Catatan Fasisme Negara Agraris Indonesia
Oleh: Muhammad Afandi
Pengakuan dan Perampasan
Pada awal tahun 1930an, terdapat 5 kampung kecil
(Tungkusan, Senembah, Limau Mungkur, Batutak, Lau Barus) yang penduduknya hidup
bergantung pada sebuah areal yang mereka sebut sebagai “hutan tua”. Penamaan
hutan tua ini berdasarkan pada sebuah kenyataan dimana areal tersebut merupakan
satu-satunya areal hutan yang tersisa dari gempuran kapitalisme perkebunan
kolonial di tanah Deli yang mulai bercokol sejak 1870. Setiap harinya, mereka
mengusahai tanah hutan tua sebagai lahan pertanian yang dikelola secara tidak
menetap. Pola tanam yang demikian dipercayai secara turun temurun dapat menjaga
keseimbangan dan kesuburan tanah. Penduduk yang tinggal di dalam 5 kampung ini
sangat beragam, mulai dari orang Melayu, Karo, Batak Toba, dan Jawa (mantan
kuli kontrak perkebunan Deli).
Pasca kemerdekaan 1945 yang mendorong lahirnya negara
Republik Indonesia, wilayah yang dimaksud disebut berada dalam wilayah
administratif pemerintahan Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang,
Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya
berdasarkan faktor sosio-historis pengelolaan lahan yang dilakukan oleh
penduduk 5 kampung terhadap hutan tua, negara pada tahun 1956 memberikan
pengakuan kepemilikan lewat surat ijin garap bernama “Tanah Suguhan Persil IV”
kepada penduduk yang bermukim di Tungkusan, Senembah, Limau Mungkur, Batutak
dan Lau Barus. Luas areal Persil IV yang berasal dari “hutan tua” itu berjumlah
525 Hektar. 16 tahun kemudian, saat meningkatnya kebutuhan industri minyak
nabati dunia dan berkuasanya Soeharto, ketenangan mereka pelan-pelan mulai
terusik. Pasalnya, pada tahun 1972, mereka dipaksa untuk menyerahkan tanah
Persil untuk kepentingan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang akan dikelola
oleh PTPN II-Kebun Limau Mungkur. Saat mereka menolak, negara memberikan cap
pahit kepada penduduk dengan sebutan sebagai “sisa-sisa PKI”. Bahkan
lahan-lahan pertanian siap panen yang dimiliki harus direlakan untuk ditraktor
paksa pada peristiwa yang mereka sebut sebagai “malam berdarah”.
Pasca pengusiran tersebut, penduduk pemilik lahan
Persil IV sebahagian besarnya melakukan migrasi ke desa-desa sekitar untuk
bekerja menjadi buruh-buruh tani. Namun menjelang awal tahun 1980-an sebahagian
yang lain memilih melakukan migrasi ke Aceh untuk mengadu nasib sebagai petani
dengan membeli lahan-lahan baru dari hasil tabungan yang tersisa. Belum sampai
satu dekade hidup di Aceh, keberuntungan kembali tidak memihak. Panasnya
konflik Aceh yang dipicu oleh ketidakadilan ekonomi saat itu, memaksa mereka
harus kembali ke Deli Serdang dan meninggalkan tanah harapan.
Secuil Harapan saat Reformasi Datang
Tumbangnya Soeharto pada Mei 1998, telah menjadi katalisator
meledaknya kekuatan-kekuatan petani yang sebelumnya hanya memilih perlawanan
bawah tanah. Puluhan ribu petani Deli Serdang, yang telah menanti jatuhnya
Soeharto, khususnya mereka yang telah kehilangan tanah karena dirampas paksa
untuk kepentingan perkebunan, baik milik negara ataupun swasta, ramai-ramai
menduduki kembali lahan mereka. Petani Persil IV juga ambil bagian dalam
aksi-aksi terbuka tersebut.
Pada tanggal 27 Oktober 1998, dilakukan sebuah
pertemuan “dengar pendapat” antara Petani Persil IV, DPRD Deli Serdang, Kepala
BPN tingkat II Deli Serdang, Kepala Administrasi PTPN II Kebun Limau Mungkur,
Camat STM Hilir dan beberapa Kepala Desa yang sebahagian wilayahnya masuk ke
dalam areal Persil IV. Dalam pertemuan tersebut disimpulkan bahwa lahan Persil
IV seluas 525 Hektar tidak termasuk dalam HGU PTPN II Limau Mungkur. Hal ini
berdasarkan sertifikat HGU dan Hak Konsesi Limau Mungkur
Nomor.02.04.08.05.2.0001 yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri dengan SK
Nomor.13/HGU/DA/1975 dan Surat Ukur Nomor,1450/08/1993.
Adm PTPN
II Kebun Limau Mungkur menyatakan bahwa tanah yang dikuasai adalah seluas 2322
hektar, namun BPN Tk II Deli Serdang sebagai perwakilan negara yang memiliki
otoritas pertanahan menjelaskan bahwa berdasarkan SK Nomor.13/HGU/DA/1975 dan
Surat Ukur Nomor.1450/08/1993, PTPN II Kebun Limau Mungkur hanya mengantongi
ijin HGU seluas 1400 hektar. Dengan demikian, tanah seluas 2322 hektar yang
dikuasai oleh PTPN II Kebun Limau Mungkur terdapat 922 hektar sisanya yang
tidak memiliki sertifikat HGU. Pernyataan serupa juga dinyatakan oleh para
Kepala Desa yang hadir, mereka menyatakan tanah seluas 922 Ha tersebut
merupakan milik petani Persil IV dan V yang dirampas PTPN II pada tahun 1972.
Fakta ini menghadirkan sebuah pertanyaan besar yang berbunyi : jika tidak
mengantongi HGU, lalu kemana larinya uang hasil pemanenan kelapa sawit tersebut
? Pertanyaan ini dijawab secara cerdas oleh warga dengan kalimat “sejak tahun
1972, PTPN II telah melakukan penggelapan, pembohongan publik, dan korupsi yang
mengklaim bahwa mengantongi HGU atas tanah kami”. Jawaban ini menghantarkan
pada sebuah kesimpulan bahwa terdapat sebuah bisnis gelap selama hampir 3
dekade yang melibatkan PTPN II, aparat keamanan, dan para aparatus lainnya
dengan mengeksploitasi tanah Persil.
Walaupun
dinyatakan tidak mengantongi ijin HGU, PTPN II tetap tidak mengembalikan tanah
yang dituntut petani. Menghadapi situasi ini, petani menuntut PTPN II di meja
peradilan. Dalam perjuangannya di meja peradilan, petani mendapatkan kemenangan
telak. Lewat Putusan Pengadilan Negeri Nomor 61/Pdt.G/1999, PTPN II dituntut
untuk mengembalikan tanah kepada petani Persil IV dan diwajibkan membayar ganti
rugi material sebesar 74 Milyar rupiah. Menghadapi kekalahan tersebut, PTPN II
melakukan langkah hukum “banding” ke Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan Tinggi
SUMUT menolak pengajuan banding yang diajukan dengan Nomor.230/Pdt/2000.
Pengadilan Tinggi kembali memutuskan tanah seluas 922 hektar (Persil IV 525 ha
dan Persil V 397 ha) harus dikembalikan kepada petani dan PTPN II diwajibkan
untuk membayar ganti rugi material 49 Milyar rupiah kepada petani.
Menghadapi
2 kali kekalahan tersebut, pada tahun 2001, PTPN II memobilisir milisi sipil
(preman) dalam jumlah ratusan untuk menyerang petani yang melakukan pendudukan
lahan. Satu orang petani menjadi korban pembacokkan dalam penyerangan tersebut.
Intimidasi juga meluas hingga pada pembabatan seluruh tanaman milik warga di
areal Persil. Strategi tersebut diduga untuk mengalihkan konflik menjadi
horizontal sekaligus menutupi isu korupsi PTPN II terhadap tanah Persil.
Peristiwa ini memaksa petani kembali keluar dari lahan Persil IV.
Selanjutnya,
pada tahun 2004, PTPN II berusaha melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah
Agung (MA). Upaya ini diharapkan dapat membatalkan putusan Pengadilan
sebelumnya. Tapi upaya itu berujung sia-sia, karena MA juga menolak permohonan
Kasasi yang diajukan PTPN II. MA mengeluarkan putusan dengan Nomor.
1611.K/Pdt/2004 yang mewajibkan PTPN II untuk segera mengembalikan lahan Persil
kepada petani dan membayar ganti rugi sebesar 49 Milyar rupiah.
PTPN II
tidak bosan-bosannya untuk melakukan upaya hukum terhadap kekalahan yang sudah
diterima. Kali ini, PTPN II mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Tanpa
pernah diduga sebelumnya, permohonan PK yang diajukan ternyata dikabulkan oleh
MA. Hal inilah yang menjadi senjata baru bagi PTPN II untuk mengusir petani
secara permanen dari lahan sekaligus menyulap kembali lahan-lahan Persil
menjadi areal perkebunan kelapa sawit baru.
Situasi
ini sedikit berubah saat tahun 2007. Tahun dimana solidaritas datang dari
berbagai elemen untuk perjuangan petani Persil IV. Akhir tahun 2007, setelah
berulang kali turun ke jalan dan demontrasi ke DPRD SUMUT, Kepolisian dan PTPN
II, petani berhasil mendudukan perjuangan mereka menjadi perhatian media.
Menghadapi tekanan ini, PTPN II menyatakan bahwa “tanah milik petani tapi
tanaman (kelapa sawit) milik negara”. Munculnya isu ini memang ampuh untuk
mengusir milisi sipil dari tanah Persil, namun di sisi lain memberikan
legitimasi PTPN II sebagai BUMN untuk menggunakan aparat kepolisian sebagai
pasukan keamanan di lahan konflik.
Menguatnya Kembali Milisi Sipil
Bertopeng dalam Bisnis “Konflik” Agraria
Tahun 2010, warga kembali dihadapkan dengan gempuran
milisi sipil bayaran PTPN II. Milisi sipil yang dimaksud umumnya berbendera
Organisasi Kepemudaan (OKP), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan partai
politik ataupun yang mengaku independen. Dalam kasus Persil IV ini, setidaknya
ada 2 kelompok milisi sipil yang pimpinannya juga terlibat aktif dalam
Organisasi Kepemudaan di Deli Serdang, yaitu Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca
Marga. Para milisi sipil ini diberikan mandat sebagai pemegang kuasa “pengelola
keamanan dan pemanenan kelapa sawit” dari PTPN II.
Fenomena terlibatnya
OKP dalam konflik agraria di SUMUT tentunya bukanlah hal yang baru muncul di
era transisi demokrasi, melainkan sudah dalam beberapa babak sejarah Indonesia.
Lihat saja pada saat terjadinya peristiwa 1965, Pemuda Pancasila juga aktif
dalam pengganyangan petani yang diduga sebagai anggota ataupun simpatisan PKI.
Dan kini, di era transisi demokrasi mereka juga kembali sebagai aktor lapangan
pemukul petani saat terlibat dalam jasa pengamanan berbagai korporasi
perkebunan di Sumatera Utara. Dalam kasus Persil IV, sejak hadirnya OKP
tersebut setidaknya telah menyebabkan 1 nyawa petani melayang saat terjadinya
bentrokan pada tahun 2010.
Keterlibatan
OKP ini semakin meningkat tajam seiring menurunnya usaha perjudian pada tahun
2005 yang pada mulanya menjadi basis finansial organisasi-organisasi kepemudaan
di Sumatera Utara. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis perjudian di
Sumatera Utara sangatlah akrab dengan beberapa nama tokoh OKP yang berkembang
pesat pada akhir tahun 1990an hingga tahun 2005. Pasca menurunnya usaha
perjudian tersebut, beberapa pimpinan elit OKP mulai beralih profesi sebagai
pengusaha yang bergerak pada pengembangan industri properti dan real estate.
Dalam menjalankan usaha barunya yang membutuhkan pengadaan lahan dalam jumlah
luas itu, para elit-elit OKP yang membentuk kelas sosial baru ini mulai melirik
lahan-lahan konflik ataupun Eks PTPN II yang di dalamnya terdapat tanah petani
yang terampas pada masa Orde Baru.
Namun bagi
para non-elit OKP yang tidak memiliki peluang untuk bergerak langsung di bidang
usaha pengembangan properti tentunya harus lebih memilih sebagai penyedia
jasa-jasa pengamanan bagi korporasi perkebunan swasta ataupun milik negara yang
berkonflik dengan petani. Dan biasanya dalam banyak kasus, para penerima kuasa
jasa pengamanan ini akan meraup keuntungan yang jumlahnya tidak kecil,
khususnya di lahan-lahan yang tidak mengantongi HGU. Kasus Persil IV misalnya,
milisi sipil bertopeng ini akan mendapatkan keuntungan lewat bagi hasil yang
bersandar kepada seberapa besar mereka mampu memanen kelapa sawit di atas lahan
konflik. Semakin besar jumlah panen yang didapat, maka akan semakin besar
keuntungan yang dapat diraih.
Ramlan, Seorang Kakek Pejuang yang
Dikriminalisasi Negara
Diantara sekian banyak pemilik lahan Persil IV, Ramlan
adalah salah satunya. Ia merupakan salah seorang petani Persil IV yang selalu
berjuang secara gigih mempertahankan alat produksinya yang dirampas PTPN II.
Secara sadar dia telah menyerahkan setengah umur hidupnya digunakan untuk mengusir
para milisi sipil dan represifitas negara.
Setelah
meyakini bahwa perjuangan di jalur-jalur prosedural tidak membuahkan hasil
secara pasti, ia lebih memilih gaya perlawanan yang dipilihnya. Caranya adalah
dengan mendirikan gubuk dan kolam-kolam ikan di atas tanah Persil yang ia
punyai. Beberapa kali gubuk yang ia dirikan dibakar dan dirusak oleh milisi
sipil, tapi ia tetap terus membangunnya tanpa lelah. Awal tahun 2014 lalu,
dirinya kembali membulatkan tekad untuk membangun gubuk dan kolam ikan dalam
ukuran yang lebih besar.
Namun
untuk membangun impiannya tersebut, dia terjepit dengan jumlah uang yang harus
dipunyai untuk membeli beberapa bahan material pembuatan gubuk dan penyewaan
alat berat (traktor) demi terwujudnya kolam besar. Tidak ingin tertunda secara
berlarut-larut, dirinya nekad menggadaikan surat tanah Persil demi mendapatkan
uang yang dibutuhkan. Sebagai pemegang sah tanah Persil dirinya memiliki
Sertifikat Tanda Bukti Hak yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional dengan
Nomor.02.04.33.07.1.0082. Sertifikat itu juga dilampiri sebuah nota pembayaran
pajak atas tanah yang tertera pada tahun 2014.
Kebulatan
tekadnya tersebut akhirnya membuahkan hasil berupa terbangunnya sebuah gubuk
ukuran 7 x 5 meter dan 3 buah kolam ikan ukuran 6 meter persegi. Setiap
harinya, anak dan cucu Ramlan menemaninya secara bergantian untuk menjaga,
merawat dan memberi makan ikan yang ia kembangkan. Namun, 5 hari sebelum
Pilpres datang, tepatnya pada tanggal 4 Juli 2014, sebuah surat dari PTPN II
yang ditandantangi oleh Manager Kebun Limau Mungkur datang kepadanya. Surat
tersebut berisikan bahwa Ramlan telah dituduh membuat kolam pancing di areal
Afdeling V, TM-2001, Blok T Kebun Limau Mungkur PTPN II. Pihak PTPN II dalam
surat tersebut menyatakan bahwa areal milik Ramlan masuk dalam HGU Kebun Limau
Mungkur Nomor. 02.04.08.03.2.00095 yang masa berlakunya berakhir pada 18 Juni
2028. Ramlan diharuskan meratakan kolam yang ia miliki selambat-lambatnya 12
Juli 2014. Dalam kalimat akhir surat tersebut, Ramlan akan dilaporkan kepada
pihak berwajib (kepolisian) jika tidak melaksanakan isi surat yang telah
dikirimkan kepadanya.
Tepat pada
hari lebaran kesepuluh, 6 Agustus 2014, Ramlan memberikan kabar bahwa dirinya
mendapatkan surat panggilan dari Kepolisian Resort Deli Serdang. Dan lewat
artikel ini, dirinya menitip pesan bahwa SOLIDARITAS harus terbangun karena
kasus yang menimpa dirinya juga banyak terjadi di daerah-daerah lain di
seantero negeri, khususnya Tanah Deli yang bertuah namun berselimut luka.
0 comments:
Post a Comment