This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, December 28, 2017

Dua Konflik Per Hari, Catatan Buram Konflik Agraria di 2017

Reporter: Andrian Pratama Taher | 28 Desember, 2017

Ratusan petani, nelayan, dan aktivis dari berbagai elemen melakukan aksi memperingati Hari Tani Nasional 2017 di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (27/9). tirto.id/Andrey Gromico
Ada 659 konflik agraria terjadi sepanjang tahun ini atau dua kasus per hari hari.

Organisasi non-pemerintah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut ada peningkatan jumlah konflik agraria di seluruh Indonesia sepanjang 2017. Ada 659 konflik yang mereka catat tahun ini, atau meningkat 50 persen ketimbang tahun sebelumnya. 

Dengan demikian, rata-rata konflik agraria per harinya mencapai dua kasus. 

"Di tahun 2017, KPA mencatat terjadi kenaikan konflik sebesar 50 persen dibandingkan 2016, dari 450 konflik ke 659 konflik dengan cakupan 520.491 hektare," katan Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Cikini, Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Dalam dokumen Catatan Akhir Tahun 2017 KPA, dijelaskan bahwa yang dimaksud konflik agraria adalah "konflik yang diakibatkan oleh kebijakan atau putusan pejabat publik (pusat dan daerah), melibatkan banyak korban dan menimbulkan dampak yang meluas, yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik." Kata "agraria" mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mendefinisikan agraria tidak hanya sebatas tanah/bumi, tapi juga air dan ruang angkasa. 

Konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan. Ada 208 kasus terjadi di sektor ini, atau berkontribusi sebesar 32 persen dari total konflik. Lebih spesifik, perkebunan sawit adalah tempat yang paling sering jadi lokasi konflik. 

KPA mencatat, hal ini terjadi karena peningkatan luas perkebunan sawit tidak dibarengi dengan sistem pemberian izin lokasi, izin usaha, dan kajian dampak yang komprehensif. Per 2016, luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 11,67 juta hektare, dimana 31 persennya dimiliki beberapa grup saja seperti Sinar Mas Group, Salim Group, dan Wilmar Group. 

Sektor properti berada di posisi kedua, dengan jumlah konflik mencapai 199. Di sektor ini konflik tidak monolitik karena persoalan tanah. Di beberapa tempat, pembangunan properti dan apartemen misalnya, menimbulkan konflik perebutan sumber mata air antara warga dan pengembang. 

Satu contoh adalah pembangunan hotel The Rayja Resort milik PT Panggon Perkasa Sukses Mandiri. Warga di sekitarnya, di Dusun Cangar, Bulukerto, menolak keberadaan hotel itu karena memonopoli sumber mata air Umbul Gemulo. Setidaknya ada 9.000 orang yang terkena dampak. Mereka mengalami kekurangan air bersih sejak pendirian hotel tersebut. 

Sektor pertanian menempati posisi ketiga, dengan jumlah konflik mencapai 78. 

Sisanya terdiri dari 30 konflik di sektor kehutanan, 28 konflik di pesisir dan kelautan, serta 22 konflik yang berkaitan dengan pertambangan. Jika diakumulasikan selama tiga tahun terakhir di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, maka jumlah konflik mencapai 1.361.
Komposisi konflik sedikit berbeda jika dilihat dari luasan wilayah. Di peringkat pertama memang masih sektor perkebunan dengan luasan konflik mencapai 194.453 hektare. Namun di peringkat kedua bukan properti seperti pada jumlah kasus, melainkan sektor kehutanan. Di sektor ini konflik melibatkan tanah seluas 137.204 hektare. 

Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur, dengan luasan konflik mencapai 52.607 hektare. Sektor pertambangan berada di posisi keempat, dengan luas 45.792 hektare. Di bawahnya, konflik di sektor pesisir atau lautan, pertanian, dan properti masing-masing mencakup lahan seluas 41.109 hektare, 38.986 hektare, dan 10.337 hektare.

KPA mencatat konflik-konflik ini terjadi menyeluruh, di semua provinsi Indonesia. Lima provinsi penyumbang konflik agraria terbesar adalah Jawa Timur (60 konflik), Sumatera Utara (59 konflik), Jawa Barat (55 konflik), Riau (47 konflik), dan Lampung (35 konflik). Kelima provinsi ini menyumbang 38,85 persen dari total 659 konflik agraria se-Indonesia tahun 2017.

KPA juga mencatat siapa saja yang saling berhadapan dalam konflik. Mereka menyebut konflik antara warga dan swasta yang paling mendominasi. Di posisi kedua ada 140 konflik yang melibatkan warga dan pemerintah, dan peringkat ketiga dengan 112 konflik terjadi antara warga dengan warga. 

Untuk kasus terakhir, KPA mencatat konflik umumnya terjadi karena putusan ngawur yang tidak segera diperbaiki. 
Konflik juga terjadi antara warga dengan aparat. Dalam hal ini dengan polisi (21 kasus) dan TNI (11 kasus). Konflik warga dengan TNI umumnya terjadi karena rencana pembangunan lapangan udara (Lanud) dan kompleks perumahan TNI yang tumpang tindih dengan tanah warga. 

Bagi masyarakat, implikasi dari konflik ini beragam. Tertinggi adalah kriminalisasi (369 korban), menjadi korban penganiayaan (224 orang), tertembak (6 orang), bahkan hingga tewas (13 orang).

Komentar ATR/BPN dan Polri

Menanggapi temuan KPA ini, Kepala Biro Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ATR/BPN Arwin Baso mengatakan bahwa temuan KPA bisa jadi benar karena pendaftaran tanah pun meningkat. "Semakin banyak tanah terdaftar, semakin banyak sengketa terdeteksi. Jadi harus dilihat pula peningkatan orang-orang yang mendaftarkan tanah ke BPN," katanya kepada Tirto.
Meski begitu, Arwin tidak bisa memberikan data pasti baik soal konflik ataupun soal pendaftaran tanah itu sendiri. "Saya tidak pegang data. Jadi tidak bisa memberikan data pembanding saat ini," katanya. "Tapi itu, bisa jadi bertambah karena pendaftarnya pun bertambah." 
Dua Konflik Per Hari, Catatan Buram Konflik Agraria di 2017

Sementara Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri, Brigjen Mohammad Iqbal, mengatakan bahwa laporan KPA harus didalami dulu. Apakah yang mereka maksud soal keterlibatan polisi masuk delik pidana atau sebatas "mengamankan" ketika terjadi konflik pecah. 

"Kalau tindak pidana saya belum punya datanya, kalau konflik masyarakat setempat dan perusahaan lain memang tugas polisi di situ. Tapi dicek dulu itu pidana atau dorong-dorongan. Kalau dorong-dorongan biasa itu, karena unjuk rasa saja misalnya, pasti polisi yang terlibat," katanya. 
Namun yang dimaksud KPA bukan itu. Penyandang korps Bhayangkara itu adalah aktor utama tindak kekerasan dan penangkapan. 
"Polisi melakukan 21 kali tindak kekerasan maupun penangkapan tanpa prosedural kepada masyarakat yang coba bertahan di tanah mereka," kata Dewi. 
Sumber: Tirto.Id 

Monday, December 11, 2017

Hadi Tjahjanto Buka Kemungkinan Pengadilan Sipil Bagi TNI

Reporter: Felix Nathaniel | 11 Desember, 2017

Pejabat lama Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kanan) dan pejabat baru Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) melakukan salam komando seusai melaksanakan upacara serah terima jabatan, di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Sabtu (9/12/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

  • Hadi berjanji bahwa semuanya akan ditindak tanpa pandang bulu
Hadi sedang mengusahakan harmonisasi KUHPM dan KUHP agar oknum militer yang melakukan pelanggaran hukum, apalagi terhadap masyarakat sipil bisa diadili di pengadilan sipil.

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengatakan tidak menutup kemungkinan terhadap sistem peradilan umum atau sipil kepada oknum militer yang kedapatan melakukan pelanggaran hukum, apalagi terhadap sipil. Hal ini dikatakan Hadi selepas bertemu dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mabes TNI, Cilangkap, Senin (11/12/2017).

Hadi menerangkan bahwa pengadilan militer akan mengadili siapapun yang bersalah. Namun, selama ini penyelesaian kasus militer, meski melibatkan korban sipil, tetap ditangani oleh pihak polisi militer. Pengadilannya pun diadakan di pengadilan militer yang sifatnya tertutup.

"Kami yang jelas siapa yang salah kami akan adili, rasa keadilan harus ada. Kami sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM [Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer] dan KUHP [Kitab Undang-undang Hukum Pidana]. Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer," katanya di Mabes TNI, Cilangkap, Senin (11/12/2017).

Namun terlepas di mana tempat oknum militer akan diadili, Hadi berjanji bahwa semuanya akan ditindak tanpa pandang bulu. "Pada dasarnya, kami akan tegakan," tandasnya.

Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berharap bahwa TNI bisa menyelesaikan masalahnya di ranah sipil. Menanggapi hal ini, Hadi menjelaskan bahwa masalah itu juga salah satu dari bahasan yang akan diselesaikan saat ia menjabat.

KontraS membuat pernyataan pers yang disampaikan Badan Pekerja KontraS pada Kamis (7/12/2017)  bahwa ada 9 pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Hadi saat menjabat sebagai Panglima TNI yang baru. Dalam salah satu poinnya, Kontras mendesak agar Hadi bisa memperbaiki sistem peradilan militer sebagai satu-satunya alat uji akuntabilitas yang justru kerap dijadikan dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM.

Selama ini, sistem peradilan militer telah menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat sipil, terutama saat menjadi korban. Penyelesaian kasus di peradilan militer cenderung tertutup dan tidak ada sangsi berat terhadap oknum militer. Lebih dari itu, beberapa kasus biasanya diselesaikan secara damai oleh internal militer sendiri.

"Calon Panglima TNI yang baru juga harus mendorong revisi UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer sebagai satu-satunya alat uji akuntabilitas yang justru kerap dijadikan dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM," tulis KontraS dalam rilis yang diterima Tirto, pada Kamis (7/12/2017). 

Sumber: Tirto.Id 

Friday, December 08, 2017

Santri Nadliyin Menyikapi Rencana Pembangunan Bandara Internasional Baru Yogyakarta (NYIA) Kulonprogo

Rilis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam – FNKSDA


Bismillahirrahmanirrahim
Rencana pemerintah DI Yogyakarta dan Pusat melalui Perpres No. 36/2016 untuk melakukan megaproyek pembangunan bandara internasional baru Yogyakarta (NYIA, New Yogyakarta International Airport) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, telah menimbulkan keresahan dan penderitaan pada warga di enam desa yang terdampak, yaitu Jangkaran, Temon Kulon, Glagah, Sindutan, Kebunrejo, dan Palihan. Rencana ini merupakan bagian dari politik kapitalisme infrastruktur pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui MP3EI dan kini dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Yogyakarta, yang terbukti telah menimbulkan berbagai konflik agraria dan perampasan ruang hidup rakyat di berbagai tempat.
Perkembangan terkini di desa-desa yang terdampak, telah dilakukan penggusuran massif atas lahan-lahan dan perumahan warga. Warga yang bertahan, diintimidasi dan ditekan untuk melepas lahannya. Tindakan represif yang terakhir kali terjadi adalah penangkapan atas sejumlah aktivis relawan warga dan pemukulan atas warga setempat, serta berbagai ancaman fisik maupun mental dari pihak PT Angkasa Pura I dan aparat militer dan kepolisian pada 5 Desember 2017.
Menyikapi perkembangan tersebut, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) mencatat beberapa hal yang menjadi alasan kuat menurut ajaran Islam untuk menolak rencana pembangunan NYIA di Kulon Progo.
Pertama, akad jual-beli yang tidak sah (“fasid”). Dari berbagai laporan warga, ditemukan bahwa telah terjadi pemaksaan pelepasan lahan melalui skema aneh yang disebut “konsinyasi”. Banyak di antara warga tidak merasa pernah menjual lahannya dan masih memegang SHM yang sah, tetapi oleh PT Angkasa Pura I telah diklaim sebagai milik proyek bandara karena transaksinya diklaim dilakukan di pengadilan dan uang ganti rugi dititipkan di bank. Skema aneh tersebut melanggar syarat utama berlangsungnya akad jual-beli yang sah, yaitu prinsip kesukarelaan kedua belah pihak (“’an taraadlin”) sebagaimana dinyatakan dalam Kitab-kitab Fiqh. Warga yang telah menjual lahannya, juga banyak yang melakukannya atas keterpaksaan, karena ketakutan tidak mendapatkan ganti rugi. Pernyataan yang terdengar dari pihak Angkasa Pura I adalah: “Mau atau tidak melepas lahan, pasti digusur!”
Status akad yang tidak sah di atas, berarti bahwa yang terjadi saat ini di lokasi terdampak rencana bandara adalah “ghosob”, yaitu pemerkosaan hak-hak orang lain melalui cara yang zalim. Para ulama mendefinisikan “ghosob”:
الإستيلاء على حق الغير عدوانا أي على وجه التعدي او القهر بغير حق
(“Penguasaan atas hak milik orang lain dengan cara yang menimbulkan permusuhan, artinya dengan membuat orang memusuhinya atau dengan memaksanya dengan jalan tidak benar”, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah al-Zuhaily, Juz V: 709).
Dengan demikian, pelepasan lahan yang terjadi di lokasi tersebut selama ini tidak sah. Tindakan “ghosob” ini juga dilakukan oleh PT Angkasa Pura I dengan terjadinya perusakan atas sejumlah pepohonan dan tanaman milik warga, perusakan pekarangan, serta pada tanggal 27 November 2017 pemutusan listrik secara paksa dari rumah-rumah warga yang bertahan. Perusakan ini adalah suatu “itlaaf” (الإتلاف), artinya merusak harta sah orang lain, merupakan suatu tindak pidana dan kejahatan dalam hukum Islam.
Kedua, alih fungsi lahan pertanian produktif secara besar-besaran di lokasi terdampak bandara. Lokasi pembangunan NYIA akan menghabiskan 637 hektar lahan pertanian produktif, dengan terdampak 11.501 jiwa (2.875 KK). Pembangunan ini otomatis menghancurkan ekosistem dan budaya agraris di daerah Kulon Progo yang terkenal dengan produk-produk pertaniannya.
Pada Muktamar ke-33 di Jombang (2015), Nahdlatul Ulama (NU) telah memfatwakan: “Mengalihfungsikan lahan produktif seperti lahan pertanian atau ladang menjadi perumahan, perkantoran atau pabrik yang diyakini berdampak madharrah ‘ammah (mudarat yang nyata) pada perekonomian, hukumnya haram”.
Yang terjadi di Kulon Progo saat ini adalah sautu madharrah ‘ammah (mudarat yang nyata) berupa penghancuran desa-desa, budaya dan ekosistem agraris, dan penghancuran kaum petani dan lapisan rakyat lainnya. Dampak paling jelas dari adanya alih fungsi besar-besaran, massif dan terstruktur ini adalah pemiskinan rakyat, terusirnya mereka dari kampung halaman, alih profesi petani, serta meningkatnya pengangguran dan fakir-lahan (landlessness).
Ketiga, kebutuhan bandara baru di Yogyakarta hari ini. Digembar-gemborkan bahwa Yogyakarta atau Jawa Tengah membutuhkan bandara baru bertaraf internasional yang memiliki fasilitas aero-city superlengkap dan mewah (statemen Presiden Jokowi), seperti negara-negara maju lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
1. Jawa Tengah dan DIY merupakan kawasan berbasis agraris, dan ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. Kebutuhan rakyat atas lahan pertanian lebih “dlaruri” (darurat) daripada kebutuhan akan bandara.
2. Dua bandara internasional di Yogyakarta dan Solo – Bandara Adisucipto dan Bandara Adisumarmo – memiliki kapasitas yang masih memadai untuk menampung lalu lintas pesawat yang ada (Infografis JDA, Jogja Darurat Agraria). Pengembangan keduanya lebih masuk akal daripada membangun bandara baru.
3. Kebutuhan bandara adalah melayani kelas menengah dan kaum profesional di Yogyakarta, tidak untuk melayani masyarakat desa dan warga petani di Yogyakarta. Kebutuhan itu bersifat “juz’i” (partikular), bukan “kebutuhan umum” yang diperuntukkan semua lapisan masyarakat (‘ammah).
Status kebutuhan Yogyakarta akan bandara, dalam Fiqih, dikategorikan Tahsiniyyat atau aksesoris, bukan Dharuriyyat (primer/pokok). Dalam hal ini, kebutuhan dharuriyyat berupa penyediaan lahan pertanian produktif bagi rakyat haruslah diutamakan jauh di atas hal-hal yang sifatnya aksesoris atau kebanggaan semu.
Atas pertimbangan ini, maka kami santri Nahdliyin:
1. Mendesak pemerintah untuk segera menghentikan rencana pembangunan NYIA.
2. Mendesak pemerintah dan aparat untuk menghentikan intimidasi terhadap warga dan mengembalikan hak-hak warga yang telah dirusak selama proses pengosongan lahan (land clearing).
3. Mendesak pemerintah untuk menetapkan Kulon Progo sebagai daerah agraris dan melindungi segenap potensi agraria yang ada untuk kepentingan rakyat.
4. Mendesak pemerintah untuk menegakkan Reforma Agraria Sejati berupa tanah untuk rakyat, dan menghentikan segala skema “reforma agraria” semu yang dilakukan dengan perampasan tanah dan penghidupan masyarakat.
5. Mengajak semua elemen publik, khususnya warga Nahdliyin di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan ormas-ormas Islam untuk mendukung perjuangan warga terdampak bandara di Kulon Progo.
Wabillahit-tawfiq.
Jumat, 8 Desember 2017 / 19 Rabi’ul Awal 1439
Komite Nasional FNKSDA,
Muhammad Al-Fayyadl dan A. Syatori
Sumber: DaulatHijau

Thursday, December 07, 2017

Kronologi Pengepungan dan Penyergapan Ruang Solidaritas Masjid Al Hidayah, Palihan, Temon, Kulonprogo

Desember 7, 2017



Kronologi ini disusun oleh Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo dan Jaringan Solidaritas untuk Warga Penolak Bandara NYIA setelah mewawancarai saksi-saksi kunci.
Selasa, 5 Desember 2017 
Sekitar jam 08.30 WIB (pagi) – Masjid Al Hidayah dan Tempat tinggal Keluarga Fajar Ahmadi, Palihan, Kulonprogo
Masjid Al Hidayah didatangi puluhan hingga ratusan pasukan proyek Bandara NYIA, yang terdiri dari aparat berseragam coklat, hitam, loreng, dengan maupun tanpa penutup muka. Ada pula orang-orang berbaju sipil yang ditengarai tenaga mata-mata aparat (istilah lokal: intel). Selain aparat ada orang-orang berbaju lapangan putih dengan rompi hijau mencolok yang biasa ditemui di lokasi rencana pembangunan bandara yang mewakili PT. Angkasa Pura I (istilah lokal: AP).
Pasukan proyek kemudian melingkari salah seorang warga yang sebelumnya bertengkar dengan mereka. Beberapa orang dari jaringan solidaritas dan wartawan mendekati kerumunan pasukan proyek. Sementara itu, tiga alat berat terus bekerja merobohkan pohon-pohon dan rumah warga tersebut.
Pertengkaran terus berlangsung selama sekitar satu jam. Warga, jaringan solidaritas yang berusaha melindungi warga, dan pasukan proyek masih berkerumun. Ketika ini, pasukan proyek mulai merangsek ke halaman rumah di belakang Masjid Al Hidayah hingga kira-kira berjumlah ratusan.
Warga pemilik rumah di belakang Masjid Al Hidayah berlari ke belakang rumahnya, yakni di pekarangan yang juga menjadi kandang sapi. Salah satu aparat memberi kode tepuk tangan untuk memanggil bawahannya untuk mengejar warga tersebut. Di belakang rumahnya, warga tersebut dilindungi oleh jaringan solidaritas saat dikepung aparat berbaju coklat (Polisi). Petugas AP tinggal di halaman depan rumah. Warga tersebut meraung-raung saat alat berat menghancurkan kandang sapinya.
Ketika jaringan solidaritas semakin banyak melindunginya, polisi mendorong-dorong dengan tameng mereka. Sebagian besar polisi mengenakan penutup muka dan tidak berbicara selama mendorong-dorong jaringan solidaritas yang terdesak di depan pagar kandang sapi yang telah roboh.
Warga tersebut berulang kali meminta menunjukkan surat tugas pada polisi, namun tidak ada jawaban. Salah seorang anggota jaringan solidaritas juga meminta surat tugas atau surat perintah pengosongan lahan, namun tidak digubris.
Suasana panas dan beberapa jaringan solidaritas terjebak dalam kepungan polisi bertameng. Orang-orang yang dikepung polisi terdengar berteriak-teriak kesakitan. Saat itu, mereka diinjak-injak. Jaringan solidaritas yang berusaha membantu teman-temannya yang dikepung ditahan oleh lapisan polisi di ring kedua/ring luar.
Dalam kejadian dorong-dorongan, salah satu kamera terlempar dan mengenai kepala salah seorang warga sampai berdarah.
Sementara kejadian pengepungan, dorong-dorongan, pemukulan dan polisi menginjak-injak berlangsung, di halaman depan rumah, terjadi penyisiran identitas (sweeping). Penyisiran dilakukan sporadis dan berulang kali menimbulkan pertentangan saat pihak-pihak yang dimintai identitas menolak menunjukkannya. Pertanyaan yang muncul di antaranya, “Kamu warga sini bukan? Kamu tidak berizin!” dan “Provokator”.
Penyisiran tidak hanya berlangsung di halaman tetapi sampai masuk-masuk ke dalam rumah, tanpa menghiraukan protes pemilik rumah.
Polisi semakin banyak datang. Kerumunan dan suara-suara di belakang rumah berkurang setelah warga pemilik rumah dan jaringan solidaritas diseret keluar pekarangan menuju Jalan Daendels. Beberapa dalam keadaan luka terbuka dan ada yang rambutnya rontok karena dijambak. Mereka dibawa ke kantor PT. Pembangunan Perumahan (PP) yang jaraknya 200 meter dari rumah tersebut.
Sekitar jam 10.10 (pagi) – Kantor PT. Pembangunan Perumahan, Temon, Kulonprogo
Di kantor PT. PP, semua orang yang diringkus, seluruhnya dari jaringan solidaritas, ditanya-tanyai. Mereka berjumlah 12 orang. Seluruhnya menolak bicara.
Keduabelas orang jaringan solidaritas diminta menunjukkan identitas seraya dibentak-bentak. Identitas yang ada dirampas, termasuk kartu pers.
12 orang tersebut ditahan selama kurang lebih 30 menit sebelum diangkut dengan bus polisi.
Sekitar jam 10.30 WIB (pagi) – Kantor Polres Kulonprogo
Bus polisi yang mengangkut 12 orang jaringan solidaritas masuk gerbang Polres Kulonprogo.
Saat mereka turun dari bus, polisi mendorong dan memukul kepala, leher, dan perut salah seorang karena dianggap melawan. Keduabelas orang tersebut diminta berjongkok, namun mereka menolak. Bentakan dan ancaman polisi terus berlangsung sampai mereka tiba di ruang pemeriksaan.
Salah seorang mengucapkan istighfar dan lafal Allah SWT, namun polisi menyebutnya ‘munafik’. Orang tersebut kemudian menyebut perlakuan polisi dalam insiden ini akan dicatat sebagai pelanggaran HAM.
Karena alasan pemeriksaan, tas dan barang lain yang dibawa harus diserahkan.
Jam 13.25 WIB (siang) – Kantor Polres Kulonprogo
Kuasa hukum PWPP-KP dan jaringan solidaritas tiba di kantor Polres Kulonprogo. Hingga saat itu, keduabelas orang jaringan solidaritas masih tidak mau berbicara. Kuasa hukum memastikan pada petugas yang berjaga untuk membebaskan keduabelas orang tersebut karena tidak ada dasar tuduhan aktivitas tanpa izin. Polisi mewajibkan pemeriksaan jika ingin dibebaskan, kuasa hukum menolak karena tidak ada dasar hukum untuk pemeriksaan apalagi penangkapan.
Perundingan berlangsung alot hingga keduabelas orang tersebut hanya boleh dimintai keterangan.
Keduabelas orang tersebut dibelikan makan oleh jaringan solidaritas yang ikut menunggu di kantor Polres Kulonprogo. Setelah makan, satu per satu diminta memberikan keterangan di ruangan terpisah satu sama lain.
Jam 15.32 WIB (sore) – Glagah, Temon, Kulonprogo
Alat berat yang melampaui wilayah garapannya (lahan dan rumah yang sudah menerima pembelian PT. Angkasa Pura I saja), dihadang oleh warga dan jaringan solidaritas.
Polisi berjumlah puluhan mendorong, memukul, dan berusaha meringkus siapapun yang menghadang. Ada 4 orang yang diringkus polisi, satu di antaranya warga pemuda. Keempatnya dibawa ke kantor PT. PP dalam keadaan memar dan luka terbuka.
Pemuda warga dilepas oleh polisi sebelum mobil SUV mengangkut mereka ke kantor Polres Kulonprogo.
Jam 16.00 WIB (sore) – Kantor Polres Kulonprogo
Tiga orang yang dibawa dari Desa Glagah, Temon, Kulonprogo juga harus melalui proses dimintai keterangan oleh polisi.
Jam 21.30 WIB (malam) – Kantor Polres Kulonprogo
Permintaan keterangan selesai, kelimabelas orang yang diangkut ke kantor polisi dalam insiden, bebas.
Nama-nama Korban Kekerasan yang diringkus polisi di Desa Palihan dan Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo, 5 Desember 2017
Imam, Mahasiswa, Pers Mahasiswa
Andre Anti Tank, Seniman
Muslih, FNKSDA
Kafabi, Mahasiswa
Rifai, Mahasiswa
Wahyu, Mahasiswa
Fahri, Mahasiswa, Pers Mahasiswa
Rimba, Mahasiswa, Pers Mahasiswa
Samsul, LFSY
Chandra, LFSY
Mamat, Mahasiswa
Yogi, Mahasiswa
Khoirul, Mahasiswa
A. Majid, Mahasiswa
Syarif, Mahasiswa
Nama korban kekerasan yang hampir diangkut polisi di Desa Palihan dan Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo, 5 Desember 2017
Aulia, Pelajar
Fajar Ahmadi, pemilik rumah, Desa Palihan
Hermanto, pengelola sanggar, Desa Palihan

Pernyataan Sikap | Atas Upaya Perampasan Ruang Hidup Dengan Dalih Kepentingan Umum di Palihan, Glagah dan Sindutan, Kabupaten Kulon Progo

Pernyataan Sikap 


Atas Upaya Perampasan Ruang Hidup Dengan Dalih Kepentingan Umum 
di Palihan, Glagah dan Sindutan, Kabupaten Kulon Progo



Sajogyo Institute, November-Desember 2017

Sudah sejak awal bulan November 2017, masyarakat di beberapa desa di Kulon Progo praktis tidak lagi tenang dalam menjalankan aktivitas hariannya. Bagaimana tidak, sejak awal November itu, mereka harus memasang badan untuk menghadapi ancaman serangan pengrusakan yang dilakukan oleh militer, aparat kepolisian, preman bayaran, masyarakat sipil yang dibayar, PT. Angkasa Pura I, PT. Pembangunan Perumahan, dan PT. Surya Karya Setiabudi. Berbagai peringatan dan ancaman tertulis terpasang di banyak sudut kampung  mereka agar warga membongkar rumahnya sendiri dan meninggalkan tempat itu. 

Peringatan dan ancaman tertulis itu datang dari pihak yang merasa sudah membeli tanah-tanah mereka. Padahal warga setempat tidak pernah merasa menjualnya. Dengan dalih mekanisme konsinyasi, yang berarti kurang lebih: secara sepihak (dan sebagian menyebutnya tanpa sepengetahuan warga terkait), rumah-rumah dan tanah-tanah mereka sudah ditetapkan sebagai sudah menjadi milik pihak lain melalui sistem jual-beli yang disebut “konsinyasi”. Sistem ini demikian aneh, entah kapan berlangsung transaksi jual-beli, kapan dibelinya, kapan ada akad jual-belinya, dan kapan warga menjualnya; menurut warga serba tidak jelas dan sepihak sepenuhnya! Warga tidak pernah mau menjual tanah dan rumah mereka, mengapa begitu saja mereka kemudian diberi tahu bahwa tanah dan rumahnya sudah menjadi uang pembayaran yang dititipkan di bank. Uang itu bisa diambil dengan syarat-syarat tertentu. Aneh dan tidak masuk akal! Tapi ini terjadi dan katanya berdasar pula dari putusan pengadilan! 

Pada 27 November 2017, warga yang merasa tidak pernah menjual rumah dan tanahnya itu, didatangi sekelompok orang yang merasa perwakilan dari yang sudah membeli tanah itu. Kedatangan mereka dilengkapi aparat militer, orang-orang berpakaian preman dan satpol pp. Mereka melakukan upaya pengusiran warga, dengan diawali perusakan rumah menggunakan batu, linggis, palu, dan menendang dengan kaki, melakukan pemutusan listrik untuk sekitar 30 rumah lebih, melakukan intimidasi, dan menjanjikan akan datang kembali untuk tujuan yang sama jika warga tidak juga pergi beranjak. 

Pada 4 Desember 2017, mereka memenuhi janji itu. Warga bersikukuh merasa tidak pernah menjual rumah dan tanahnya, dan bertahan dengan keadaan yang serba memprihatinkan, dengan jumlah tak lebih dari 100 orang. Solidaritas mahasiswa dan aktivis berdatangan untuk menemani warga dalam keprihatinannya menghadapi ancaman kekerasan seperti sebelumnya. Dan benar adanya, kekerasan yang terjadi pada hari itu semakin parah. Aparat militer dan polisi memblokade jalan, mengepung kampung, melakukan penangkapan pada sebagian warga, mahasiswa dan aktivis yang bersolidaritas, merusak dan melubangi jalan-jalan warga yang masih menetap di sana, menutup akses keluar-masuk kampung dan menciduk orang-orang di dalamnya.   

Merespon kekejian, pengrusakan, intimidasi, tindakan kekerasan, dan penangkapan yang terjadi terhadap warga kampung Kulon Progo dan kawan-kawan solidaritas, semakin gamblang terlihat jika hari ini negara sudah menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri. Negara yang semestinya menjamin keamanan dan keberlangsungan ruang hidup bersama rakyat banyak, justru berbalik menjadi ujung tombak dari perampasan ruang hidup. Ancaman ini demikian serius dan terus membesar dari waktu ke waktu dalam beberapa tahun belakangan. 

Seperti memang sedang dilazimkan, sikap-sikap arogan dan kekerasan oleh negara atas rakyatnya sendiri terus berlangsung, seperti tragedi Teluk Jambe (24 Juni 2014) dan tragedi Sukamulya (17 November 2016) yang melibatkan kekerasan oleh ribuan aparat militer atas orang-orang desa. Sebaliknya, negara semakin ramah dan penuh sopan santun menyerahkan diri kepada para pemodal. Dan semua kekerasan itu akibat dari perkoncoan yang semakin intim antara negara dan modal, yang ingin merampas ruang hidup dan merubahnya menjadi ruang pemutar pundi-pundi keuntungan belaka. 

Kami menaruh hormat dan salut yang setinggi-tingginya kepada warga desa-desa di pesisir Kulon Progo, yang dalam kondisi serba memprihatinkan terus melawan upaya-upaya perampasan ruang hidup oleh perkoncoan negara dan pemodal. Mereka melawan kekuatan yang demikian besar, dengan tangan dan kakinya, seadanya tanpa sedikitpun kegetiran atas segala resiko. Kampung Garongan, Pleret, Bugel, Karangsewu, Banaran (PPLP, Paguyuban Petani Lahan Pantai) yang telah lebih dulu menunjukkan kegarangan sikap perlawanannya menghadang ekspansi tambang, dan kini kampung Palihan, Glagah dan Sindutan (PWPP KP, Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo), yang dengan kukuh tanpa basa basi menjaga ruang hidupnya sampai kondisi terlemah sekalipun! Kampung-kampung pesisir Kulonprogo ini, adalah tempat-tempat belajar bersama yang utama tentang bagaimana kewarasan hidup dipertahankan dalam masa-masa yang serba acuh tak acuh ini!

Dengan itu semua, kami menyatakan: 

1. Mendukung sepenuhnya upaya pertahanan dan perlawanan warga pesisir Kulon Progo demi keberlangsungan ruang hidup bersama! Begitu juga kampung-kampung lainnya di seluruh Indonesia yang terus mempertahankan ruang hidupnya; keteguhan perlawanan dari kampung-kampung di pesisir Kulonprogo agar menjadi gelombang berantai keteguhan bagi kita semua; yang terus terancam dan semakin terdesak dalam kondisi sama-sama memprihatinkan. Keadaan yang prihatin ini, tidak menghalangi kita untuk berteguh-teguh mempertahankan ruang hidup. Dalam kondisi ini, tidak lain dan tidak bukan yang menjadi pegangan kita bersama adalah pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, dan perasaan senasib sepenanggungan, bersama-sama bersolidaritas melawan perampasan ruang hidup! 

2. Kepada semua khalayak, kami menghimbau agar memberikan kepedulian akan kondisi krisis yang semakin membesar. Ruang hidup kita sedang digerus oleh suatu moda ekonomi raksasa untuk penumpukan keuntungan segelintir orang. Pameo “pertumbuhan ekonomi” adalah selubung kata-kata untuk menyembunyikannya. Yang tumbuh sesungguhnya adalah modal, sementara kehidupan semakin hancur. Semakin modal itu membesar, semakin putaran kehidupan berganti menjadi putaran mesin-mesin, manusia sekalipun menjadi hanya mesin-mesin, kehidupan yang dekaden! Tanah bisa dijual dan dibeli. Ruang hidup tidak bisa dijual, tidak bisa dibeli, tidak bisa diganti rugi. Lebar tanah bisa diukur dengan meteran, lebar dan kedalaman ruang hidup tidak bisa diukur dengan angka-angka sama sekali. Menjual ruang hidup, adalah menjual diri sendiri dan anak cucu! Kehilangan ruang hidup, adalah kehilangan sejarah dan kemerdekaan kita atas waktu depan dan anak cucu sendiri. Orang-orang yang ruang hidupnya sudah terampas, masa depannya ditentukan oleh perampas itu sendiri, menjadi budak mesin-mesin putaran modal. Tidak ada yang lebih buruk dari menjual kehidupan dan sejarah! Matinya ruang hidup adalah matinya sejarah dan kemanusiaan! Perlawanan atas penggerusan, penyerpihan dan parampasan ruang hidup, mendesak dilakukan secara bersama-sama saat ini!  

3. Kami menuntut Undang-undang Pengadaan Tanah (UUPT) No. 2 Tahun 2012 yang menjadi dasar pelaksanaan sistem konsinyasi dan asas kepentingan umum, dicabut dan dibatalkan. Jelas sekali pengadaan tanah dalam cara itu adalah akal-akalan, maka kepercayaan kita pada jaminan perundang-undangan menjadi hilang. Undang-undang telah menjadi alat untuk mengelabui masyarakat, mengamankan kepentingan perkoncoan negara dan modal. 

4. Kami menuntut asas kepentingan umum dikembalikan kepada maknanya yang asasi, yakni, kepentingan umum harus untuk semua lapisan masyarakat, terlebih masyarakat terlemah, golongan bawah dan rentan. Kepentingan umum, harus sepenuhnya diurus oleh negara, dan inilah sebabnya mengapa negara itu perlu ada. Kepentingan umum, tidak bisa diserahkan kepada para pebisnis, swasta atau pemodal, karena kepentingan umum itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang bersifat dasar, sedangkan bisnis berasaskan kepentingan sepihak yang kompetitif. Negara dalam beberapa tahun belakangan, terlebih sejak munculnya UUPT No. 2/2012, telah memutar-balikkan makna asasi dari asas kepentingan umum sedemikian rupa, sehingga pemodal dan swasta memanfaatkan asas kepentingan umum berikut semua manifestasi konkritnya untuk tujuan mengumpulkan keuntungan sepihak. Jelas sekali hal ini justru pengingkaran dan pengelabuan atas asas kepentingan umum itu sendiri! Dalam Perpres No. 55 Tahun 1993 disebutkan, bahwa sarana kepentingan umum tidak bisa menjadi sarana untuk mencari keuntungan! Penjelasan ini menghilang dalam UUPT No. 2/2012. 

5. Terakhir, kami menuntut agar semua proyek infrastruktur di seluruh Indonesia atas dasar “kepentingan umum” yang abal-abal ini, dibatalkan! Kami tidak peduli berapa besar uang yang sudah diinvestasikan, atau resiko kerugian bisnis. Yang kami pedulikan adalah kelanjutan ruang hidup kami, orang banyak, dan generasi nanti. Karena kehidupan tidak pernah bisa diganti rugi, sebanyak apapun jumlah uang tidak akan bisa menggantinya! Kami meminta pada negara agar jangan terus-terusan menuturkan uang-uang dan uang, selalu begitu! Kita ingin hidup yang sejahtera lahir bathin; hidup secara sederhana dan tenang, cukup makan dari alam sekitar, bisa menghirup udara bersih, meminum air tanah dari bawah rumah sendiri, berjiwa dan raga yang sehat, berpakaian sederhana, di rumah-rumah biasa dengan suasana tidak tergesa-gesa. Bukan kehidupan berlimpah uang, namun ruang hidup kita hancur dan kita tergerus menjadi manusia! 

Sangat ironis bahwa semua ini berlangsung di wilayah dengan status yang katanya “istimewa”. Kami semakin tidak memahami apa makna keistimewaan bagi orang-orang kecil di sekitar D.I. Yogyakarta. Semua ini semakin menampakkan pada kita semua tentang, apa yang sungguh-sungguh ada!

Sajogyo Institute 
Bogor 7 Desember 2017

Wednesday, December 06, 2017

Capung Besi Akan Mendarat di Rumah Kami: Bertahan & Melawan

December 6, 2017




Seorang ibu menangis di bawah cakar besi ekskavator. Suaranya parau, dia menjerit, berteriak histeris. 
Toloonngg, jangan paksa kami, Pak. Toloooongg”. 
Ekskavator tetap bergerak dikawal puluhan aparat. Menerjang, merobohkan pohon kelapa di sudut pekarangannya. Dia semakin histeris, berlutut menanamkan dua kakinya ke tanah. Agar tak ada satupun orang yang dapat menggoyahkan tubuhnya, sekalipun, Cakar Besi ekskavator menghantam.
Paijah[1] namanya, usianya kini menginjak 69 tahun. Sejak lima tahun lalu dia lantang menolak pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport) di Kecamatan Temon – Kulonprogo, sekarang, suaranya tetap sama. Pada Senin (04/12/2017), sejauh mata memandang, pohon ambruk berantakan, bangunan dan rumah hancur ditinggal penghuninya. Hanya rumah dan pepohonan di pekarangan Paijah dan juga 38 warga lain yang tetap tegak berdiri. Kondisi itu bukan karena bencana tsunami, bukan. Tapi bencana kemanusiaan, di mana atas nama pembangunan, para manusia diusir, sebab capung besi (Pesawat) akan segera mendarat, tepat di tanah milik mereka.
Siang itu, rumah Paijah menjadi sasaran penggusuran selanjutnya. Aparat bersenjata lengkap berbarengan memasuki pekarangan Paijah diikuti sebuah mobil Ekskavator. Mimik wajah mereka begitu serius dan kaku, seperti sedang menggrebek penjahat kelas kakap. Toh, yang keluar dari rumah 8×10 meter berpembatas kayu itu adalah seorang ibu tua renta.
Aparat keamanan mencoba menghandang langkah Paijah, jaringan solidaritas aktivis sontak bergerak memaksa para aparat mundur keluar dari pekarangan. Paijah dengan berani menghadang ekskavator yang mulai menyentuh bibir pekarangannya. Dia menjerit dan meminta tolong kebaikan hati penguasa yang telah mengeras itu. 
Tolooonng, Pak, ini kan negara Pancasila, PakSaya juga punya hak, hargai hak saya. Toloooong, Paaak….Bapaak adalah wakil rakyat, Pak. Tolooong, Pak. Jangan tindas kami, Pak. Tolooong, teriaknya keras mengalahkan deru ekskavator yang sedari tadi bersiap ingin meratakan rumahnya. Dengan keberaniannya, dia seperti berkata: tumbangkan dan hancurkan dulu tubuhku sebelum kau tumbangkan pohon-pohon dan rumahku!
Melihat kejadian itu, kami sontak teringat dengan Rachel Corrie (warga AS), seorang pemudi 23 tahun yang tubuhnya luluh lantak di padang Gaza pada tahun 2003. Siang itu, di tengah udara yang begitu panas dan desingan peluru militer Israel, Corrie berlari menghadang tank dan bulldozer yang hendak merubuhkan bangunan warga Palestina. Ia tegak berdiri, sementara bulldozer terus melaju. Orang-orang dari kejauhan berteriak agar Corrie menyingkir. Namun tekad dan keberaniannya sudah bulat untuk membela kemanusiaan. Tubuhnya terkoyak, dilindas bulldozer berkali-kali.
Keberanian Paijah sudah bulat, atas nama tanah, darah, dan kehidupan. Hanya itu harta satu-satunya yang dimiliki. Ketika digusur, tak tahu dia sekeluarga harus tinggal di mana. Warga lain dan jaringan aktivis turut membantu menghalau para aparat. Perlahan tapi pasti mereka berhasil mendesak mundur para aparat dan mobil ekskavator setelah merobohkan sebatang pohon kelapa Paijah. 
Para aparat itu harus membela rakyat, jangan jadi babu korporat. Kalian pikir dari mana gaji kalian? teriak seorang aktivis.
Peristiwa itu berjalan begitu cepat. Warga yang tergabung dalam PWPP-KP (Paguyuban Warga Penolak Penggusuran – Kulon Progo) dan jaringan aktivis tiba-tiba sudah memenuhi pekarangan Bu Paijah. Mereka terhimpun di setiap rumah warga yang melawan penggusuran yang tersebar di beberapa titik. Jumlah mereka mencapai 500-an orang. Dengan menyanyikan lagu Darah Juang dan orasi-orasi politik perlawanan mereka menggiring para aparat menyingkir dari pekarangan Bu Paijah hingga mencapai “pos keamanan”.
*** *** ***
Gambar: Ratusan aparat kepolisian bergerak ke Kecamatan Temon – Kulonprogo, mereka mengamankan proses penggusuran (sumber: antara foto)
Siang itu udara panas semakin menyengat. Pepohonan rindang ambruk tak karuan, sebagian besar rumah telah ditinggal pergi penghuninya. Yang tersisa, reruntuhan tembok dan keangkuhan penguasa. Bu Sutiah termenung sendiri, di bawah pohon kelapa, duduk, beralaskan setangkai blarak. Tatapannya kosong, bibirnya kadang bergumam, seperti sedang berpikir merangkai kata, jikalau, Ekskavator Penggilas dikawal para aparat datang, dia bisa lancar berkata.
Sutiah tampak meratapi pilu, dia tak tahu harus berbuat apa. Kami datang menghampiri. Siang itu masih ada 6 rumah yang berdiri tegak dengan pepohonan rindang meneduhi di sekitar rumahnya. Mereka bertahan, mereka melawan. Kami duduk menghadap ke utara, mengobrol dengan Bu Sutiah. Dihadapan kami, terhampar luas area persawahan yang kini kosong, tak ada tanaman. 
Di situ adalah kawasan yang subur, Mas, ujarnya.
Pembangunan bandara seluas 637 hektare yang berdiri di atas tanah milik 419 KK tersebut, telah menyingkirkan 11.000 orang. Kawasan ini mampu menghasilkan 60 ton gambas dan 90 ton Terong perhektar/tahun. Mencukupi buah lebih dari satu kecamatan temon dengan  180 ton melon dan 190  ton semangka perhektar/ tahun.(PWPP-KP, 2017).
Bu Sutiah duduk termangu dengan tatapan kosong dan mata berkaca-kaca. Dia sedang menata papan kayu. Di tengah obrolan, Sutiah memberi tahu kami letak rumahnya yang tepat di belakang kami duduk. Rumah bertembok itu dalam kondisi kosong, gentengnya sudah diambilin. Begitupula pintu dan jendelanya. Sutiah ternyata sudah menyerah, dia pasrah jika hari ini rumahnya digusur.
Perempuan beranak dua itu rencana akan tinggal sementara di rumah ibunya, di desa sebelah, sambil menunggu dana ganti rugi diberikan. Untuk kebutuhan makan, dia masih memiliki 0,5 H sawah yang tidak masuk dalam proyek NYIA.
Tidak berselang lama, dua ekskavator bergerak merangkak menggilas bangunan yang luluh lantak ditinggal penghuninya. Sekitar 40 polisi dan pihak angkasa pura datang. Bu Sutiah dengan ragu berjalan menghampiri. Terjadi negosiasi antara dia dan anaknya dengan pihak PT Angkasa Pura (PT AP). Pihak PT AP menebar janji bahwa akan memenuhi pelunasan. Sementara tetangga Bu Sutiah, Ngadi tampak bernegosiasi dengan angkasapura, Bu Sutiah berdiri di sebelahnya.
Kita belum mendapat ganti rugi. Janjinya juga akan diberi rumah susun. tapi mana?! ungkap Ngadi.
Ya nanti, Pak, sudah bertemu dengan Pak Lurah? sahut Heni dari PT Angkasapura
Sudah seminggu lalu. Mana Pak Lurah, kok gak ikut datang? Ngadi menimpali.
Ya sudah, kami data Bapak. Kami janji akan memenuhi tuntutan Bapak, yang terpenting bapak legowo, ya, kata Heni.
Ngadi dan Sutiah dengan berat hati mempercayai janji dari PT AP. Mobil Ekskavator kembali merangkak setelah beberapa saat berhenti. Dua dari enam rumah yang masih tegak berdiri di sisi paling barat proyek NYIA akhirnya dirobohkan. Parmin tampak gemetaran menahan marah. Dia bersama tiga tetangganya duduk di sebelah kandang Sapi. 
Diapusi kok yo gelem! (dibohongi kok mau)” ujarnya geram ketika melihat Sutiah membiarkan rumahnya dianiyaya ekskavator.
Parmin (59 tahun) memiliki 4 orang anak yang tinggal satu rumah dengannya. Dia adalah salah satu dari tetangga Sutiah yang tetap bertahan dan melawan penggusuran. Rumah, pohon, dan sepetak tanahnya dihargai oleh PT PA senilai sekitar 300 juta. Dengan tegas ia menolak. Baginya, jumlah itu tidak akan mampu untuk membeli tanah dan membangun rumah baru. Apalagi dana ganti rugi dari PT. PA tidak langsung turun, namun dicicil secara bertahap.
Kami akhirnya berjalan menuju sisi paling timur dari mega proyek NYIA. Terlihat Paidi berteriak marah mengutuk pengemudi ekskavator. Lantaran, genteng dan kaca rumahnya pecah akibat hantaman ekskavator  yang tengah merubuhkan rumah tetangganya. Retno, Ngadinah, dan Sri turut membantu Paidi mengamankan rumahnya. Mereka adalah anggota PWPP-KP.
Retno (37 tahun) adalah warga asli dari Semarang, sejak 11 tahun terakhir, mendapatkan suami orang Desa Glagah, Kecamatan Temon dan menetap di situ. Empat bulan sudah Retno tidak lagi bertani. Sawah yang digarap telah luluh lantak diterjang ekskavator. Tanaman semangka yang ditanamnya, mati tergilas. Sawah itu diklaim milik Pakualaman Ground. 
“Kami Empat bulan nganggur gara-gara bandara, Mas, mata pencaharian utama kami udah dirampas, ujarnya. Suami Bu Retno kini bekerja serabutan. Sedangkan dia di rumah, berjaga jika sewaktu-waktu mobil ekskavator menggilas datang, maka dia sudah siap memasang badan, melawan.
Sementara Bu Ngadinah (53 tahun) bertahan hidup dengan mengandalkan tabungan panen dari sawah yang sebelumnya digarap. Tak ada alasan baginya untuk menerima bandara, meskipun enam saudaranya memilih demikian. Tak mengapa baginya dikuculkan dan dihardik sanak saudaranya, daripada kehilangan satu-satunya sumber penghidupanya. Sebab ia sadar betul, mana mungkin bandara akan membutuhkan tenaganya. Tenaga seorang perempuan paruhbaya dengan pendidikan sebatas SMP.  
Mau apa (bekerja -red) orang seperti saya ini dengan adanya bandara?! Sekolah saja cuma sampai SMP, Mas!”
Tapi, obrolan kami terhenti ketika Ngadinah dihampiri Sri (62 tahun). Sri adalah anak kedua dari tiga saudara. Rumah mereka sejajar, tapi itu dulu. Kini tinggal rumah Bu Sri saja yang masih tegak berdiri. Kedua rumah saudaranya tinggal puing semata. Kakak dan adiknya telah “menyerah”. Bu Sri tetap bertahan, ia tidak memiliki pilihan lain. Harta satu-satunya hanyalah rumah yang terus dijaga bersama suami dan anaknya. Dia tidak memiliki sawah luas seperti tetangganya yang lain, yang saat ada ganti-rugi, dapat membeli tanah dan rumah baru.
*** *** ***
Gambar: Seorang wanita tak kuasa menangis karena rumahnya akan digusur untuk mega proyek NYIA (sumber: JDA)
Baik Paijah, Sutiah, Ngadi, Parmin, Retno, Ngadinah, dan Sri, sejak 2012 adalah anggota dari Wahana Tri Tunggal (WTT), sebuah organisasi yang terbentuk untuk menentang pembangunan NYIA. WTT adalah organisasi yang menggabungkan tiga kelas dalam masyarakat: buruh tani, petani gurem, & tuan tanah. Sudah tidak terhitung berapa kali aksi yang mereka lakukan, dan sudah berapa banyak tenaga serta harta yang mereka curahkan dalam proses perjuangan. Organisasi yang begitu besar itu lama kelamaan mulai keropos. Puncaknya pada tahun 2016, ada kejadian yang disebut sebagai “WTT Bubrah (WTT Pecah/hancur).
Sutiah dengan terbata-bata mengungkapkan kekecewaannya pada Seno, mantan elit di WTT. Menurutnya dia adalah penghianat. Seno adalah salah satu petani kaya di Kecamatan Temon. Luas tanahnya sekitar 4 hektar, saat menerima ganti rugi, dia mendapat 6 Miliar. Kini setelah membuat WTT Pecah, dia bekerja untuk PT AP. Kondisi itu yang membuat Sutiah kebingungan menempatkan posisi dengan Seno, karena dia sekarang yang menjadi tangan kanan penguasa dalam setiap proses ganti rugi.
Sementara Retno mengutuk Janawi (elit WTT) dan menyebutnya sebagai makluk halus. Setelah Janawi sepakat menerima ganti rugi, dia menjadi orang yang datang ke rumah-rumah anggota WTT untuk tidak lagi menolak NYIA. Janawi menurut Retno memang mendapat tugas dari PT AP untuk merayu warga dengan imbalan uang tertentu.
Sementara kakak Ngadinah yaitu Ngatini, kini menjadi kaya. Ngatini dulu juga anggota WTT. Dia adalah tuan tanah di Kecamatan Temon dengan tanah mencapai 6 Hektar. Saat ganti rugi dia mendapatkan uang sekitar 8 Miliar. Ngatini juga terlibat dalam membujuk warga agar menjadi Pro Bandara paska WTT Pecah. Namun Ngadinah menolak. Ngatini membelikan saudara-saudara mereka motor, akan tetapi Ngadinah tidak, karena tetap keukeuh menolak pembangunan NYIA.
Setelah pecahnya WTT, mereka yang masih melawan kemudian membentuk PWPP-KP. Para tuan tanah menjadi biang pecahnya WTT. Dengan ganti-rugi dari PT AP, mereka bisa membangun kehidupan baru, yang sama baiknya. Berbeda dengan Parmin, Ngadinah, atau Sri.
Perlawanan PWPP-KP saat ini masih terus berlanjut hingga sekarang. Mereka menolak kompromi, menentang upaya Konsinyasi, tetap bertahan dan melawan: membela tanah, membela darah, membela kehidupan.
[1] Semua orang dalam tulisan ini telah disamarkan, dengan tujuan untuk melindungi responden, karena situasi di Kecamatan Temon, Kulonprogo masih dalam kondisi konflik dan terus memanas.
Liputan Kasus ini ditulis oleh Arif Novianto dan Hardian Wahyu Widianto (awak MAP Corner-Klub MKP UGM). 
Sumber: MAP Corner UGM

Aksi Gebuk Aparat saat Pengosongan Paksa Lahan Bandara Kulon Progo

Reporter: Addi M Idhom & Dipna Videlia Putsanra | 06 Desember, 2017

Seorang aktivis yang mengadang aksi pembersihan paksa lahan warga dijatuhkan aparat, diinjak-injak, rambutnya dijambak, lalu diseret menjauhi lokasi.

“Pak, jangan dirusak, sanggar seni ini bangunan milik saya, hak miliknya masih di saya.” 
“Lha, ini sudah dibeli.” 

“Dibeli apanya? Sertifikat masih di saya. Tidak pernah saya serahkan hak milik saya.” 

Cekcok antara Hermanto dan seorang petugas PT Angkasa Pura 1 itu selesai tanpa kesimpulan. Si petugas enggan beradu pendapat dengan warga penolak Bandara Kulon Progo dan melengos pergi. 

“Ini cuma pohonnya,” kata petugas lain, meyakinkan Hermanto bahwa ekskavator cuma membersihkan sisa pohon roboh pekan lalu. Hermanto terdiam dan menunggu. 

Ternyata ekskavator bergerak ke sanggar seni milik Hermanto. Ia bergegas mengadang. Lalu, “Bukkk,” lemparan benda menyambar keningnya. Darah mengucur, tapi pria 50 tahun ini hanya diam. 

“Saya tidak tahu benda apa itu, datangnya dari arah barisan polisi,” katanya kepada reporter Tirto pada Selasa sore kemarin, beberapa jam usai peristiwa. 

Para warga Desa Palihan, yang menemani Hermanto, segera menariknya mundur dan menuju rumahnya. Selang sejam, bangunan sanggar seni seluas 9-an meter persegi itu runtuh. Isinya, sejumlah ukiran relief dan patung berbahan semen turut ludes diterjang ekskavator. 

“Banyak patung di sana, tidak ternilai harganya,” kata Hermanto. “Padahal mereka (Angkasa Pura) dulu bilang, 'Yang dirobohkan yang sudah dikonsinyasi.' Sementara saya tidak (setuju) dikonsinyasi.” 

Bagi Hermanto, pemberian ganti rugi secara konsinyasi baru sah jika warga sudah setuju dengan pernyataan bermaterai disertai pelimpahan sertifikat bukti hak miliknya atas lahan. 

“Semua belum saya lakukan. Saya niatnya memang tidak menjual (tanah untuk bandara),” ujarnya. “Ini (perobohan sanggar) tindakan sewenang-wenang, bahkan layak disebut biadab.” 

Bangunan sanggar itu berjarak beberapa langkah di depan Masjid Al-Hidayah. Masjid ini belakangan menjadi posko tempat berkumpul para aktivis—sebagian adalah mahasiswa—yang bersolidaritas mendukung anggota Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo mempertahankan lahan. 

Beberapa meter dari dua bangunan itu, di samping masjid, berdiri rumah milik keluarga besar Hermanto. Dua bendera Merah Putih terpancang di atas genting. Keluarga ini kompak menolak pengosongan lahan untuk bandara. 

Mereka memiliki lahan bangunan sekaligus pekarangan seluas 1.500-an meter persegi di Kampung Kragon II, RT 19, RW 8, Kecamatan Temon. Pekan lalu, 27 Desember, rumah ini disatroni ekskavator dan petugas gabungan pimpinan PT Angkasa Pura 1. Sejumlah pohon dirobohkan. Meteran listrik dicabut. Belasan jendela dan tiga pintu dicopot. 

Pada Selasa sore kemarin, 5 Desember, suasana di sekitar rumah keluarga besar Hermanto kembali berantakan. Timbunan puing bangunan sanggar seni berserak. Sisa kayu pohon menumpuk di depan rumah. Jalanan tanah belasan meter—akses rumah itu menuju jalan aspal—juga dikeruk. 

“Setelah merobohkan bangunan dan pohon, mereka pergi. Ditinggal begitu saja, tidak dibersihkan,” kata Fajar, adik Hermanto, yang keluarganya tinggal di rumah tersebut. 

“Sepertinya mereka puas, lalu pergi.” 

Serbuan Pengawal Ekskavator dan Penangkapan Aktivis

Selasa pagi, ratusan pasukan gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP bersama 6 ekskavator bergerak dari gedung kantor PT Pembangunan Perumahan, BUMN rekanan PT Angkasa Pura 1, dalam menggarap proyek Bandara Kulon Progo. 

Satu ekskavator menuju ke rumah Yanto, seorang warga penolak bandara, yang berjarak sepelemparan batu dari kantor PT Pembangunan Perumahan. Alat berat sejenis juga bergerak merobohkan sebuah bangunan warga yang sudah menyerahkan lahannya untuk bandara. Lokasinya berdekatan dari dari rumah Yanto. 

Di rumah Yanto, sejumlah warga dan aktivis menghalangi proses pengosongan paksa yang merobohkan beberapa batang pohon. Belasan warga dan aktivis mencegahnya, tapi gagal. 

Hampir bersamaan, tiga ekskavator bersama ratusan aparat gabungan bergerak menuju kompleks rumah Hermanto, sekitar 200-an meter dari kantor PT Pembangunan Perumahan. Saat itu sekitar pukul 10.00. 

Si empu rumah, Hermanto, sontak bergegas mengadang dua ekskavator di depan sanggar seni. 

“Hari ini, saya kira pengosongan lahan di Desa Glagah, karena di sana banyak warga yang sudah menyerahkan lahannya (untuk bandara),” kata Hermanto. “Ternyata malah ke sini, saya kaget.” 

Fajar, adik Hermanto, saat itu masih di rumah Yanto ikut mengadang ekskavator. Tahu ada alat berat lain bergerak menuju rumahnya, ia segera berlari. Tanpa komando, ia berbagi tugas dengan kakaknya. Hermanto mengadang ekskavator di depan, Fajar berlari ke pekarangan belakang rumah mencegah perobohan belasan batang pisang, kelapa, jati emas, dan mahoni. 

“Waktu saya sibuk mencegah ekskavator itu, ada satu ekskavator lain masuk ke belakang rumah. Ada mahoni besar mau dirobohkan,” kata Fajar. “Kami dikecoh, mereka bersamaan ke banyak tempat.” 

Bersama segelintir warga dan aktivis, Fajar mencegah belasan batang tanaman miliknya itu diremuk ekskavator. Saat itu, menurutnya, barisan aparat gabungan—mayoritas polisi berseragam dan membawa pentungan—membentuk pagar betis mengelilingi kompleks rumah. 

“Sepertinya kami dikepung,” ujarnya. “Saat itu saya bilang ke mereka, 'Ini tanah saya, pohon juga milik saya. Mana surat tugas?' Tapi tidak ada aparat yang menjawab.” 

Saat berusaha meyakinkan aparat bahwa belasan pohon di pekarangan adalah aset miliknya yang tak boleh diganggu, kericuhan terjadi. Ada insiden saling dorong. 

“Mungkin ada polisi kesenggol saya. Lalu saya diteriaki polisi, 'Tangkap itu, tangkap itu'. Padahal saya tidak memukul sama sekali,” kata Fajar. 

Ia berkata sempat lari menghindari sergapan polisi. “Lalu, saya kena, dibawa sambil dipiting, sampai kecekik saya, begini," ujar Fajar meniru gerakan polisi melingkarkan lengan ke leher. "Saya sempat tak bisa bernapas, terus dilepas, tapi lalu dicekik lagi.” 

Menurut Fajar, aparat menendang kakinya saat ia diseret dari lahan pekarangan ke jalan raya. Saat itu ia mendengar banyak polisi meneriakinya: “Bawa itu, bawa itu.” 

Seorang polisi dari warga Desa Glagah, tetangga Desa Palihan, mencegah aksi kekerasan polisi tersebut. 

“Dia bilang ke polisi lain, kalau saya warga sini. Lalu dia minta saya duduk saja di jalan raya dekat dia, disuruh menunggu (perobohan pohon dan bangunan). Dia tawari saya rokok, saya tolak,” ujarnya. 

Berbarengan pengosongan paksa di lahan milik Hermanto dan Fajar, 12 aktivis yang mencegah pengosongan paksa diciduk polisi. Setelah ditangkap, mereka dibawa ke Kantor PT Pembangunan Perumahan, lantas ditahan di Kantor Polres Kulon Progo. 
Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai mengatakan mereka ditahan untuk "dimintai keterangan." Polisi menuding para aktivis itu "memprovokasi warga" untuk menolak pengosongan lahan bandara. 

"Untuk 12 aktivis yang diamankan, masih kami data dulu identitasnya," kata Irfan via pesan singkat. 

Pada Selasa sore, pasukan gabungan bersama ekskavator kembali bergerak dari kantor PT Pembangunan Perumahan. Kali ini menuju Desa Glagah dan bergerak ke lahan milik Sukasno. Di sana, empat aktivis, yang mencegah pengosongan paksa, juga ditangkap. 

Salah satu dari mereka dilepas oleh polisi setelah sejumlah warga meyakinkan aparat bahwa pemuda bernama Aulia itu warga Desa Glagah. Tapi, tiga aktivis lain, yakni Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat—ketiganya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga—ditahan untuk diperiksa di Kantor Polres Kulon Progo. 

Mereka akhirnya dilepas oleh polisi pada Pukul 22.00 karena "tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum." 

“Tak ada perbuatan pidana yang terbukti dilakukan oleh mereka,” kata Yogi Zul Fadli, pengacara LBH Yogyakarta yang mendampingi pemeriksaan itu. 

Meski begitu, belasan aktivis terkena bogem dan kekerasan lain saat ditangkap polisi. Telepon genggam mereka sempat disita. Belakangan, mereka tahu data hasil dokumentasinya saat pengosongan lahan terhapus. Sebagian dari mereka adalah aktivis pers mahasiswa yang bersolidaritas sekaligus mengerjakan peliputan di Kulon Progo. 
Siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mencatat salah seorang wartawan televisi bahkan nyaris dihajar polisi lantaran mendokumentasikan insiden di rumah Sukasno. 

Ahmad Haedar, aktivis jaringan solidaritas untuk warga penolak Bandara Kulon Progo, mencurigai bahwa pengosongan paksa pada Selasa kemarin memanfaatkan waktu sepi para aktivis. Sehari sebelumnya, saat ratusan aktivis menemani warga menolak pengosongan paksa itu, tak ada insiden kekerasan. 

“Pada Selasa pagi, cuma sedikit relawan. Di Masjid Al-Hidayah (posko solidaritas), ada 30-an orang saja,” kata Ahmad.

Aksi Gebuk Aparat saat Pengosongan Paksa Lahan Bandara Kulon Progo

Pengosongan Lahan “Persuasif”: Seret Dulu, Pukul Kemudian

Syarif Hidayat tak menyangka ajakan "dialog" seorang aparat polisi berbuah sial untuknya. Ceritanya, ia meyakinkan pasukan gabungan untuk tidak merobohkan pohon di sekitar rumah milik Sukasno. Peristiwa ini terjadi selepas Asar, sekitar pukul 15.30. 

“Ada polisi bilang ke saya, 'Kamu mau tahu batas lahan milik Sukasno? Kemari, saya tunjukkan'. Tapi dia malah dorong saya ke kerumunan polisi. Saya kemudian dibawa menjauh dari lokasi,” kata mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini. 

Syarif juga menerima pukulan dari sejumlah polisi hingga kepala dan hidungnya berdarah. 

“Saya enggak menghitung berapa kali dipukuli, banyak, kebanyakan terkena kepala,” ujarnya. 

Tiga orang lain bernasib sama seperti Syarif: dibawa menjauh dari lokasi lahan milik Sukasno oleh polisi sembari dipukuli. 

“Saya dan dua rekan mahasiswa lain dibawa ke Polres, satu lain dilepas karena dia warga Desa Glagah.” 

Sejumlah warga Desa Glagah menjadi saksi mata peristiwa itu, yang enggan menyebutkan nama, mendengar Syarif dan tiga orang lain diteriaki sejumlah polisi bahwa mereka "menyerang" aparat. Padahal, menurut para warga, mereka sama sekali tak melakukan kekerasan kepada aparat. 

Nasib nahas juga dialami Rimba, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, saat terjadi pengosongan lahan Hermanto dan Fajar. Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi ini menunggangi motor dari Yogyakarta ke Desa Palihan, berjarak sekitar 43 kilometer, pada hari itu. Ia tiba saat ratusan aparat mengepung rumah Hermanto. 

"Di dekat masjid Al-Hidayah, semua pohon sudah dirobohin, terus saya lihat ada aparat di belakang rumah (milik Hermanto), dan saya melihat kawan-kawan sedang dipojokkan di sana," ujarnya.

Saat Rimba berlari untuk membantu aktivis dan warga, ia merasa kakinya dijegal. Ia tak ingat siapa yang melakukannya. Tahu-tahu ia sudah terbaring di tanah dan diinjak-injak oleh sekitar 15-an polisi. 

"Saya enggak bisa melawan," kata Rimba.

Sesudahnya, rambut Rimba dijambak, kaki, dan tangannya dipegang lalu diseret sekitar 10-an meter dari belakang masjid menuju jalan raya. Akibatnya, ia terluka di bagian punggung akibat diseret ke reruntuhan bangunan.

"Saya baru dilepaskan ketika masuk jalan raya, pas sampai di jalan, saya baru tahu ternyata ada banyak yang sudah ditangkap, ada 12 orang," katanya.

Saat ke-12 aktivis itu tiba di PT Pembangunan Perumahan, mereka diminta identitasnya dan keterangan tetapi mereka menolak menjawab sebelum didampingi kuasa hukum.

Polisi lantas membawa mereka ke Polres Kulon Progo menggunakan truk. Sebelum masuk Polres, Rimba dan 11 aktivis lain diminta untuk melucuti semua barang bawaan, kecuali pakaian. Rimba menyerahkan ponsel, barang satu-satunya yang saat itu ia bawa selain kartu pers LPM Ekspresi. Ia melihat Imam, seorang rekannya, menyerahkan kamera liputan.

"Ketika sudah dikembalikan, sekitar jam 2, datanya hilang, padahal kamera itu dipakai buat merekam kejadian sebelum kami ditangkap. Kami tahunya, sebelum diambil polisi, datanya masih," ujar Rimba.

Polisi meminta keterangan Rimba dan ke-14 aktivis lain selama sekitar satu jam. Menurut Rimba dan Syarif, polisi bertanya kepada mereka mengenai tujuannya ke Kulon Progo, identitasnya hingga sumber dana perjalanannya ke lokasi Bandara Kulon Progo. 

Namun, kata Rimba, saat ia balik bertanya ke polisi, tak ada penjelasan perihal mengapa ia dan sejumlah rekannya diseret, diinjak-injak, dan dipukuli. 
Aksi kekerasan aparat di Desa Palihan dan Glagah pada Selasa pagi dan sore kemarin berkebalikan dari pernyataan manajer pembangunan Bandara Kulon Progo PT Angkasa Pura 1, Sujiastono, saat dihubungi reporter Tirto pada Senin lalu, 4 Desember. 

Sujiastono mengklaim pengosongan lahan milik warga, yang masih bertahan, akan dilakukan dengan "persuasif." Batas waktunya, menurut dia, tidak dipatok oleh PT Angkasa Pura 1 meski sebelumnya BUMN ini sudah menargetkan tenggat pada 4 dan 5 Desember. 

“Kami berharap mereka bisa keluar dengan kesadaran saja. Kami lakukan langkah persuasif. Kalau mereka tinggal di situ, merugikan diri mereka sendiri. Karena nanti banyak alat berat (saat proyek). Nanti mereka tidak nyaman tinggal di situ,” kata Sujiastono.

Saat dikonfirmasi soal aksi kekerasan terhadap warga dan aktivis, Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai membantah telah terjadi pemukulan yang dilakukan oleh anggotanya.

"Soal pemukulan, tidak benar ada pemukulan terhadap aktivis. Yang dikabarkan soal korban luka-luka itu, Hermanto, karena terkena benturan kamera aktivis lainnya," kata Irfan.*
Sumber: Tiirto.Id