6 Desember 2017
Pada tanggal 4 Desember 2017 kemarin, ditetapkan sebagai batas akhir pengosongan lahan warga di Dusun Kragon II dan Munggangan, Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kulon Progo. Selanjutnya, jika tetap menolak akan ada pembongkaran dan pengosongan rumah warga secara paksa. Pembongkaran dan pengosongan paksa tersebut demi pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo.
Warga menganggap bahwa rencana tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dan bangunan. Karena selama ini warga yang menolak penggusuran tidak merasa menjual asset, rumah, dan tanahnya. Mereka juga tidak menghiraukan uang yang dititipkan oleh Angkasa Pura pada pengadilan.
Selama penolakan terhadap penggusuran tersebut berlangsung, tidak sedikit warga yang mengalami intimidasi fisik maupun non fisik. Dengan dalih diizinkan oleh negara melalui surat perintah dari Kejaksaan, Angkasa Pura, pemerintahan dari pusat hingga tingkat kecamatan, dibantu oleh TNI dan Polri menyakiti warga, merusak rumah warga dan tanaman warga.
Angkasa Pura menggunakan alasan bahwa permasalahan tersebut sudah putus di pengadilan, atau sering disebut konsinyasi. Namun, warga menganggap bahwa keputusan tersebut tidak berdasar sama sekali. Alasannya, (1) Warga tidak pernah merasa sama sekali menyerahkan tanda bukti kepemilikan tanah dan bangunan seperti SHM dan tanda bukti bayar PBB, (2) Tanah dan bangunan warga tidak pernah diappraisal, diukur, dan sebagainya, dan (3) Warga tidak pernah menghadiri kegiatan sosialisasi atau negosiasi penjualan tanah yang diadakan oleh Angkasa Pura maupun pemerintah.
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), proses pengosongan lahan oleh pihak perusahaan sudah mencapai 70%, yakni 410 ha dari total 587 ha. Selain itu, LBH Yogyakarta mencatat, perencanaan pembangunan NYIA tersebut serampangan. Prosesnya pembebasan lahan sudah berjalan tanpa menggunakan Amdal dan tidak melalui persetujuan warga.
Berangkat dari persoalan tersebut, kami mengecam tindakan yang dilakukan oleh Angkasa Pura dan instansi terkait yang melakukan perampasan dan penggusuran tanah maupun rumah warga Kulon Progo dengan menggunakan kekerasan dan penangkapan.
Bagi kami, persoalan yang terjadi di Kulon Progo tersebut merupakan salah satu dari sekian banyaknya konflik agraria yang mengancam kedamaian hidup rakyat. Hal ini juga merupakan bukti bahwa ada yang belum beres dalam tata kelola dan politik agraria di Indonesia. Negara semakin menjauhkan rakyat dari tanahnya.
Selain itu, perampasan dan penggusuran yang dialami oleh warga Kulon Progo merupakan bentuk pengingkaran Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Menggunakan cara-cara kekerasan dan perampasan bukanlah laku yang berdasar pada Pancasila. Pemerintah seharusnya memprioritaskan penyelesaian konflik agraria dengan keberpihakan terhadap rakyat. Karena hal itu sudah termaktub dengan jelas dalam UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA No. 5 Tahun 1960.
Dengan ini, kami Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Nasional (KPP-STN) mendesak:
- Hentikan cara-cara kekerasan dan penangkapan kepada warga dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Kulon Progo.
- Hentikan perampasan terhadap tanah dan rumah warga Kulon Progo serta hormati hak-hak rakyat dalam mengelola tanahnya sendiri.
- Menangkan Pancasila dalam penyelesaian konflik-konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Jakarta, 6 Desember 2017
“Tanah, Modal, Teknologi Murah dan Massal”
kami Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Nasional
(KPP-STN)
Ahmad Rifai
Ketua Umum
Sumber: STN.Or.Id
0 comments:
Post a Comment