This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, November 30, 2017

Kulon Progo, Korban Rencana Ambisius Rezim Infrastruktur

29 November pukul 16:25
Warga Kulon Progo terlihat sedang bersitegang dengan aparat kepolisian saat rumah-rumah mereka akan digusur untuk kepentingan pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta.
Penggusuran tanah" dan lahan garapan warga untuk kepentingan infrastruktur seperti tidak bisa dihentikan.
Dari 450 konflik agraria yang terjadi kurun waktu 2016, 22,22 % atau kurang lebih 99 konflik terjadi di sektor infrastruktur. 
Trend ini diprediksi terus meningkat dikarenakan masifnya proses pembangunan infrastruktur yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat.

Sementara dalih untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan terbukanya lapangan pekerjaan sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya benar. 
Data BPS 2017 mengatakan bahwa terjadi kenaikan pengangguran terbuka (angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan) secara nasional dari 5,33 % pada bulan Februari menjadi 5,50 pada bulan Agustus 2017.

Lalu kalau seperti itu, pembangunan infrastruktur tersebut untuk siapa?


Siaran Pers: Mengecam Keras Pembangunan Bandara NYIA dan Kembalikan Hak Atas Tanah Warga Kulon Progo

Pernyataan Sikap KPA Atas Pembangunan Bandara NYIA yang Menggusur Warga Kulon Progo
Ditengah guyuran hujan pada 27 November 2017 sekitar pukul 09.00, Desa Palihan didatangi oleh pihak Angkasa Pura (AP) I, PT Pembangun Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS). Dengan dikawal sekitar 400 personel oleh Satpol PP, Aparat Kepolisian, Militer, dan beberapa tidak berseragam atau berbaju sipil. Setelah itu aparat bersenjata lengkap laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul serta alat berat mulai masuk ke halaman dua rumah warga.
Malam sebelumnya listrik warga diputus, sehingga warga bermalam tanpa dialiri listrik. Tindakan ini merupakan bentuk represi dan pengangkangan terhadap hak-hak warga negara, mengingat selama ini mereka tetap membayar pajak dan tagihan listrik. Saat ini, listrik yang diputus merembet ke desa lainnya. Sementara terhitung 2/3 desa mati total.
Kedatangan aparat tersebut untuk memaksa warga untuk mengosongkan tanah dan rumah yang dianggap telah menjadi milik AP I karena sudah dikonsinyasi dan telah ada pemutusan hak atas tanah di pengadilan. Namun warga tetap menyatakan sikap tetap menolak proyek bandara Kulon Progo dan tidak pernah menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan bandara tersebut.
Dari total luas lahan bandara kulon progo 587 hektar, proses pengosongan lahan telah mencapai sekitar 70 % atau sekitar 410 ha. Dari awal, proses pembangunan bandara ini bermasalah. Menurut catatan LBH Yogyakarta, perencanaan serampangan tanpa ada Amdal, padahal proses pembebasan lahan sudah berjalan—masuk tahapan pra-konstruksi. Terkesan Pemerintah ingin menguasai lahan terlebih dahulu, lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Jadi, penyusunan dari pemrakarsa terkesan prosedural semata, Tanpa perlu melibatkan, atau persetujuan bahkan keberatan warga.


Perlakuan aparat terhadap warga yang menolak penggusuran ini sangat tidak manusawi, ibu-ibu diseret sampai ada penangkapan warga dengan memborgol tangan kemudian dibawa ke kantor PT. PP untuk diamankan. Hal tersebut dilakukan karena warga berusaha menghadang alat berat yang masuk ke area rumah mereka.
Warga mempertahankan karena tanah tersebut merupakan lahan subur yang menjadi tempat bergantung hidup mereka. Selama ini masyarakat hidup sejahtera dari hasil pertanian. Komoditas pertanian seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran mayur mampu memenuhi kebutuhan bukan hanya Yogyakarta juga luar daerah. Lahan yang bakal tergusur itu daerah lumbung pangan.
Dewi Kartika Sekjend KPA mendesak aparat untuk segera menghentikan tindakan sewenang-wenang tersebut. “Kekerasan seperti ini selalu berulangkali terjadi, tahun lalu terjadi di Majalengka, tindakan kekerasan aparat terhadap warga yang menolak bandara hingga jatuh korban luka-luka, sekarang terjadi lagi di Kulon Progo. Hak atas tanah warga tidak bisa begitu saja diabaikan, untuk apa pembangunan jika meminggirkan masyarakat bawah?”. Tegas Dewi.
Atas situasi yang terjadi di Kulon Progo maka Konsorsium Pembaruan Agraria dengan tegas menyatakan sikap:
  1. Hentikan pembangunan Bandara New Yogyarkarta International Airport (NYIA) sekarang juga.
  2. Meminta kepada aparat keamanan untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga yang menolak pembangunan bandara.
  3. Kembalikan hak-hak warga yang selama ini dirampas karena pembangunan bandara NYIA.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat. KPA juga menyerukan kepada seluruh petani dan gerakan reforma agraria untuk bersatu melawan perampsan tanah yang memakai dalih pembangunan demi kepentingan umum.
Jakarta, 29 November 2017
Konsorsium Pembaruan Agaria

Dewi Kartika
Sekretaris Jendral

Wednesday, November 29, 2017

Siaran Pers: Mengecam Keras Pembangunan Bandara NYIA dan Kembalikan Hak Atas Tanah Warga Kulon Progo


Pernyataan Sikap KPA Atas Pembangunan Bandara NYIA yang Menggusur Warga Kulon Progo
Ditengah guyuran hujan pada 27 November 2017 sekitar pukul 09.00, Desa Palihan didatangi oleh pihak Angkasa Pura (AP) I, PT Pembangun Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS). Dengan dikawal sekitar 400 personel oleh Satpol PP, Aparat Kepolisian, Militer, dan beberapa tidak berseragam atau berbaju sipil. Setelah itu aparat bersenjata lengkap laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul serta alat berat mulai masuk ke halaman dua rumah warga.
Malam sebelumnya listrik warga diputus, sehingga warga bermalam tanpa dialiri listrik. Tindakan ini merupakan bentuk represi dan pengangkangan terhadap hak-hak warga negara, mengingat selama ini mereka tetap membayar pajak dan tagihan listrik. Saat ini, listrik yang diputus merembet ke desa lainnya. Sementara terhitung 2/3 desa mati total.
Kedatangan aparat tersebut untuk memaksa warga untuk mengosongkan tanah dan rumah yang dianggap telah menjadi milik AP I karena sudah dikonsinyasi dan telah ada pemutusan hak atas tanah di pengadilan. Namun warga tetap menyatakan sikap tetap menolak proyek bandara Kulon Progo dan tidak pernah menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan bandara tersebut.
Dari total luas lahan bandara kulon progo 587 hektar, proses pengosongan lahan telah mencapai sekitar 70 % atau sekitar 410 ha. Dari awal, proses pembangunan bandara ini bermasalah. Menurut catatan LBH Yogyakarta, perencanaan serampangan tanpa ada Amdal, padahal proses pembebasan lahan sudah berjalan—masuk tahapan pra-konstruksi. Terkesan Pemerintah ingin menguasai lahan terlebih dahulu, lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Jadi, penyusunan dari pemrakarsa terkesan prosedural semata, Tanpa perlu melibatkan, atau persetujuan bahkan keberatan warga.
Perlakuan aparat terhadap warga yang menolak penggusuran ini sangat tidak manusawi, ibu-ibu diseret sampai ada penangkapan warga dengan memborgol tangan kemudian dibawa ke kantor PT. PP untuk diamankan. Hal tersebut dilakukan karena warga berusaha menghadang alat berat yang masuk ke area rumah mereka.
Warga mempertahankan karena tanah tersebut merupakan lahan subur yang menjadi tempat bergantung hidup mereka. Selama ini masyarakat hidup sejahtera dari hasil pertanian. Komoditas pertanian seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran mayur mampu memenuhi kebutuhan bukan hanya Yogyakarta juga luar daerah. Lahan yang bakal tergusur itu daerah lumbung pangan.
Dewi Kartika Sekjend KPA mendesak aparat untuk segera menghentikan tindakan sewenang-wenang tersebut. “Kekerasan seperti ini selalu berulangkali terjadi, tahun lalu terjadi di Majalengka, tindakan kekerasan aparat terhadap warga yang menolak bandara hingga jatuh korban luka-luka, sekarang terjadi lagi di Kulon Progo. Hak atas tanah warga tidak bisa begitu saja diabaikan, untuk apa pembangunan jika meminggirkan masyarakat bawah?”. Tegas Dewi.
Atas situasi yang terjadi di Kulon Progo maka Konsorsium Pembaruan Agraria dengan tegas menyatakan sikap:
  1. Hentikan pembangunan Bandara New Yogyarkarta International Airport (NYIA) sekarang juga.
  2. Meminta kepada aparat keamanan untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga yang menolak pembangunan bandara.
  3. Kembalikan hak-hak warga yang selama ini dirampas karena pembangunan bandara NYIA.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat. KPA juga menyerukan kepada seluruh petani dan gerakan reforma agraria untuk bersatu melawan perampsan tanah yang memakai dalih pembangunan demi kepentingan umum.
Jakarta, 29 November 2017
Konsorsium Pembaruan Agaria

Dewi Kartika
Sekretaris Jendral

Reforma Agraria atau Reformasi Agraria?

12:33 PM 
Gunawan Wiradi (sebelah kiri), saat menyampaikan materi yang diberi judul Reforma Agraria dalam Konteks Transisi Agraria, bertempat di ARC (Agrarian Resources Center), 29 November 2017. Dok. Pribadi
- Catatan Singkat dari Pemaparan Gunawan Wiradi tentang Transisi Agraria: 

Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa terminologi yang mesti jernih pengertiannya terlebih dahulu. Terminologi itu diantaranya, reforma,  transisitransformasi, dan agraria. Karena, di medan wacana kerap terjadi pengeliruan term tersebut. Misalnya, tidak sedikit orang yang mengelirukan term reforma dengan term reformasi/reformism. Padahal, jika dirunut ke akar pengertian kata, reforma berasal dari bahasa Spanyol yang arti katanya adalah perubahan atau secara konsep merujuk pada pembongkaran semua nilai, termasuk nilai-nilai dasar dari tata sosial yang ada. Implikasinya adalah pembaruan struktur, tidak hanya sekadar pembaruan fungsi.

Sedangkan reformasi/reformism berasal dari bahasa Inggris yang arti katanya adalah menyusun ulang atau secara konsep hanya bertitik tekan pada perubahan fungsi, nihil perubahan struktur sehingga pada hakikatnya bertujuan mempertahankan status quo, tetapi dengan kedok pembaruan. Kemudian term transformasi, transformasi adalah berubahnya satu bentuk ke bentuk lain. Satu bentuk yang telah mengalami perubahan disebut transformasi, sedangkan proses perubahannya itu sendiri disebut transisi.

Kemudian agraria, term“agraria” mengacu kepada hal-hal yang terkait dengan tanah atau kepemilikan tanah khususnya hak-hak penguasaan dan hak-hak pengelolaan. Kata “agraria”, berasal dari bahasa latin “aeger” yang bermakna wilayah tanah pertanian, atau sepetak tanah yang di dalamnya terdapat tanaman, binatang, air, mineral dan pemukiman. Namun dalam pengertian hukum Indonesia, term agraria mempunyai pengertian yang sangat luas tidak hanya sekedar mengacu pada tanah, lebih dari itu, meliputi berbagai aspek, mengacu pada semua sumber daya alam, meliputi tanah, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, term agraria dalam pembahasan di sini dibatasi hanya pada soal tanah, penguasaan dan pemanfaatannya. 

Dari pengertian reforma dan agraria yang sudah diterangkan di atas maka reforma agraria tidaklah semata-mata menyusun ulang kepemilikan dan penguasaan terhadap tanah atau tidaklah semata-mata redistribusi tanah seperti yang selama ini dipersepsi oleh banyak orang. Lebih dari itu, reforma agraria haruslah ditandai dengan kepastian penguasaan tanah yang menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi petani (penggarap), tata guna tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas yang membuat keluarga petani mampu melakukan re-investasi dan memiliki daya beli yang tinggi.

Jadi, reforma agraria adalah transformasi kehidupan dalam seluruh aspeknya, dengan focus meningkatkan kemakmuran melalui pemerataan, dan distribusi kuasa-kuasa ekonomi-sosial-politik, sehingga dicapai apa yang dinamakan pembaruan struktur sekaligus fungsi di segala aspeknya (transformasi). Maka tak heran jika reforma agraria bertopang pada premis pokok berikut ini: Pertama, keadilan sosial, bahwasannya struktur penguasaan tanah yang timpang adalah pangkal dari ketidakadilan yang melahirkan penindasan dan kemiskinan. Kedua, politik, bahwasannya demokrasi tidak berkembang dalam masyarakat dengan struktur penguasaan tanah yang timpang. Terakhir,ekonomi, bahwasannya ketimpangan penguasaan tanah menyebabkan rendahnya produktivitas ketika banyak tanah yang ditelantarkan oleh tuan tanah karena hanya dijadikan objek spekulasi atau rente.

Namun pada praktiknya, reforma agraria tak jarang menihilkan aspek komitmen untuk keadilan sosial, demokratisasi dan peningkatan produktivitas. Hal itu terjadi karena faktanya penerapan reforma agraria di mana pun adalah medan pertarungan antara berbagai macam kepentingan ekonomi-politik. Tak jarang reforma agraria dalam konteks transisi agraria menuju formasi sosial paska feodalisme ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, terlepas dari premis-premis pokok di atas sebagai landasannya.

Kenyataan ini mendorong diinisiasinya pelaksanaan reforma agraria dari bawah. Maksudnya, masyarakat tani itu sendiri yang mendesak negara untuk melaksanakan reforma agraria (landreform from below). Sebabnya karena itu tadi, reforma agraria yang diinisiasi negara kerap tidak sesuai dengan ekspektasi dari subjek yang mau disasar oleh premis-premis pokok yang menjadi landasan reforma agraria. Singkatnya, reforma agraria dari atas (landreform from above) seringkali bermasalah karena menihilkan aspek komitmen untuk keadilan sosial, demokratisasi dan peningkatan produktivitas.
     
Adapun dalam konteks transformasi agraria, reforma agraria adalah sebuah program politik  yang sistematis untuk mempercepat proses transisi agraria. Oleh karena itu, reforma agraria bukanlah program yang dilakukan terus menerus, melainkan program sistematik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Program ini hadir hanya untuk mempercepat proses transisi agraria. Ketika transisi agraria selesai, di titik itulah dikatakan telah terjadi transformasi agraria, ditandai dengan terbentuknya susunan hubungan sosial ekonomi baru.

Transisi agraria sendiri dimulai dengan dua proses pokok yaitu reforma agraria dan industrialisasi. Namun, Reforma agraria harus dilakukan mendahului industrialisasi sebagai prasyarat transformasi agraria. Di Indonesia, walaupun industrialisasi sudah terjadi, tetapi reforma agraria belum tuntas dijalankan atau bahkan belum betul-betul dijalankan. Oleh sebab itu, di Indonesia belum bisa dikatakan telah benar-benar memasuki transisi agraria.

Dari pengalaman nyata yang pernah terjadi dalam sejarah di berbagai negara, dapat diidentifikasi adanya lebih dari satu macam jalan, jalur atau model (baik yang berlangsung secara alamiah, maupun yang diusahakan melalui perencanaan nega-ra), yang memungkinkan terjadinya transformasi agraria. Diantaranya, Reforma agraria jalur kapitalistik, neo-populis dan sosialis-komunis. Dan dari semua negara yang sudah selesai transisi agrarianya atau sedang memasuki transisi agraria, tak ada satu pun negara yang layak dijadikan rujukan model reforma agraria untuk Indonesia, sekalipun Indonesia berniat mengambil model reforma agraria jalan kapitalistik. Karena alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu industrialisasi yang terjadi di Indonesia tidak didahului dengan penuntasan agenda reforma agraria.

Apa yang dimaksud dengan reforma agraria jalan kapitalistik, neo populis, dan sosialis-komunis?Pertama, reforma agraria jalan kapitalistik terjadi melalui pengembangan sistem usaha tani kapitalistik, yaitu melalui pengembangan satuan-satuan produksi berskala besar yang mungkin akan menelan hampir semua sektor pertanian kecil (sesuai dengan logika kapital). Kedua, reforma agraria jalan neo populis yaitu melalui pengembangan usaha tani skala kecil yang padat modal (John Harriss, 1982: 16-17;37). Ketiga, reforma agraria jalan sosialistik yaitu melalui pembentukan usaha tani koperatif berskala besar yang diprakarsai pemerintah; atau melalui usa-ha tani kolektif; atau melalui usaha tani negara.

Tiga jalur itu mencakup gambaran proses-proses transformasi yang nyata telah terjadi dalam sejarah, maupun yang sedang diusahakan oleh pemerintah negara-negara tertentu, ataupun yang sedang digarap menjadi teori-teori normatif mengenai bagaimana masyarakat harus diubah. Artinya, ada negara-negara yang transisi agrarianya dianggap telah selesai. Ada yang masih dalam proses, dan ada yang baru mulai mengusahakan secara sadar melalui jalur tertentu. Lalu, Indonesia?  


Referensi:

-) Gunawan Wiradi- Reforma Agraria (Rationale Reforma Agraria) 
-) B. White dan G. Wiradi-Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif
BlogOga 

Sunday, November 26, 2017

Implementasi Politik Pemerintahan Desa dalam Konflik Urutsewu

Penulis: Wida | Editor: Khumairoh


©Rizky Ramadhika/BAL

Konflik agraria di wilayah Urutsewu menjadi topik kuliah umum di Departemen Politik Pemerintahan (DPP) . Dalam acara ini menghadirkan Widodo Sunu Nugroho, S.P selaku kepala desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen. Kuliah umum yang berbentuk diskusi ini dimoderatori oleh Ashari Cahyo Edi, S. Ip., MAP selaku dosen mata kuliah Politik dan Pemerintahan Desa. Widodo Sunu Nugroho atau yang akrab disapa Sunu ini mempresentasikan judul “Pemerintah Desa dalam Pusaran Konflik Urutsewu” pada kuliah umum yang diadakan di ruang BA 205 FISIPOL,  Rabu, (22-11).

Sunu mengatakan bahwa kawasan Urutsewu pernah disebut-sebut memiliki tambang pasir besi yang potensial. Namun, pada tahun 2008 TNI memberikan surat izin eksplorasi kepada pihak swasta untuk membangun pabrik pengolahan pasir besi. Hal tersebut yang menjadikan konflik antara petani dan TNI yang berkepanjangan hingga meletup kembali pada 22 Agustus 2015.

Konflik yang disebut sebagai tragedi Wiromartan ini dikemas dalam sebuah film dokumenter yang menampilkan kekerasan terhadap petani. Sebelumnya pernah terjadi hal serupa pada tahun 2011 yang mengakibatkan satu petani tewas akibat tembakan dari TNI. 
Konflik yang berlarut-larut tersebut dikarenakan tidak adanya bukti tertulis berupa sertifikat kepemilikan tanah oleh TNI.

Selain itu, pengakuan terhadap kewenangan desa serta perlindungan dari supra desa kepada masyarakatnya masih lemah. 
“Yang terjadi di Urutsewu bukanlah sengketa agraria, melainkan perampasan tanah,” ungkap Sunu.
Apabila konflik ini merupakan sengketa maka seharusnya kedua pihak memiliki bukti kepemilikan tanah.  Namun pada kenyataannya desa di Urutsewu memiliki bukti yang kuat berupa Letter C dan sertifikat hak milik yang sudah dicek kembali ke Badan Pertanahan Nasional.
Sedangkan pihak TNI tidak memiliki dokumen lengkap kecuali peta yang dibuat secara sepihak mengenai batas tanah TNI dan warga.

Tidak hanya pemaparan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh TNI, tetapi diskusi ini  juga mendapat tanggapan dari Devy Dhian, alumni S1 DPP yang menulis skripsi mengenai konflik ini. Menurutnya,  peran warga dalam proses perlawanan ini merupakan hasil dari adanya kesadaran warga untuk memperjuangkan tanahnya.
Devy menambahkan “TNI sepertinya membutuhkan tanah ini untuk mencari keuntungan materi, sebab tanah tersebut memiliki potensi sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Sehingga tanah ini tidak hanya digunakan untuk kepentingan pertahahan dan keamanan.”
Luthfian Haekal, mahasiswa  DPP’15 menguatkan argumen Devy bahwa TNI akan selalu terlibat dalam konflik agraria,
“Terlebih ada dana desa yang diawasi oleh militer. Menurut saya, konflik Urutsewu itu masalah tambang pasir besi dan klaim sepihak TNI versus masyarakat,” tambahnya.
Berbagai upaya dilakukan warga untuk mengentaskan konflik sengketa tanah di wilayah mereka. 
“Saat ini warga Urutsewu dan TNI sedang mengalami gencatan senjata dan upaya mediasi masih diusahakan,” tutur Sunu.
Harapan  Sunu adalah akan adanya pihak yang mampu menjahit kepentingan seluruh warga desa sehingga apabila kepentingan ini dijadikan satu akan menciptakan perjuangan yang lebih langgeng.
Mengamini harapan Sunu, Ashari menambahkan, “Desa sebagai saringan terakhir keamanan dan pertahanan negara, sehingga usaha menjalankan demokrasi negara seharusnya diikuti oleh seluruh komponen masyarakat.” pungkasnya.
Sumber: BalairungPress 

Wednesday, November 08, 2017

Warga PPLP : Tidak Pernah Ada Tambang Pasir Besi di Kulonprogo

 | 

Masyarakat penolak tambang pasir besi di Kulonprogo yang tergabung dalam wadah organisasi Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) menyampaikan jika tambang yang direncanakan akan berdiri di wilayah Galur sampai Wates dengan panjang 22KM dengan lebar 1,8 KM  tidak pernah beroperasi. Widodo menyampaikan jika sampai hari ini warga masih konsisten menolak tambang, hal tersebut dibuktikan dengan masih banyak warga yang menanami lahannya.
Ia menambahkan jika pernyataan Sri Sultan HB X  saat melakukan konferensi pers pasca pelantikannya (10/10/2017) keliru. Sultan HB X kala itu memberikan pernyataan tidak ada warga yang menolak tambang pasir besi.
Bagi Widodo hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, sebab warga masih banyak yang melakukan penolakan, ia juga menjelaskan pernyataan tersebut hanyalah sebagai upaya untuk mengundang investor agar segera melakukan usaha penambangan.  Widodo bahkan meminta kepada Gubernur yang ditetapkan untuk kedua kali itu membuktikan apa yang diucapakannya.
“Mereka gak mikir ada ribuan nyawa yang hidup dari bertani, Sultan ngomong kayak begitu buktikan!,” Ujar Widodo yang sudah 11 tahun berjuang menolak tambang pasir besi.
Widodo mengungkapkan, bahwa pertambangan bagi warga sendiri tidaklah berguna, hal tersebut berdasarkan pandangan warga setelah mengajak diskusi warga terkait manfaat tambang. Dalam diskusi tersebut, ia mengetahui sendiri ternyata sejauh ini masyarakat tidak pernah mendapatkan manfaat dengan adanya tambang. Tanah- tanah yang sudah dibeli pihak perusahaan tidak ada yang digarap, bahkan cendrung tidak diproduksi sebagai biji besi.
“Faktanya di sini tanah-tanah yang sudah dibeli JMI sampai hari ini terlantar gak ada yang garap”, pungkasnya.
Widodo menyatakan jika pertambangan dipaksakan maka hal tersebut merupakan sebuah pertanda dari kehancuran Yogyakarta,
“ini semakin menguatkan pertanda kehancuran Yogyakarta, banyak invetasti di tawarkan sekarang, semua tanah diklaim dengan dalih pembangunan” tuturnya

Tembok Pembatas Hingga Semak Belukar
Hal yang sama juga dirasakan oleh Parno, ia merupakan petani yang lahannya berada di zona tambang, ia memposisikan dirinya sebagai warga penolak tambang. Ia sendiri sudah sejak dari awal menyatakan dengan bulat tidak ingin lahannya diserahkan kepada pihak PT. Jogja Magasa Iron selaku pemprakarsa proyek tambang.
Saat ditemui di kediamannya, ia menceritakan jika kondisi saat ini, terutama lahan-lahan yang sudah dibeli kini dipagari tembok berwana putih memanjang dengan tinggi sekitar 2 meter. Namun tidak ada satupun aktivitas tambang yang beroperasi.
Ia menjelaskan jika lahan yang dikuasai PT. JMI tidak pernah digarap, hal tersebut mengakibatkan semakin hari banyak tumbuhan dan semak belukar yang lebat. Banyak pepohonan dan rumput liar bermunculan.
“Yang sekarang dibentengi PT. JMI sekarang jadi alas belukar,” tutur Parno yang kini masih bertani.
Saat ditanya bagaimana dengan alat yang sudah didatangkan, Parno menuturkan kondisinya sudah tidak terpakai lagi, bahkan hanya menjadi bongkahan besi berkarat yang tidak punyai nilai fungsi untuk dioperasikan.
Tidak hanya itu, ia juga menyampaikan jika semua petugas yang menjaga lokasi tambang pasir besi sudah di rumahkan.
“Awalnya ada pilot proyek, penjagaan satpamnya tinggal berapa gelintir, nah sekarang pegawaianya dirumahkan (tidak dipekerjakan-red),” kata Parno yang menyaksikan langsung apa yang sebenarnya terjadi di lokasi bakal calon Tambang pasir besi di Kulonprogo.