Wednesday, December 06, 2017

Peran Jokowi Memuluskan Megaproyek Bandara Kulon Progo

Reporter: Mufti Sholih | 06 Desember, 2017


Jokowi mengesahkan sejumlah regulasi demi mempercepat proyek bandara baru internasional Yogyakarta

Angkasa Pura I sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Jokowi, Pemda Kulon Progo, polisi, dan PLN terlibat dalam proses pengusiran warga anti-bandara.

Ponirah berdiri di depan rumahnya di Desa Glagah. Ia terdiam sembari meratapi nasib rumahnya yang akan digusur buat pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) alias bandara baru Kulon Progo.

“Saya bangun dari nol kamar demi kamar bersama suami saya. Saya enggak bisa komentar banyak, apa pun yang terjadi akan tetap saya pertahankan,” kata Ponirah kepada Tirto, Senin lalu.

Ponirah adalah satu di antara 250-an warga yang bertahan menantang pembangunan bandara. Ia menyebut PT Angkasa Pura I, BUMN pelaksana proyek dan operator bandara, tak pernah menawari apa pun termasuk soal nilai jual rumahnya. Ia bilang belum menerima surat peringatan dari perusahaan pelat merah tersebut.

Meski rumah lain di sekitar kediaman Ponirah sudah rata tanah, tetapi alat-alat berat tak bergerak menyisir ke rumah Ponirah saat Senin pagi. Ponirah bertahan di rumah bersama para aktivis yang mengelilinginya dalam aksi solidaritas Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo.

Sebelas bulan lalu, tepatnya 27 Januari 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan proyek Bandara Kulon Progo dalam acara peletakan batu pertama di Desa Jangkaran, berjarak 10-an menit dengan sepeda motor dari Desa Glagah tempat Ponirah bermukim. Pemerintahan Jokowi memperlakukan proyek yang diretas sejak 2012 ini sebagai satu dari 248 "Proyek Strategis Nasional" yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden 58 tahun 2017.

Bandara ini direncanakan berdiri di lahan seluar 587 hektare, mengubah ruang hidup di 5 desa: Glagah, Kebonrejo, Jangkaran, Palihan, dan Sindutan. 

Saat Jokowi berpidato, terdapat warga penolak bandara. Warga keberatan lantaran pembangunan proyek itu menggusur mata pencaharian. Nurani warga tak didengarkan Jokowi.

Setahun sebelumnya, Aryadi Subagyo, humas kantor proyek bandara, mengklaim bahwa Yogyakarta membutuhkan "bandara baru yang layak guna." Alasannya, kapasitas Bandara Adisutjipto sudah seret menampung penumpang.

"Sangat mendesak kebutuhan bandara baru, pesawat sering diputar-putar dulu sebelum mendarat," ujarnya.

Dibangun di Kawasan Rawan Bencana

Namun, proyek bandara ini berada di lokasi rawan bencana. Kecamatan Temon, lokasi proyek, tepat di kawasan pantai selatan Pulau Jawa di antara lempeng Australia dan Eurasia, sehingga subduksi dua lempeng ini berpotensi memicu gempa dan tsunami.

Potensi bencana ini diakui oleh PT Angkasa Pura I dalam fora diskusi “Mengungkap dan Menghitung Potensi Bahaya Gempa Bumi-Tsunami di Bandara Kulon Progo dan Metode Mitigasinya” pada 29 Agustus 2017. 

“Kecepatan tsunami maksimum adalah 8 meter/detik. Di dalam kawasan calon bandara, kecepatan tsunami rata-rata 4 meter/detik. Di sebelah utara bandara, kecepatan tsunami sangat rendah: 1-2 meter/detik. Rendahnya kecepatan tsunami karena tingginya nilai kekasaran permukaan (roughness) di daerah tersebut,” tulis hasil fora diskusi tersebut.

Nyatanya, hasil studi ini tak membuat rencana pembangunan terhenti. 

Presiden Jokowi tancap gas dan memerintahkan bawahannya untuk mempercepat proyek tersebut. Pada 23 Oktober 2017, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasioan Bandar Udara di Kabupaten Kulon Progo.

Sepekan setelah peraturan ini dirilis, Jokowi menunjuk Angkasa Pura I menjadi pelaksana pembangunan dan operator bandara Kulon Progo. Pimpinan proyek PT Angkasa Pura I, R. Sujiastono, meminta warga mengosongkan tanah dengan alasan perusahaan sudah mengeluarkan analisis mengenai dampak lingkungan sejak 23 Oktober 2017.


Peran Jokowi Memuluskan Megaproyek Bandara Kulon Progo

Berlindung di Balik Regulasi

Warga bergeming. Mereka tetap menolak pergi meski balatentara dilibatkan dalam proses penggusuran. Bagaimana regulasi pengadaan tanah untuk pembangunan? Apakah warga terpaksa merelakan ruang hidupnya diserahkan mereka demi pembangunan yang dianggap "strategis nasional"?

Siti Rakhma Mary Herwati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menerangkan sikap warga tak bisa disalahkan. Persoalan konflik lahan di Kulon Progo tak bisa dilepaskan dari duduk perkara perencanaan pembangunan bandara yang tak menuruti Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Rakhma mengatakan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, "hendaknya membicarakan dulu setiap proyek infrastruktur dengan masyarakat" yang akan kena dampak. Dalam kasus pembangunan Bandara Kulon Progo, Rakhma menyebut pemerintah dan pelaksana proyek memutuskan secara sepihak, yang berbuntut penggusuran.

Dalam UU Pengadaan Tanah, kata Rakhma, semua proyek harus lewat perencanaan yang matang. “Yaitu melalui musyawarah sampai benar-benar ada kesepakatan,” ujarnya.

Dalam salah satu pasal dari regulasi ini menyebutkan bahwa proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum "memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”

Rakhma berkata masyarakat Kulon Progo berhak diajak bicara sebagai pemilik lahan dan warga terdampak langsung dari proyek tersebut. Pemerintah, katanya, tak bisa dengan sewenang-wenang mencabut kepemilikan lahan dari masyarakat.

“Perampasan hak atas tanah dengan dalih sudah dikonsinyasi adalah pelanggaran HAM,” kata Rakhma.

Tetapi pemerintah jalan terus. Bahkan Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan nomor 58 tahun 2017 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional, yang menyebut Bandara Internasional Kulon Progo menjadi salah satu proyek strategis nasional dan dikuatkan peraturan presiden nomor 98 tahun 2017.

Menurut Rakhma, kehadiran perpres ini berpotensi "semakin membikin konflik lahan berkembang di sejumlah daerah." Tak hanya di Yogyakarta, proyek-proyek infrastruktur Jokowi merentang ke sejumlah daerah di seluruh Indonesia, dari Sumatera hingga Papua, dari Jawa hingga Sulawesi. 

“Presiden menjadikan infrastruktur sebagai proyek strategisnya. Tapi untuk kepentingan siapa?” kata Rakhma.

Gito, seorang warga dari Desa Palihan, berkata "tidak akan pergi dari tanah dan rumahnya." Ia tak peduli bahkan jika Angkasa Pura I bersikeras membangun proyek di areal sekitar lahannya. 

“Biar lingkungan saya gedung-gedung semua, saya (akan terus) tinggal di antara gedung,” ujarnya.

Gito tak sendiri. Ada 250-an jiwa warga penolak Bandara Kulon Progo, termasuk David Sastro. Bapak dua anak ini meragukan "manfaat ekonomi" yang dijanjikan oleh Angkasa Pura. Ia lebih percaya keluarganya kelak bakal sengsara mengikuti kemauan Angkasa Pura.

David memilih bertahan meski sekarang lahan-lahan di lingkungan sekitar sudah dipatok dan beberapa tetangga sudah angkat kaki dari kediaman mereka.

“Ada tiga kepala keluarga yang sudah meninggalkan rumah,” katanya, menunjukkan rumah-rumah yang sudah tertempel stiker bertanda Angkasa Pura. Stiker macam inilah yang menandakan sertifikat rumah dan tanah tersebut sudah diserahkan kepada Angkasa Pura.

“Dulu mereka tidak mau, tapi karena ada intimidasi, mereka melepas (hak milik sertifikat),” katanya, seraya mengatakan intimidasi mulai menguat setelah ada upaya sosialisasi oleh tim Angkasa Pura.
Upaya Mengusir Warga
Ketua Ombudsman Republik Indonesia dari Yogyakarta, Budi Masturi, mengatakan telah menemukan dugaan maladministrasi dalam kasus konflik lahan di Kulon Progo.

Pertama, dugaan pelanggaran prosedur pengosongan dan pembongkaran rumah oleh Angkasa Pura I, Pemkab Kulon Progo, PLN, dan polisi. Kedua, dugaan keterlibatan aparat keamanan yang menyalahgunakan wewenang. 

“Dugaan maladministrasi yang akan diuji Ombudsman RI dengan mengumpulkan keterangan, penjelasan, dan data lapangan,” kata Budi.

Dalam catatan tim riset Tirto, ada empat pihak yang berperan melakukan dugaan maladministrasi. Pertama, Angkasa Pura I melakukan pengosongan paksa rumah warga saat proses pembayaran belum selesai dengan dalih proses ganti rugi telah "sesuai putusan pengadilan melalui sistem konsinyasi".

Tetapi, dalih itu dibantah oleh warga. Warga penolak bandara mengatakan mekanisme konsinyasi yang diputuskan Pengadilan Negeri Wates tak punya dasar hukum. Alasannya, warga tak pernah menyerahkan tanda bukti kepemilikan tanah dan bangunan, properti mereka tak pernah ditaksir nilainya (appraisal) dan diukur, serta warga tak pernah menghadiri acara sosialisasi atau negosiasi penjualan tanah oleh AP atau pemerintah.

Kedua, peran Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Kulon Progo lewat Badan Pertanahan Nasional Kulon Progo dan DIY, yang enggan memberikan berita acara untuk warga. Padahal dokumen berita acara ini akan jadi bukti otentik jika ada selisih antara luas lahan dalam sertifikat dan luas hasil penghitungan ulang BPN. Berita acara ini dipakai prasyarat mengajukan gugatan keberatan terhadap nilai yang ditentukan tim appraisal.

Ketiga adalah polisi yang berperan dalam mengintimidasi warga, termasuk terlibat memutus aliran listrik ke rumah warga. Keempat adalah PLN Daerah Istimewa Yogyakarta yang sepihak mencabut meteran listrik terhadap rumah-rumah warga penolak bandara. 

Dugaan-dugaan ini, kata Budi Masturi, akan diklarifikasi kepada pihak Angkasa Pura I, PLN Yogyakarta, Kapolsek Temon, dan Bupati Kulon Progo.

Masalah-masalah dalam sengketa agraria di lokasi Bandara Kulon Progo "patut dipertimbangkan serius" dalam megaproyek bandara ini, ujar Nizar Zahro, anggota Komisi V DPR. Ada mekanisme keliru dalam proses pembangunan proyek-proyek prestisius Jokowi, tambahnya.

Salah satunya Jokowi tidak memikirkan masalah pembebasan lahan. Menurutnya, masalah ini muncul lantaran pemerintah langsung meloncat ke perencanaan dan pembangunan.

“Karena pemerintah salah konsep: menetapkan Proyek Strategis Nasional tapi belum membebaskan lahan,” kata Nizar.

Nizar menyebut pemerintahan Jokowi "tergesa-gesa" sehingga gerak cepat infrastruktur ala Jokowi bisa mengeram masalah kelak lantaran proyek tersendat-sendat gara-gara penolakan warga. 

Nizar menyarankan Jokowi segera memakai pendekatan negosiasi.  

“Lebih baik menunda, tapi perencanaannya lebih bagus. Bebaskan dulu lahan warga dengan harga wajar,” kata Nizar. 
Sumber: Tirto.Id 

0 comments:

Post a Comment