This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, August 19, 2014

Tantangan Sektor Agraria

Oleh: Idham Arsyad  | Selasa, 19 Agustus 2014


SALAH satu warisan pemerintahan lama yang bakal dihadapi pemerintahan baru adalah masalah agraria yang akut, kronis, dan bersifat struktural.
Jika tidak menjadi prioritas penanganan di awal pemerintahan, akan menjadi penghambat (bottleneck) dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika pun terjadi pertumbuhan ekonomi, dipastikan tanpa pemerataan.


Persoalan pokok agraria di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, masalah mendasar berkaitan dengan pemilikan dan penguasaan rakyat atas tanah yang sangat timpang serta akses rakyat atas kekayaan alam yang sangat terbatas. Akumulasi dan monopoli atas sumber-sumber agraria oleh sekelompok kecil orang di Republik ini bukan isapan jempol belaka.

Lebih dari 70 persen aset nasional produktif yang sebagian besar berupa tanah hanya dikuasai 0,02 persen penduduk (Winoto, 2007). Dari 13,5 juta hektar lahan perkebunan sawit, 65 persen dikuasai perusahaan perkebunan, termasuk perusahaan negara (Sawit Watch, 2013). Di kehutanan, terdapat 531 izin pengelolaan hutan dengan luas lahan mencapai 35,8 juta hektar untuk perusahaan kehutanan. Untuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan rakyat hanya ada 57 izin dengan penguasaan lahan 0,32 juta hektar (Sirait, 2014).

Tak kalah memprihatinkan, distribusi penguasaan lahan di tingkat petani. Badan Pusat Statistik mencatat, sampai 2013 petani gurem mendominasi rumah tangga petani. Dari 26 juta petani pengguna lahan, sekitar 14,45 juta (55,33 persen) petani gurem. Jika dikaitkan data Badan Pertanahan Nasional terkait rasio gini pengusahaan lahan yang mencapai 0,54, distribusi penguasaan lahan ini patut dirisaukan.

Kedua, masalah lanjutan dari ketimpangan di atas adalah kemiskinan masyarakat pedesaan yang semakin tinggi. Kemiskinan petani ini adalah akibat dari kombinasi sempitnya penguasaan lahan dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur pertanian, pendidikan, akses pasar, dan perbankan bagi petani. Masalah lanjutan lainnya adalah konflik agraria yang terus merebak di hampir seluruh pelosok Nusantara.
Sampai di ujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, konflik agraria tak pernah sunyi diberitakan media. Data KPA menyebutkan, tahun 2013 telah terjadi 369 konflik agraria yang melibatkan 139.874 keluarga dengan luas lahan yang dikonflikkan 1.281.660.09 hektar. Konflik ini mengakibatkan 21 orang tewas, 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan, dan 239 orang ditahan.

Ketiga, kuatnya ego sektoral setiap lembaga/kementerian yang mengurusi masalah agraria. Ego sektoral ini merupakan cermin dari kebijakan politik hukum agraria yang tumpang tindih dan tidak sinkron.
Kajian BPN menyebutkan, terdapat 21 undang-undang, 49 peraturan presiden, 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, 496 peraturan/keputusan/surat edaran dan instruksi Menteri Negara/Kepala BPN terkait masalah agraria yang tumpang tindih. Masalah klasik ini pada dasarnya telah menjadi mandat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk segera diselesaikan. Namun, sampai kini belum ada penyelesaiannya.

Butuh komitmen politik

Beragam persoalan di atas menunjukkan, masalah agraria bukanlah persoalan teknis belaka, melainkan persoalan struktural yang akarnya pada ketimpangan sosial. Jadi, modal terpenting untuk menyelesaikannya adalah komitmen politik yang kuat dari presiden terpilih.

Jika Jokowi-JK hendak becermin bagaimana pemerintah menempatkan persoalan agraria, Soekarno-Hatta adalah cermin yang tepat. Bung Karno berkata ”Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia” (Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, 1960). Demikian juga Bung Hatta berkata ”Baik buruknya penghidupan rakyat bergantung pada situasi hak milik tanah. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas atau memeras kehidupan orang banyak” (Ekonomi Indonesia di Masa Depan, 1946).

Dalam visi misi Jokowi-JK, masalah agraria masuk dalam salah satu agenda strategis. Jadi, hal prioritas yang segera dipersiapkan pemerintahan Jokowi-JK di masa transisi ini adalah pertama, mengevaluasi kelembagaan yang mengurus masalah tanah dan sumber daya alam. Yang berlangsung saat ini, BPN tenggelam dalam pusaran ego sektoralisme pengelolaan SDA. Jadi, ketimpangan dan konflik agraria tak tertangani baik. Masalah agraria hendaknya diurus lembaga setingkat kementerian negara.

Kedua, janji Jokowi-JK membagikan tanah seluas 9 juta hektar dan meningkatkan kepemilikan lahan petani gurem hendaknya diletakkan dalam kerangka program reforma agraria. Reforma agraria berarti bukan sekadar bagi-bagi tanah, tetapi di dalamnya ada perombakan penguasaan dan pemilikan tanah. Jokowi-JK jangan mengulang kesalahan pemerintahan sebelumnya yang hanya memprioritaskan sertifikasi dan legalisasi tanah.

Ketiga, perlu membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria yang bekerja secara ad hoc dengan tugas merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan reforma agraria, mengoordinasikan kementerian terkait, menyelesaikan konflik agraria, serta melaksanakan penataan pemilikan dan penguasaan tanah, termasuk 9 juta hektar yang dijanjikan.

Idham Arsyad
Anggota Dewan Pakar KPA; Ketua Gerakan Desa Bangkit

Thursday, August 14, 2014

42 Tahun Pemagaran Tanah Petani Persil IV Deli Serdang oleh Negara

Catatan Fasisme Negara Agraris Indonesia
Oleh: Muhammad Afandi



Pengakuan dan Perampasan

Pada awal tahun 1930an, terdapat 5 kampung kecil (Tungkusan, Senembah, Limau Mungkur, Batutak, Lau Barus) yang penduduknya hidup bergantung pada sebuah areal yang mereka sebut sebagai “hutan tua”. Penamaan hutan tua ini berdasarkan pada sebuah kenyataan dimana areal tersebut merupakan satu-satunya areal hutan yang tersisa dari gempuran kapitalisme perkebunan kolonial di tanah Deli yang mulai bercokol sejak 1870. Setiap harinya, mereka mengusahai tanah hutan tua sebagai lahan pertanian yang dikelola secara tidak menetap. Pola tanam yang demikian dipercayai secara turun temurun dapat menjaga keseimbangan dan kesuburan tanah. Penduduk yang tinggal di dalam 5 kampung ini sangat beragam, mulai dari orang Melayu, Karo, Batak Toba, dan Jawa (mantan kuli kontrak perkebunan Deli).

Pasca kemerdekaan 1945 yang mendorong lahirnya negara Republik Indonesia, wilayah yang dimaksud disebut berada dalam wilayah administratif pemerintahan Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera  Utara. Selanjutnya berdasarkan faktor sosio-historis pengelolaan lahan yang dilakukan oleh penduduk 5 kampung terhadap hutan tua, negara pada tahun 1956 memberikan pengakuan kepemilikan lewat surat ijin garap bernama “Tanah Suguhan Persil IV” kepada penduduk yang bermukim di Tungkusan, Senembah, Limau Mungkur, Batutak dan Lau Barus. Luas areal Persil IV yang berasal dari “hutan tua” itu berjumlah 525 Hektar. 16 tahun kemudian, saat meningkatnya kebutuhan industri minyak nabati dunia dan berkuasanya Soeharto, ketenangan mereka pelan-pelan mulai terusik. Pasalnya, pada tahun 1972, mereka dipaksa untuk menyerahkan tanah Persil untuk kepentingan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang akan dikelola oleh PTPN II-Kebun Limau Mungkur. Saat mereka menolak, negara memberikan cap pahit kepada penduduk dengan sebutan sebagai “sisa-sisa PKI”. Bahkan lahan-lahan pertanian siap panen yang dimiliki harus direlakan untuk ditraktor paksa pada peristiwa yang mereka sebut sebagai “malam berdarah”.

Pasca pengusiran tersebut, penduduk pemilik lahan Persil IV sebahagian besarnya melakukan migrasi ke desa-desa sekitar untuk bekerja menjadi buruh-buruh tani. Namun menjelang awal tahun 1980-an sebahagian yang lain memilih melakukan migrasi ke Aceh untuk mengadu nasib sebagai petani dengan membeli lahan-lahan baru dari hasil tabungan yang tersisa. Belum sampai satu dekade hidup di Aceh, keberuntungan kembali tidak memihak. Panasnya konflik Aceh yang dipicu oleh ketidakadilan ekonomi saat itu, memaksa mereka harus kembali ke Deli Serdang dan meninggalkan tanah harapan.

Secuil Harapan saat Reformasi Datang

Tumbangnya Soeharto pada Mei 1998, telah menjadi katalisator meledaknya kekuatan-kekuatan petani yang sebelumnya hanya memilih perlawanan bawah tanah. Puluhan ribu petani Deli Serdang, yang telah menanti jatuhnya Soeharto, khususnya mereka yang telah kehilangan tanah karena dirampas paksa untuk kepentingan perkebunan, baik milik negara ataupun swasta, ramai-ramai menduduki kembali lahan mereka. Petani Persil IV juga ambil bagian dalam aksi-aksi terbuka tersebut.

Pada tanggal 27 Oktober 1998, dilakukan sebuah pertemuan “dengar pendapat” antara Petani Persil IV, DPRD Deli Serdang, Kepala BPN tingkat II Deli Serdang, Kepala Administrasi PTPN II Kebun Limau Mungkur, Camat STM Hilir dan beberapa Kepala Desa yang sebahagian wilayahnya masuk ke dalam areal Persil IV. Dalam pertemuan tersebut disimpulkan bahwa lahan Persil IV seluas 525 Hektar tidak termasuk dalam HGU PTPN II Limau Mungkur. Hal ini berdasarkan sertifikat HGU dan Hak Konsesi Limau Mungkur Nomor.02.04.08.05.2.0001 yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri dengan SK Nomor.13/HGU/DA/1975 dan Surat Ukur Nomor,1450/08/1993.

Adm PTPN II Kebun Limau Mungkur menyatakan bahwa tanah yang dikuasai adalah seluas 2322 hektar, namun BPN Tk II Deli Serdang sebagai perwakilan negara yang memiliki otoritas pertanahan menjelaskan bahwa berdasarkan SK Nomor.13/HGU/DA/1975 dan Surat Ukur Nomor.1450/08/1993, PTPN II Kebun Limau Mungkur hanya mengantongi ijin HGU seluas 1400 hektar. Dengan demikian, tanah seluas 2322 hektar yang dikuasai oleh PTPN II Kebun Limau Mungkur terdapat 922 hektar sisanya yang tidak memiliki sertifikat HGU. Pernyataan serupa juga dinyatakan oleh para Kepala Desa yang hadir, mereka menyatakan tanah seluas 922 Ha tersebut merupakan milik petani Persil IV dan V yang dirampas PTPN II pada tahun 1972. Fakta ini menghadirkan sebuah pertanyaan besar yang berbunyi : jika tidak mengantongi HGU, lalu kemana larinya uang hasil pemanenan kelapa sawit tersebut ? Pertanyaan ini dijawab secara cerdas oleh warga dengan kalimat “sejak tahun 1972, PTPN II telah melakukan penggelapan, pembohongan publik, dan korupsi yang mengklaim bahwa mengantongi HGU atas tanah kami”. Jawaban ini menghantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa terdapat sebuah bisnis gelap selama hampir 3 dekade yang melibatkan PTPN II, aparat keamanan, dan para aparatus lainnya dengan mengeksploitasi tanah Persil.

Walaupun dinyatakan tidak mengantongi ijin HGU, PTPN II tetap tidak mengembalikan tanah yang dituntut petani. Menghadapi situasi ini, petani menuntut PTPN II di meja peradilan. Dalam perjuangannya di meja peradilan, petani mendapatkan kemenangan telak. Lewat Putusan Pengadilan Negeri Nomor 61/Pdt.G/1999, PTPN II dituntut untuk mengembalikan tanah kepada petani Persil IV dan diwajibkan membayar ganti rugi material sebesar 74 Milyar rupiah. Menghadapi kekalahan tersebut, PTPN II melakukan langkah hukum “banding” ke Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan Tinggi SUMUT menolak pengajuan banding yang diajukan dengan Nomor.230/Pdt/2000. Pengadilan Tinggi kembali memutuskan tanah seluas 922 hektar (Persil IV 525 ha dan Persil V 397 ha) harus dikembalikan kepada petani dan PTPN II diwajibkan untuk membayar ganti rugi material 49 Milyar rupiah kepada petani.

Menghadapi 2 kali kekalahan tersebut, pada tahun 2001, PTPN II memobilisir milisi sipil (preman) dalam jumlah ratusan untuk menyerang petani yang melakukan pendudukan lahan. Satu orang petani menjadi korban pembacokkan dalam penyerangan tersebut. Intimidasi juga meluas hingga pada pembabatan seluruh tanaman milik warga di areal Persil. Strategi tersebut diduga untuk mengalihkan konflik menjadi horizontal sekaligus menutupi isu korupsi PTPN II terhadap tanah Persil. Peristiwa ini memaksa petani kembali keluar dari lahan Persil IV. 

Selanjutnya, pada tahun 2004, PTPN II berusaha melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Upaya ini diharapkan dapat membatalkan putusan Pengadilan sebelumnya. Tapi upaya itu berujung sia-sia, karena MA juga menolak permohonan Kasasi yang diajukan PTPN II. MA mengeluarkan putusan dengan Nomor. 1611.K/Pdt/2004 yang mewajibkan PTPN II untuk segera mengembalikan lahan Persil kepada petani dan membayar ganti rugi sebesar 49 Milyar rupiah.

PTPN II tidak bosan-bosannya untuk melakukan upaya hukum terhadap kekalahan yang sudah diterima. Kali ini, PTPN II mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Tanpa pernah diduga sebelumnya, permohonan PK yang diajukan ternyata dikabulkan oleh MA. Hal inilah yang menjadi senjata baru bagi PTPN II untuk mengusir petani secara permanen dari lahan sekaligus menyulap kembali lahan-lahan Persil menjadi areal perkebunan kelapa sawit baru. 

Situasi ini sedikit berubah saat tahun 2007. Tahun dimana solidaritas datang dari berbagai elemen untuk perjuangan petani Persil IV. Akhir tahun 2007, setelah berulang kali turun ke jalan dan demontrasi ke DPRD SUMUT, Kepolisian dan PTPN II, petani berhasil mendudukan perjuangan mereka menjadi perhatian media. Menghadapi tekanan ini, PTPN II menyatakan bahwa “tanah milik petani tapi tanaman (kelapa sawit) milik negara”. Munculnya isu ini memang ampuh untuk mengusir milisi sipil dari tanah Persil, namun di sisi lain memberikan legitimasi PTPN II sebagai BUMN untuk menggunakan aparat kepolisian sebagai pasukan keamanan di lahan konflik.

Menguatnya Kembali Milisi Sipil Bertopeng dalam Bisnis “Konflik” Agraria

Tahun 2010, warga kembali dihadapkan dengan gempuran milisi sipil bayaran PTPN II. Milisi sipil yang dimaksud umumnya berbendera Organisasi Kepemudaan (OKP), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan partai politik ataupun yang mengaku independen. Dalam kasus Persil IV ini, setidaknya ada 2 kelompok milisi sipil yang pimpinannya juga terlibat aktif dalam Organisasi Kepemudaan di Deli Serdang, yaitu Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga. Para milisi sipil ini diberikan mandat sebagai pemegang kuasa “pengelola keamanan dan pemanenan kelapa sawit” dari PTPN II. 

Fenomena terlibatnya OKP dalam konflik agraria di SUMUT tentunya bukanlah hal yang baru muncul di era transisi demokrasi, melainkan sudah dalam beberapa babak sejarah Indonesia. Lihat saja pada saat terjadinya peristiwa 1965, Pemuda Pancasila juga aktif dalam pengganyangan petani yang diduga sebagai anggota ataupun simpatisan PKI. Dan kini, di era transisi demokrasi mereka juga kembali sebagai aktor lapangan pemukul petani saat terlibat dalam jasa pengamanan berbagai korporasi perkebunan di Sumatera Utara. Dalam kasus Persil IV, sejak hadirnya OKP tersebut setidaknya telah menyebabkan 1 nyawa petani melayang saat terjadinya bentrokan pada tahun 2010.

Keterlibatan OKP ini semakin meningkat tajam seiring menurunnya usaha perjudian pada tahun 2005 yang pada mulanya menjadi basis finansial organisasi-organisasi kepemudaan di Sumatera Utara. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis perjudian di Sumatera Utara sangatlah akrab dengan beberapa nama tokoh OKP yang berkembang pesat pada akhir tahun 1990an hingga tahun 2005. Pasca menurunnya usaha perjudian tersebut, beberapa pimpinan elit OKP mulai beralih profesi sebagai pengusaha yang bergerak pada pengembangan industri properti dan real estate. Dalam menjalankan usaha barunya yang membutuhkan pengadaan lahan dalam jumlah luas itu, para elit-elit OKP yang membentuk kelas sosial baru ini mulai melirik lahan-lahan konflik ataupun Eks PTPN II yang di dalamnya terdapat tanah petani yang terampas pada masa Orde Baru.

Namun bagi para non-elit OKP yang tidak memiliki peluang untuk bergerak langsung di bidang usaha pengembangan properti tentunya harus lebih memilih sebagai penyedia jasa-jasa pengamanan bagi korporasi perkebunan swasta ataupun milik negara yang berkonflik dengan petani. Dan biasanya dalam banyak kasus, para penerima kuasa jasa pengamanan ini akan meraup keuntungan yang jumlahnya tidak kecil, khususnya di lahan-lahan yang tidak mengantongi HGU. Kasus Persil IV misalnya, milisi sipil bertopeng ini akan mendapatkan keuntungan lewat bagi hasil yang bersandar kepada seberapa besar mereka mampu memanen kelapa sawit di atas lahan konflik. Semakin besar jumlah panen yang didapat, maka akan semakin besar keuntungan yang dapat diraih.

Ramlan, Seorang Kakek Pejuang yang Dikriminalisasi Negara

Diantara sekian banyak pemilik lahan Persil IV, Ramlan adalah salah satunya. Ia merupakan salah seorang petani Persil IV yang selalu berjuang secara gigih mempertahankan alat produksinya yang dirampas PTPN II. Secara sadar dia telah menyerahkan setengah umur hidupnya digunakan untuk mengusir para milisi sipil dan represifitas negara. 

Setelah meyakini bahwa perjuangan di jalur-jalur prosedural tidak membuahkan hasil secara pasti, ia lebih memilih gaya perlawanan yang dipilihnya. Caranya adalah dengan mendirikan gubuk dan kolam-kolam ikan di atas tanah Persil yang ia punyai. Beberapa kali gubuk yang ia dirikan dibakar dan dirusak oleh milisi sipil, tapi ia tetap terus membangunnya tanpa lelah. Awal tahun 2014 lalu, dirinya kembali membulatkan tekad untuk membangun gubuk dan kolam ikan dalam ukuran yang lebih besar.

Namun untuk membangun impiannya tersebut, dia terjepit dengan jumlah uang yang harus dipunyai untuk membeli beberapa bahan material pembuatan gubuk dan penyewaan alat berat (traktor) demi terwujudnya kolam besar. Tidak ingin tertunda secara berlarut-larut, dirinya nekad menggadaikan surat tanah Persil demi mendapatkan uang yang dibutuhkan. Sebagai pemegang sah tanah Persil dirinya memiliki Sertifikat Tanda Bukti Hak yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional dengan Nomor.02.04.33.07.1.0082. Sertifikat itu juga dilampiri sebuah nota pembayaran pajak atas tanah yang tertera pada tahun 2014.

Kebulatan tekadnya tersebut akhirnya membuahkan hasil berupa terbangunnya sebuah gubuk ukuran 7 x 5 meter dan 3 buah kolam ikan ukuran 6 meter persegi. Setiap harinya, anak dan cucu Ramlan menemaninya secara bergantian untuk menjaga, merawat dan memberi makan ikan yang ia kembangkan. Namun, 5 hari sebelum Pilpres datang, tepatnya pada tanggal 4 Juli 2014, sebuah surat dari PTPN II yang ditandantangi oleh Manager Kebun Limau Mungkur datang kepadanya. Surat tersebut berisikan bahwa Ramlan telah dituduh membuat kolam pancing di areal Afdeling V, TM-2001, Blok T Kebun Limau Mungkur PTPN II. Pihak PTPN II dalam surat tersebut menyatakan bahwa areal milik Ramlan masuk dalam HGU Kebun Limau Mungkur Nomor. 02.04.08.03.2.00095 yang masa berlakunya berakhir pada 18 Juni 2028. Ramlan diharuskan meratakan kolam yang ia miliki selambat-lambatnya 12 Juli 2014. Dalam kalimat akhir surat tersebut, Ramlan akan dilaporkan kepada pihak berwajib (kepolisian) jika tidak melaksanakan isi surat yang telah dikirimkan kepadanya.

Tepat pada hari lebaran kesepuluh, 6 Agustus 2014, Ramlan memberikan kabar bahwa dirinya mendapatkan surat panggilan dari Kepolisian Resort Deli Serdang. Dan lewat artikel ini, dirinya menitip pesan bahwa SOLIDARITAS harus terbangun karena kasus yang menimpa dirinya juga banyak terjadi di daerah-daerah lain di seantero negeri, khususnya Tanah Deli yang bertuah namun berselimut luka.


 

Sunday, August 10, 2014

Sinyal Merah Dunia Pertanian untuk Joko Widodo

Oleh: Dwi Cipta 
Untuk Darmanto Oloan Sitompul 

Pendahuluan: Angka-angka yang membingungkan petani

Ada dua predikat bagi Indonesia yang sampai sekarang dipercayai oleh penduduknya dari anak-anak hingga mereka yang akan masuk ke liang lahat: Indonesia adalah negara agraris dan negara maritim. Predikat sebagai negara agraris berangkat dari kenyataan sangat luasnya lahan-lahan pertanian konkret dan potensial membentang dari Sabang sampai Merauke. Sementara predikat negara maritim berangkat dari kenyataan posisi geografis Indonesia yang diapit dua samudera (Pasifik dan Hindia) sementara pulau-pulaunya dihubungkan (bukan dipisahkan) oleh laut. Dengan dua predikat itu, umumnya diterima bahwa negeri ini berlimpah hasil pangan, baik di darat maupun di laut. Pertanyaan logisnya: apakah kita memiliki kebutuhan untuk mengimpor bahan pangan dari luar?

Namun data dari BPS tahun 2013 ini menjadi cermin betapa pemerintah Indonesia--yang bermain mata dengan para pengusaha atau importir—telah secara culas membohongi rakyatnya. Pada 5 Februari 2014, BPS merilis catatan impor beras dari tiap-tiap negara. Dari total 472 ribu ton beras senilai US$ 246 juta yang diimpor, Vietnam mendominasi dengan pengiriman sebanyak 171.286 ton atau senilai US$ 97,3 juta. Thailand di urutan kedua dalam mengekspor beras ke Indonesia. Selama 2013, Negeri Gajah Putih itu mengirim 194.633 ton beras senilai US$ 61,7 juta. Sementara India di urutan ketiga, pada 2013 tercatat mengekspor 107.538 ton beras senilai US$ 44,9 juta ke Indonesia. Pakistan tercatat sebagai negara asal 75.813 ton beras impor Indonesia dengan nilai US$ 29,9 juta. Serta Myanmar ada di urutan kelima negara pemasok beras terbanyak bagi Indonesia di 2013 dengan jumlah 18.450 ton atau US$ 6,5 juta (http://www.tempo.co/read/news/2014/02/05/090551264/Tahun-lalu-Indonesia-Impor-Beras-dari-Lima-Negara).

Agar lebih adil, mari kita bandingkan dengan produksi beras dalam negeri sepanjang tahun 2013. Pada 8 Juli 2014, Kementerian Pertanian—lewat Kepala Badan Ketahanan Pangan Ahmad Suryana—mengklaim bahwa produksi beras tahun 2013 sebesar 39 juta ton gabah kering. Angka ini sama artinya dengan surplus produksi sebesar 5 juta ton mengingat total kebutuhan dalam negeri adalah 34 ton (http://finance.detik.com/read/2013/07/08/114029/2295368/4/produksi-beras-ri-surplus-5-juta-ton-tahun-ini-tapi-kok-masih-impor). Angka yang dirilis oleh BPS bisa dijadikan bandingan dengan data yang diklaim oleh Departemen Pertanian. Menurut rilis dari BPS, produksi padi pada tahun 2013 (ASEM) sebesar 71,29 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,24 persen) dibanding tahun 2012. Kenaikan produksi ini terjadi di Jawa sebesar 0,97 juta ton dan di luar Jawa sebesar 1,27 juta ton. Kenaikan produksi terjadi karena kenaikan luas panen seluas 391,69 ribu hektar (2,91 persen) dan kenaikan produktivitas sebesar 0,16 kuintal/hektar  atau sebesar 0,31 persen (http://www.bps.go.id/brs_file/asem_03mar14.pdf). Dengan angka-angka meyakinkan di atas, hampir tak bisa diterima alasan yang diajukan olehpemerintah Indonesia, khususnya Departemen Pertanian, untuk mengimpor beras dari luar. Dengan kata lain, pemerintah maupun importir beras telah secara meyakinkan—dan di depan mata kita sendiri—berniat membunuh para petani lokal negeri ini! 

Apakah pemerintah dan para importir itu bermain sendiri dalam kebijakan impor beras Indonesia? Tentu tidak. Ada perangkat-perangkat lain yang secara bersama-sama bersekutu dengan pemerintah dan para importir agar kita terus menerus mengalami ketergantungan. Hitung-hitungan makro di atas—antara impor dan produksi beras dalam negeri—ketika bertemu dengan perkiraan atau ramalan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 2014 yang baru dirilis Mei 2014 makin membuktikan bahwa kita memang didesain agar terus mengalami ketergantungan pangan. Secara meyakinkan, perangkat-perangkat dari luar itu melegitimasi kebutuhan pangan kita dengan memberikan angka-angka yang membuat para petani lokal semakin nelangsa. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) memperkirakan pemerintah Indonesia bakal mengimpor beras sebanyak 1,2 juta ton sepanjang 2014. Jumlah tersebut naik sekitar 70 persen dari 705.880 ton yang diimpor sepanjang tahun lalu. Sementara itu, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memprediksi Indonesia akan mengimpor 1,5 juta ton beras sepanjang 2014. Itu karena USDA menaksir, Badan Urusan Logistik (Bulog) tidak akan mampu memenuhi target produksi beras sebesar 3,85 juta ton pada akhit tahun ini. Dengan demikian, volume impor beras Indonesia dapat naik lebih dari dua kali lipat total impor pada 2013 yang mencapai total 650 ton (www.Oryza.com).

Jadi, apabila pemerintah dan importir disalahkan atas terus dijalankannya kebijakan impor beras, mereka tinggal menunjukkan perkiraan atau perhitungan yang telah dibuat oleh FAO dan USDA tersebut. Siapa yang berani melawan lembaga sekaliber FAO dan USDA tersebut sekali pun angka-angka yang mereka rilis adalah sebuah kebohongan terstruktur dan sitematis? Apakah presiden dan wakil presiden baru yang terpilih berani bertarung melawan rezim korporasi global yang sudah terlanjur menggurita? Apakah para relawannya, terutama kaum kelas menengahnya, mau secara serius menciptakan mekanisme yang efektif agar petani lokal tidak terus menerus dijadikan sapi perah politik setiap pemilu namun terus dikorbankan hidupnya? Sekali lagi, pesimisme saya menyeruak. Sejak berdirinya rezim otoriter-birokratik-militeristik Soeharto hingga rezim politik SBY—dengan perkecualian rezim politik Gusdur yang berumur pendek—kita terus menerus dididik untuk menjadi manusia kerdil, yang begitu takut dengan institusi-institusi besar seperti FAO, WTO, AFTA, Zona perdagangan bebas Tiongkok-ASEAN, Amerika Serikat, China, dan korporasi-korporasi global yang kemaruk. Kelas menengah Indonesia yang kemarin memenangkan Joko Widodo dan Mohammad Jusuf Kalla masih terlena dengan terus menerus mengolok-olok Prabowo Subianto dan koalisi politiknya. Perilaku ngehek ini sungguh memalukan mengingat mereka senang melekatkan predikat “terdidik,” “kritis,” dan “progresif” pada diri mereka. Inilah jenis kelas menengah yang masih mengalami distopia akibat kuatnya pengaruh rezim otoriter-birokratik-milieristik Soeharto. Mereka baru aktif dalam melakukan kerja-kerja penalaran namun begitu tak bertenaga saat harus bergerak secara nyata. Kalau semua predikat hebat itu tak mampu diwujudkan dalam agenda kerja yang jelas, yang jelas berkeringat, selamanya kelas menengah semacam itu akan menjadi kelas menengah yang mudah terpukau dengan figur baru dan pengolok-olok yang menjijikkan! Dan sekali lagi, yang mengambil keuntungan, adalah rezim perdagangan bebas global, korporasi besar, politisi oportunis yang meloloskan kebijakan impor, dan jaringan importir dalam negeri yang kemaruk. 

Realita Pahit Petani Kecil

Setelah kita mengerti gambaran-gambaran besar tentang contoh persoalan dunia pertanian Indonesia, mari kita turun ke persoalan-persoalan konkret para petani kecil kita. Kenyataan-kenyataan ini disusun sebagai sinyal sinyal merah baik oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang akan memegang tongkat komando tertinggi di bidang pertanian, Departemen Pertanian, kaum kelas menengah Indonesia yang tengah kebingungan dalam menentukan arah geraknya yang konkret dalam mengawal pemerintahan baru, maupun bagi kelompok-kelompok tani progresif yang tengah memperjuangkan nasib petani. Tentu saja banyak fakta-fakta mengenaskan yang tidak bisa saya masukkan di sini mengingat keterbatasan akses informasi. Namun semoga fakta-fakta kecil ini bisa memicu kerja yang lebih konkret dan sistematis dalam melakukan kemandirian pangan Indonesia.

Pada akhir Mei saya dan kawan-kawan Gerakan Literasi Indonesia (GLI) mengadakan perjalanan menemui para petani di Wonosobo. Dalam sebuah perbincangan yang dalam, terungkap fakta menarik: Beberapa petani di kaki Gunung di Wonosobo tak mau memanen cabai mereka akibat harga hasil pertanian mereka meluncur turun dengan deras. Padahal mereka sudah menghabiskan banyak biaya penanaman dan perawatan. Kehancuran harga cabai petani lokal ini akibat ulah para importer avonturir yang membanjiri pasar dalam negeri dengan cabai impor dari Vietnam, India dan Tiongkok. Fakta menyedihkan ini diperkuat dengan temuan Muhammad Sofwan Hadi, aktivis Gerakan Literasi Indonesia (GLI) lainnya, yang juga melakukan perbincangan tentang pertanian cabai dengan para petani di kaki gunung Merapi, Yogyakarta. Menurut pengakuan para petani itu, mereka tak mau memanen cabai rawitnya seharian dan hanya memeroleh uang sebesar Rp.20.000 sementara uang yang telah mereka keluarkan untuk merawat tanaman cabainya jauh lebih besar daripada uang yang mereka terima. Tindakan bunuh diri semacam ini dilakukan di bawah tawa para importir, pejabat Departemen Pertanian, dan petugas bea cukai yang meloloskan impor cabai ke dalam pasar dalam negeri.

Dua fakta konyol di atas tampaknya sepadan dengan kekonyolan lain yang dilakukan oleh petani apel Malang. Dalam suatu unjuk rasa yang dilakukan di Kementerian Perdagangan pada 23 Februari 2014, para pengunjuk rasa langsung menumpahkan apel-apel dari kantung dan menyebarkannya di jalan depan kantor Muhammad Lutfi itu.  Selain menyebar apel, ada pula aksi teatrikal dengan dua "pocong" berbaring di atas apel-apel. Tidak hanya itu, para pendemo sempat melempari kantor kementerian dengan apel. Ada sekitar 1,5 ton apel yang mereka buang dalam aksi demonstrasi tersebut. Tindakan ini mereka lakukan karena Indonesia kebanjiran apel impor sehingga harga apel lokal terus jatuh hingga kisaran Rp.2.500,-/per kilo di tingkat eceran. Kejatuhan harga ini membuat 70 persen lahan perkebunan saat ini sudah beralih fungsi menjadi tempat hiburan, agrowisata, dan perkebunan tebu (http://bintangnews.com/politik/1321-demo-di-kemendag,-petani-malang-lempar-1,5-ton-apel.html).

Apakah fakta-fakta di atas bias Jawa? Bagaimana dengan para petani di luar Jawa? Untuk menyanggah anggapan demikian, berikut ini adalah faka-fakta segar lain yang harus dihadapi oleh pemerintahan terpilih begitu mereka mulai bekerja nantinya. Pengalaman yang dialami oleh Darmanto Oloan Sitompul, seorang petualang sunyi yang hidup bertani di Kab.Dairi (Sumatera Utara) menemukan kesejajaran dengan para petani Wonosobo, kaki gunung Merapi Yogyakarta, dan Malang. Beberapa bulan lalu ia berbincang-bincang lama dengan petani yang pernah terpaksa menjual kentang hasil panennya seharga Rp.900,-/kg (baca: sembilan ratus rupiah per kilogram) ke pedagang pengumpul. Saat itu, setahunya, pemerintah memasukkan kentang impor dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia lewat pelabuhan Belawan, yang dilepas ke pasaran dengan harga Rp.2.000,-/kg (dua rebu perak sekilo!). Dalam pemahamannya, kentang impor bisa jauh lebih bagus, sebab ukuran dan bentuknya lebih seragam. Tidak perlu ditanya ruginya berapa, yang pasti kerja 3-4 bulan (untuk menanam kentang) tak kelihatan hasilnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kelak petani-petani lokal akan bertahan saat perdagangan bebas Tiongkok-ASEAN resmi berjalan.

Dalam kasus petani kopi, apa yang telah ditulis oleh Yusran Dharmawan bisa menjadi indikator kenapa nasib petani kopi kita tak pernah membaik. Dalam beberapa kali pertemuan dengan petani kopi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), ia memeroleh keterangan tentang harga kopi yang terus jatuh di tanah air. Kata mereka, harga kopi di tingkat petani hanya berkisar sekitar Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per kilogram. Padahal di Amerika, secangkir kopi bisa dihargai hingga lima dollar atau sekitar Rp 45.000 (dengan asumsi 1 dollar sama dengan Rp 9.000). Kesenjangan luar biasa ini bisa terjadi karena  perusahaan multinasional seperti Starbucks, Kraft, Nestle, Sara Lee, serta Procter & Gamble. Mereka datang ke petani, lalu membeli dengan harga murah, kemudian menjualnya ke manca negara. Beberapa perusahaan multi-nasional mengejar untung berlipat-lipat dengan cara mendatangi langsung para petani (http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/05/06/kopi-sumatra-kopi-termahal-di-amerika-553276.html). 

Pelajaran dari Naga Timur Yang Bersiap Mencaplok Petani Indonesia

Dengan fakta-fakta di atas, bisakah kita belajar justru dari ancaman dari luar yang sedang bersiap menelan nasib petani kita di masa yang akan datang? Saya hanya menghadirkan salah satu sinyal merah potensial yang akan menjadi ancaman bagi para petani kita kalau kita tak bisa menyiasatinya dengan baik. Selain satu ancaman yang akan saya paparkan di bawah ini, ancaman paling deka justru dari negara satu kawasan kita seperti Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Mari kita simak pelajaran dari Naga Timur yang sedang menggeliat dan mengibaskan ekor ekspansi produk pertaniannya hingga sampai ke kepulauan Nusantara ini. 

Sejak tahun 1971, Tiongkok telah berhasil memproduksi pangan lebih besar dari India meski India memakai teknologi modern dan Tiongkok masih dengan teknologi yang sederhana. FAO mengetahui jumlah luar biasa produksi pangan Tiongkok ini. Namun karena FAO, sebagaimana lembaga PBB lainnya, berada dalam dominasi Eropa Barat dan Amerika yang secara ideologis berbeda dengan Tiongkok, maka mereka tak mau melaporkan tentang kemajuan produksi pangan Tiongkok itu. Lewat media massa elektronik dan cetak, hingga sampai awal 1990-an, mereka justru memberitakan bahwa Tiongkok masih banyak yang mengalami kelaparan. Kalau kita mau menelisik lebih jauh, keberhasilan strategi ketahapanan pangan Tiongkok, maka revolusi kebudayaan yang diluncurkan oleh Tuan Mao Tse Tung adalah kuncinya. Mereka mengirimkan intelektual dan kaum terpelajar kota ke pedesaan untuk bersatu dengan massa rakyat. Memang korbannya banyak, tapi kebanyakan adalah orang-orang kota dan intelektual pemalas. Selebihnya adalah keberhasilan Tiongkok untuk menjadikan intelektual dan kaum terpelajarnya untuk lebih realistis dengan kondisi alam, latarbelakang sejarah dan sosial negerinya, dan mencari jalan masa depannya sendiri. Sementara kita di Indonesia dicekoki dengan wacana mengerikan tentang revolusi kebudayaan Ketua Mao, di Tiongkok para petani bekerjasama dengan kaum intelektual perkotaan dalam menciptakan teknologi tepat guna yang bisa meningkatkan produksi pertanian mereka.

Efek revolusi kebudayaan Tiongkok bagi bidang pertanian memang tak serta merta. Sejak paruh kedua 1960-an sampai paruh pertama 1970-an, Tiongkok terkesan menutup diri dari luar. Dalam setting perang dingin masa itu, penghancuran Indonesia oleh kaum nekolim lewat kudeta merangkak Jenderal Soeharto yang didukung CIA nampaknya jadi pelajaran berharga. Kebijakan menutup diri ini mereka lakukan untuk menangkal berbagai pengaruh buruk dari luar yang berpotensi memecah-belah negeri komunis itu. Diperlukan waktu satu dasa warsa lebih bagi mereka untuk membuka diri dan siap menerima berbagai pengaruh dari luar. Ketika Ketua Mao meninggal dan Deng Xiao Ping naik ke puncak kekuasaan, jalan bagi kemajuan pertanian Tiongkok mulai menampakkan hasilnya. Sejak 1978-2012, Tiongkok menunjukkan pola pertumbuhan yang stabil, sebagian akibat dari reforma ekonomi di wilayah pedesaan dan perubahan-perubahan dalam kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap produksi pertanian dan taraf hidup petani. Dari tahun 1978-2012, misalnya, produksi gandum Tiongkok naik sebanyak 41,1 kali lipat! Sejak tahun 2000-2012, produksi susunya naik sebanyak 3,5 kali lipat, sementara produksi minyak sayurnya naik sebesar 17,64%. 

Nampaknya Tiongkok sadar betul bahwa perkembangan masyarakat tidak bisa melompat. Satu dekade sejak revolusi kebudayaan pertama diluncurkan, mereka hanya menggunakan teknologi tepat guna yang bisa dipahami dan seluruh komponennya bisa diperoleh oleh petaninya. Ketika mereka telah siap dengan mekanisasi alat-alat pertanian secara erintegrasi, barulah kebijakan mekanisasi alat-alat pertanian erintegrasi itu dilakukan. Hasilnya, sejak 1978 sampai 2012, Tiongkok mengalami kenaikan tingkat mekanisasi terintegrasi dari 18,8% menjadi 56,6%. Tingkat mekanisasi terintegrasi inilah yang menjadi faktor penting dari pertumbuhan produksi pertanian yang berlangsung stabil (China Statistical Yearbook tahun 1978-2012). Di periode yang sama, sektor pertanian juga menjadi saksi dari terjadinya perluasan sistem irigasi yang efektif. Hasil dari perluasan sistem irigasi ini adalah lonjakan lahan yang teraliri air dari 45 juta hektar pada 1978 menjadi 61,68 hektar pada 2011 (China Statistical Yearbook, 2012). 

Kelebihan lain dari pembangunan sektor pertanian Tiongkok adalah perencanaan pembangunan pertanian khusus berdasarkan kekhasan wilayahnya. Model konsentrasi produksi pertanian ini mereka terapkan agar memudahkan pengaturan dari hulu sampai hilir terhadap produk-produk pertanian tertentu. Misalnya, kontribusi 13 provinsi penghasil padi mengalami peningkatan signifikan dari sebelum dan sesudah revolusi kebudayaan (Li Zhou, China’s Agricultural Development: Achievements and Challenges). Pada 1949-1959, kontribusi 13 provinsi di China dalam menghasilkan padi sebesar 69,21%, lalu meningkat menjadi 75,15% dari periode 2000-2009 dan naik lagi menjadi 77,78% pada 2010-2012. Zona produksi kedelai dan jagung dipusatkan di wilayah Timur laut, produksi kacang-kacangan dan gandum di wilayah Huang-Huai-Hai, biji minyak dipusatkan di wilayah sepanjang sungai Yangtze, sementara katun dipusatkan di sepanjang sungai Kuning (suangai Huangho) dan wilayah Barat laut. Kesemuanya ini didukung dengan Keseluruhan Produksi Faktor (Total Factor Production) yang naik satu persen sepanjang tahun dari 1985-2010. Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Kementerian Pertanian, kontribusi kemajuan teknologi bagi pertumbuhan pertanian Tiongkok sebesar 54,5% pada tahun 2012. Pertumbuhan tahunan efisiensi teknis pertanian Tiongkok naik konstan sekitar 1%, sementara kemajuan teknologinya naik tetap sebesar 1% (China Statistical Yearbook 1986-2011). 

Seluruh kebijakan pertanian yang sistematis itu dalam setengah abad telah membuat para petani Tiongkok memiliki martabat yang sama dengan mereka yang tinggal di perkotaan—bandingkan dengan mindernya para petani kita dengan orang-orang kota. Sejak tahun 1978 (pertama berkuasanya Deng Xiao Ping) sampai tahun 2012, pendapatan perkapita petani naik sebesar 10,77 kali lipat (dari 133,6 yuan menjadi 7.917 yuan) (Li Zhou, China’s Agricultural Development: Achievements and Challenges). Yang hebat lagi adalah karena kenaikan pendapatan per kapita antara petani dan penduduk perkotaan ini nyaris sama di periode yang sama. Efeknya adalah sedikitnya ketimpangan yang tercipta antara petani dan penduduk perkotaan biasa. Tentu saja fakta ini mengabaikan pertimbangan bahwa tingkat absolut pendapatan per kapita antara pedesaan dan perkotaan berbeda. Dua tahun terakhir, tingkat pertumbuhan pendapatan antara penduduk pedesaan dan penduduk perkotaan justru lebih tinggi pedesaan (bandingkan dengan Indonesia yang berkebalikan 180 derajat!). Faktor berikutnya adalah distorsi harga produk-produk pertanian lenyap oleh reformasi dan liberalisasi harga. Lalu pajak pertanian sejak 2005 dihapuskan (bagaimana dengan di Indonesia?). Di saat bersamaan, sejak 2005, subsidi pemerintah ke bidang pertanian justru meningkat. Semua fasilitas dan kebijakan-kebijakan negara yang mendukung pertanian ini membuat para petani Tiongkok percaya diri kalau seberapa besar pun produksi mereka,akan ada pasar yang menyerapnya. Ini sejalan dengan kebijakan kementerian pendidikan Tiongkok sejak 2001 yang mewajibkan bagi penduduk Tiongkok yang sedang berada di luar negeri untuk mencarikan pasar bagi produk-produk dalam negeri (wajib bro, bayangkan betapa terintegrasinya kebijakan mereka antar departemennya). Jadi tidak salah kalau para pengamat pertanian yang mau melek sedikit sadar bahwa Tiongkok-lah penguasa pasar pertanian dunia sekarang. 

Dalam perencanaan pembangunan 25 tahun ke depan, mereka bahkan sudah membuat grand design tentang pembagian jumlah penduduknya secara gila-gila-an: 500 juta di perkotaan, 500 juta di pinggiran kota, dan 500 juta di pedesaan. Jumlah penduduk dan pembagiannnya di masing-masing wilayah itu berangkat dari asumsi bahwa 25 tahun yang akan datang, jumlah penduduk Tiongkok 1,5 milyar (berangkat dari sensus penduduk terakhir tahun 2011 dimana jumlah penduduk Tiongkok 1,2 milyar).  Penduduk di desa-desa rencananya akan disatukan di sebuah lokasi untuk menghemat air dan listrik serta kebutuhan-kebutuhan publik. Efek bagusnya adalah lahan untuk pertanian dan pembangunan lainnya tak berkurang. Barangkali tidak ada sebuah negara adidaya yang memiliki rencana seambisius Tiongkok ini. Dengan perencanaan pembangunan semacam ini, lahan untuk pangan akan tetap berlimpah sementara negara-negara lain merasa kekurangan lahan karena perumahan tersebar, boros listrik maupun air. Pengembangan bio teknologi dan nano teknologi mereka sekarang nomer satu di dunia, dengan limpahan dana yang bisa membikin para peneliti hidup dan berkarya dengan nyaman. Kalau di Amerika dan Eropa seorang peneliti utama atau professor hanya memeroleh satu atau paling banter tiga asisten ahli, di Tiongkok mereka bisa memiliki 5-6 asisten ahli. Dengan semua infrastruktur seperti yang kusebutkan di atas, tak berlebihan kiranya kalau Tiongkok disebut mereka sebagai penguasa pangan dunia di masa mendatang. Perencanaan pembangunan semesta semacam Tiongkok itu mestinya membuat kita waspada dan belajar

Agenda kawal kebijakan pertanian Presiden baru

Saat mengunjungi area persawahan di Desa Tanjung Sari, Cariu, Bogor, Jawa Barat, Jokowi membeberkan 6 kebijakan yang akan diterapkan kepada petani jika terpilih menjadi presiden. Pertama, lahan pertanian produktif jangan sampai dikonversi pada kegunaan yang lain. Kedua, Jokowi menyoroti pendampingan terhadap petani khususnya dalam pengelolaan tanah pertanian. Ia mengatakan para petani jangan diarahkan menggunakan bibit impor ataupun pupuk kimia, dan sebisa mungkin menggunakan pupuk organik dan benih sendiri. Yang ketiga, infrastruktur pertanian dari bendungan sampai saluran tersier harus dibenahi. Keempat adalah ketersediaan air bersih bagi para petani. Bendungan air yang digunakan para petani untuk mengairi lahan dan sawah harus terbebas dari limbah industri. Kelima, pasar dan teknologi harus memberikan keuntungan pada petani. pasca panen juga belum menyentuh petani. Keenam, modal. Petani posisinya kekurangan modal. Butuh akses permodalan. Bank pertanian harus didirikan khusus berikan pertanian pada petani (http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2042442/dekati-petani-jokowi-beberkan-6-kebijakan-terkait-pertanian).

Enam poin kebijakan pertanian Joko Widodo itu sekilas memang hebat dan menguntungkan petani. Namun kalau dikuliti satu persatu, kebijakan-kebijakan itu berpotensi menjadi omong-kosong dan bombasme politik elektoral kita yang sejak jatuhnya rezim Soeharto menjelma kebohongan yang pahit bagi petani. Mari kita lihat satu per satu enam kebijakan Joko Widodo yang berpotensi menjadi bombasme selanjutnya dari politik elektoral kita.
Pertama, soal himbauan agar lahan pertanian produktif tak dikonversi pada kegunaan yang lain. Meletusnya konflik agraria di Kebumen, Rembang, Wonogiri, Batang, dan Karawang adalah contoh pengkonversian lahan pertanian produktif yang ada di depan mata Joko Widodo dan Jusuf Kalla di samping makin maraknya pembangunan perumahan yang memangsa lahan pertanian produktif di kota-kota menengah dan kecil. Lahan di Kebumen diserobot militer dan menjadi latihan perang, pegunungan Kendeng yang meliputi Pati, Tuban, dan Rembang dimangsa pabrik semen, dan pertanian subur di wilayah Karawang akan dibangun perumahan megah oleh Agung Podomoro meski kita semua tahu bahwa Karawang telah berabad-abad menjadi salah satu lumbung padi di Jawa. Belum lagi kita menghitung lahan-lahan pertanian produktif yang dikonversi oleh pengusaha real estate untuk memenuhi kebutuhan perumahan di Jawa yang terus meningkat. Bagaimana Jokowi akan berhadapan dengan militer, pengusaha perumahan, korporasi seperti pabrik semen, dan industri-industri lain yang memangsa lahan propduktif itu? 

Sekarang Indonesia malah punya proyek tidak jelas berupa pembukaan lahan untuk sawah sebesar 2 juta hektar di luar Jawa (Papua) dimana pemilik lahan itu bukan petani-petani kecil atau buruh tani yang bertransmigrasi namun pengusaha papan atas yang hanya berpikir soal keuntungan belaka tanpa mempedulikan kelestarian alam dan lingkungan. Kebijakan tolol dari para politisi dan ahli ekonomi yang tidak paham soal kondisi alam, demografi, dan faktor-faktor sosial dan budaya masyarakatnya itu selain hanya menguntungkan pengusaha besar juga tak memberikan partisipasi dari warga kelas menengah ke bawah dalam aktivitas produksi pertanian. Pengawasan kebijakan pembukaan lahan pertanian yang luas di luar Jawa ini harusnya menjadi momentum yang bagus dari dilaksanakannya kebijakan reforma agraria dan transmigrasi yang dulu diimpikan oleh presiden Soekarno. Sekali lagi di sinilah kelemahan kelas menengah Indonesia yang sejak penghitungan suara versi hitung cepat lembaga survey lebih suka berceloteh di media sosial untuk mengolok-olok capres pecundang. Mereka tak sigap bergerak dengan melakukan agenda aksi yang konkret guna memuluskan (atau menelanjangi?) kebijakan yang dicanangkan oleh Joko Widodo. 

Kebijakan kedua, berupa pendampingan petani dan arah agar tidak memakai bibit impor dan pupuk kimia, akan menghadapkan Jokowi pada berbagai pihak-pihak yang nantinya akan dirugikan dari kebijakan kedua ini. Pendampingan petani barangkali akan lebih mudah mengingat jumlah para relawan Jokowi yang berlimpah dan bisa menjadi kekuatan pendamping yang hebat apabila bisa membuat masterplan pendampingan yang efektif. Namun penggunaan benih buatan sendiri serta pupuk organik adalah kebijakan yang terasa mengawang-awang. Para produsen pupuk kimia dan importir benih yang selama ini beroperasi tentu saja tak akan tinggal diam. Mekanisme macam apa yang akan dilakukan Joko Widodo agar kebijakannya yang kelihatannya “wah” itu bisa terwujud? Sebagai anak petani kecil, sudah sejak paruh kedua tahun 1990-an saya tak menyaksikan lagi ketelatenan para petani kecil hingga menengah kita dalam melakukan proses pembibitan yang begitu bertele-tele. Hadirnya bibit-bibit impor dan pembibitan padi yang siap tanam telah membuat para petani mengalami ketergantungan yang akut terhadap bibit dari luar dirinya sendiri. Sudah sejak hulu produksi mereka dibuat begitu tak berdaya. Sekarang, dengan kebijakannya itu, Joko Widodo dan pemerintahan barunya akan membangun infrastruktur pembibitan yang sudah jelas akan memakan energi dan biaya besar. Hal serupa terjadi dengan persoalan penggunaan pupuk. Setelah bertahun-tahun petani kecil dan menengah mengalami ketergantungan terhadap pupuk anorganik, bagaimana bisa kebijakan agar petani menggunakan pupuk organik bisa berjalan? 

Ketersediaan bahan untuk membuat pupuk organik, alat-alatnya, kemampuannya untuk bersaing dengan pupuk anorganik buatan pabrik, dan daya serap tanaman yang tak serta merta ketika dikasih pupuk organik adalah persoalan nyata yang menanti di depan mata Joko Widodo dan Jusuf Kalla. 
Kebijakan ketiga dan keempat—perbaikan sarana irigasi dari bendungan sampai saluran tersier dan menjaga keberhasilan air untuk produksi pertanian—mungkin tak akan mendapatkan hambatan berarti. Program ini jauh lebih mudah diterapkan. Hanya kota-kota besar atau menengah tempat beroperasinya industri yang punya limbah buang cair yang harus memeroleh prioritas besar. 

Pada kebijakan kelima inilah tantangan paling besar yang harus dihadapi Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Saya tidak akan membahas soal teknologi yang mendukung dunia pertanian. Seiring dengan meluasnya akses internet hingga ke pedesaan, teknologi bukan lagi persoalan nyata yang dihadapi oleh para petani. Internet hampir memerdekakan para petani tanpa bantuan yang signifikan dalam hal teknologi pertanian. Kalaupun pemerintah mau secara serius membantu petani, barangkali yang lebih nyata adalah bagaimana pemerintah bisa membangun mekanisme penyaluran bantuan teknologi yang mendukung produksi pertanian itu sampai ke tangan yang lebih berhak. Dibutuhkan data yang kokoh tentang petani kecil (dengan luas lahan kurang dari 1 hektar) dan menengah yang layak menerima bantuan dan sistem pengawasan yang kuat.

Bagaimana agar pasar bisa menguntungkan petani? Data dari BPS, Departemen Perdagangan, serta Departemen Pertanian secara telak telah menunjukkan bahwa sejak dulu pasar tak pernah berpihak secara nyata pada para petani. Kita tak memeroleh cukup penjelasan tentang formula yang akan dilakukan oleh Jokowi untuk memproteksi produk-produk pertanian dalam negeri. Kita juga tak mengetahui bagaimana sistem distribusi bagi berbagai produk pertanian itu agar bisa memastikan tidak adanya permainan harga yang merugikan para petani kecil. Musuh Jokowi bukan hanya para petualang di Departemen Pertanian dan Perdagangan yang menjual lisensi impor, namun juga para korporasi besar, importir, rezim perdagangan bebas ASEAN (AFTA), ACFTA (Asean-China Free Trade Area), dan negara-negara eksportir produksi pertanian seperti China, India, Vietnam, Pakistan, Thailand, dan Australia. Importir-importir ini sebagian besar adalah para pengusaha yang memeroleh lisensi dari departemen terkait dan berafiliasi atau punya hubungan baik dengan partai. Sementara itu meyakinkan rezim AFTA, ACFTA, dan negara-negara ekportir produk pertanian membutuhkan kemampuan diplomasi yang hebat. Dengan sumberdaya diplomat-diplomat kita yang tak punya cukup nyali di forum-forum internasional, tanpa menyisakan ruang bagi tumbuhnya harapan, kemampuan rezim Joko Widodo dalam mengamankan pasar dalam negeri dari tekanan luar sangatlah kecil. Maka sangat layak kita menyangsikan kejituan Joko Widodo dan pemerintahan yang nanti akan berkuasa dalam mengamankan pasar bagi produk pertanian dalam negeri. 

Bagian terakhir dari kebijakan pertanian yang dicanangkan oleh Jokowi adalah modal bagi para petani. Ini persoalan klasik yang sampai sekarang tak pernah terpecahkan oleh rezim politik sejak jaman Soeharto hingga sekarang. Gembar-gembor soal modal untuk usaha pertanian namun dalam pelaksanaannya yang bisa mengakses modal itu tetap saja mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa politik atau birokrat. Para petani kecil seperti di sepanjang pantai Utara Jawa hingga kaki gunung di Wonosobo justru sering membiarkan lahan pertaniannya tidak tergarap karena tiadanya modal yang cukup untuk menggarapnya. Dan seandainya Joko Widodo dan Jusuf Kalla nanti benar-benar meluncurkan kebijakan injeksi modal pertanian pada petani kecil yang berjumlah lebih dari 26 juta jiwa, apa yang menjadi jaminan bagi modal yang diinjeksikan oleh pemerintah itu? Kalau tanah mereka sendiri yang menjadi jaminan, hampir dipastikan kebijakan ini tak akan berjalan. Pelajaran berharga dari beroperasinya bank-bank yang memberi pinjaman pada petani di pedesaan adalah melayangnya lahan produktif mereka ke pihak bank akibat ketidakmampuan mereka membayar pinjaman ketika panen mereka gagal. Dan kalau modal ini diberikan secara cuma-cuma, apa yang menjadi jaminan bahwa modal ini tak diselewengkan oleh petani kecil yang telah dihimpit oleh berbagai kebutuhan lain yang mendesak. Kalau pemerintah meluncurkan program kredit rakyat kecil untuk para petani seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh bisa saja kebijakan  itu menjelma jadi wajah lain dari penghisapan rakyat kecil yang menyerahkan dirinya secara abadi pada belenggu hutang. Siapakah perekayasa ekonomi dan sosial (Economic and Social Engineer) yang bisa membuat kebijakan permodalan bagi para petani ini lebih operatif dan menemukan sasaran yang tepat adalah tugas besar yang harus dipecahkan oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla kalau tidak ingin kebijakannya di bidang pertanian tak jatuh dalam bombasme dan kebohongan politik elektoral seperti para pendahulunya. 
Paparan singkat dan bersifat makro soal tantangan dan ancaman yang harus dihadapi pemerintahan baru itu hanya sebuah isyarat atau sinyal sinyal merah dunia pertanian untuk Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Jika selama ini kebijakan pertanian kita selalu berkiblat ke negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa yang secara historis, sosiologis, dan kultural tidak sama dengan kita, tidak ada salahnya kalau kini mereka berpaling ke Tiongkok, India, dan negara-negara Amerika Latin yang secara historis, sosiologis, dan kultural hampir mirip dengan kita. Uraian tentang China di atas bukan hanya dimaksudkan untuk memberi isyarat berbahaya, namun juga limpahan pelajaran berharga tentang bagaimana negara sebesar dan sekompleks Tiongkok bisa membangun dan menjalankan kebijakan pertanian yang tak merugikan petani kecil mereka. India dan Tiongkok kini tengah mengintip pasaran produksi pangan Asia dan Afrika berkat kemampuannya dalam memproduksi secara massal hasil pertaniannya. Luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk berhasil dimanfaatkan menjadi faktor pendukung bagi peningkatan produksi pangannya. 

Di era ketika informasi dari lingkaran elite bisa sampai ke masyarakat paling bawah dalam hitungan jam oleh bantuan internet; di era ketika masyarakat paling bawah sedang mengalami pertumbuhan kesadaran kritisnya; di era ketika masyarakat tengah mengalami gelombang pasang harapan untuk tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan besar, menelurkan kebijakan yang bersifat ‘pemanis mulut’ adalah sebuah tindakan berbahaya. Rezim yang semula dipenuhi harapan ini bisa dalam hitungan tahun menjadi rezim yang dicaci-maki atau malah digulingkan karena tak mampu memenuhi harapan kelompok-kelompok tertindas seperti petani dan buruh tani. Persis di sinilah Joko Widodo sedang dituntut merubah sinyal sinyal merah menjadi sinyal hijau. 

Yogyakarta, 10 Agustus 2014
Penulis adalah anak petani kecil