Friday, December 08, 2017

Santri Nadliyin Menyikapi Rencana Pembangunan Bandara Internasional Baru Yogyakarta (NYIA) Kulonprogo

Rilis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam – FNKSDA


Bismillahirrahmanirrahim
Rencana pemerintah DI Yogyakarta dan Pusat melalui Perpres No. 36/2016 untuk melakukan megaproyek pembangunan bandara internasional baru Yogyakarta (NYIA, New Yogyakarta International Airport) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, telah menimbulkan keresahan dan penderitaan pada warga di enam desa yang terdampak, yaitu Jangkaran, Temon Kulon, Glagah, Sindutan, Kebunrejo, dan Palihan. Rencana ini merupakan bagian dari politik kapitalisme infrastruktur pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui MP3EI dan kini dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Yogyakarta, yang terbukti telah menimbulkan berbagai konflik agraria dan perampasan ruang hidup rakyat di berbagai tempat.
Perkembangan terkini di desa-desa yang terdampak, telah dilakukan penggusuran massif atas lahan-lahan dan perumahan warga. Warga yang bertahan, diintimidasi dan ditekan untuk melepas lahannya. Tindakan represif yang terakhir kali terjadi adalah penangkapan atas sejumlah aktivis relawan warga dan pemukulan atas warga setempat, serta berbagai ancaman fisik maupun mental dari pihak PT Angkasa Pura I dan aparat militer dan kepolisian pada 5 Desember 2017.
Menyikapi perkembangan tersebut, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) mencatat beberapa hal yang menjadi alasan kuat menurut ajaran Islam untuk menolak rencana pembangunan NYIA di Kulon Progo.
Pertama, akad jual-beli yang tidak sah (“fasid”). Dari berbagai laporan warga, ditemukan bahwa telah terjadi pemaksaan pelepasan lahan melalui skema aneh yang disebut “konsinyasi”. Banyak di antara warga tidak merasa pernah menjual lahannya dan masih memegang SHM yang sah, tetapi oleh PT Angkasa Pura I telah diklaim sebagai milik proyek bandara karena transaksinya diklaim dilakukan di pengadilan dan uang ganti rugi dititipkan di bank. Skema aneh tersebut melanggar syarat utama berlangsungnya akad jual-beli yang sah, yaitu prinsip kesukarelaan kedua belah pihak (“’an taraadlin”) sebagaimana dinyatakan dalam Kitab-kitab Fiqh. Warga yang telah menjual lahannya, juga banyak yang melakukannya atas keterpaksaan, karena ketakutan tidak mendapatkan ganti rugi. Pernyataan yang terdengar dari pihak Angkasa Pura I adalah: “Mau atau tidak melepas lahan, pasti digusur!”
Status akad yang tidak sah di atas, berarti bahwa yang terjadi saat ini di lokasi terdampak rencana bandara adalah “ghosob”, yaitu pemerkosaan hak-hak orang lain melalui cara yang zalim. Para ulama mendefinisikan “ghosob”:
الإستيلاء على حق الغير عدوانا أي على وجه التعدي او القهر بغير حق
(“Penguasaan atas hak milik orang lain dengan cara yang menimbulkan permusuhan, artinya dengan membuat orang memusuhinya atau dengan memaksanya dengan jalan tidak benar”, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah al-Zuhaily, Juz V: 709).
Dengan demikian, pelepasan lahan yang terjadi di lokasi tersebut selama ini tidak sah. Tindakan “ghosob” ini juga dilakukan oleh PT Angkasa Pura I dengan terjadinya perusakan atas sejumlah pepohonan dan tanaman milik warga, perusakan pekarangan, serta pada tanggal 27 November 2017 pemutusan listrik secara paksa dari rumah-rumah warga yang bertahan. Perusakan ini adalah suatu “itlaaf” (الإتلاف), artinya merusak harta sah orang lain, merupakan suatu tindak pidana dan kejahatan dalam hukum Islam.
Kedua, alih fungsi lahan pertanian produktif secara besar-besaran di lokasi terdampak bandara. Lokasi pembangunan NYIA akan menghabiskan 637 hektar lahan pertanian produktif, dengan terdampak 11.501 jiwa (2.875 KK). Pembangunan ini otomatis menghancurkan ekosistem dan budaya agraris di daerah Kulon Progo yang terkenal dengan produk-produk pertaniannya.
Pada Muktamar ke-33 di Jombang (2015), Nahdlatul Ulama (NU) telah memfatwakan: “Mengalihfungsikan lahan produktif seperti lahan pertanian atau ladang menjadi perumahan, perkantoran atau pabrik yang diyakini berdampak madharrah ‘ammah (mudarat yang nyata) pada perekonomian, hukumnya haram”.
Yang terjadi di Kulon Progo saat ini adalah sautu madharrah ‘ammah (mudarat yang nyata) berupa penghancuran desa-desa, budaya dan ekosistem agraris, dan penghancuran kaum petani dan lapisan rakyat lainnya. Dampak paling jelas dari adanya alih fungsi besar-besaran, massif dan terstruktur ini adalah pemiskinan rakyat, terusirnya mereka dari kampung halaman, alih profesi petani, serta meningkatnya pengangguran dan fakir-lahan (landlessness).
Ketiga, kebutuhan bandara baru di Yogyakarta hari ini. Digembar-gemborkan bahwa Yogyakarta atau Jawa Tengah membutuhkan bandara baru bertaraf internasional yang memiliki fasilitas aero-city superlengkap dan mewah (statemen Presiden Jokowi), seperti negara-negara maju lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
1. Jawa Tengah dan DIY merupakan kawasan berbasis agraris, dan ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. Kebutuhan rakyat atas lahan pertanian lebih “dlaruri” (darurat) daripada kebutuhan akan bandara.
2. Dua bandara internasional di Yogyakarta dan Solo – Bandara Adisucipto dan Bandara Adisumarmo – memiliki kapasitas yang masih memadai untuk menampung lalu lintas pesawat yang ada (Infografis JDA, Jogja Darurat Agraria). Pengembangan keduanya lebih masuk akal daripada membangun bandara baru.
3. Kebutuhan bandara adalah melayani kelas menengah dan kaum profesional di Yogyakarta, tidak untuk melayani masyarakat desa dan warga petani di Yogyakarta. Kebutuhan itu bersifat “juz’i” (partikular), bukan “kebutuhan umum” yang diperuntukkan semua lapisan masyarakat (‘ammah).
Status kebutuhan Yogyakarta akan bandara, dalam Fiqih, dikategorikan Tahsiniyyat atau aksesoris, bukan Dharuriyyat (primer/pokok). Dalam hal ini, kebutuhan dharuriyyat berupa penyediaan lahan pertanian produktif bagi rakyat haruslah diutamakan jauh di atas hal-hal yang sifatnya aksesoris atau kebanggaan semu.
Atas pertimbangan ini, maka kami santri Nahdliyin:
1. Mendesak pemerintah untuk segera menghentikan rencana pembangunan NYIA.
2. Mendesak pemerintah dan aparat untuk menghentikan intimidasi terhadap warga dan mengembalikan hak-hak warga yang telah dirusak selama proses pengosongan lahan (land clearing).
3. Mendesak pemerintah untuk menetapkan Kulon Progo sebagai daerah agraris dan melindungi segenap potensi agraria yang ada untuk kepentingan rakyat.
4. Mendesak pemerintah untuk menegakkan Reforma Agraria Sejati berupa tanah untuk rakyat, dan menghentikan segala skema “reforma agraria” semu yang dilakukan dengan perampasan tanah dan penghidupan masyarakat.
5. Mengajak semua elemen publik, khususnya warga Nahdliyin di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan ormas-ormas Islam untuk mendukung perjuangan warga terdampak bandara di Kulon Progo.
Wabillahit-tawfiq.
Jumat, 8 Desember 2017 / 19 Rabi’ul Awal 1439
Komite Nasional FNKSDA,
Muhammad Al-Fayyadl dan A. Syatori
Sumber: DaulatHijau

0 comments:

Post a Comment