This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, December 22, 2010

Latihan TNI Mengganggu Kerja Petani

 
"Pada saat latihan, kami tak bisa bekerja, tanaman tak bisa disiram; layu dan mati akhirnya.."
Begitulah, ungkapan banyak petani terhadap substansi rencana penetapan peruntukan kawasan Urutsewu sebagai kawasan Hankam. Resikonya, sebagaimana dikemukakan dalam naskah Executive Summary, 2010, hlm.39 butir k; tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan dan keamanan

Masih mau dibilang bahwa petani di Urutsewu “tak mempermasalahkan” semua itu? Sebagaimana pernyataan Tino Kades Ambalresmi dan Sunarto Kades Kaibon. Ah, bisa-bisanya. Pahamkah kedua pejabat itu ? Apalagi dengan mencatut dan mengatasnamakan Paguyuban Kades Kecamatan Ambal.

Hari ini, Rabu (22/12: 15.30) saat TNI masih latihan tembak senjata kanon di pesisir desa Ambalresmi dan Kaibon, petani tak bisa melakukan kegiatan di lahan miliknya yang berdekatan dengan pesisir itu. Seorang petani, Siman (67 th), harus menunggu sore atau bahkan harus menunggu lain hari untuk bisa pergi ke sawahnya. Warga desa Kaibon Petangkuran ini, terpaksa berdiam di rumah saja. Padahal ia butuh melaksanakan kegiatan bertaninya, termasuk merumput untuk pakan lembu piaraannya.

Saat ditanya apakah dia merugi atas kegiatan TNI, ia terdiam. Tapi begitu dijelaskan bahwa tak ada alasan untuk takut mengatakan kenyataan, barulah ia menjawab jujur.
“Bagaimana pun juga, latihan TNI itu mengganggu pekerjaan kami. Dan juga banyak sedulur petani yang lainnya”, jawabnya lugas.
Lebih lanjut, saat diberitahu bahwa sekarang ini pemerintah sedang menyusun aturan hukum yang akan menetapkan kawasan itu menjadi kawasan Hankam, sorot mata orangtua ini nampak kuyu; antara tak rela dan nelangsa. Siman mengatakan bahwa petani selalu mengalah selama ini. Padahal, dari jaman dahulu, dia dan banyak petani lainnya telah mengolah tanah itu bukan hanya sebatas berasengaja, tetapi hingga banyuasin. Sampai ke tepi air laut. Dia menolak penetapan kawasan ini untuk Hankam.

Kerugian Tanpa Ganti

Selain Siman, ada Sugino (32 th) petani generasi berikutnya yang juga memiliki lahan di kawasan pesisir Ambal. Seperti Siman, dia juga tak bisa bekerja di sawahnya selama TNI melaksanakan latihan. Kebiasaan lain saat ada latihan TNI ini, disertai juga dengan larangan terhadap para nelayan di kawasan perairan selatan. Apakah ada yang berfikir dan menghitung berapa kerugian petani dan nelayan saat harus libur bekerja? Tentu, tak ada. Padahal itu fakta.
“Tak ada ganti kerugian itu. Tak pernah”, tegas Sugino.
Memang jika petani bekerja dalam sehari tidak selalu harus mendapatkan uang atau penghasilan berapa. Jadi semua yang telah terjadi juga tak bisa diselesaikan dengan mekanisme ganti kerugian petani. Tetapi apa yang dilakukan petani sehari-hari tak bisa diukur dengan penghasilan serta nilai uang. Apalagi jika menyangkut kebutuhan dan hajat hidup bersama. Berapa biaya untuk menjaga tanah di sana tetap dalam kesuburan, daya tahan serta daya dukung yang bermuara pada kelestarian bumi? Tak terkira !

Secara kasuistik, coba perhatikan gambar foto di atas. Itu adalah lanskap lain bidang lahan petani yang disamping ditanami sayuran (terung), juga ditanamai cikal pohon kelapa. Tetapi ketika di suatu hari pasca Lebaran lalu, TNI latihan di lokasi ini; beberapa serdadu bertindak anarkis dan mengabaikan hak petani atas tanah dan tanaman di situ. Ada 19 batang cikal dicabuti tanpa permisi. Meski memang ada tindakan meminta ma'af, tetapi itu terjadi selang lain hari. Dan yang datang meminta maaf itu bukan perwakilan dari TNI-AD, melainkan Kades Ambalresmi. Padahal TNI berlatih di pantai Ambalresmi itu barulah beberapa bulan saja di sana.. []

Memetakan Elite Desa yang Tidak Pro-Rakyat

“Apa yang dilakukan oleh Tino yang mengatasnamakan Paguyuban Kades Kecamatan Ambal, terkait dukungan terhadap item kawasan pertahanan keamanan dalam draft Raperda RTRW, sah-sah saja”, kata Seniman. Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) menanggapi pernyataan Kades Tino, sebagaimana diberitakan SM (18/12) beberapa hari yang lalu.

Hal itu tidak berpengaruh terhadap tuntutan penolakan kawasan Hankam yang selama ini diperjuangkan ribuan petani di wilayah pesisir selatan Kebumen. Bagi FPPKS, penolakan terhadap kawasan Hankam di Urutsewu telah melewati berbagai ujian berat.
“Pernyataan kades Tino, adalah persoalan kecil”, imbuhnya. Apalagi karena hanya ada 2 kades dalam Paguyuban Kades Kecamatan Ambal. Selain Tino, hanya Kades Kaibon, Sunarto, yang mendukung pernyataan itu. Yang lain hanya Sekdes Kenoyojayan dan Kadus salah satu dusun di desa Kaibon.

Memahami Masalah

Banyak orang, termasuk petani pesisir Urutsewu yang memang belum mengerti soal keberadaan Rancangan Perda RTRW Kebumen dan substansinya. Jadi wajar jika para petani terkesan “tidak mempermasalahkan” itu. Padahal jika Raperda itu sampai lolos, petani Urutsewu tak lagi bisa leluasa melakukan pekerjaannya di sana. Penetapan kawasan Urutsewu sebagai kawasan Hankam, amat beresiko bukan hanya terhadap penguatan sektor pertanian, tetapi juga terhadap keselamatan umum.

Fakta dan pengalaman empiris selama latihan TNI dipusatkan di Desa Setrojenar cukup menjadi basis untuk memahami konflik kepentingan ini. Pada saat-saat latihan saja, atau ketika ada uji coba senjata dan peralatan perang, dapat dilihat betapa meruginya petani, termasuk nelayan dari wilayah 3 kabupaten; Kebumen, Cilacap dan Purworejo. Sudah jadi kebiasaan saat ada jadwal latihan atau ujicoba senjata, petani dan nelayan dilarang melakukan pekerjaan rutinnya. Resikonya, petani tak bisa merawat tanaman, nelayan tak bisa melaut. Apalagi selama ini di kawasan pesisir banyak orang membudidayakan tanaman holtikultura seperti semangka dan cabai serta jenis sayuran lainnya.

Jenis tanaman ini butuh perlakuan khusus dan rutin. Belum lagi jika musim tumbuh dan serangan hama. Jarang orang memahami secara mendasar, sampai pada kesulitan seperti ini. Apalagi TNI, meskipun secara kelembagaan dan di permukaan mengklaim sebagai “peduli” petani dan lingkungan. Kepedulian yang belum lama ini dipertunjukkan dengan cara menjadi panitia lomba tanam jagung hibrida di mana-mana. Kepentingan strategis mereka dan implikasinya, tak mungkin dapat menjawab problem dan perkembangan kebutuhan obyektif petani dan nelayan.

Monday, December 20, 2010

Harga Mati Sebuah Penolakan Latihan TNI di Urutsewu

Pencantuman kembali kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertahanan dan keamanan dalam naskah Draft Raperda RTRW, menuai kecaman keras petani di pesisir Kebumen selatan. Dan untuk kesekiankalinya, FPPKS mendatangi DPRD. Namun dengan dalih kesibukan, DPRD belum mengagendakan audiensi sebagaimana dimohonkan FPPKS. Surat balasan Ketua DPRD No.: 170/421 yang baru diterima Selasa (14/12), tetap saja tanpa menjelaskan kapan audiensi dapat diagendakan. Sementara itu, FPPKS telah 2 hari menunda kedatangannya ke gedung rakyat ini.

Ketika pada Rabu (15/12) puluhan perwakilan FPPKS datang, justru ditemui oleh polisi. Lagi-lagi, dengan dalih tanpa pemberitahuan ke polisi dan dalih keterbatasan kapasitas ruang, perwakilan FPPKS tak diperkenankan masuk. Jelas dalih ini terlalu mengada-ada. Beberapa wartawan yang siap meliput pun menyayangkan kenapa Dewan terkesan persulit diri dalam menyikapi kedatangan perwakilan FPPKS. Tokh pada akhirnya, Ketua DPRD, Ir. Budi Hianto Susanto dapat menunjuk Mukhayat dan H. Sarimun. Masing-masing dari Komisi B dan Komisi D, untuk menerima perwakilan FPPKS di ruang sidang lantai 2.

Catatan Substansial

Ketua FPPKS, Seniman, mengawali audiensi dengan menunjuk langsung substansi masalah. Pencantuman kawasan Urutsewu sebagai kawasan Hankam, adalah mengingkari hak-hak petani, mengabaikan dan membohongi fakta sejarah tanah dalam proses menyusun dan menyiapkan Draft Rancangan Perda RTRW Kab. Kebumen. Sebagaimana disebutkan dalam naskah Executive Summary yang disusun Bappeda Kab. Kebumen dan Dirjen Penataan Ruang pada Kementrian PU Profinsi Jateng. Dalam naskah Bantek Penyusunan RTRW tersebut, pada halaman 39, butir k, Kawasan Pertahanan Keamanan, disebutkan:

Kawasan pertahanan dan keamanan di Kabupaten Kebumen dipergunakan untuk latihan TNI dan lapangan uji coba senjata. Daerah latihan TNI meliputi daerah Urutsewu (wilayah yang meliputi desa-desa di Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren), daerah ini sudah dipergunakan sejak tahun 1937 dengan memanfaatkan tanah Negara dengan lebar plus-minus 500 meter dari air laut ke utara sepanjang 22,5 km. Adapun lapangan uji coba senjata dengan luas tanah 3.853.000 m2 terletak di desa Entak, Kenoyojayan, Kaibon Petangkuran, Kaibon dan Sumberjati Kecamatan Ambal. Rencana Pengelolaan kawasan pertahanan dan keamanan adalah tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan keamanan di kawasan pertahanan dan keamanan yang merupakan tanah Negara. Adapun tanah Bera Sengaja boleh digunakan oleh masyarakat sebagai tempat budidaya pertanian selama tidak digunakan untuk latihan TNI.

Substansi dari keseluruhan resume di atas jelas bakal jadi momentum dimarjinalisasikannya kepentingan kaum tani di pesisir selatan Kebumen. Juga aspirasi yang muncul melalui berbagai ruang. Mulai dari meeting, rakor, mediasi, audiensi hingga demonstrasi massa pada 14 Mei 2009 lalu serta aksi-aksi lokal pada bulan berikutnya. Sementara konflik kepentingan TNI vs Petani ini telah berlangsung sejak lebih 28 tahun tanpa penyelesaian yang melindungi kepentingan kaum tani. Secara histories, tanah-tanah di pesisir selatan ini merupakan tanah warisan leluhur. Catatan sejarah saat ini memang hanya ada di dalam ingatan kolektif petani Urutsewu.

Sejarah tanah pada Jaman Klangsiran, tahun 1932, pada masa itu pemerintah kolonial melakukan pemetaan tanah atau yang dalam idiom lokal disebut dengan Klangsiran. Hal itu dilakukan untuk menegaskan batas “tanah Negara” dengan “tanah Rakyat”. Fakta sejarah ini masih ada buktinya, yakni berupa Pal Budheg, patok tanah dengan kodevikasi Q. Ada Q222 di desa Setrojenar (Buluspesantren), ada Q216 di desa Entak (Ambal). Dan beberapa Pal Budheg di titik lain yang disinyalir hilang atau rusak sebab dipakai latihan titis dengan penanda bendera dan digunakan untuk sasaran tembakan kanon pada masa latihan TNI di kemudian hari.

Statement nDoro Klangsir, 1932, yang menegaskan bahwa “tanah Kumpeni” (baca: tanah Negara) adalah yang terbentang di sisi selatan patok Pal Budheg itu. Sedangkan bentangan luas di sisi utara dari Pal Budheg adalah tanah-tanah Rakyat !

Catatan lain, argumentasi yang menyebut penggunaan k.l.500 meter tanah “Negara”, sejak 1937, untuk latihan tentara; itu bukan fakta sejarah yang sesungguhnya. Fakta yang benar, jarak Pal Budheg yang menjadi penanda batas tanah Negara berada pada titik sejauh 216 meter, 222 meter, dan paling jauh 250 meter dari garis air. Bahwa ada pemanfaatan tanah sejauh k.l. 500-an meter untuk latihan TNI; itu ada kisah dan kesaksiannya sendiri. Pada inti awalnya, penggunaan tanah sejauh itu karena kebijakan “pinjam pakai” yang direstui para Kades di masa lalu. Tetapi, ingat, pinjam pakai saat latihan saja dan semua itu bukan hasil musyawarah dengan para pemilik dan pewaris hak tanah. Alur testimoni ini tak banyak dipahami.

Di dalam audiensi FPPKS-DPRD Kab. Kebumen (15/12), Nur Hidayah, perwakilan FPPKS yang mantan Kades Setrojenar, menyampaikan keinginan mayoritas petani pesisir untuk meraih “kemajuan di daerah sendiri”. Dan momentum penyusunan Draft Perda RTRW, merupakan moment strategis, karena Perda RTRW ini bakal diberlakukan 30 tahun ke depan. Perda RTRW ini menjadi instrument hukum dan “perangkat lunak” yang bakal mengatur peruntukan tanah di daerah, termasuk di sepanjang pesisir Urutsewu. Pemanfaatan tanah di pesisir selatan untuk latihan TNI sudah tidak relevan lagi. Jadi peruntukan kawasan ini sudah semestinya difokuskan untuk pengembangan pertanian holtikultura dan pariwisata saja.

Sedangkan Paryono yang juga Koordinator FPPKS, menilai ketentuan dan klaim batas 500 meter dari garis air sebagai tanah Negara, semua itu pembohongan sejarah dan tidak memiliki landasan hukum. Demikian juga dengan argumentasi bahwa sejak tahun 1937, telah dipakai tentara. Itu kan tentara penjajah. Karena siapa pun tahu sejak kapan TNI itu ada. Keberadaan TNI pun juga tidak sertamerta melestarikan tradisi atau kebiasaan kolonial. Jadi makin tak masuk akal. Mengenai riwayat tanah, yang paling tahu dan berwenang adalah Badan Pertanahan. Faktanya, pada tahun 1967 sudah ada warga yang menyertifikatkan tanahnya. Pada prinsipnya, dari dulu kami dan para petani lain tak pernah mengijinkan tanah kami dipakai untuk kawasan Hankam.

Perwakilan dari Kaibon Petangkuran (Ambal), Ngaskolani, menilai keberadaan TNI di wilayah Urutsewu, jelas-jelas merugikan petani. Tanaman holtikultura, seperti cabai, semangka dan sayuran lain, butuh perawatan rutin dengan intensitas harian yang tinggi. Belum lagi pada masa serangan hama. Pengalaman empiris saat dipakai latihan TNI, petani tak boleh melakukan apa pun terkait kegiatan bertaninya. Apa jadinya? Jelas-jelas cuma menangguk kerugian. Dan selama ini belum pernah terjadi TNI memberikan gantirugi atau kompensasi apa pun. Jadi lebih baik jika semua jadwal dan kegiatan tentara dibatalkan saja. Untuk menjawab kebutuhan umum yang terpenting bagi kaum tani pesisir, maka penolakan penetapan kawasan Hankam merupakan "harga mati" yang tak bisa ditawar lagi

Demikian juga dengan Yatiman, petani dari desa Brecong (Buluspesantren) yang dengan menenteng dokumen berita masa lalu, secara lugas bahkan menuding TNI dengan perilakunya memanfaatkan tanah petani tanpa ijin langsung dari petani, serta klaim sejauh 500 meter tanah Negara; jelas sebagai tindakan menyerobot tanah petani.

Dari perspektif hukum, Yusuf Suramto, mengingatkan landasan konstitusional Negara yang menjamin hak hidup dengan rasa aman bagi seluruh warganegara. Turunan UUD’45 adalah UU dan semua produk aturan hukum mesti menjamin rasa aman itu. Dan Perda RTRW ini, jika dipaksakan dengan substansi sebagaimana tercantum dalam rancangannya; jelas-jelas akan bertentangan dengan UU dan mengingkari kewajiban penyelenggara Negara yang harus menjamin rasa aman bagi warganegaranya. Jadi harus dicermati, problem di Urutsewu jangan dilihat semata sebagai konflik Petani vs TNI. Tetapi juga jaminan Negara atas kepentingan petani di sana.

Terhadap semua ini, Mukhayat, S.Ag, anggota Komisi B DPRD yang menerima perwakilan petani Urutsewu bersama koleganya, H. Sarimun anggota Komisi D; menghargai penyampaian aspirasi tersebut. Sebagai petani dan sekaligus wakil rakyat dari daerah pemilihan Kec. Ambal, ia memahami betul keinginan petani pada umumnya di kawasan Urutsewu. Pengalaman empiris di kawasan itu sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian, khususnya holtikultura dan juga peruntukan sebagai pengembangan pariwisata. Ia mendukung penuh dan akan memperjuangkan aspirasi ini.

Sebelum acara audiensi ditutup, Ketua FPPKS mengingatkan kembali bahwa paparan rancangan Perda RTRW ini, sesungguhnya pernah diajukan setahun yang lalu. Juga di gedung DPRD. Dan baik sikap FPPKS maupun Dewan waktu itu, sama. Menolak Naskah Executive Summary sebagai bahan akhir pembuatan Raperda RTRW dan Dewan meminta rancangan yang memuat substansi pemanfaatan kawasan pesisir sebagai kawasan Hankam, direvisi dulu, sebelum diajukan kembali. Jika kemudian pada tahun 2010 ini bakal diajukan kembali dengan substansi yang sama, maka penolakan Raperda RTRW bakal kembali muncul menjadi gerakan massa rakyat yang lebih besar.

Wednesday, December 15, 2010

Petani Kebumen Selatan Solid Lagi

Petani Kebumen Selatan dikuatkan kembali dan menemukan momentum konsolidasinya setelah kemunculan Draft Perda RTRW Kabupaten Kebumen menjelang tutup tahun. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan 50-an petani yang bermaksud melaksanakan agenda audiensi dengan DPRD Kebumen yang sempat dua hari tertunda.
Meski pada awalnya, agenda ini nyaris batal, akhirnya terlaksana juga. Polisi melarang wakil petani masuk semua dengan dalih klasik; tanpa ijin atau pemberitahuan sebelumnya. Padahal jelas permohonan audiensi telah dilayangkan FPPKS sejak Rabu (8/12) lalu. Kata polisi lagi, ruang di Dewan gak muat. Ah, mana bisa dipercaya kata-kata polisi itu..
(to be continued)

Wednesday, December 08, 2010

Audensi atau Demontrasi

Keputusan rapat FPPKS pada Senin, 6 Desember 2010, adalah permintaan audensi ke Ketua DPRD Kabupaten Kebumen, untuk hari Senin (13/12) yad. Jika dalam audensi ini hasilnya mengecewakan petani, maka demonstrasi massa akan jadi pilihan kedua.
FPPKS akan merespon dengan cepat berkaitan dengan penyusunan Draft Perda RTRW Kabupaten Kebumen. Para pembuat kebijakan terkesan abai terhadap aspirasi ribuan petani di kawasan pesisir selatan Kebumen yang jelas-jelas menolak kawasan pertanian ini dijadikan ajang latihan TNI dan uji coba senjata alutista.
(to be continued)