Sunday, November 26, 2017

Implementasi Politik Pemerintahan Desa dalam Konflik Urutsewu

Penulis: Wida | Editor: Khumairoh


©Rizky Ramadhika/BAL

Konflik agraria di wilayah Urutsewu menjadi topik kuliah umum di Departemen Politik Pemerintahan (DPP) . Dalam acara ini menghadirkan Widodo Sunu Nugroho, S.P selaku kepala desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen. Kuliah umum yang berbentuk diskusi ini dimoderatori oleh Ashari Cahyo Edi, S. Ip., MAP selaku dosen mata kuliah Politik dan Pemerintahan Desa. Widodo Sunu Nugroho atau yang akrab disapa Sunu ini mempresentasikan judul “Pemerintah Desa dalam Pusaran Konflik Urutsewu” pada kuliah umum yang diadakan di ruang BA 205 FISIPOL,  Rabu, (22-11).

Sunu mengatakan bahwa kawasan Urutsewu pernah disebut-sebut memiliki tambang pasir besi yang potensial. Namun, pada tahun 2008 TNI memberikan surat izin eksplorasi kepada pihak swasta untuk membangun pabrik pengolahan pasir besi. Hal tersebut yang menjadikan konflik antara petani dan TNI yang berkepanjangan hingga meletup kembali pada 22 Agustus 2015.

Konflik yang disebut sebagai tragedi Wiromartan ini dikemas dalam sebuah film dokumenter yang menampilkan kekerasan terhadap petani. Sebelumnya pernah terjadi hal serupa pada tahun 2011 yang mengakibatkan satu petani tewas akibat tembakan dari TNI. 
Konflik yang berlarut-larut tersebut dikarenakan tidak adanya bukti tertulis berupa sertifikat kepemilikan tanah oleh TNI.

Selain itu, pengakuan terhadap kewenangan desa serta perlindungan dari supra desa kepada masyarakatnya masih lemah. 
“Yang terjadi di Urutsewu bukanlah sengketa agraria, melainkan perampasan tanah,” ungkap Sunu.
Apabila konflik ini merupakan sengketa maka seharusnya kedua pihak memiliki bukti kepemilikan tanah.  Namun pada kenyataannya desa di Urutsewu memiliki bukti yang kuat berupa Letter C dan sertifikat hak milik yang sudah dicek kembali ke Badan Pertanahan Nasional.
Sedangkan pihak TNI tidak memiliki dokumen lengkap kecuali peta yang dibuat secara sepihak mengenai batas tanah TNI dan warga.

Tidak hanya pemaparan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh TNI, tetapi diskusi ini  juga mendapat tanggapan dari Devy Dhian, alumni S1 DPP yang menulis skripsi mengenai konflik ini. Menurutnya,  peran warga dalam proses perlawanan ini merupakan hasil dari adanya kesadaran warga untuk memperjuangkan tanahnya.
Devy menambahkan “TNI sepertinya membutuhkan tanah ini untuk mencari keuntungan materi, sebab tanah tersebut memiliki potensi sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Sehingga tanah ini tidak hanya digunakan untuk kepentingan pertahahan dan keamanan.”
Luthfian Haekal, mahasiswa  DPP’15 menguatkan argumen Devy bahwa TNI akan selalu terlibat dalam konflik agraria,
“Terlebih ada dana desa yang diawasi oleh militer. Menurut saya, konflik Urutsewu itu masalah tambang pasir besi dan klaim sepihak TNI versus masyarakat,” tambahnya.
Berbagai upaya dilakukan warga untuk mengentaskan konflik sengketa tanah di wilayah mereka. 
“Saat ini warga Urutsewu dan TNI sedang mengalami gencatan senjata dan upaya mediasi masih diusahakan,” tutur Sunu.
Harapan  Sunu adalah akan adanya pihak yang mampu menjahit kepentingan seluruh warga desa sehingga apabila kepentingan ini dijadikan satu akan menciptakan perjuangan yang lebih langgeng.
Mengamini harapan Sunu, Ashari menambahkan, “Desa sebagai saringan terakhir keamanan dan pertahanan negara, sehingga usaha menjalankan demokrasi negara seharusnya diikuti oleh seluruh komponen masyarakat.” pungkasnya.
Sumber: BalairungPress 

0 comments:

Post a Comment