNI seluas 1.150 HA diperoleh dari peninggalan KNIL tahun 1949. Saat ini tanah tersebut sudah masuk daftar Barang Milik Negara dengan Nomor Registrasi 30709034, jadi bukan milik warga” jelas Kapendam IV/Diponegoro Letkol Kav Susanto, SIP, MAP dalam keterangan tertulisnya di FB Kodam IV/Diponegoro (11/9).
Bersamaan dengan klaim-klaim yang dilakukan oleh pihak TNI AD, pihak pemerintah kabupaten seakan-akan tidak peduli dengan warga. FNKSDA menyampaikan bahwa pihak pemerintah daerah bahkan mengakomodir perampasan tersebut melalui rancangan Perda RTRW Kebumen.

FNKSDA juga menambahkan bahwa kasus yang terjadi di Urutsewu ini merupakan  tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan tertentu (abuse of power).
“Dengan motif yang dilakukan, banyak kerugian yang dialami warga dan kekerasan. Mengorbankan lahan pertanian, serta ekosistem pesisir selatan yang seharusnya dikonservasi” jelas pihak FNKSDA.
Berdasarkan hasil Munas Alim Ulama NU tahun2017 di Nusa Tenggara Barat beberapa poin yang menjadi kesimpulan dan rekomendasi hasil Bahtsul Masail Ad- Diniyyah Al- Qanuniyah diantaranya adalah tanah harus dikembalikan pada fungsi sebagai alat produksi untuk kesejahteraan rakyat, perlu adanya hukum yang kuat dan komprehensif untuk menjamin kepastian hukum bagi kebijakan distribusi tahan melalui reforma agraria.

Konglomerasi penguasaan lahan konsesi yang tidak proporsional harus diredistribusi melalui hukum yang sah. Kebijakan reforma agraria dan distribusi lahan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Proses dan mekanime reforma agraria harus transparan dan terbuka.

Penulis: Sri Wahyuni


Wednesday, September 11, 2019

Pemasangan Pagar Berujung Babak Belur, 15 Warga Urutsewu Luka-luka, Satu Tertembak Peluru Karet


Penulis: Tim Penutur Selamatkan Bumi - September 11, 2019


Jawa Tengah, Selamatkanbumi.com – Kekerasan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan warga Urutsewu kembali terjadi sejak jam 08.00 WIB di Desa Bercong Buluspesantren, Kebumen, Jawa Tengah. 16 warga mengalami luka-luka, 15 laki-laki dan satu perempuan.

Menurut sekretaris Urut Sewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho, pemukulan warga dimulai saat anggota TNI AD mengusir warga yang mencegah pemasangan pagar di atas tanah warga. Puncaknya, Ia mendengar tiga kali tembakan. Tak lama, satu warga ambruk, rupanya terkena peluru karet.
“TNI mengusir, (kami) dipukuli dan diinjak. Luka kena pukul, sama kena sepatu, yang satu luka peluru karet,” kata Sunu saat dihubungi Selamatkanbumi.com melalui telepon, 11 September 2019.

Pemasangan pagar yang ditolak warga Urutusewu berpangkal dari upaya klaim tanah TNI AD setelah meminjam lahan warga untuk latihan tempur sepanjang 1997 hingga 2009.
“Itu sebenarnya tanah warga yang sudah bersertifikat. Sebagian ada letter C. Intinya semua punya alas hak, diklaim TNI,” kata Sunu.
Sunu menjelaskan, pihak TNI AD melakukan tiga tahap pemasangan pagar sejak enam tahun lalu. Tahap pertama tahun 2013, tahap kedua tahun 2015, dan tahap ketiga tahun ini. Total luas lahan yang diklaim TNI AD seluas 22,5 kilometer dari utara menuju selatan, hingga mendekati laut.
“Setidaknya ada 15 desa dari tiga kecamatan yang terdampak pemagaran,” kata Sunu.
Usai kejadian, Warga Urut Sewu mendatangi kantor Bupati Kebumen untuk meminta  perlindungan serta jaminan keselamatan.
“Bupati mengeluarkan pernyataan, pemagaran harus dihentikan. Sejauh ini kita belum mendengar bagaimana komunikasi TNI dan bupati,” ujarnya.

Sampai saat ini warga masih berkumpul di daerah Kecamatan Buluspesantren, selain untuk berjaga karena merebaknya isu pengejaran, juga untuk memastikan jumlah korban.
“Masyarakat masih berkumpul di pendopo kecamatan, untuk pendataan korban, kita akan bertahan di kantor kecamatan,” kata Sunu.

Tindakan Brutal Tentara Terulang Kembali

BRUTAL: Tindakan brutal tentara terhadap petani kembali terjadi di kawasan pesisir Urutsewu Desa Brecong, Rabu (11/9/2019). Sebanyak 16 petani, pemuda dan perempuan; menjadi korban kekerasan ini, Bahkan diketahui ada seorang petani warga Brecong yang terkena tembakan peluru karet dari arah belakang yang mengenai pangkal paha kiri bagian dalam. [Dok.Warga]

Sebagaimana diprediksi, kenekadan tentara (TNI-AD) membangun pagar di kawasan pesisir Urutsewu dan pembiaran oleh pemerintah tanpa ada upaya menghentikan itu bakal memicu bentrokan; kini nyata terbukti. 

Pemaksaan pemagaran yang sejak awalnya (tahun 2015) telah dengan keras ditentang warga Urutsewu, terutama oleh para petani pemilik lahan pesisir ini -setidaknya- telah menimbulkan 3 kali peristiwa berdarah yang menyebabkan banyak petani terluka akibat pentungan dan bahkan dengan tembakan. 

Tercatat sebelum kejadian terakhir di desa Brecong (11/9/2019) Buluspesantren, kekerasan militer terhadap warga sipil juga terjadi sebelumnya di desa Lembupurwo (30/07/2015) dan Wiromartan (22/08/2015)  kecamatan Mirit. Peristiwa kekerasan militeristik lainnya adalah saat terjadinya Tragedi Urutsewu di Blok Pendil desa Setrojenar (16/4/2011). 

16 Korban di pemagaran pesisir Brecong

KORBAN: Partunah (42), salah satu perempuan dari 16 korban kekerasan militer pada Rabu (11/9) tengah diperiksa di Puskesmas Buluspesantren [Foto: Litbang/Media FPPKS] 

Potensi tindak kekerasan militeristik di Brecong pun sesungguhnya telah bisa diprediksi sebelumnya. Pemaksaan pemagaran yang dilakukan TNI-AD dan memasuki wilayah desa Brecong (Buluspesantren) dari sisi timur yang berbatasan dengan desa Entak (Ambal) juga tak luput dari tentangan para petani. 

Sebelumnya, telah beberapa kali terjadi friksi lapangan di areal pemagaran, yang melibatkan tentara yang memaksa dengan petani yang mempertahankan hak pemilikan tanahnya.
"Tak ada seorang petani yang merelakan tanahnya dipagar paksa tentara", tutur seorang korban menjelaskan alasan aksi penolakannya sehingga ia kena pukul tentara.