Pernyataan Sikap
Atas Upaya Perampasan Ruang Hidup Dengan Dalih Kepentingan Umum
di Palihan, Glagah dan Sindutan, Kabupaten Kulon Progo
Sajogyo Institute, November-Desember 2017
Sudah sejak awal bulan November 2017, masyarakat di beberapa desa di Kulon Progo praktis tidak lagi tenang dalam menjalankan aktivitas hariannya. Bagaimana tidak, sejak awal November itu, mereka harus memasang badan untuk menghadapi ancaman serangan pengrusakan yang dilakukan oleh militer, aparat kepolisian, preman bayaran, masyarakat sipil yang dibayar, PT. Angkasa Pura I, PT. Pembangunan Perumahan, dan PT. Surya Karya Setiabudi. Berbagai peringatan dan ancaman tertulis terpasang di banyak sudut kampung mereka agar warga membongkar rumahnya sendiri dan meninggalkan tempat itu.
Peringatan dan ancaman tertulis itu datang dari pihak yang merasa sudah membeli tanah-tanah mereka. Padahal warga setempat tidak pernah merasa menjualnya. Dengan dalih mekanisme konsinyasi, yang berarti kurang lebih: secara sepihak (dan sebagian menyebutnya tanpa sepengetahuan warga terkait), rumah-rumah dan tanah-tanah mereka sudah ditetapkan sebagai sudah menjadi milik pihak lain melalui sistem jual-beli yang disebut “konsinyasi”. Sistem ini demikian aneh, entah kapan berlangsung transaksi jual-beli, kapan dibelinya, kapan ada akad jual-belinya, dan kapan warga menjualnya; menurut warga serba tidak jelas dan sepihak sepenuhnya! Warga tidak pernah mau menjual tanah dan rumah mereka, mengapa begitu saja mereka kemudian diberi tahu bahwa tanah dan rumahnya sudah menjadi uang pembayaran yang dititipkan di bank. Uang itu bisa diambil dengan syarat-syarat tertentu. Aneh dan tidak masuk akal! Tapi ini terjadi dan katanya berdasar pula dari putusan pengadilan!
Pada 27 November 2017, warga yang merasa tidak pernah menjual rumah dan tanahnya itu, didatangi sekelompok orang yang merasa perwakilan dari yang sudah membeli tanah itu. Kedatangan mereka dilengkapi aparat militer, orang-orang berpakaian preman dan satpol pp. Mereka melakukan upaya pengusiran warga, dengan diawali perusakan rumah menggunakan batu, linggis, palu, dan menendang dengan kaki, melakukan pemutusan listrik untuk sekitar 30 rumah lebih, melakukan intimidasi, dan menjanjikan akan datang kembali untuk tujuan yang sama jika warga tidak juga pergi beranjak.
Pada 4 Desember 2017, mereka memenuhi janji itu. Warga bersikukuh merasa tidak pernah menjual rumah dan tanahnya, dan bertahan dengan keadaan yang serba memprihatinkan, dengan jumlah tak lebih dari 100 orang. Solidaritas mahasiswa dan aktivis berdatangan untuk menemani warga dalam keprihatinannya menghadapi ancaman kekerasan seperti sebelumnya. Dan benar adanya, kekerasan yang terjadi pada hari itu semakin parah. Aparat militer dan polisi memblokade jalan, mengepung kampung, melakukan penangkapan pada sebagian warga, mahasiswa dan aktivis yang bersolidaritas, merusak dan melubangi jalan-jalan warga yang masih menetap di sana, menutup akses keluar-masuk kampung dan menciduk orang-orang di dalamnya.
Merespon kekejian, pengrusakan, intimidasi, tindakan kekerasan, dan penangkapan yang terjadi terhadap warga kampung Kulon Progo dan kawan-kawan solidaritas, semakin gamblang terlihat jika hari ini negara sudah menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri. Negara yang semestinya menjamin keamanan dan keberlangsungan ruang hidup bersama rakyat banyak, justru berbalik menjadi ujung tombak dari perampasan ruang hidup. Ancaman ini demikian serius dan terus membesar dari waktu ke waktu dalam beberapa tahun belakangan.
Seperti memang sedang dilazimkan, sikap-sikap arogan dan kekerasan oleh negara atas rakyatnya sendiri terus berlangsung, seperti tragedi Teluk Jambe (24 Juni 2014) dan tragedi Sukamulya (17 November 2016) yang melibatkan kekerasan oleh ribuan aparat militer atas orang-orang desa. Sebaliknya, negara semakin ramah dan penuh sopan santun menyerahkan diri kepada para pemodal. Dan semua kekerasan itu akibat dari perkoncoan yang semakin intim antara negara dan modal, yang ingin merampas ruang hidup dan merubahnya menjadi ruang pemutar pundi-pundi keuntungan belaka.
Kami menaruh hormat dan salut yang setinggi-tingginya kepada warga desa-desa di pesisir Kulon Progo, yang dalam kondisi serba memprihatinkan terus melawan upaya-upaya perampasan ruang hidup oleh perkoncoan negara dan pemodal. Mereka melawan kekuatan yang demikian besar, dengan tangan dan kakinya, seadanya tanpa sedikitpun kegetiran atas segala resiko. Kampung Garongan, Pleret, Bugel, Karangsewu, Banaran (PPLP, Paguyuban Petani Lahan Pantai) yang telah lebih dulu menunjukkan kegarangan sikap perlawanannya menghadang ekspansi tambang, dan kini kampung Palihan, Glagah dan Sindutan (PWPP KP, Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo), yang dengan kukuh tanpa basa basi menjaga ruang hidupnya sampai kondisi terlemah sekalipun! Kampung-kampung pesisir Kulonprogo ini, adalah tempat-tempat belajar bersama yang utama tentang bagaimana kewarasan hidup dipertahankan dalam masa-masa yang serba acuh tak acuh ini!
Dengan itu semua, kami menyatakan:
1. Mendukung sepenuhnya upaya pertahanan dan perlawanan warga pesisir Kulon Progo demi keberlangsungan ruang hidup bersama! Begitu juga kampung-kampung lainnya di seluruh Indonesia yang terus mempertahankan ruang hidupnya; keteguhan perlawanan dari kampung-kampung di pesisir Kulonprogo agar menjadi gelombang berantai keteguhan bagi kita semua; yang terus terancam dan semakin terdesak dalam kondisi sama-sama memprihatinkan. Keadaan yang prihatin ini, tidak menghalangi kita untuk berteguh-teguh mempertahankan ruang hidup. Dalam kondisi ini, tidak lain dan tidak bukan yang menjadi pegangan kita bersama adalah pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, dan perasaan senasib sepenanggungan, bersama-sama bersolidaritas melawan perampasan ruang hidup!
2. Kepada semua khalayak, kami menghimbau agar memberikan kepedulian akan kondisi krisis yang semakin membesar. Ruang hidup kita sedang digerus oleh suatu moda ekonomi raksasa untuk penumpukan keuntungan segelintir orang. Pameo “pertumbuhan ekonomi” adalah selubung kata-kata untuk menyembunyikannya. Yang tumbuh sesungguhnya adalah modal, sementara kehidupan semakin hancur. Semakin modal itu membesar, semakin putaran kehidupan berganti menjadi putaran mesin-mesin, manusia sekalipun menjadi hanya mesin-mesin, kehidupan yang dekaden! Tanah bisa dijual dan dibeli. Ruang hidup tidak bisa dijual, tidak bisa dibeli, tidak bisa diganti rugi. Lebar tanah bisa diukur dengan meteran, lebar dan kedalaman ruang hidup tidak bisa diukur dengan angka-angka sama sekali. Menjual ruang hidup, adalah menjual diri sendiri dan anak cucu! Kehilangan ruang hidup, adalah kehilangan sejarah dan kemerdekaan kita atas waktu depan dan anak cucu sendiri. Orang-orang yang ruang hidupnya sudah terampas, masa depannya ditentukan oleh perampas itu sendiri, menjadi budak mesin-mesin putaran modal. Tidak ada yang lebih buruk dari menjual kehidupan dan sejarah! Matinya ruang hidup adalah matinya sejarah dan kemanusiaan! Perlawanan atas penggerusan, penyerpihan dan parampasan ruang hidup, mendesak dilakukan secara bersama-sama saat ini!
3. Kami menuntut Undang-undang Pengadaan Tanah (UUPT) No. 2 Tahun 2012 yang menjadi dasar pelaksanaan sistem konsinyasi dan asas kepentingan umum, dicabut dan dibatalkan. Jelas sekali pengadaan tanah dalam cara itu adalah akal-akalan, maka kepercayaan kita pada jaminan perundang-undangan menjadi hilang. Undang-undang telah menjadi alat untuk mengelabui masyarakat, mengamankan kepentingan perkoncoan negara dan modal.
4. Kami menuntut asas kepentingan umum dikembalikan kepada maknanya yang asasi, yakni, kepentingan umum harus untuk semua lapisan masyarakat, terlebih masyarakat terlemah, golongan bawah dan rentan. Kepentingan umum, harus sepenuhnya diurus oleh negara, dan inilah sebabnya mengapa negara itu perlu ada. Kepentingan umum, tidak bisa diserahkan kepada para pebisnis, swasta atau pemodal, karena kepentingan umum itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang bersifat dasar, sedangkan bisnis berasaskan kepentingan sepihak yang kompetitif. Negara dalam beberapa tahun belakangan, terlebih sejak munculnya UUPT No. 2/2012, telah memutar-balikkan makna asasi dari asas kepentingan umum sedemikian rupa, sehingga pemodal dan swasta memanfaatkan asas kepentingan umum berikut semua manifestasi konkritnya untuk tujuan mengumpulkan keuntungan sepihak. Jelas sekali hal ini justru pengingkaran dan pengelabuan atas asas kepentingan umum itu sendiri! Dalam Perpres No. 55 Tahun 1993 disebutkan, bahwa sarana kepentingan umum tidak bisa menjadi sarana untuk mencari keuntungan! Penjelasan ini menghilang dalam UUPT No. 2/2012.
5. Terakhir, kami menuntut agar semua proyek infrastruktur di seluruh Indonesia atas dasar “kepentingan umum” yang abal-abal ini, dibatalkan! Kami tidak peduli berapa besar uang yang sudah diinvestasikan, atau resiko kerugian bisnis. Yang kami pedulikan adalah kelanjutan ruang hidup kami, orang banyak, dan generasi nanti. Karena kehidupan tidak pernah bisa diganti rugi, sebanyak apapun jumlah uang tidak akan bisa menggantinya! Kami meminta pada negara agar jangan terus-terusan menuturkan uang-uang dan uang, selalu begitu! Kita ingin hidup yang sejahtera lahir bathin; hidup secara sederhana dan tenang, cukup makan dari alam sekitar, bisa menghirup udara bersih, meminum air tanah dari bawah rumah sendiri, berjiwa dan raga yang sehat, berpakaian sederhana, di rumah-rumah biasa dengan suasana tidak tergesa-gesa. Bukan kehidupan berlimpah uang, namun ruang hidup kita hancur dan kita tergerus menjadi manusia!
Sangat ironis bahwa semua ini berlangsung di wilayah dengan status yang katanya “istimewa”. Kami semakin tidak memahami apa makna keistimewaan bagi orang-orang kecil di sekitar D.I. Yogyakarta. Semua ini semakin menampakkan pada kita semua tentang, apa yang sungguh-sungguh ada!
Sajogyo Institute
Bogor 7 Desember 2017
0 comments:
Post a Comment