This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, February 24, 2013

Surat Dari Gunawan Wiradi Untuk FKMA



Dari Gunawan Wiradi untuk Kawan-kawan
Forum Komunikasi Masyarakat Agraris
(FKMA)
Beberapa hari yang lalu, panitia pertemuan FKMA 8-10 Februari 2013 di Jogjakarta mengundang saya untuk hadir dalam satu sesi acara. Panitia kemudian mengirimkan TOR yang cukup panjang, menjelaskan latar dan tujuan dari FKMA. Setelah membacanya, semangat saya muncul cukup besar untuk dapat hadir dalam acara ini. Namun sayang, dengan berbagai keterbatasan situasi dan waktu, ternyata saya berhalangan. Saya meminta maaf tidak dapat memenuhi undangan panitia.
Namun secara prinsip, saya mendukung lahirnya FKMA dan keberlanjutannya ke depan. Untuk itu, demi tetap bisa merespon semangat pertemuan ini, saya kemukakan beberapa hal. Semoga bisa menjadi pengingat kita bersama dalam perjuangan, antara lain:
1. Leluhur kita, para pendiri republik ini, dari awal telah menyadari dan meyakini bahwa masalah agraria adalah masalah yang paling mendasar, karena menyangkut berbagai segi kehidupan.
Seorang pakar mengatakan, petani adalah peletak dasar peradaban. Dari sejarah ribuan tahun yang lalu, ketika manusia mulai hidup menetap, mulai mencangkul tanah dan bercocok tanam, saat itulah mulai berkembang berbagai macam seni dan budaya. Sebelumnya, manusia tinggal mengambil dari alam, berburu dan memetik buah-buahan. Sejak mulai bercocok tanam itu, waktu terbagi menjadi saat-saat giat bekerja dan saat-saat yang lebih santai. Di waktu giat bekerja bercocok tanam, pada awalnya muncullah seni pahat untuk membuat cangkul dari batu. Di waktu santai, mendengarkan semilir angin hingga muncullah seni suara. Selanjutnya, berbagai seni yang lainnya terus saja berkembang, terakhir seni sastra. Jadi, ketika manusia mulai mengolah tanah, budaya yang lain berkembang. Karena itulah petani adalah peletak dasar peradaban. Hal inilah yang disadari oleh para pendiri republik ini, sehingga masalah agraria harus dibenahi terlebih dahulu.
2. Saya menghargai usaha FKMA, yang menunjukkan ada perjuangan untuk menegakkan keadilan agraria. Perjuangan mencapai cita-cita yang besar seperti keadilan agraria, tidak bisa sebentar, tidak sehari dua hari saja, tidak sebulan dua bulan saja. Tapi perjuangan jangka panjang, ini harus disadari. Bagi suatu perjuangan gagasan, tidak ada perjalanan yang berhenti. Oleh karenanya diperlukan ketahanan, tidak cepat lelah, tidak cepat melemah. Bung Karno mengutip kata-kata seorang filosof, the true joy in life, is to align one self with some mighty purpose. Kebahagiaan hidup yang sejati adalah menyatukan diri dengan suatu cita-cita yang besar. Kemudian, if you try to do great things, the shadow of their greatness partly falls upon you also. Jika kau mencoba untuk berbuat sesuatu yang besar, maka bayangan kebesarannya sebagian akan jatuh kepadamu juga. Tapi ini memerlukan pengorbanan. Maka, dalam perjuangan harus siap berkorban, apakah korban harta sampai berkorban nyawa. Kesadaran untuk mau berkorban itu yang paling penting. Dan dalam perjuangan yang besar, tidak ada pengorbanan yang menjadi percuma!
3. Perjalanan hidup manusia, apakah sebagai individu atau bangsa, senantiasa mengalami pasang surut. Saat ini harus disadari, sebagai bangsa kita sedang surut. Tugas terberat saat ini ada di pundak generasi muda, bagaimana membuat bangsa ini bangkit lagi. Manusia yang tidak pernah jatuh, bukanlah manusia yang besar. Tapi manusia yang seringkali jatuh, tapi selalu bangkit kembali, itu baru manusia besar. Bangsa juga begitu. Bangsa yang tidak pernah jatuh bukanlah bangsa yang besar. Tapi yang selalu bangkit dari setiap kejatuhannya, itulah bangsa yang besar.
4. Dalam pengamatan saya, saat ini organisasi-organisasi sosial-masyarakat semakin mudah dipecah-belah. Berbeda sedikit saja membuat pecah, terbelah. Padahal konflik itu selalu ada, konflik internal antar individu, suasana persaingan, dan sebagainya. Sepanjang konflik itu bukan konflik tentang prinsip, kita boleh mengutip istilah Bung Hatta, “Dengan hati yang panas, tapi kepala tetap dingin”. Apa yang prinsip itu? Menyangkut ideologi, yakni cita-cita besar yang ingin dicapai dari keyakinan paling mendasar. Tapi jika konflik hanya dikarenakan masalah iri hati, persaingan prestasi, gaya dan sentimen pribadi, dan sebagainya yang seperti itu, semuanya ini belum pantas disebut pejuang.
5. Jangan iri melihat saudara yang jaya, jangan mengejek melihat saudara sengsara. Khususnya untuk yang sengsara, semestinya dibantu, bukan malah ditinggalkan. Orang yang sengsara, biasanya menjadi serba salah. Begitu pula bangsa ini, kini sedang dilanda sengsara sehingga menjadi serba salah. Janganlah bangsa ini ditinggalkan. Cinta patriotik atas bangsa dan tanah-air harus dipupuk. Jangan ekslusif, sehingga merasa benar atau menonjol sendiri. Sebagai forum komunikasi, FKMA mengandaikan semangat untuk saling berbagi dan menyambung rasa. Bung Karno berkata, “Macht aanwending!“. Menyatukan kekuatan!
6. Organisasi yang kuat, pimpinannya mestinya satu. Saat ini, dengan kedok demokrasi, pimpinan bisa menjadi banyak. Padahal dengan banyaknya pemimpin, membuat organisasi justru menjadi tidak solid, menjadi lemah, bahkan plin-plan. Kita banyak terkecoh dengan istilah “demokrasi”. Mengutip Rosseau, demokrasi dalam makna kebebasannya, selalu bersifat ada batasnya. Kebebasan itu terbagi dua, kebebasan alamiah dan kebebasan sosial. Kebebasan alamiah, dikendalai oleh kemampuan alamiah. Misalnya, ada pohon mangga, setiap orang bebas memetik buahnya. Namun, orang yang pendek akan lebih terbatasi kemampuan alamiahnya memetik mangga, dibanding orang yang bertubuh tinggi. Kebebasan sosial, dikendalai oleh kepentingan bersama (yang di zaman orde baru disebut “kepentingan umum”). Dalam kepentingan bersama, orang menilai dirinya melalui kaca mata orang lain. Dari sinilah bisa muncul kepentingan bersama. Dan bukan menilai orang lain dari kaca mata dirinya sendiri, yang memunculkan egoisme, mementingkan diri sendiri.
7. Maka dasar demokrasi sesungguhnya adalah permusyawarahan. Melalui musyawarah, ditentukan kepemimpinan dan teknis pemilihan pemimpin tersebut yang disepakati bersama, dengan dasar semangat tadi, menilai diri melalui kaca mata orang lain. Dalam memilih pemimpin ada pepatah, “Suatu masyarakat selalu memilih pemimpin yang sesuai dengan masyarakatnya itu sendiri. Sehingga pribadi pemimpin, adalah cermin dari pribadi masyarakatnya sendiri”. Maka bisa dipahami, jika pemimpin yang dipilih itu bodoh, maka itu cermin masyarakatnya sendiri yang telah memilihnya. Jika pemimpinnya koruptor, suka pamer, sibuk membangun citra diri sendiri, tidak menyelesaikan karut-marut bangsanya, menjadi boneka kepentingan sepihak, semua itu adalah cerminan dari masyarakatnya sendiri yang telah memilihnya. Memang sudah pantaslah setiap masyarakat dengan pemimpinnya.
Kemudian sebagai tambahan: sejak orde baru, “kepentingan umum” (termasuk juga semangat gotong royong) dimanipulasi sedemikian rupa. Apa yang disebut kepentingan umum seakan-akan menyangkut semua fasilitas untuk umum. Padahal, tidak semua fasilitas umum, benar-benar untuk umum. Misalnya, sekolah unggulan hanya orang-orang kaya yang bisa mendaftarkan anaknya di sekolah ini. Kemudian jalan tol, hanya orang bermobil yang bisa lewat disini, pun dengan bayaran. Pasar, bisa menjadi kepentingan umum, namun saat ini belum tentu juga. Apalagi pabrik, saat ini semakin tidak mencerminkan kepentingan umum. Suatu dasar dari kepentingan umum yang dilupakan adalah, bahwa kepentingan umum tidak boleh mengandung unsur bisnis. Jika sudah mengandung unsur tersebut, maka bukanlah kepentingan umum.
Terakhir. Hari ini, semoga saja orang-orang sudah semakin sadar akan krisis yang semakin ruwet. Sejak tahun 1980-an, sudah beberapa kali saya ungkapkan, jika berbagai krisis dalam masyarakat tak juga dibenahi, mengutip perkiraan Mahatma Gandhi, akan terjadi suatu situasi dimana masyarakatnya melakukan 7 dosa sosial, antara lain:
1. Politic without principle, politik tanpa prinsip. Seperti sekarang ini, politik dimana-mana hanya soal perebutan kursi, kuasa dan uang.
2. Wealth without work, kemakmuran tanpa kerja. Saat ini walau ada KPK, tapi korupsi justru semakin menggurita saja.
3. Commerce without morality, dagang tanpa moralitas. Ini sudah dosa turunan.
4. Education without character, pendidikan tanpa budi pekerti.
5. Pleasure without conciousness. Narkoba di mana-mana.
6. Science without humanity, pengetahuan tanpa kemanusiaan. Seharusnya, mengutip Sajogyo yang selalu menekankan, “Ilmiah tapi harus manusiawi!”.
7. Worship without sacrifice. Penyerahan tanpa pengorbanan. Ini yang paling parah saat ini.
Ketujuh dosa sosial ini sedang berlangsung saat ini dalam bangsa kita, bahkan jika diteliti lagi, mungkin lebih dari tujuh ini saja.
Demikian dari saya. Semoga pertemuan FKMA selama tiga hari di Jogjakarta ini, bisa memupuk kebersamaan, kekompakan, keyakinan pada perjuangan, dan ketahanan untuk selalu siap berkorban dalam perjalanan yang panjang.

Friday, February 22, 2013

Kebumen: TNI AD versus Petani

 | 

Berikut hasil wawancara selamatkanbumi dengan salah seorang warga pesisir Urut Sewu, Kebumen, pada tanggal 20 April 2013, yang saat ini sedang mengalami konflik dengan TNI AD terkait rencana pembangunan “Mega Proyek Jalan Lintas Selatan Jawa” dan perluasan industri tambang pasir besi:
Sejak kapan perlawanan rakyat Urut Sewu dimulai?
Sejarah perlawanan di Urut Sewu, Kebumen, lahir sejak tahun 1999. Lawannya adalah TNI. Muncul lagi dan menguat pada tahun 2006/2007 saat lahirnya isu Mega Proyek Jalan Lintas Selatan Jawa (JLS). Terkait dengan mega proyek tersebut, masyarakat oleh Pemkab dan TNI dianggap menempati tanah jalan negara, bukan di atas tanahnya sendiri. Secara sepihak karena dianggap menempati tanah negara, maka negara tidak perlu melakukan pembebasan tanah atau ganti rugi terhadap masyarakat untuk membangun mega proyek tersebut. Hal inilah yang terus membuat situasi semakin meruncing.
Bisa dijelaskan lebih rinci seperti apa konfliknya?
Pada tahun 2007, TNI AD menyatakan bahwa dasar patok 1000 meter dari bibir pantai merupakan milik TNI AD. Lalu, PANGDAM meminta ganti rugi kepada pemerintahan daerah Jawa Tengah terkait rencana pembangunan mega proyek JLS tersebut. Padahal jelas, tanah tersebut adalah tanah milik warga yang di klaim milik TNI. Selanjutnya, pada tahun 2008, muncul skenario besar di kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen untuk menjadikan Mirit sebagai kawasan pertambangan pasir besi. Di dalamnya juga terdapat tanah warga. Melalui Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah, dinyatakan bahwa sepanjang radius 1 kilo meter dari laut, tidak ada kegiatan lain selain TNI dan tidak bangunan lain selain bangunan milik TNI. Padahal tanah di sepanjang pesisir pantai sepenuhnya adalah milik rakyat. Buktinya terdapat pemakaman umum, yang umurnya sudah sangat tua. Jadi dari dulu, wilayah pesisir sudah ditempati oleh warga, bukan TNI.
Seperti apa perlawanan yang dibangun oleh warga?
Perlawanan demi perlawanan dilakukan dalam berbagai bentuk. Demonstrasi, pengajian, dan lain-lain. Namun dalam perjalannnya, perlawanan kami juga dihadapkan dengan kekuatan milisi sipil. Munculnya milisi sipil yang mengadu domba warga, mendorong warga mendirikan Forum Perjuangan Petani Kebumen Selatan (FPPKS), Laskar Urut Sewu, Serikat Remaja Urut Sewu dan Urut Sewu Bersatu. Pendirian organisasi ini bertujuan untuk melawan milisi sipil yang dibackup oleh TNI. Pada tahun 2011 terjadi bentrokan dan penembakan terhadap warga di kecamatan Bulus Pesantren oleh TNI karena warga menolak pertambangan dan klaim sepihak TNI atas tanah warga. Hal ini bisa menjadi perbandingan dengan daerah-daerah lain yang sedang menghadapi kasus yang sama, khususnya kawan-kawan petani di seluruh pesisir selatan Jawa. TNI yang secara sepihak mengklaim bahwa tanah rakyat adalah milik TNI merupakan modus untuk memuluskan pertambangan.
Lalu, bagaimana dengan rencana ke depan?
Tidak ada kata lain selain melawan! Apalagi alat mereka banyak sekali; tentara, polisi dan preman (milisi sipil).

Thursday, February 21, 2013

Merawat Nafas Panjang Perjuangan Agraria: Risalah Kongres II FKMA

oleh: Udin Choirudin, relawan solidaritas FKMA

TAK BANYAK ORANG, baik aktivis kiri maupun kaum intelektual pembela keadilan agraria, mungkin pernah dengar namanya, alih-alih mengenalnya. Mukhlis, petani muda Desa Rengas, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, adalah salah satu korban penembakan Brimob 4 Desember 2009 lalu. Jum'at berdarah itu, ia bersama ratusan warga Rengas sedang pertahankan pendudukan lahan yang telah dirampas PT. PN VII. Jarinya tertembus timah panas. Keningnya dihantam peluru karet. Jari manis kanannya kini lebih pendek dari ukuran normal.

Mukhlis mengenang, "Saat itu saya berangkat mandi untuk siap-siap shalat Jum'at. Ibu bilang, tak usah ikut-ikutan (pertahankan pendudukan lahan), masih kecil, nanti tertembak." Saat itu, Mukhlis berusia 23 tahun. "Tetapi saya ikut berjuang bukan atas ajakan siapa-siapa. Itu panggilan nurani," lanjutnya sambil mendekapkan telapak tangan ke dada.

Sejak 1982, ribuan hektar lahan perkebunan di kawasan Rengas dan sekitarnya yang telah puluhan tahun digarap warga untuk berladang secara turun-temurun, diambil alih oleh PT. PN VII (dulu PTP. XI. XXII) untuk ditanami tebu guna memasok Pabrik Gula Cinta Manis. Salah satu ratusan cerita penyerobotan lahan oleh korporasi maupun negara Orde Baru secara paksa yang dibarengi tindakan-tindakan intimidasi, penganiayaan, kekerasan lain, dan ganti rugi yang tidak transparan. Lahan warga Rengas saat itu diberi ganti rugi sebesar Rp150.000 perhektare atau Rp15 per meter persegi. "Orang tua kami terpaksa berladang di kabupaten lain. Dengan lahan harus sewa," kenang Mukhlis.

Tiga tahun setelah Mukhlis serta puluhan warga lainnya luka-luka karena kekerasan aparat maupun preman bayaran, giliran Angga menjadi martir. 27 Juli 2012, Jum'at berdarah kembali berulang, bocah berusia dua belas tahun itu menjadi tumbal kongkangan bedil Brimob yang menyisir Desa Limbang Jaya, Ogan Ilir. Baik Rengas maupun Limbang Jaya, kedua warga desa ini sudah lama perjuangkan hak mereka atas lahan yang telah dirampas oleh PT. PN VII Cinta Manis. Dan aparat selalu merespon perjuangan warga dengan intimidasi hingga penembakan.

Kisah pilu itu toh tak menyurutkan ikhtiar Mukhlis dan warganya untuk terus berjuang menuntut hak. Bersama dua petani lain dari Rengas, Mukhlis mewakili warganya hadiri Kongres II Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) di Pondok Pemuda Ambarbinangun, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, 8-10 Februai lalu, di mana saya terlibat sebagai relawan pembantu teknis penyelenggaraannya.

Sore hari ketika baru saja tiba di lokasi Kongres, Adi, rekan Mukhlis dari Rengas, bercerita, bahwa mereka sangat antusias berkesempatan berbagi pengalaman seputar persoalan-persoalan krusial yang dihadapi untuk menjalin solidaritas dengan para petani dari berbagai daerah dalam wadah FKMA ini.

***
CERITA BERMULA. 1 April 2011, Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo peringati lima tahun perjuangannya dalam menolak tambang besi di pesisir selatan di mana wilayah pertambangannya bakal menggusur pertanian warga, dengan klaim Pakualaman Ground (tanah keraton). Acara itu dihadiri oleh Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) dan Forum Solidaritas Warga Wotgalih (Foswot) Lumajang yang juga sedang berjuang menolak tambang besi. Pertemuan ini lantas semakin mempererat komunikasi ketiga komunitas ini dalam agenda-agenda strategis perjuangan mereka, serta memperluas jaringan di seluruh Jawa.

20-22 Desember 2011, terselenggaralah pertemuan petani di Kulon Progo yang dihadiri sepuluh komunitas akar rumput, antara lain dari Pati, Lumajang, Kebumen, Cilacap, Kulon Progo, Blitar, Banten, Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap dan korban Lumpur Lapindo Sidoarjo. Komunitas dari berbagai daerah ini sedang mengalami kasus agraria dalam pola yang nyaris sama di mana negara dan korporasi mengancam dan atau menyingkirkan warga dari ruang hidupnya. Dari pertemuan inilah terdeklarasikan FKMA. (Deklarasi FKMA 2011)

Sebelum Deklarasi, berbagai elemen tersebut berbagi pengalaman dan kasus yang sedang dihadapi, berdiskusi, memetakan aktor serta permasalahan-permasalahan yang dialami masing-masing komunitas, seperti isolasi kasus dan penciptaan wacana yang menguntungkan perusahaan, pemecahan warga oleh pihak luar yang mencari keuntungan pribadi di tengah konflik, hingga kriminalisasi petani, dalam skema besar kawinnya penguasa dan pengusaha untuk mengambil alih ruang hidup warga (agraria).

Forum ini terus membangun komunikasi dan konsolidasi agar terjalin solidaritas yang erat. Perluasan jaringan juga digalang, baik terhadap elemen outsider maupun kalangan sesama masyarakat agraris. Beriringan dengan semakin banyaknya letupan-letupan konflik agraria di seantero tanah air, FKMA lantas gelar kongresnya kedua. Selain dari perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Front Pemuda Rengas (FPR) Ogan Ilir, Kongres dihadiri oleh PPLP Kulon Progo; Sedulur Sikep, Pati; Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Parangtritis, Bantul; Serikat Petani Blora Selatan, Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Blora; Kelompok Tani Berdikari Sumedang; Forum Nelayan (Fornel) dan Persatuan Masyarakat Balong (PMB) Jepara; Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (GRAPAD) Banten; Urutsewu Bersatu, Kebumen; Suara Korban Lumpur Lapindo/AL FAZ, Sidoarjo; Foswot Lumajang.
***
HARI PERTAMA KONGRES, Jum'at, 8 Februari adalah hari yang cukup berat. Belum rampung pemaparan kasus dan perkembangan mutakhirnya dari masing-masing komunitas, forum sempat terganggu dengan kehadiran belasan aparat intelejen dari Polri dan TNI. Setelah negosiasi, diskusi kembali berjalan lancar.

Satu poin penting yang dikemukakan dalam agenda Kongres II FKMA adalah kemandirian atau otonomi gerakan. "Menuju Gerakan Akar Rumput yang Mandiri" dipilih sebagai tajuk Kongres. Di satu sisi, FKMA bukanlah wadah penyeragaman gerakan. Pelbagai strategi perjuangan masing-masing komunitas sebisa mungkin dipertahankan. Karena setiap komunitas mengalami kasus spesifik masing-masing. Hanya saja, setelah diskusi panjang dan menguras pikiran maupun emosi selama dua hari, Forum menyepakati untuk berhati-hati terhadap pihak luar (outsider) yang turut membantu perjuangan, baik dari akademisi, LSM, ormas, organisasi mahasiswa, maupun elemen-elemen masyarakat sipil lain. Lebih-lebih, kepentingan partai politik yang kerap memanfaatkan gerakan akar rumput untuk kepentingan sempit-elitis, terutama jelang Pemilu 2014.

Poin penting ini tidak mengemuka begitu saja. Dalam diskusi, banyak pengalaman bagaimana masing-masing komunitas dimanfaatkan oleh pihak-pihak luar tersebut. Tidak hanya memanfatkan untuk kepentingan sempit mereka, para pihak luar juga kerap dirasa melemahkan gerakan, karena secara diam-diam berafiliasi dengan musuh gerakan. Hasilnya, mereka hanya memecah-belah solidaritas gerakan.

"Lantas, apakah berarti gerakan harus menghindari berjejaring dengan para pihak luar tersebut, terutama LSM dan akademisi?" Respon ini segera mengemuka, tidak hanya dalam rangkaian diskusi internal Forum, tetapi juga dari peserta diskusi publik hari terakhir Kongres.

Tidak. Di satu sisi, sekali lagi, FKMA bukanlah gerakan penyeragaman; di sisi lain, FKMA bukan juga gerakan yang mengeksklusifkan diri. Begitu kira-kira jawaban dari respon tersebut. Artinya, FKMA tetap butuh solidaritas dari berbagai elemen masyarakat yang ingin menguatkan gerakan.

"Silahkan bersolidaritas, tapi jangan intervensi!"

Poin penting lain adalah strategi menghadapi kekerasan aparat. Kampanye 'perlawanan tanpa kekerasan' semakin mengemuka seiring kerap sekali terjadinya bentrok fisik antara aparat dan warga dalam konflik agraria. Pemahaman akan kampanye ini pun dieksplorasi. Selama ini, petani sering disalahkan dalam bentrok-bentrok fisik tersebut, terutama lewat pemberitaan media-media besar mainstream.

Ketika warga memblokade jalan, kesannya sudah dianggap sebagai tindakan kekerasan. Tetapi, ketika aparat menembaki warga dianggap sebagai 'menjaga stabilitas keamanan. "Jadi, siapa sebenarnya yang melakukan kekerasan?"
***

MINGGU SIANG, 10 Februari, setelah diskusi publik yang dipantik oleh Mukhlis dari Ogan Ilir dan Linggo dari Sumedang, pernyataan sikap Kongres II FKMA dibacakan. Berdiri bersama empat belas orang, Sumanto dari PPLP Kulon Progo memimpin deklarasi.

Isi deklarasi disarikan dari rangkaian diskusi tiga hari Kongres. Wacana utama mekanisme penindasan terhadap warga, yakni penggusuran ruang hidup yang tak lepas dari skema bergandeng-mesranya korporasi dengan negara, baik melalui kerangka regulasi hingga tindakan kekerasan, semakin menjiwai isi deklarasi.

"Atas nama pembangunan, negara dan perusahaan semakin gencar mengambil alih tanah petani. Atas nama kesejahteraan, petani secara perlahan dan teratur diubah menjadi buruh cadangan. Atas nama kepentingan umum, ruang hidup petani dipersempit bahkan dihilangkan untuk memperkaya segelintir konglomerat. Atas nama kemajuan, petani dikelabuhi untuk melepas hak hidupnya, melepas tanahnya, melepas pekerjaannya, melepas jati dirinya, melepas kehormatan sebagai rakyat; sebagai manusia." (paragraf II deklarasi)

Setidaknya teridentifikasi enam kerangka regulasi yang dijadikan negara untuk membenarkan pelanggaran asas-asas keadilan, pengurasan kekayaan alam, dan pengusiran warga yang dianggap menghambat akumulasi kapital, yang termaktub dalam deklarasi, antara lain UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; UU Nomor 4 Tahun 200 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara; RUU Keamanan Nasional; PP Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Selanjutnya, deklarasi berisi butir-butir sebagai berikut:
  1. Melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan akibat kejahatan korporasi, negara dan persekongkolan keduanya dalam pengurasan sumber daya alam/agraria, yaitu:
    1. Menolak latihan TNI dan uji coba senjata berat oleh TNI/AD, pertambangan pasir besi di Kebumen.
    2. Menolak pertambangan pasir besi dan Jalur Lintas Selatan Jawa di Kulon Progo.
    3. Menolak pertambangan pasir besi dan PLTN, PLTU, di Bandungharjo dan Balong, Jepara.
    4. Menolak pertambangan karst dan pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Pati.
    5. Menolak privatisasi air tanah oleh Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPG) di Kradenan, privatisasi air oleh PT Gendhis Multi Manis di Bentolo, dan pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Blora.
    6. Menolak rencana pertambangan pasir besi di Wotgalih, dan menuntut penghentian pertambangan sepanjang pesisir selatan Lumajang.
    7. Menuntut pemulihan hak hidup sepenuhnya korban Lapindo dan bukan sekedar ganti rugi tanah dan bangunan dan penolakan pengeboran Lapindo di Sidoarjo.
    8. Menolak penggusuran oleh Pemerintah Kabupaten Bantul dengan dalih Pelarangan Pelacuran menurut Perda Nomor 5 Tahun 2007, di Parangtritis, Bantul.
    9. Menuntut pembubaran PT. PN VII Cinta Manis dan menolak keterlibatan TNI/Polri dan paramiliter (preman) dalam penanganan konflik agraria, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
    10. Menolak pembangunan pabrik Aqua Danone dan Pembangunan Proyek Geothermal di Padarincang, Banteng.
    11. Menolak pertambangan pasir di Ciamis dan Tasikmalaya.
  2. Menyerukan/mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk mendukung perjuangan gerakan akar rumput menuju gerakan yang mandiri.
  3. Memaksa pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi serta membebaskan petani dan pejuang hak-hak rakyat dari tahanan akibat konflik agraria.
  4. Memerintahkan kepada Presiden RI dan jajaran penyelenggara negara untuk mewujudkan hak-hak rakyat atas sumber daya agraria/ruang hidup.
  5. Menyerukan korporasi untuk menghentikan segala upaya perampasan/pengambilalihan lahan yang menjadi ruang hidup rakyat.
  6. Mengecam keberpihakan TNI/Polri dan paramiliter pada korporasi dan menolak aksi-aksi kekerasan TNI/Polri dan paramiliter dalam penanganan konflik sosial.
  7. Memerintahkan kepada segenap penyeleggara negara untuk tidak membuat atau mencabut kebijakan yang menjadi legitimasi bagi perampasan hak rakyat, terutama hak atas sumber daya agraria.
  8. Mengecam segala bentuk persekongkolan antar elemen masyarakat, seperti LSM, parpol, gerakan masahasiswa, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, institusi pendidikan/akademisi, media dan sebagainya yang melemahkan perjaungan gerakan akar rumput/rakyat dalam memperjuangkan keadilan agraria.
  9. Menyerukan solidaritas untuk kelompok-kelompok masyarakat yang terampas hak-haknya di seluruh dunia.
***


DEKLARASI itu mengisyaratkan hidupnya semangat merawat nafas perjuangan agraria. Selain sikap tegas yang diserukan dalam butir-butir tersebut, semangat itu terasa dalam aktifnya Mukhlis dan petani muda lain dalam FKMA. Sebagaimana diungkapkan Linggo dalam diskusi publik, gerakan otonomi agraria butuh para petani pejuang. Dalam diskusi  pun mengemuka semangat, bahwa untuk memperpanjang nafas perjuangan agraia, perlu banyak petani pejuang muda yang terlibat.

Semangat perjuangan agraria, petani pejuang, dan petani muda dihidupkan dalam Kongres kearena perjuangan agraria tidak lantas dimaknai akan rampung seandainya berbagai persoalan agraria yang konfliktual tersebut selesai. Terlepas dari siapapun yang menang, perjuangan agraria adalah soal kemandirian dan kedaulatan peradaban.

Dalam makalahnya yang ditulis untuk Kongres II FKMA, guru agraria Indonesia Gunawan Wiradi menyampaikan bahwa petani adalah peletak dasar peradaban. Untuk itu, perjuangan mencapai cita-cita keadilan agraria "tidak bisa sebentar, tidak sehari dua hari saja, tidak sebulan dua bulan saja. Tapi perjuangan jangka panjang, ini harus disadari."

Setelah mengutip tujuh dosa sosial ala Gandhi--politik tanpa prinsip, kemakmuran tanpa kerja, dagang tanpa moralitas, pendidikan tanpa budi pekerti, kesenangan tanpa kesadaran, pengetahuan tanpa kemanusian (seharusnya, mengutip Sajogyo, "Ilmiah tapi harus manusiawi!"), dan penyerahan tanpa pengorbanan--yang dinilainya tengah menjangkiti kehidupan kita, Gunawan Wiradi berhadap Kongres II FKMA bisa memupuk kebersamaan, kekompokan, keyakinan pada perjuangan, dan ketahanan untuk selalu siap berkorban dalam perjalanan yang panjang.

Jelang subuh sebelum diskusi publik hari terakhir Kongres, saya sempat ngobrol dengan Mukhlis. Ia ingin sekali berkunjung ke lokasi kawan-kawan yang hadir dalam Kongres agar mengetahui langsung kondisi persoalan agraria yang dihadapi. "Sayangnya belum bisa. Tapi saya ingin sekali. Nanti..."

Panjang umur solidaritas! Panjang umur perjuangan!

Wednesday, February 20, 2013

Petisi Kepada Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agrarian


[Document Transcript]

Surat  Terbuka   Forum  Indonesia  untuk  Keadilan  Agraria     kepada   Presiden  Republik  Indonesia   untuk  Penyelesaian  Konflik  Agraria      

Bapak  Presiden  yang  kami  hormati,    
Setelah   mengikuti   dengan   saksama   perkembangan   yang   terjadi   akhir-akhir   ini   terkait  dengan   konflik   agraria   di   berbagai   wilayah   kepulauan   Indonesia,   maka   kami   sebagai  pengajar,   peneliti   dan   pemerhati   studi   agraria   di   Indonesia   yang   bergabung   dalam  Forum   Indonesia   untuk   Keadilan   Agraria,   menyatakan   keprihatinan   yang   mendalam.  
Berdasarkan   kajian,   pengalaman   dan   pengamatan   kami   terhadap   persoalan   agraria,  kami sampaikan    pendapat  dan  usulan  kepada  Bapak, sebagaimana  butir-­butir  di  bawah  ini.
   
1. Pembukaan Undang-­undang Dasar 1945 menyatakan tujuan pembentukan Pemerintahan   Negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi   segenap   bangsa  Indonesia   dan   seluruh   tumpah   darah   Indonesia.   Berdasarkan   tujuan   tersebut, implementasi Pasal 33 ayat (3)   UUD 1945   sepenuhnya   menjadi   tanggung   jawab   negara.   Penguasaan   bumi, air dan kekayaan   alam yang terkandung didalamnya   adalah   untuk   sebesar-­besar   kemakmuran   rakyat   baik   untuk   generasi   saat   ini   maupun   masa   mendatang , yang   harus   dimaknai   ke   dalam   empat   prinsip:   (i)   kemanfaatan   dan   pemerataan   sumberdaya alam   bagi   rakyat;  
(ii)   perlindungan   atas   hak   azasi   manusia;  
(iii)   partisipasi   rakyat   dalam   menentukan   akses,   alokasi   dan   distribusi   sumberdaya   alam,   serta;  
(iv)   penghormatan terhadap  hak  rakyat  secara  turun-­temurun  dalam  memanfaatkan   sumberdaya  alam.
  
2. Fungsi   legislasi,   regulasi,   perencanaan,   dan   alokasi   pemanfaatan   serta   pengendalian pemanfaatan   ruang   dan   penguasaan   tanah   dan   sumberdaya   alam   oleh   negara   harus berlandaskan   pada   mandat   yang   diberikan   oleh   UUD   1945   yang  sudah  ditetapkan pada  angka  (1)  yaitu  untuk sebesar­besarnya  perlindungan   terhadap   hak­hak   bangsa   Indonesia,   termasuk   kelompok masyarakat   rentan,   yakni  masyarakat  hukum  adat, golongan  miskin,  perempuan,  petani  dan nelayan.
  
3. Pembangunan   ekonomi   yang   sehat   memerlukan   penataan   penguasaan   dan   pemanfaatan  tanah  dan  sumber  daya  alam  yang  adil  dan  berkelanjutan  sebagai   basis   penguatan ekonomi   rakyat.   Demikian   pula   diperlukan   partisipasi   masyarakat   secara   hakiki.   Untuk   mencapai   hal   tersebut,   diperlukan   kemauan   politik   yang   sungguh-­sungguh   dan   konsisten   serta   jaminan   perlindungan   hukum   yang   nyata   terhadap   kelompok   masyarakat   rentan,   utamanya   masyarakat   tak   bertanah   (tunakisma)   dan   tidak   memiliki   akses   terhadap   tanah   dan   sumberdaya   alam.  

4. Reformasi  hukum  dan  kebijakan  yang  komprehensif  yang  mengacu  pada  prinsip­ prinsip pembaruan   agraria   dan   pengelolaan   sumberdaya   alam   belum dilaksanakan.  
Empat   hal   mengindikasikan   situasi   ini:
 i)     adanya   beberapa   ketentuan   dalam   undang-undang  yang   bertentangan   dengan   UUD   1945;  ii)   adanya   ketidak­harmonisan   dan ketidaksinkronan diantara   peraturan   perundang­undangan  yang  mengatur  tentang  sumberdaya  alam  dan  lingkungan   hidup;  
 iii)   adanya   ketidak-­sinkronan   antara   peraturan   perundangan-­undangan   sumberdaya   alam   dan  lingkungan   dengan   peraturan   yang   mendukung   percepatan   pertumbuhan   ekonomi;  
 iv)   banyaknya   peraturan   daerah   yang   bersifat  eksploitatif  dan  bermotif  kepentingan  jangka pendek.  Sebagai  akibatnya,   keberlanjutan   pembangunan   Indonesia   terancam.   Bencana   lingkungan   dan   degradasi  sumber  daya  alam  meluas  ke  berbagai  wilayah  Indonesia.    

5. Kebijakan   dan   praktik   penerbitan   izin,   khususnya   bagi   usaha   skala   besar,   yang   ada   selama   ini   -di   satu   pihak- belum   mengindahkan   prinsip   hukum   dan   tata   kelola   yang   baik,   sarat   korupsi,   melampaui   daya   dukung   lingkungan,   tidak   mengakui  hak-­hak  dan  membatasi  akses  kelompok  masyarakat  rentan  utamanya   mereka   yang   tidak   bertanah   (tunakisma).  
Di   lain   pihak,   terdapat   konsentrasi   penguasaan   tanah   pada   segelintir   orang/badan   hukum   yang   mengakibatkan   lebarnya  kesenjangan  penguasaan  dan  pemilikan  tanah.  
Demikian  pula  terdapat   sejumlah   perjanjian   investasi   dan   perdagangan   bilateral   dan   multilateral   yang   berseberangan  dengan  semangat  keberlanjutan  sosial  dan  lingkungan  hidup.  

6. Masalah-masalah pada angka (4) dan (5) tersebut   menjadi   penyebab   muncul,   bereskalasi dan tidak terselesaikannya konflik agraria   serta   tidak   diatasinya   kerusakan   sumberdaya   alam   dan   lingkungan   hidup.   Penyelesaian   konflik   lebih   mengedepankan   penyelesaian   legal   formal   dengan   mengabaikan   keadilan   substantif.   Akibatnya,   konflik   agraria   justru   semakin   meningkat.
Sebagai   gambaran,   Badan   Pertanahan   Nasional   (BPN)   RI   menyatakan   ada   sekitar   8.000   konflik   pertanahan   yang   belum   terselesaikan.   Sawit   Watch   menyebutkan   adanya   sekitar   660   konflik   di   perkebunan   kelapa   sawit   dan   Koalisi   Rakyat   untuk   Keadilan   Perikanan   (KIARA)   menyebut   konflik   agraria   di   sektor   perikanan   sepanjang   2012   melibatkan   sedikitnya   60   ribu   nelayan.   Sementara   Konsorsium   Pembaruan  Agraria  (KPA)  menemukan  sekitar  1.700  konflik agraria,  mencakup kasus-­kasus perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Khusus di tahun 2012, KPA mencatat 156 petani ditahan tanpa proses hokum yang benar, 55 orang terluka dan dianiaya, 25 petani tertembak dan 3 orang   tewas   akibat   konflik   agraria.  

7. Konflik   agraria   semakin   tidak   terdeteksi   secara   dini   karena   belum   optimalnya   penanganan   pengaduan   konflik.   Di   samping   itu,   konflik   bereskalasi   karena   tindak   kekerasan   yang   diduga   dilakukan   oleh   aparat   keamanan   yang   seharusnya   berdiri   di   atas   semua   pihak,   tetapi   pada   umumnya   justru   melindungi   kepentingan   pemodal   dengan   cara   yang   patut   diduga   bekerja   sama   dengan   perusahaan-­perusahaan   besar   untuk   menguasai   tanah/sumber   daya   alam   yang diklaim  oleh  masyarakat  hukum  adat  atau  masyarakat  lokal  lain.  

8. Pembangunan   Indonesia   yang   berprinsip   pada   keseimbangan   pertumbuhan   ekonomi,   keadilan   sosial,   kesetaraan,   dan   pelestarian   fungsi   lingkungan   tidak   akan   mencapai   tujuannya jika   konflik   agraria   tidak   diselesaikan   atau   diselesaikan   hanya   dengan   cara   represif.   Untuk   mendukung   hal   tersebut   diperlukan   kemauan   politik   yang   kuat,   sungguh-­sungguh,   konsisten, progresif,   dan  memberikan  perlindungan  kepada  kelompok  rentan;  disertai  implementasi kebijakan yang   tepat   dengan   dukungan   akademisi,   masyarakat   madani,   dan   aparat  keamanan.  

9. Terkait  dengan  butir-butir  pandangan  di  atas,  kami  mengusulkan  kepada  Bapak   Presiden  hal-hal  berikut.
 A. Melaksanakan   seluruh   arah   kebijakan   dan   mandat   Ketetapan   MPR   RI   No.   IX/MPR/2001   tentang   Pembaruan   Agraria   dan   Pengelolaan   Sumberdaya   Alam   secara   konsisten   dan   memantau   pelaksanaannya   secara   transparan,   berkelanjutan   dan   akuntabel   dengan   membentuk   jaringan   pemantau   antar   pemangku  kepentingan.  
B. Mengupayakan   penyelesaian   konflik   agraria   secara   berkesinambungan,   intensif  dan  terkoordinasi  dengan  cara:
    
1). Membentuk  lembaga  independen  dengan  tugas:  
a) Mendaftar,   mengadministrasikan   dan   memverifikasi   kasuskasus   konflik   agraria   yang   diadukan   oleh   kelompok   masyarakat   secara   kolektif;  
b) Melakukan   audit   atas   ijin-­ijin   pemanfaatan   tanah   dan   sumberdaya   alam   yang   diberikan   Kementerian,   Lembaga   dan   Pemerintah   Daerah   yang  menimbulkan  konflik-­konflik  agraria;    
c) Membuat   dan   menyampaikan   rekomendasi   penyelesaian   kasus kasus   konflik   agraria   tersebut   kepada   para   pihak   yang   terlibat   di   dalam  konflik;  
d) Memfasilitasi   penyelesaian   konflik   melalui   mediasi,   negosiasi   dan   arbitrasi;  
e) Melakukan   sosialisasi,   koordinasi   dan   kerjasama   dengan   kementerian  dan  lembaga pemerintah  non­Kementerian.  

2). Mendorong  Kepala  Pemerintah  Daerah  Provinsi/Kabupaten/Kota  untuk:    
a) Identifikasi   dan   inventarisasi   konflik­konflik   yang   sedang   berlangsung   serta   deteksi   dini   potensi   konflik   pengelolaan   sumberdaya  alam;    
b) Fasilitasi   proses-­proses   penyelesaian   konflik   agraria   yang   berlangsung  di  daerah  masing­masing;  
c) Identifikasi   dan   verifikasi   masyarakat   hukum   adat   dalam   rangka   pengakuan  terhadap  keberadaan  masyarakat  hukum  adat.
  
3. Merevisi   Instruksi   Presiden   (Inpres)   No.2   Tahun   2013   tentang   Penanganan   Gangguan   Keamanan   Dalam   Negeri   karena:  
(i)   Inpres   ini   lebih  fokus  pada  penyelesaian  konflik  yang  timbul  di  permukaan  melalui   pendekatan   keamanan   tetapi   tidak   mengupayakan   tindakan   korektif   terhadap   akar   konfliknya; (ii)   Inpres   ini   tidak   dapat   digunakan   untuk   menyelesaikan  konflik  agraria  karena  tidak melibatkan  menteri-­menteri   terkait  dengan  pengelolaan  sumber  daya  alam.  

4. Memerintahkan  Kapolri  dan  Panglima  TNI  untuk:      
a) Mengusut   tuntas   tindak   kekerasan   yang   dilakukan   oleh   aparat   Polri/TNI   terhadap   masyarakat   dan   aktivis   LSM   terkait   dengan   konflik-­konflik  agraria;  
b) Menghentikan  penggunaan  cara-­cara  kekerasan  oleh  aparat;  dan  
c) Membebaskan   aktivis   LSM warga   masyarakat   hukum   adat,   petani dan   nelayan   yang   saat   ini ditangkap     dan   ditahan   oleh   aparat   kepolisian.    

C. Menugaskan   Menteri   Hukum   dan   Hak   Asasi   Manusia   untuk   memimpin   pengkajian   ulang   terhadap   seluruh   peraturan   perundang-­undangan   di   bidang   agraria   dan   pengelolaan   sumberdaya   alam   yang   tumpang   tindih   dan   bertentangan   satu   sama   lain,   dengan   melibatkan   akademisi   dan   masyarakat   madani.   Pengkajian   ulang   dilakukan   berlandaskan   prinsip-­prinsip   Pembaruan   Agraria   dan   Pengelolaan   Sumberdaya   Alam.   Dalam   rangka   pengkajian   ulang   perlu  diterbitkan  Peraturan  Presiden  sebagai  landasan  moratorium  penyusunan   peraturan   perundangan-­undangan   di   bidang   agraria   dan   sumberdaya   alam.   Menteri   Hukum   dan   Hak   Asasi   Manusia   mengkoordinasikan   revisi   peraturan   perundang-­undangan  yang  dimaksud.
 
D. Menugaskan  kepada  Pimpinan  kementerian  terkait  dengan  sumberdaya  agraria   dan  Badan  Pertanahan  Nasional  untuk:  
a) Melakukan  moratorium  pemberian  ijin  pemanfaatan  sumberdaya  alam  atau   hak  atas  tanah  selama  dilakukan  audit  oleh  lembaga  independen;  
b) Mengembangkan   dan   melaksanakan   kebijakan   yang   dapat   mencegah   dampak  negatif  terhadap  lingkungan  hidup  dan  konflik  agraria;  
c) Melaksanakan   Undang-­Undang   Nomor     14   Tahun   2008   tentang   Keterbukaan   Informasi  Publik.  

E. Mendorong  Kementerian  terkait  dan  Badan  Pertanahan  Nasional  untuk:  
a) Mendukung   percepatan   pembentukan   Undang-­Undang   yang   mengatur   tentang  Pengakuan dan  Perlindungan  Masyarakat  Hukum  Adat;  
b) Mendukung   Pemerintah   Provinsi/Kabupaten/Kota   melakukan   proses   identifikasi  dan  verifikasi  keberadaan  masyarakat  hukum  adat.  

F. Menugaskan kepada Menteri Kehutanan  untuk segera menyelesaikan konflik pada desa-desa  di dalam,  berbatasan  dan  sekitar  kawasan  hutan.  

G. Membentuk  kementerian  yang  bertanggung  jawab  mengkoordinasikan  kebijakan   dan   implementasi   kebijakan   di   bidang   pertanahan,   sumberdaya   alam   dan   lingkungan  hidup.        

Jakarta  7  Februari  2013    

Forum  Indonesia  untuk  Keadilan  Agraria     (nama-­nama  terlampir)             
Lampiran  nama-­nama:    

1. Prof.  Dr.  Sediono  M.P.  Tjondronegoro  (Sajogyo  Institute)    
2. Prof.  Dr.  Gunawan  Wiradi  (Sajogyo  Institute)  
3. Prof.  Dr.  Maria  S.W.  Sumardjono,  S.H.,  MCL,  MPA  (Universitas  Gadjah  Mada)  
4. Prof.  Arie  Sukanti  Hutagalung,  S.H.,  MLI  (Universitas  Indonesia)  
5. Prof.  Soetandyo  Wignjosoebroto,  MPA  (Universitas  Airlangga)  
6. Prof.  Dr.  Nurhasan  Ismail,  S.H.,  M.Si  (Universitas  Gadjah  Mada)  
7. Prof.  Dr.  Ir.  Hariadi  Kartodihardjo  (Institut  Pertanian  Bogor)  
8. Prof.  Dr.  Suhariningsih,  S.H.,  SU  (Universitas  Brawijaya)  
9. Dr.  Ida  Nurlinda,  S.H.,  M.H.  (Universitas  Padjadjaran)  
10. Dr.  Soeryo  Adiwibowo  (Institut  Pertanian  Bogor)  
11. Prof.  Dr.  Hj.  Farida  Patittingi,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Hasanuddin)  
12. Prof.  Dr.  Ronald  Z.  Titahelu,  S.H.,  M.S  (Universitas  Pattimura)  
13. Prof.  Dra.  M.A.  Yunita.  T.  Winarto,  M.S.,  M.Sc,  Ph.D  (Universitas  Indonesia)  
14. Prof.  Dr.  Endriatmo  Sutarto  (Institut  Pertanian  Bogor)  
15. Prof.  Dr.  Muhammad  Bakri,  S.H.,  M.S  (Universitas  Brawijaya)  
16. Prof.  Dr.  Ir.  Joenil  Kahar  (Institut  Teknologi  Nasional  Bandung)  
17. Prof.  Dr.  Ir.  Udiansyah,  M.S  (Universitas  Lambung  Mangkurat)  
18. Myrna  A.  Safitri,  Ph.D  (Universitas  Presiden)  
19. Dr.  Kurnia  Warman,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Andalas)  
20. Dr.  Abdul  Wahib  Situmorang  (Universitas  Sriwijaya)  
21. Dr.  Taqwaddin  Husin,  S.H.,  S.E.,  M.S  (Universitas  Syiah  Kuala)  
22. Noer  Fauzi  Rachman,  Ph.D  (Sajogyo  Institute)  
23. Dr.  Satyawan  Sunito  (Institut  Pertanian  Bogor)  
24. Mia  Siscawati,  Ph.D  (Sajogyo  Institute)  
25. Joeni  Arianto  Kurniawan,  S.H.,  M.A  (Universitas  Airlangga)  
26. P.  Donny  Danardono,  S.H.,  M.A  (Unika  Soegijapranata)  
27. Awaluddin  Marwan,  S.H.,  M.H.,  M.A  (Universitas  Diponegoro)  
28. Feri  Amsari,  S.H.,  M.H  (Universitas  Andalas)  
29. Yance  Arizona,  S.H.  M.H  (Epistema  Institute)  
30. Mumu  Muhajir,  S.H  (Epistema  Institute]  
31. R.  Herlambang  Perdana  Wiratraman,  S.H.,  M.A  (Universitas  Airlangga)  
32. Lilis  Mulyani,  S.H.,  LL.M  (Lembaga  Ilmu  Pengetahuan  Indonesia)  
33. Dr.  Herry  Yogaswara,  M.A  (Lembaga  Ilmu  Pengetahuan  Indonesia)  
34. Dr.  Abdul  Aziz,  SR,  M.Si  (Center  for  Election  and  Political  Party,  FISIP  UI)  
35. Andiko,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  HuMa)  
36. Feby  Ivalerina  Kartikasari,  S.H.,  LL.M  (Unika  Parahyangan)  
37. Deni  Bram,  S.H.,  M.H.  (Universitas  Pancasila)  
38. Tristam  P.  Moeliono,  Ph.D  (Unika  Parahyangan)  
39. Armen  Yasir,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Lampung)    
40. Maret  Priyanta,  S.H.,  M.H  (Universitas  Padjadjaran)  
41. Hengki  Andora,  SH.,  LL.M  (Universitas  Andalas)  
42. Dr.  Christine  Wulandari  (Universitas  Lampung)  
43. A.  Joni  Minulyo,  S.H.,  M.H  (Unika  Parahyangan)  
44. Dr.  Cornelius  Tangkere,  S.H.,  M.H  (Universitas  Sam  Ratulangi)  
45. Rosnidar  Sembiring,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Sumatera  Utara)  
46. Dr.  Shidarta,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Bina  Nusantara)  
47. Dr.  Hufron,  S.H.,  M.H  (Pusat  Studi  Hukum  dan  Desentralisasi)       
48. Ir.  H.  Niel  Makinuddin,  M.A  (Pemerhati  Sosial  dan  Lingkungan  Kaltim)    
49. Kussaritano,  S.Th,  M.Th  (Peneliti,  Mitra  LH  Kalimantan  Tengah)  
50. Oki  Hajainsyah  Wahab,  S.IP,  M.H  (PDIH  Universitas  Diponegoro)  
51. Dr.  Tisnanta,  S.H.,  M.H  (Universitas  Lampung)  
52. Rudy,  S.H.,  LL.M,  LL.D  (Universitas  Lampung)  
53. Ade  Arif  Firmansyah,  S.H.,  M.H  (Universitas  Lampung)  
54. F.X.  Sumardja,  S.H.,  M.H  (Universitas  Lampung)  
55. Munafrizal  Manan,  S.H.,  S.Sos,  M.Si,  M.IP  (Universitas  Al-­Azhar  Indonesia)  
56. Praja  Wiguna,  S.Sos  (Peneliti,  Yabima  Indonesia)  
57. Asep  Yunan  Firdaus,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  Epistema  Institute)  
58. Siti  Rakhma  Mary  Herwati,  S.H.,  M.Si  (Peneliti,  HuMa)  
59. Abidah  Billah  Setyowati,  M.A  (PhD  Candidate,  Rutgers  University)  
60. Drs.  R.  Yando  Zakaria  (Pengajar  tamu,  UGM)  
61. Meifita  Handayani  (Peneliti  IRE)  
62. Ir.  Didin  Suryadin  (Peneliti,  HuMa)  
63. Dr.  Ridho  Taqwa  (Universitas  Sriwijaya)  
64. Ir.  Reny  Juita,  M.Sc  (Peneliti  independen)  
65. Erwin  Dwi  Kristianto,  S.H  (PMLP,  Unika  Soegijapranata)  
66. Luh  Rina  Apriani,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
67. Darmawan  Triwibowo,  S.P.,  M.Sc,  M.A  (Perkumpulan  Prakarsa)  
68. Ir.  Zaima  Mufarini,  M.Si  (Pascasarjana  UIN  Syarif  Hidayatullah)  
69. Dr.  Pitojo  Budiono  (Universitas  Lampung)  
70. Rudi  Yusuf  Natamihardja,  S.H.,  DEA  (Universitas  Lampung)  
71. M.  Harya  Ramdhoni,  S.IP,  M.A  (Universitas  Lampung)  
72. Drs.  Hertanto,  M.Si  (Universitas  Lampung)  
73. Imam  Koeswahyono,S.H.,MH  (Universitas  Brawijaya)  
74. Herlindah,  S.H.,  M.Kn.  (Universitas  Brawijaya)  
75. M.  Hamidi  Masykur,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Brawijaya)  
76. Amelia  Sri  Kusuma  Dewi,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Brawijaya)  
77. Fachrizal  Affandi,  S.Psi,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
78. Bambang  Pratama,  SH.,  M.H  (Universitas  Bina  Nusantara)  
79. Dr.  Ir.  Suporaharjo,  M.Si  (Peneliti  LATIN)  
80. Yunety  Tarigan,  S.E.,  M.Si  (Peneliti  independen)  
81. Restaria  F.  Hutabarat,  S.H.,  M.A  (Universitas  Presiden)  
82. Nurul  Firmansyah,  S.H.,  M.H  (Peneliti  Q-­Bar)  
 83. Airlangga  Pribadi,  S.IP,  M.A  (Universitas  Airlangga)  
84. Maria  Francisca,  S.H.,  S.E,  M.Kn  (Universitas  Presiden)  
85. Jomi  Suhendri,  S.H.,  M.H  (Universitas  Ekasakti)  
86. Dr.  M.  Muhdar,  S.H.,  M.Hum  (Peneliti,  Prakarsa  Borneo)  
87. M.  Nasir,  S.H.,  M.H  (Universitas  Balikpapan)  
88. Rosdiana,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  Prakarsa  Borneo)  
89. Dr.  Iwan  Permadi,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
90. Rahmina,  S.H.  (Peneliti,  Prakarsa  Borneo)  
91. Yamin,  S.H.,  S.U.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
92. Linda  Y.  Sulistiawati,  S.H.,  LL.M  (PhD  Candidate,  University  of  Washington)  
93. Gus  Yakoeb  Widodo,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pekalongan)  
94. Dr.  Firman  Muntaqo,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Sriwijaya)  
95. Dr.  Dominikus  Rato,  S.H.,  M.Si  (Universitas  Negeri  Jember)  
96. Ngesti  Dwi  Prasetyo,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
97. Arsa  Ria  Casmi,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
98. Aan  Eko  Widiarto,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
99. Dr.  Rachmad  Safa’at,  S.H.,  M.Si  (Universitas  Brawijaya)  
100. Yusdianto,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  PKKPUU)  
101. Farhan,  S.H.  (Peneliti  Forum  Petani  Aryo  Blitar)  
102. Dr.  Semiarto  Aji  Purwanto  (Universitas  Indonesia)  
103. Dr.  Arif  Satria  (Institut  Pertanian  Bogor)  
104. Dr.  Kotan  Y.  Stefanus,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Nusa  Cendana)  
105. Ahmad  Nashih  Luthfi,  M.A  (Sekolah  Tinggi  Pertanahan  Nasional)  
106. Eko  Cahyono,  M.Si  (Sajogyo  Institute)  
107. Dr.  Ir.  Rilus  A.  Kinseng,  M.A  (Institut  Pertanian  Bogor)  
108. Dr.  Setia  P.  Lenggono  (Universitas  Widya  Gama  Mahakam/LPPM  IPB)  
109. Siti  Fikriyah  Khuriyati,  S.H.,  M.Si  (Lapera  Indonesia)    
110. Magdalena  Triwarmiyati  D.W.,  S.S.,  M.Si  (Unika  Atma  Jaya  Jakarta)  
111. M.  Nazir,  M.A  (Sekolah  Tinggi  Pertanahan  Nasional)  
112. Dr.  Oloan  Sitorus,  S.H.,  M.S  (Sekolah  Tinggi  Pertanahan  Nasional)  
113. Bayu  Eka  Yulian,  S.P  (Institut  Pertanian  Bogor)  
114. Prayekti   Muharjanti,   S.H.,   M.Sc   (Peneliti,   Indonesian   Centre   for   Environmental   Law)  
115. Nurul  Widyaningrum,  M.S  (Akatiga)  
116. Dr.  Hermansyah  (Universitas  Tanjungpura)  
117. Rina  Mardiana,  S.P.,  M.Si  (Institut  Pertanian  Bogor)  
118. Dr.  Ir.  Bramasto  Nugroho,  M.S  (Institut  Pertanian  Bogor)  
119. Dr.  Stefanus  Laksanto  Utomo,  S.H.,  M.H  (Universitas  Sahid)  
120. Dr.  Endang  Pandamdari  S.H.,  M.H.,M.Kn  (Universitas  Trisakti)  
121. Irene  Eka  Sihombing,  S.H.,M.H.,  M.Kn  (Universitas  Trisakti)  
122. Suparjo  Suyadi,  S.H.,M.H  (Universitas  Indonesia)  
123. Hendriani  Parwitasari,  S.H.,M.Kn  (Universitas  Indonesia)  
124. Marlisa  Qadarini,  S.H.,  M.H  (Universitas  Indonesia)  
125. Rafael  Edy  Bosko,  S.H.,  LL.M  (Universitas  Gadjah  Mada)  
126. M.  Riza  Damanik,  S.T.,  M.Si  (Indonesia  for  Global  Justice)  
127. Eko  Indrayadi  (Peneliti  independen)  
128. Idham  Arsyad,  S.Ag  (Mahasiswa  Pascasarjana  IPB)  
129. Ir.  Firman  Hidayat,  M.T  (Mahasiswa  Pascasarjana  IPB)  
130. Agung  Wardana,  S.H.,  LL.M  (Undiknas)  
131. Albertus  Hadi  Pramono,  M.A  (Sajogyo  Institute)  
132. AH.  Asari  Tr.  S.H.,  M.H  (Universitas  Pekalongan)  
133. Febri  Meutia,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Pancasila)  
134. Rr.  Restisari  J.  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
135. Abetnego  T.,  S.E  (Peneliti  independen)  
136. Erni  Dianawati,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
137. Zuraida  Balweel,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Pancasila)  
138. Dr.  Muhammad  Taufik  Abda  (Center  for  Study  and  Advocacy  of  the  Region,   Aceh)  
139. Riza  V.  Tjahjadi  (Biotani  Bahari  Indonesia)  
140. Agung  Wibowo,  S.Hut,  M.Si  (Universitas  Palangkaraya)  
141. Dr.  Tarech  Rasyid,  M.Si  (Universitas  IBA,  Palembang)  
142. Ir.  J.J.  Polong  (Universitas  Sriwijaya)  
143. Irene  Mariane,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)
144. Dr.  Laksmi  Adriani  Savitri  (Universitas  Gadjah  Mada)  
145. Henri  Subagiyo,  S.H  (Peneliti  Indonesian  Centre  for  Environmental  Law)  
146. Listyowati  Sumanto,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)    
147. Lisken  Situmorang,  S.Si,  M.Si  (Peneliti  Independen)  
148. M.  Shohibuddin,  M.Si  (Institut  Pertanian  Bogor)  
149. Ir.  Nurka  Cahyaningsih,  M.Si  (Peneliti  Independen)  
150. Ir.  Martua  T.  Sirait,  M.Sc  (PhD  Candidate,  Institute  of  Social  Studies)  
151. Grahat  Nagara,  S.H  (Peneliti,  Silvagama)  
152. Bernadeta  Resti  Nurhayati,  S.H.,  M.Hum  (Unika  Soegijapranata)  
153. Dr.  Mohammad  S.  Tavip,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Tadulako)