Monday, August 04, 2014

FOKUS LIPUTAN : Kemelut Pabrik Semen Rembang Yang Tak Kunjung Usai

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.

Selasa sore menjelang maghrib. Kalender menunjukkan tanggal 15 Juli 2014. Terlihat awan mendung gelap dan angin kencang berhembus menerpa tenda-tenda yang berdiri di luar pabrik PT Semen Indonesia di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lokasi pabrik  semen itu dikelilingi hutan, yang didominasi pepohonan Jati yang cukup lebat.
Terlihat kendaraan-kendaraan berat lalu lalang membawa adukan semen. Terlihat juga para pekerja perusahaan semen, aparat kepolisian dan tentara hilir mudik melewati tenda-tenda itu.
Seorang perempuan paruh baya berambut hitam panjang terkucir dan  berkulit sawo matang terlihat sibuk mondar-mandir di tenda-tenda itu dan melewati sekelompok ibu-ibu yang  berlatih ‘nembang’ lagu Jawa diiringi musik dari lesung padi dan tampihan beras.
Sukinah nama perempuan itu, sibuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk berbuka bersama warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan  Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang yang hidup di tenda-tenda itu. Malam itu, mereka Mereka melakukan buka bersama, tarawih dan doa bersama dilanjut malam pentas kesenian rakyat untuk memperingati satu bulan mereka bertenda menduduki pabrik semen itu.

Warga melakukan pentas kesenian menggunakan alat-alat pertanian dan hasil tani sebagai bentuk penolakan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Foto : Tommy Apriando

Ya, warga dua desa tersebut memang telah lebih dari sebulan hidup di tenda-tenda perlawanan yang menolak keberadaan pabrik PT Semen Indonesia yang mengancam hilangnya sumber air warga.

“Hari ini satu bulan sudah kami menduduki tapak pabrik. Perlawanan kami hingga titik darah penghabisan. Kami akan terus melawan hingga tuntutan kami dipenuhi. Pabrik Semen Indonesia harus angkat kaki dari Rembang,” kata Sukinah bersemangat.

Semenjak hadirnya pabrik semen, kerukunan antar tetangga di Desa Tegaldowo, tempat Sukinah tinggal, tak lagi harmonis dan rukun. Warga terpecah belah, antara mendukung pendirian pabrik dan menolak hadirnya pabrik. Desa tetangga Sukinah, yakni Timbrangan begitu juga. Bahkan rumah salah satu warga bermana Toni, di desa tersebut pernah di datangi beberapa preman dengan membawa senjata tajam.

Toni dan istrinya sehari-hari bertani dan beternak. Toni dan keluarganya menolak hadirnya pabrik Semen. Ia masih ingat ketika sekelompok orang mendatangi rumahnya membawa senjata tajam. Ia tidak mengenal orang-orang tersebut. Namun menurut Toni, dugaan kuat mereka yang datang itu mendukung pendirian pabrik Semen. Toni tidak gentar sedikitpun akan ancaman tersebut. Intimidasi tersebut semakin membulatkan tekadnya bersama warga lain untuk menolak pabrik Semen.

“Tak perlu ada yang ditakuti. Alasan kami menolak sudah jelas. Kami tidak ingin sumber air hilang. Jika hilang, kami tidak bisa bertani dan berternak,” kata Toni.

Toni mengingat pada 16 Juni 2014, berkisar lima ratus warga yang mayoritas kaum perempuan melakukan aksi menolak tambang karst dan pembangunan pabrik Semen Indonesia di kawasan lindung Geologi, cekungan air tanah Watu Putih, Rembang, Jawa Tengah. Warga menduduki lokasi tapak pabrik. Tujuh orang sempat ditangkap polisi, tetapi kemudian dilepaskan lagi. Ibu-ibu yang aksi ada yang dilempar ke semak belukar dan dicekik aparat.

Ming Lukiarti, dari Jaringan Masyarakat Peduli Pedukungan Kendeng (JMPPK) di Rembang mengatakan, aksi warga bukan tidak beralasan, warga yang kontra pabrik semen tidak pernah mendapatkan sosialisasi ataupun informasi seputar tambang dan pembangunan pabrik. Warga sudah menolak pabrik semen sejak lama, namun tidak mendapatkan tanggapan.

“Tidak pernah ada keterbukaan informasi dari pihak pabrik semen. Tidak pernah ada sosialisasi. Dokumen AMDAL tidak pernah disampaikan kepada warga. Serta tidak ada penjelasan mengenai dampak-dampak negatif dari pertambangan dan hadirnya pabrik Semen,” kata Ming Lukiarti.

krisis air karena pabrik semen

Waktu berbuka puasa telah tiba. Warga berkumpul jadi satu di depan tenda. Diawali doa, lanjut makan bersama. Sembari berbincang satu sama lain, saya menyapa dan berkenalan dengan warga lain. Namun, apa yang saya dapatkan. Warga hanya terdiam dan tidak merespon. Saya coba bertanya dengan Joko Prianto warga Tegaldowo.

Buka puasa bersama warga yang melakukan aksi penolakan pabrik Semen, pada 15 Juni 2014 lalu. Foto : Tommy Apriando.

“Mengapa warga tidak mau menjawab pertanyaan saya?”
“Mohon dimaklumi mas. Warga sudah diinstruksikan, jika ditanya oleh orang tidak dikenal jangan dijawab. Disini banyak Intelijen mas. Mari saya kenalkan mas,” kata Joko Prianto, yang akrab disapa Prin.

Setelah Mas Prin memperkenalkan saya ke beberapa warga. Barulah suasana jadi akrab. Warga menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan dan sangat terbuka.

Rencana kehadiran pabrik Semen di dekat Desa Tegaldowo sudah ia ketahui sejak akhir tahun 2011. Barulah dipertengahan April 2014, warga melakukan aksi pertama menolak pembangunan pabrik Semen.

Penolakan Prin dan warga terhadap pabrik Semen bukan tanpa alasan. Sebagai Petani dan peternak ia tidak ingin hadirnya pabrik Semen akan berdampak pada hilangnya sumber air terlebih lagi terjadi krisis air. Ia bercerita mayoritas warga di Desanya Tegaldowo bertani padi dan palawija seperti jagung, ketela, cabai, kacang dan sayuran.

“Tanah disini memang kering, tapi sangat subur jika ditanami dan hasilnya melimpah. Sudah cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari,” kata Prin.
Prin dan pemuda desa lainnya telah menghitung kisaran keuntungan uang yang diperoleh dari bertani setiap tahunnya. Mereka menaksir paling tidak Rp60 juta untuk setiap hektarnya.

Krisis air karena keberadaan pabrik semen juga berpengaruh kepada ternak warga Desa Tegaldowo.  Hampir setiap warga yang berjumlah 1500 KK itu memiliki hewan ternak, seperti ayam, bebek, kambing dan sapi. Jika pertambangan untuk  semen dilanjutkan maka hewan ternak akan kesulitan air.

“Dampak negatif pertambangan dan pabrik semen terhadap pertanian dan peternakan saja begitu besar. Apalagi terhadap manusia itu sendiri,” ujar Prin.


Spanduk penolakan pabrik semen di tapak pabrik jalan masuk ke pabrik Semen Indonesia di Rembang. Foto : Tommy Apriando.

Berdasarkan penelitian Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Tengah pada 1998 tentang air bawah tanah Gunung Watuputih di Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang, didapatkan beberapa sumber mata air abadi diantaranya, mata air Sumber Semen, mata air Brubulan, mata air Brubulan – Pasucen, mata air Sumber Kajar dan mata air Sumberan. Juga ada mata air musiman yaitu mata air Pancuran dan mata air Sendang Ipik.

Mengacu pada laporan teknik bulanan PDAM Kabupaten Rembang pada September 1997, tercatat jumlah distribusi airnya 94.543 meter kubik/bulan atau 3151,43 meter kubik/hari. Sedangkan penduduk yang terlayani adalah 27.935 jiwa, sehingga kebutuhan air bersih rata-rata 112,81 liter/orang/hari. Untuk kecamatan Lasem tercatat jumlah distribusi air 73.872 meter kubik/bulan atau 2462,4 meter kubik/hari dengan jumlah penduduk terlayani 17.650 jiwa, sehingga dibutuhkan air bersih rata-rata kurang lebih 139 liter/orang/hari.

“Berdasarkan perhitungan tersebut dengan mengingat adanya kehilangan air distribusi, maka dapat digunakan estimasi kebutuhan air bersih rata-rata penduduk 120 liter/orang/hari,” kata Prin

Malam peringatan satu bulan perjuangan warga itu juga dihadiri salah satu tokoh agama, Kiai Abdul Manaf. Dia merasa terpanggil untuk berpihak pada warga dan memimpin doa untuk kesuksesan perjuangan warga.

Menurutnya, warga saat ini sudah cukup sejahtera dari hasil pertanian dan ternak. Ia tahu benar bahwa perputaran uang di desa Tegaldowo dan desa Timbrangan sangat cepat dan besar. Omong kosong jika ada pihak mengatakan warga belum sejahtera. Bahkan kekhawatiran warga bahwa kehadiran pabrik semen akan membuat warga menjadi tidak sejahtera itu sangat beralasan. Jika sumber air hilang, maka lahan pertanian mereka kering dan hewan ternak mati karena susah mencari air.

Rumah warga yang menolak pabrik Semen, mayoritas dipasang poster penolakan pabrik Semen. Foto : Tommy Apriando.

“Embel-embel pekerjaan dari pihak pabrik jelas pembodohan. Warga disini jarang yang lulusan perguruan tinggi. Jika akan bekerja, lalu kerjaan apa yang pantas untuk mereka? Yang ada pengangguran bertambah,” kata Mbah Manaf.

Kriminalisasi warga 

Sejak turun aksi pada 16 Juni 2014 lalu, banyak warga Desa tidak bekerja secara penuh. Mereka harus membagi waktu untuk berjuang melawan pabrik semen dan bertani ladang atau beternak. Setiap hari secara bergantian antara 25 hingga 30 warga bergantian menjaga tenda perjuangan melawan pabrik semen di tapak pabrik.

Susilo, warga Tegaldowo, pada aksi 16 Juni lalu ditangkap oleh aparat kepolisian Polres Rembang. Saat itu ia bertugas mendokumentasikan aksi warga. Pihak kepolisian menggiringnya ke mobil polisi untuk dimintai keterangan. Ia dan enam warga lainnya ditahan, karena wartawan gadungan yang tidak memiliki kartu pers.

“Saya sampaikan ke polisi bahwa saya memang bukan wartawan. Saya warga yang mendokumentasikan aksi warga. Namun polisi tetap menangkap dan meminta kami untuk mematikan semua alat dokumentasi, jika tidak maka akan disita,” kata Susilo.

Pendampingan dari KontraS

Dua hari setelah aksi intimidasi dan kekerasan yang terjadi pada warga pada 16 Juni lalu, Komisi untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengirimkan surat ke Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, yang intinya meminta pertanggungjawaban Kapolda terkait tindakan represif, penganiayaan dan penangkapan yang telah dilakukan anak buahnya dari Polres Rembang terhadap warga yang menolak pembangunan pabrik Semen di Rembang.

Surat KontraS mendapat balasan surat dari Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Drs. Nur Ali, tertanggal 2 Juli 2014, yang menjelaskan bahwa Polres Rembang melaksanakan tugas pengamanan untuk acara tasyakuran/doa bersama pada 16 Juni 2014 atas permintaan pihak PT Semen Indonesia bernomor surat 007PP.01.02/2001/06.2014 tertanggal 9 Juni 2014.

   

Surat Kapolda Jateng tentang penanganan aksi warga menolak pabrik PT Semen Indonesia di Rembang


Polda Jateng mengatakan aksi warga tersebut tidak memiliki ijin atau tidak memberikan pemberitahuan. Pihak kepolisian juga membenarkan bahwa mereka mengamankan tujuh warga yang dianggap tidak memiliki identitas. Kapolda Jateng membantah mereka menghalangi warga untuk mendapat akses penerangan. Selain itu, mereka menyangkal melakukan tindakan represif, tetapi dengan cara persuasif.

Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Hak Ekosob KontraS kepada Mongabay mengatakan surat balasan Polda Jateng hanya mendeskripsikan aksi secara sepihak.  Surat itu tidak sesuai dengan apa yang KontraS sampaikan sebelumnya.

“Saya melihat Polisi tidak paham manajemen aksi. Polisi menyatakan ada pihak yang dianggap barisan luar massa, padahal itu juga bagian dari massa aksi. Jika alasan polisi tidak hanya melakukan pengamanan tasyakuran atau doa, mengapa ada pengamanan anjing buas di lokasi tapak pabrik? Polisi seharusnya mengkroscek di lapangan, kebenaran penanganan aksi yang sebenarnya terjadi. Jika melihat video yang dibuat oleh warga yang sudah diunggah di youtube, tentu jelas sekali bahwa yang dilakukan adalah represif bukanlah persuasif,” kata Syamsul.

Bila tidak ada ijin dan pemberitahuan aksi, seharunya warga dibubarkan saja sesuai prosedur penanganan aksi, katanya, bukan dengan penangkapan atau represif.

Munir menambahkan, pada 16 Juni malam juga ada pelanggaran akses masyarakat untuk kehidupan layak dan makanan. Warga yang ingin menghidupkan penerangan listrik menggunakan mesin genset dihalang-halangi oleh pihak kepolisian dan TNI. Walaupun akhirnya warga diberikan akses setelah bernegosiasi dan terus melakukan perlawanan. Untuk itu, KontraS akan mengirimkan surat balasan lagi yang ditujukan kepada Polda Jateng dan ditembuskan kepada Irwarsum dan Mabes Polri.

“Kami juga menyayangkan sikap Komnas HAM yang lamban merespon tindakan yang terjadi di Rembang. Mereka belum juga hadir ke lokasi sejak kejadian 16 Juni terjadi. Seharusnya Komnas HAM tidak bekerja berdasarkan urutan laporan yang masuk ke Komnas HAM tapi menggunakan skala prioritas. Kami tidak melihat Komnas HAM hadir untuk meredam konflik, kerja mereka kami pertanyakan,” ujar Munir.

Sedangkan Ming Lukiarti, mengatakan orang foto dalam lampiran surat Kapolda Jateng itu adalah Luthfi Khakim dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, bukan orang yang tidak beridentitas.

“Mengenai tidak boleh adanya penerangan itu benar. Aparat menghalangi ketika warga mau menyalakan diesel. Ada saksinya. Mengenai tidak adanya kekerasan itu salah, karena aksi pelemparan itu (yang lebih keras tidak terekam kamera) akan tetapi ada banyak saksi mata disitu,” kata Ming Lukiarti.

Sementara Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhammad Nur Khoiron kepada Mongabay mengatakan, sejak kejadian pada 16 Juni, pihaknya memang belum datang ke Rembang. Akan tetapi, mereka ke lokasi pembangunan pabrik Semen.

“Kami melihat ada pelanggaran hak atas informasi yang dilakukan perusahaan. Kami mendengar langsung dari warga bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi pembangunan pabrik semen. Hak informasi ini berupa sosialisasi atas kajian AMDAL. Dalam aturannya AMDAL masuk dalam dokumen publik sehingga masrayakat harus tahu. Jika ada hal teknis dan ilmiah juga menjadi kewajiban pihak penyenggara AMDAL untuk memberikan penjelasan kepada warga.

Khoiron melihat masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi dan konsultasi publik. Padahal penolakan warga terhadap hadirnya pabrik semen juga merupakan hak asasi manusia.  “Jikapun dilibatkan hanya perwakilan saja. Karena representasi masyarakat juga sangat politis, sehingga biasanya perusahaan atau penyelanggara hanya menujuk perwakilan saja. Padahal partisipasi publik itu sangat esensial,” tegasnya.

Dia berpendapat polisi sebagai aparat negara juga harus netral, dan menjadi penengah konflik, bukan pembuat konflik.

Komnas HAM sendiri sedang mempersiapkan pertemuan dengan berbagai pihak terkait dengan konflik di Rembang, termasuk dari para ahli, pembuat AMDAL, dan aparat kepolisian.

“Untuk itu kami menghormati hak warga yang menolak pabrik Semen. Kami mendorong pabrik semen agar transparan dan terbuka serta mengedepankan dialog. Kami ingin lihat apa yang terjadi secara komprehensif.,” pungkas Khoiron.

Berharap pada Gubenur Jawa Tengah 

Salah satu tuntutan warga pada aksi 16 Juni adalah meminta Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo untuk mencabut ijin PT Semen Indonesia.  Menanggapi hal tersebut, Gubernur yang akrab disapa Mas Ganjar pada 20 Juni 2014 lalu, menyarankan warga yang menolak pendirian pabrik semen di kawasan Gunung Kendeng, Rembang, menggugat secara hukum ke pengadilan.

“Jika ada peraturan tata ruang yang dilanggar, maka gugat saja ke PTUN,” katanya.

Ganjar menambahkan, perizinan pendirian pabrik yang sudah disetujui kemudian dicabut tiba-tiba, maka tidak sesuai mekanisme sistem hukum. Proses keseluruhan perizinan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) maupun izin lainnya telah dikeluarkan tahun 2012 saat Gubernur Jateng dipegang Bibit Waluyo (periode 2009-2013).

Pada 7 Juli 2014, Ganjar mencoba mempertemukan berbagai pihak termasuk warga yang kontra pembangunan pabrik Semen ke kantor Gubernur Jawa Tengah. Namun menurut perwakilan warga yang hadir, salah satunya Prin mengatakan, jika menggunakan alasan hukum,  warga bisa menggunakan pernyataan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Surono yang merekomendasikan pelarangan penambangan di kawasan cekungan air tanah (CAT) Watuputih, yang menjadi lokasi pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Rembang

Bahkan rekomendasi telah disampaikan melalui surat nomor 3131/05/BGL/2014 kepada Gubernur Jawa Tengah tertanggal 1 Juli 2014 lalu. Menurut Surono, hal itu untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih, sehingga kegiatan penambangan di batu gamping tersebut dilarang.

“Alasan Pak Surono juga alasan hukum. Undang-undang melarang adanya pertambangan. Seharusnya agar bijaksana Gubernur merekomendasikan agar pihak perusahaan untuk berhenti melakukan operasi pertambangan terlebih dahulu,” kata Prin.

Surat Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Surono yang merekomendasikan pelarangan penambangan di kawasan cekungan air tanah (CAT) Watuputih, yang menjadi lokasi pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Rembang

Dalam pernyataannya kepada media, Surono mengatakan alasan ia merekomendasikan melarang penambangan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia, perbukitan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari CAT Watuputih. Akuifer CAT Watuputih terbentuk pada batu gamping formasi paciran dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran.

“Kawasan CAT Watuputih sebagian besar merupakan daerah imbuhan air tanah dan secara aturan juga dilindungi,” kata Surono.

Luthfil Khakim selaku penasihat hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang mengatakan, seharusnya gubernur Jateng memihak warga yang melakukan penolakan pabrik Semen. Bukan malah menanyakan apakah warga telah membaca dokumen AMDAl pabrik.

“Kami melihat gubernur main aman. Ia ingin berpihak kepada warga dengan menyarankan warga menggugatnya ke PTUN. Di sisi lain ia juga tidak berani mencabut ijin dengan alasan ijin sudah dikeluarkan gubernur sebelumnya. Jika ia pro rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan,” kata Luthfil.

Pabrik semen tetap dibangun

Berdasarkan rilis kepada media tertanggal 5 Mei 2014 lalu, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk menargetkan pembangunan pabrik semen baru di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, selesai pada 2016. First Piling atau pemancangan pertama pabrik berkapasitas 3 juta ton semen per tahun itu akan dilakukan pada Juni 2014.

Direktur utama PT Semen Indonesia, Dwi Soetjipto mengatakan, sejumlah persiapan telah dilakukan oleh Perseroan, meliputi penyiapan lahan, aktivitas engineering, hingga pengadaan peralatan. 

”Pada Juni 2014, kami akan melaksanakan First Piling untuk proyek Pabrik Semen di Rembang. Setelah proses konstruksi sipil, mekanikal, kelistrikan, dan instrumen lainnya, kami berharap mayoritas peralatan telah terpasang dan bisa commissioning pada 2016. Kami menargetkan pabrik tersebut bisa beroperasi secara komersial diakhir 2016 untuk memperkuat penetrasi pasar Perseroan,” kata Dwi Soetjipto.

Investasi untuk membangun pabrik di Rembang mencapai Rp 3,717 triliun atau setara US$ 134,20 per ton semen. Angka itu berada dalam kisaran nilai investasi per ton untuk transaksi  sejenis, yaitu antara US$116,17 sampai US$264,71 per ton. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pabrik Perseroan cukup efisien.

Dwi Soetjipto mengatakan, pembangunan pabrik baru tersebut adalah bagian dari upaya Perseroan dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian lokal melalui penyerapan tenaga  kerja dan pembayaran pajak serta retribusi daerah. Selama masa pengerjaan proyek, jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 3.817 orang. Adapun pasca proyek, tenaga kerja yang terlibat baik tenaga organik dan pendukung kurang lebih 1.100 orang.

Perseroan juga mempunyai program tanggung jawab sosial perusahaan untuk  mengembangkan masyarakat di sekitar pabrik melalui aktivitas pendidikan, bantuan sosial, bantuan pendidikan, hingga pendampingan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Selama ini, program tanggung jawab sosial perusahaan untuk masyarakat Rembang dan sekitarnya sudah berjalan, termasuk mengundang pihak terkait untuk memastikan bahwa pembangunan pabrik tidak berdampak buruk ke lingkungan. 

”Kami yakin ke depan bisa meningkatkan kontribusi Perseroan ke masyarakat, baik melalui kegiatan ekonomi secara langsung yang terkait operasional pabrik maupun melalui program tanggung jawab sosial perusahaan,” ujar Dwi Soetjipto seperti dikutip dalam rilis.

Lebaran di tenda

Lebaran datang, perjuangan warga masih berlanjut. Malam lebaran kemarin, 27 Juli 2014 malam warga berkumpul di tenda perjuangan. Walau hujan deras mengguyur dan udara dingin menusuk tulang mereka tetap menduduki tapak pabrik. Anak-anak, pemuda, ibu-ibu dan laki-laki berbaur jadi satu. Mereka menyuarakan takbiran bersama sebelum besoknya melakukan Sholat Idul Fitri bersama.

Pada 28 Juli 2014 pagi, warga sudah menyusun terpal, tikar dan menyusun sajadah. Mereka akan melakukan Shalat Idul Fitri berjamaah. Bertepatan juga hari itu dengan 43 hari sudah mereka menduduki tenda perlawanan di tapak pabrik semen.

Sholat mereka lalukan di jalan masuk pabrik semen, di Gunung Bokong, dilanjutkan dengan saling bersamalam satu sama lain. Mereka melakukan kenduri atau makan bersama sebagai bentuk syukur mereka hingga saat ini masih diberi kesehatan dalam melakukan perlawanan menolak pembangunan pabrik Semen.

“Perlawanan kami tidak akan berhenti sebelum pabrik semen angkat kaki dari Rembang. Kami berharap ada berkah atas apa yang kami lakukan. Kami akan terus melawan hingga titik darah penghabisan,” ujar Sukinah.

0 comments:

Post a Comment