Thursday, November 30, 2017

Kulon Progo, Korban Rencana Ambisius Rezim Infrastruktur

29 November pukul 16:25
Warga Kulon Progo terlihat sedang bersitegang dengan aparat kepolisian saat rumah-rumah mereka akan digusur untuk kepentingan pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta.
Penggusuran tanah" dan lahan garapan warga untuk kepentingan infrastruktur seperti tidak bisa dihentikan.
Dari 450 konflik agraria yang terjadi kurun waktu 2016, 22,22 % atau kurang lebih 99 konflik terjadi di sektor infrastruktur. 
Trend ini diprediksi terus meningkat dikarenakan masifnya proses pembangunan infrastruktur yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat.

Sementara dalih untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan terbukanya lapangan pekerjaan sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya benar. 
Data BPS 2017 mengatakan bahwa terjadi kenaikan pengangguran terbuka (angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan) secara nasional dari 5,33 % pada bulan Februari menjadi 5,50 pada bulan Agustus 2017.

Lalu kalau seperti itu, pembangunan infrastruktur tersebut untuk siapa?


Siaran Pers: Mengecam Keras Pembangunan Bandara NYIA dan Kembalikan Hak Atas Tanah Warga Kulon Progo

Pernyataan Sikap KPA Atas Pembangunan Bandara NYIA yang Menggusur Warga Kulon Progo
Ditengah guyuran hujan pada 27 November 2017 sekitar pukul 09.00, Desa Palihan didatangi oleh pihak Angkasa Pura (AP) I, PT Pembangun Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS). Dengan dikawal sekitar 400 personel oleh Satpol PP, Aparat Kepolisian, Militer, dan beberapa tidak berseragam atau berbaju sipil. Setelah itu aparat bersenjata lengkap laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul serta alat berat mulai masuk ke halaman dua rumah warga.
Malam sebelumnya listrik warga diputus, sehingga warga bermalam tanpa dialiri listrik. Tindakan ini merupakan bentuk represi dan pengangkangan terhadap hak-hak warga negara, mengingat selama ini mereka tetap membayar pajak dan tagihan listrik. Saat ini, listrik yang diputus merembet ke desa lainnya. Sementara terhitung 2/3 desa mati total.
Kedatangan aparat tersebut untuk memaksa warga untuk mengosongkan tanah dan rumah yang dianggap telah menjadi milik AP I karena sudah dikonsinyasi dan telah ada pemutusan hak atas tanah di pengadilan. Namun warga tetap menyatakan sikap tetap menolak proyek bandara Kulon Progo dan tidak pernah menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan bandara tersebut.
Dari total luas lahan bandara kulon progo 587 hektar, proses pengosongan lahan telah mencapai sekitar 70 % atau sekitar 410 ha. Dari awal, proses pembangunan bandara ini bermasalah. Menurut catatan LBH Yogyakarta, perencanaan serampangan tanpa ada Amdal, padahal proses pembebasan lahan sudah berjalan—masuk tahapan pra-konstruksi. Terkesan Pemerintah ingin menguasai lahan terlebih dahulu, lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Jadi, penyusunan dari pemrakarsa terkesan prosedural semata, Tanpa perlu melibatkan, atau persetujuan bahkan keberatan warga.


Perlakuan aparat terhadap warga yang menolak penggusuran ini sangat tidak manusawi, ibu-ibu diseret sampai ada penangkapan warga dengan memborgol tangan kemudian dibawa ke kantor PT. PP untuk diamankan. Hal tersebut dilakukan karena warga berusaha menghadang alat berat yang masuk ke area rumah mereka.
Warga mempertahankan karena tanah tersebut merupakan lahan subur yang menjadi tempat bergantung hidup mereka. Selama ini masyarakat hidup sejahtera dari hasil pertanian. Komoditas pertanian seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran mayur mampu memenuhi kebutuhan bukan hanya Yogyakarta juga luar daerah. Lahan yang bakal tergusur itu daerah lumbung pangan.
Dewi Kartika Sekjend KPA mendesak aparat untuk segera menghentikan tindakan sewenang-wenang tersebut. “Kekerasan seperti ini selalu berulangkali terjadi, tahun lalu terjadi di Majalengka, tindakan kekerasan aparat terhadap warga yang menolak bandara hingga jatuh korban luka-luka, sekarang terjadi lagi di Kulon Progo. Hak atas tanah warga tidak bisa begitu saja diabaikan, untuk apa pembangunan jika meminggirkan masyarakat bawah?”. Tegas Dewi.
Atas situasi yang terjadi di Kulon Progo maka Konsorsium Pembaruan Agraria dengan tegas menyatakan sikap:
  1. Hentikan pembangunan Bandara New Yogyarkarta International Airport (NYIA) sekarang juga.
  2. Meminta kepada aparat keamanan untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga yang menolak pembangunan bandara.
  3. Kembalikan hak-hak warga yang selama ini dirampas karena pembangunan bandara NYIA.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat. KPA juga menyerukan kepada seluruh petani dan gerakan reforma agraria untuk bersatu melawan perampsan tanah yang memakai dalih pembangunan demi kepentingan umum.
Jakarta, 29 November 2017
Konsorsium Pembaruan Agaria

Dewi Kartika
Sekretaris Jendral

0 comments:

Post a Comment