Penulis: Kontributor Selbum
- September 12, 2019
Rabu (11/9), bentrokan terjadi antara warga Urut Sewu,
Bercong, pesisir selatan Kebumen dengan TNI AD. Kejadian ini terjadi saat warga
berusaha menghalangi proses pemagaran yang dilakukan oleh TNI AD. Sebanyak 16
warga yang mengalami luka-luka dibawa ke Puskesmas Buluspesantren untuk
dilakukan visum.
Dari berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan
selamatkanbumi.com, didapatkan keterangan bahwa sebagian warga yang luka-luka
karena terkena peluru karet yang ditembakkan.
Menurut Teguh Purnomo yang sejak kejadian ikut
mendampingi warga, bentrokan terjadi karena warga Urut Sewu mempertahankan
tanah kepemilikannya.
“Ini akar masalahnya adalah konflik tanah yang diabaikan penyelesaiannya oleh pemerintah. Harusnya TNI tidak main hakim sendiri memagar tanah rakyat dan melakukan kekerasan seperti itu,” jelas Teguh.
Menurut keterangan warga, Umi Ma’rufah, setelah dipukul
mundur oleh TNI AD, pihak warga kemudian menuju ke Pendopo Kabupaten Kebumen
untuk menyampaikan kondisi lapangan dan melaporkan kepada Bupati Kebumen, Yazid
Mahfud. Yazid Mahfud menyampaikan bahwa dirinya hanya dapat menghentikan
pemagaran yang terjadi di Desa Brecong saja.
Perampasan Lahan
Sejak Lama
Sejak 1830-1871 telah dilakukan penataan tanah atau yang
dikenal dengan sebutan “Galur Larak” pada masa pemerintahan Bupati Ambal
R. Poerbonegoro. Penataan ini berupa pembagian tanah berdasarkan arah mata
angin yaitu membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut selatan.
Kemudian pada 1920 juga dilakukan Blengketan Desa yaitu penggabungan
desa-desa di Urut Sewu yang masih digunakan sampai saat ini.
Pada 1932 dilakukan Klangsiran tanah II berupa
pemetaan tanah yang dilakukan oleh pejabat yang disebut Mantri
Klangsir pada masa penjajahan kolonial Belanda bersama petani Urut Sewu.
Hasil dari tanah yang telah di-Klangsir dipetakan berdasarkan nilai ekonomi
sehingga menghasilkan kelas tanah D I, D II, D III, D IV dan D V. Kelangsiran
atau pemetaan kelas-kelas tanah ini terutama bertujuan untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh masyarakat.
Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam
proses klangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah.
Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar. Di luar
batas ini di-klaim oleh Belanda, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai
“tanah kompeni”, yakni tanah yang berada pada jarak k.l 150 – 200 meter dari
garis pantai.
Klaim “tanah kompeni” tersebut mendapatkan perlawanan
keras dari warga, dalam bentuk perusakan gudang garam milik Belanda. Bentuk
perlawanan yang lain adalah bahwa masyarakat tetap membuat garam di lokasi
“tanah kompeni” tersebut serta membuat jaringan pemasaran sendiri yang
dipusatkan di Desa Tlogopragoto.
Berdasarkan realese Front Nahdliyin untuk
Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) konflik yang dialami oleh masyarakat Urut
Sewu, Kebumen, Jawa Tengah telah berlangsung cukup lama. Sedikitnya ada 15 desa
terdampak yang terletak di tiga kecamatan.
Pada 1937 lahan tersebut digunakan oleh tentara Belanda
untuk latihan militer, namun saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 tanah
tersebut dijadikan tempat latihan para pasukan Dai Nippon. Setelah Indonesia
merdeka berangsur-angsur tanah tersebut kembali ke tangan rakyat, disusul
dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 berhasil
disahkan.
Setelah pengesahan UUPA, Departemen Agraria/Dirjen
Agraria melakukan pendaftaran atau sertifikasi massal dengan mendata
bukti-bukti sertifikat tanah warga dan perjanjian jual beli yang ditanda
tangani oleh asisten wedono dan kepala desa.
Namun pasca meletusnya tragedi kemanusiaan 1965 gejolak
kembali muncul dan menghambat Reforma Agraria. Banyak warga yang tidak berani
mengakui kepemilikan tanah mereka karena takut dianggap komunis.
Berikutnya pada 1982, TNI AD mulai masuk kewilayah Urut
Sewu. Pihak TNI AD kemudian meminjam lahan untuk dijadikan latihan tempur. TNI
AD melakukan mekanisme peminjaman lahan di pesisir selatan Urut Sewu ke
pemerintah Kabupaten Kebumen pada 1997- 2009, namun belakangan mereka tidak
melakukan mekanisme izin kembali dan hanya melayangkan surat pemberitahuan
bahkan melakukan klaim kepemilikan lahan
Perampasan dan
Tindakan Represif yang Dialami Warga
Menurut FNKSDA motif utama perampasan lahan yang
dilakukan TNI AD yaitu legitimasi negara dengan dalih keamanan dan pertahanan
negara. Kemudian, motif ekonomi yakni pernah hadirnya tambang pasir besi di
wilayah selatan Urut Sewu. Menurut keterangan warga, klaim yang dilakukan oleh
pihak TNI AD juga dibarengi dengan tindakan represif.
Selain itu menurut Devy Dhian Cahyati, penulis buku Konflik
Agraris di Urutsewu Pendekatan Ekologi Politik bahwa wujud kekuasaan yang
ditunjukan oleh pihak TNI AD sangat ditonjolkan, klaim atas tanah dibarengi
dengan tindakan represif kerap kali dilakukan.
Terlihat sejak 1982, TNI AD kerap kali menggunakan lahan
seluas 500 meter dari bibir pantai di sepanjang pesisir Urut Sewu untuk
digunakan sebagai latihan pengujian persenjataan militer. Pada 1997, akibat
letusan mortir sisa latihan senjata telah menewaskan lima anak Urut Sewu.
“Perusakan motor dan harta benda lain, pemagaran tanah,
intimidasi, bahkan penembakan kepada masyarakat Urutsewu juga dilakukan oleh
tentara. Sampai hari ini, konflik pertanahan di Urutsewu masih berlangsung”
tegasnya.
Terakhir saat pemagaran yang dilakukan oleh TNI AD pada
Rabu (11/9) telah melukai sebanyak 16 warga Urut sewu. Kekerasan yang dialami
berupa pemukulan hingga luka-luka yang dialami akibat tembakan peluru karet.
Pihak Kodam IV/ Diponegoro membenarkan tindakan represif
yang terjadi (11/9). Hal tersebut dikatakan TNI AD untuk mengamankan
pekerjaan pemagaran aset TNI AD.
“Perlu diketahui, berdasarkan Surat DJKN Kanwil Prov. Jateng Nomor S-825/KN/2011 tanggal 29 April 2011 tentang penjelasan bahwa tanah kawasan latihan TNI seluas 1.150 HA diperoleh dari peninggalan KNIL tahun 1949. Saat ini tanah tersebut sudah masuk daftar Barang Milik Negara dengan Nomor Registrasi 30709034, jadi bukan milik warga” jelas Kapendam IV/Diponegoro Letkol Kav Susanto, SIP, MAP dalam keterangan tertulisnya di FB Kodam IV/Diponegoro (11/9).
Bersamaan dengan klaim-klaim yang dilakukan oleh pihak
TNI AD, pihak pemerintah kabupaten seakan-akan tidak peduli dengan warga.
FNKSDA menyampaikan bahwa pihak pemerintah daerah bahkan mengakomodir
perampasan tersebut melalui rancangan Perda RTRW Kebumen.
FNKSDA juga menambahkan bahwa kasus yang terjadi di
Urutsewu ini merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan
tertentu (abuse of power).
“Dengan motif yang dilakukan, banyak kerugian yang dialami warga dan kekerasan. Mengorbankan lahan pertanian, serta ekosistem pesisir selatan yang seharusnya dikonservasi” jelas pihak FNKSDA.
Berdasarkan hasil Munas Alim Ulama NU tahun2017 di
Nusa Tenggara Barat beberapa poin yang menjadi kesimpulan dan rekomendasi
hasil Bahtsul Masail Ad- Diniyyah Al- Qanuniyah diantaranya adalah
tanah harus dikembalikan pada fungsi sebagai alat produksi untuk kesejahteraan
rakyat, perlu adanya hukum yang kuat dan komprehensif untuk menjamin kepastian
hukum bagi kebijakan distribusi tahan melalui reforma agraria.
Konglomerasi penguasaan lahan konsesi yang tidak
proporsional harus diredistribusi melalui hukum yang sah. Kebijakan reforma
agraria dan distribusi lahan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.
Proses dan mekanime reforma agraria harus transparan dan terbuka.
Penulis: Sri Wahyuni
0 comments:
Post a Comment