This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, November 25, 2016

Cara Mereka 'makan" Tanah

Cara Mereka Mengkorupsi Pengadaan Tanah
Oleh: Iwan Nurdin
 
 
MAJALENGKA-Kamis (24/11), permohonan penangguhan penahanan terhadap 3 orang warga Sukamulya yang menjadi tersangka dikabulkan. Bersyukur meski itu tidak cukup, sebab warga desa ini masih berstatus tersangka. Terimakasih buat mahasiswa dan kawan-kawan di berbagai kota yang melakukan aksi solidaritas.

Saya ingin mengemukakan pandangan mengapa pemerintah begitu ngotot harus memusnahkan Desa Sukamulya. Desa yang maju dengan rumah-rumah tertata, jalan desa yang rapi, pasar dan balaidesa yang baik. Mengapa maket pengembangan bandara harus menyasar desa bukan tanah kosong yang tersedia. Saya meyakini karena menggusur desa sangat menguntungkan panitia pengadaan tanah.

Bagaimanakah caranya: setiap menggusur desa, akan ada sekurang-kurangnya ada 3 jenis harga tanah ganti kerugian. Seperti tanah sawah, pekarangan, rumah/bangunan. Harga sawah biasanya 125 ribu, pekarangan 1 juta, bangunan 2,5 juta permeter. Sekilas Nampak normal.

Tapi tahukah kebiasaan panitia pengadaan tanah? 
“Bapak mau kasih fee berapa supaya tanahnya saya sebut rumah/bangunan dan pakarangan”. 
Atau “Beli saja sawah di sana, buat menjadi rumah-rumahan tripleks di atasnya. Nanti keuntungannya sangat berlipat” 
Juga, “Maaf kalau gak mau kasih fee, saya bisa saja sebut tanah pekaranganmu tanah sawah” demikianlah kata-kata yang beredar di masyarakat. 
Merekalah (panitia pengadaan tanah) yang berpesta atas proyek ini.

Itulah sebabnya, di Sukamulya di sawah-sawah saat ini banyak rumah hantu. 
Rumah yang dibangun oleh oknum calo tanah, aparat dan Pemda (lihat foto). Selain itu, penetapan harga juga tertutup. Harga tanah masih simpang siur di kuping masyarakat. 

Alih-alih segera mengadakan sosialisasi mereka memaksa melakukan pengukuran paksa.. (wan)

Wednesday, November 23, 2016

Petani Mulai Banyak Digusur, Mahasiswa Pertanian Ngapain?

Kolom: Muhidin M Dahlan 
23 November, 2016  

Ketika para petani berjibaku mempertahankan sawah dan ladangnya dari eksploitasi tambang dan pembangunan infrastruktur pesawat udara, di mana suara mahasiswa pertanian?

Ketika lahan-lahan pertanian makin menyempit dan keluarga petani Indonesia makin susut dari tahun ke tahun, di manakah sikap mahasiswa pertanian?

Ketika atas nama pembangunan ketahanan pangan pemerintah membangun industri pertanian dengan mengundang fabrikasi bibit multinasional beroperasi di dalamnya, di mana pamflet kritis mahasiswa pertanian ditempelkan?

Ketika petani dibunuh dan disiksa demi tanahnya, di mana advokasi dan aksi "bela-pati" mahasiswa pertanian?

Kita bertanya kepada mahasiswa pertanian karena posisi mereka adalah marhaen terpelajar di mana semestinya yang paling paham sisi-melik dunia tani; mulai dari teknologi pembibitan hingga konflik yang menghancurkan kelas petani.

Sebagai kaum terpelajar petani, mahasiswa pertanian bukanlah calon insinyur tani yang menjauh dari keringat si tani, melainkan satu sekutu dalam kelas tani yang luar biasa rentannya dalam pembangunan infrastruktur entah untuk tujuan apa ini.

Ketika petani menangis, mahasiswa pertanian yang mencari tahu akar mengapa petani hidup pilu dan memberitahu akar tunjang masalah dan bagaimana menyikapinya. Ketika petani meneriakkan kekurangan lahan tanam, mahasiswa pertanian yang mestinya tiap hari menggalang aksi untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria.

Nah, ketika petani berhadap-hadapan dengan serdadu di pematang sawah -- sebagaimana kasus di Sukamulya, Majalengka, Jawa Barat -- mahasiswa pertanian mestinya mogok belajar di kelas perkualiahan untuk membela kelas tani di lapangan pergerakan.

Jangan sampai lupa, kalian mahasiswa dan mahasiswi pertanian, petani adalah soko-guru dari Revolusi Indonesia, sebagaimana Sukarno berkata-kata. Dan, ketika Sukarno meletakkan batu-pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (IPB, saat ini) di Bogor, 27 April 1952, Indonesia habis-habisan mencari terobosan di segala arah bagaimana kita berdaulat dalam pangan.

Kedaulatan pangan mula-mula adalah penghormatan kelas tani, memualiakan marhaen. Maka dari itu, Sukarno langsung menempatkan kelas tani ini sebagai soko-guru revolusi. Untuk mengejawantahkan prinsip ini, perlu tindakan-tindakan objektif, perlu tenaga-tenaga terpelajar yang bertarung di lapangan pertanian dengan segala pengetahuan yang dimilikinya untuk memuliakan dunia tani.

Kampus dan fakultas pertanian dibikin dan status mahasiswa pertanian lahir karena negara ini menginginkan seluruh lapisan masyarakatnya dapat makan kenyang oleh kerja petani-petani dari bangsanya sendiri yang bekerja dengan bekal ilmu pengetahuan. Antara lain, kerja-kerja mahasiswa pertanian adalah mulai dari ikhtiar tiada henti mencari ilmu pelipatgandaan hasil panen, pencarian bibit yang sesuai dengan kontur tanah-tanah di Indonesia, keanekaragaman pangan, keseimbangan lahan, pemupukan, antisipasi hama, hingga menjaga keseimbangan ekonomi-tani.

Pendek kalimat, kampus dan fakultas pertanian berguna bagi semesta petani bila mereka tak mengambil jarak yang keterlaluan atas nasib dunia tani.

Tak peduli kepada nasib petani menyalahi idealisme awal mengapa Sukarno si penemu ajaran ideologi tani (marhaenisme) itu meresmikan pembukaan sekolah tani (baca: IPB).

Berseru Sukarno: "Aku bertanja kepadamu: sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, malapetaka dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati, -- kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu ketjil minat untuk studie ilmu pertanian dan ilmu perchewanan? Kenapa buat tahun 1951/1952 jang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa bagi Fakultet Pertanian hanja 120 orang, dan bagi Fakultet Kedokteran Chewan hanja ...... 7 orang? Tidak, pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian dan ilmu perchewanan tidak kurang penting dari pada studie lain-lain. Tjamkan, sekali lagi tjamkan, -- kalau kita tidak 'aanpakken' soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!" (1952: 24)

Belum cukup. Sukarno bahkan meletakkan harapan besar bahwa mahasiswa pertanian ini adalah kaum pelopor. Jika di masa pergerakan awal lisensi keterlibatan mahasiswa kedokteran (Stovia) cukup menonjol, maka ketika Indonesia membangun desa-desanya, membangun untuk kemakmuran rakyatnya, maka lisensi kepahlawanan dan kepeloporan mestinya dikantongi mahasiswa pertanian.

Ayo, bung mahasiswa dan nona mahasiswi pertanian, baca separagraf lagi pesan Sukarno: "Politik bebas, prijsstop, keamanan, 'masjarakat adil dan makmur', 'mens sana in corpore sano', -- semua itu mendjadi omong kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan, selama tekort kita ini makin lama makin meningkat, selama kita tidak bekerdja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan jang tepat dan radikal. Revolusi pembangunan harus kita adakan, tetapi paling segera diatas lapangan persediaan makanan rakjat. Dan kamu, pemuda dan pemudi diseluruh Indonesia, kita harus menjadi pelopor dan pahlawan! Dengan utjapan itulah, saja meletakkan batu-pertama dari Gedung Fakultet Pertanian ini. Sekian!" (Sukarno, "Soal Hidup dan Mati", 1952: 26)

Jadi, menyitir Sukarno, soal pertanian itu soal hidup dan mati. Jadi, kalau ada petani mati-matian mempertahankan tanah pertaniannya, pahamilah bahwa mereka sedang memilih dua jalan darurat: hidup atau mati.

Karena itu, jika menghidupkan petani, bela petani. Jika membiarkan kematian petani, bakar saja semua sekolah pertanian dan lemparkan diktat kuliah dan togamu di luweng-luweng gelap.

Ayolah, mahasiswa dan sarjana tani! Pahami dan sadari kembali, kalian itu pelopor dan bukan si gadungan cilaka dalam kelas tani yang menjadi "soko-guru" (pembangunan) revolusi! 


https://tirto.id/petani-mulai-banyak-digusur-mahasiswa-pertanian-ngapain-b5xA

Sunday, November 20, 2016

Agar Tidak Menunggu Godot Sampai 2019

| Andre Barahamin

Sumber ilustrasi:  wnyc.org

ADA rentetan peristiwa yang terjadi di tiga hari terakhir di minggu ini.
Pertama, tragedi penyerangan brutal oleh pihak aparat gabungan Polda Jabar, Kodam Siliwangi dan Satpol PP ke desa Sukamulya pada hari Kamis, 17 November. Sebanyak 1.478 Kepala Keluarga memilih bertahan dan tidak ingin melepaskan tanah mereka untuk dijadikan landasan pacu bagi rencana pembangunan bandara internasional. Warga Sukamulya, Kertajati, Majalengka, menolak pendekatan Pemda Jabar yang enggan melakukan sosialisasi, melakukan pemaksaan dan pengingkaran terhadap hak mengenai ganti rugi yang sepadan. Ini adalah satu-satunya desa yang tersisa di antara 11 desa yang wilayahnya termasuk dalam target gusur Pemda. Penduduk dari 10 desa lain sudah menyingkir dan nasibnya terkatung-katung.

Tidak ingin mati sia-sia macam anjing liar di jalanan, warga Sukamulya memilih bertahan.

Mereka dipentungi, diserang menggunakan gas air mata walau tidak melawan 1.200 personil perang utusan Pemda Jabar. Akibat pertarungan yang tak imbang ini, 16 warga terluka. Enam orang digelandang ke Markas Polda Jabar untuk dinterogasi penuh intimidasi. Saat ditahan, dua orang dalam kondisi cedera berat karena dipukuli aparat. Hasilnya, tiga petani dinyatakan sebagai tersangka dan dituduh sebagai biang kerok yang memprovokasi bentrokan.

Keesokan harinya, Jumat, 18 November, giliran para petani di desa Mekar Jaya, kecamatan Wampu, kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang dihajar babak belur oleh duo maut Polisi dan TNI. Permintaan petani agar penyelesaian konflik tanah melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Langkat, direspon dengan mengirimkan 1.500 personil gabungan Polisi dan LINUD Raiders diiringi bersama alat-alat berat. Tanah dan pemukiman petani diratakan. Mereka yang dianggap menghalangi upaya pengusuran dipukuli dan dikejar hingga masuk kampung. 
Satu orang petani ditangkap dan beberapa lainnya mengalami cedera serius sehingga harus dirawat di rumah sakit. Sepasang lansia dan seorang anak kecil ikut menjadi korban pemukulan oleh aparat.

Mekar Jaya kemudian diisolasi. Tidak ada perlintasan keluar masuk hingga penggusuran selesai. Yang disasar adalah kawasan seluas 554 hektar milik petani. Lahan ini dahulu diserobot paksa oleh PTPN II Kebun Gohor Lama di tahun 1998. Kini, konflik kembali menegang karena masuknya PT. Langkat Nusantara Kepong asal dari Malaysia yang mengambil alih pengoperasian PTPN II.

Belum reda, pagi hari Sabtu (19 November) kabar muncul dari bagian timur. Ibadah syukur memperingati 8 tahun berdirinya Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dirangkai dengan pelantikan Badan Pengurus KNPB Sorong Raya dibubarkan paksa oleh tim gabungan Polisi dan TNI. Hasilnya 109 orang yang menghadiri prosesi ibadah yang berlangsung di lapangan SPG Maranatha Kota Sorong, ditangkap. Seluruhnya wajib menjalani interogasi di kantor Polresta Sorong.

Dalam rombongan yang ditangkap, terdapat dua balita: Aldo Yohame (5 tahun) dan Rosalina Badii (8 bulan).

Kasus penangkapan massal ini adalah mata rantai represi yang berkelanjutan di Papua. Pembubaran ibadah disertai penangkapan adalah bagian dari rangkai operasi gabungan TNI dan Polisi untuk membendung merebaknya semangat kemerdekaan di Papua. Bulan Mei kemarin misalnya, hampir dua ribu orang ditangkap dalam sehari. Kapolres Sorong Kota, Edfrie Maith bahkan dengan bangga mengatakan bahwa pihaknya sukses bekerja sama dengan jurnalis di kota Sorong untuk tidak memberitakan soal penangkapan massal ini. Kepolisian paham benar, jika publikasi akan penangkapan ini akan berujung buruk untuk citra Indonesia di dunia internasional. Beberapa negara Pasifik sudah terbuka menyampaikan kritik tentang pelanggaran HAM di Papua.

Apa benang merah ketiga peristiwa di atas yang terpisah secara geografis? Mengapa Langkat (Sumatera Utara), Majalengka (Jawa Barat) dan Sorong (Papua) menjadi mungkin untuk dibaca dalam satu tarikan?
Mari coba kita periksa.

Pertama, terjadi pada akhir Desember 2015. Amandemen keempat atas Peraturan Presiden (Perpres) No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembagunan Untuk Kepentingan Umum resmi ditandatangani Jokowi. Hasilnya, terbit Perpres No.148/2015. Revisi utama dalam amandemen ini adalah percepatan dan efektivitas konsolidasi tanah. Sejumlah tahapan dalam pengadaan tanah yang dipandang berbelit-belit, dipangkas.
Di Perpres ini juga disebutkan bahwa komplain akan ditangani dalam waktu tiga hari kerja. Jika dalam jangka waktu tersebut sengketa belum selesai, maka penetapan lokasi dianggap telah final dan disepakati semua pihak.
Hebat bukan?

Artinya, jika sebidang tanah telah disasar sebagai lokasi proyek, maka tidak ada yang bisa menggagalkannya. Itu mengapa, Pemda Jabar berkeras melakukan pengukuran dan meminta warga di Sukamulya menyingkir. Karena semenjak desa itu masuk dalam peta rencana proyek, sudah dapat dipastikan bahwa tanah mereka telah hilang.

Kedua, adalah fakta bahwa bersamaan dengan itu contoh pertama di atas, Jokowi juga menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No.104/2015 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Menurut PP ini, perubahan fungsi kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui perubahan fungsi antar fungsi pokok kawasan hutan atau dalam fungsi pokok kawasan hutan.

Singkatnya, pemerintah menyediakan kemudahan investasi di kawasan hutan. Ijin pelepasan kawasan hutan disederhanakan seperti ijin pinjam pakai dengan mengubah Permenhut P.33/Menhut-II/2015 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi jo P.28/Menhut-II/2014.

Kemudahan ijin pelepasan kawasan hutan itu bagian dari Paket Ekonomi II yang ditawarkan rezim Jokowi untuk meningkatkan iklim investasi. Empat belas ijin kehutanan dibabat menjadi tinggal enam ijin. Keseluruhan perijinan ini otoritasnya berada di Pemerintah Pusat.  Semuanya kini bisa selesai dalam 12-14 hari saja.

Sungguh, berbagai kemudahan inilah yang membuat investasi di sektor agribisnis jadi lebih bergairah. Persoalan di Langkat berada di koridor ini. Pengambilalihan lahan sebagai upaya perluasan industri perkebunan raksasa melampaui nalar soal hak atas tanah dan soal kemandirian petani. Agribisnis berada di atas semua itu.

Poin ketiga, terkait peluncuran paket Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong oleh Jokowi pada Juni kemarin. KEK Sorong diharapkan menjadi solusi cepat untuk memperlancar distribusi barang konsumsi ke daerah Kepala Burung dan mempermudah pengiriman hasil rampokan sumber daya alam ke luar Papua. Tol laut misalnya, diharapkan akan mempercepat alur keluar jarahan kayu dari belantara Sorong, Manokwari, Teluk Wondama dan sekitarnya.

Untuk mendukung KEK Sorong, maka perangkat yang harus disiapkan adalah infrastruktur perhubungan (jalan raya, bandar udara dan pelabuhan kapal), ketersediaan listrik, serta memastikan kondusifnya situasi politik agar roda bisnis tidak terganggu.

Misalnya, pembaharuan terhadap bandara Domine Eduard Osok (DEO), Sorong dengan biaya 236 milyar rupiah dari APBN. Panjang lintasan pacu rencananya akan ditambah menjadi 2.500 meter agar lebih banyak jenis pesawat yang bisa mendarat. Luas terminal bandara juga akan direnovasi agar dapat menampung lebih banyak orang. Ekstensifikasi ini dipandang perlu mengingat Sorong adalah opsi paling memungkinkan sebagai pintu masuk sebelum mencapai Raja Ampat, ceruk pariwisata bahari ala Jokowi.

Namun pembangunan infrastruktur tidak akan berlangsung nyaman jika semangat perjuangan pembebasan nasional terus mekar. Itu sebabnya represi dan supresi terhadap aspirasi dan aksi politik di Papua menjadi keharusan. Pembungkaman kebebasan berpendapat menjadi wajib hukumnya.

Apa benang merah ketiganya? Perampasan tanah.

Nyong dan Nona boleh tidak sepaham. Tapi biar saya jelaskan dulu.
Sejak menjabat sebagai presiden, Jokowi secara sadar membangun kebijakannya pada dua aspek utama: infrastruktur dan agribisnis. Pilihan ini merupakan rangkai yang erat dengan tren global. Kalau tidak ikut, apa kata kapitalisme global nanti? Mau kalian jika Jokowi dituduh anti-investasi?

Nah, pembangunan infrastruktur secara masif dan meluas, serta ekstensifikasi mega agribisnis itu berakibat langsung pada peningkatan eskalasi kekerasan. Akhir Agustus lalu, Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur selama pemerintahan Jokowi-JK penuh praktik kekerasan dan manipulasi. Proyek-proyek skala besar tersebut juga akhirnya ditujukan untuk kepentingan korporasi, bukan masyarakat setempat.

Dan Jokowi dalam Perpres No. 3/2016 soal Proyek Strategis Nasional, mencatat setidaknya 225 proyek raksasa lagi yang bakal dikebut. Artinya? Spiral kekerasan belum akan berhenti. Kenapa? Tentu saja karena pelibatan aparat keamanan. Tahun Komnas HAM mencatat bahwa dari 1.127 aduan yang masuk, Polisi dan TNI adalah dua aktor papan atas yang paling menjadi pelaku kekerasan.

Terdengar mirip dengan penggusuran, pembangunan bendungan, reklamasi dan pembangunan pabrik semen? Tentu saja. Karena semuanya terhubung. Sekali lagi. Benang merahnya adalah infrastruktur dan agribisnis.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Ada dua. Pertama, pasrah dan berharap bahwa ada keajaiban yang turun dari langit. Diselingi marah-marah di media sosial sembari membagikan tautan. Ini paling mudah. Modal dua jempol yang sehat serta semangat anti-politik dalam dada.

Kedua, mengkonsolidasikan dan mengkoneksikan semua musuh rezim. Mulai dari korban gusuran perkotaan, petani dan komunitas orang asli yang dirampas tanahnya, buruh pabrik dan buruh kebun yang dibayar murah, para pejuang lingkungan, dan kelompok korban. Konsolidasi bisa dimulai dengan mempromosikan semangat untuk berpolitik secara demokratik. Kekuatan alternatif tidak hadir lewat satu juta KTP, atau memilih setan yang paling baik di antara kumpulan iblis (lesser evil movement), atau gerakan non-parlementer yang utopis dan delusional.

Sikap untuk memilih jalan pedang. Bertekun membangun kekuatan politik alternatif berbasis massa yang dengan gembira bertempur di semua lini dan gelanggang politik demokrasi liberal. Tidak bisa tidak, kita harus memulai organisasi swakelola yang mengajarkan manajemen politik, kemandirian ekonomi dan kesadaran ideologi kelas pekerja.

Karena kita tidak bisa menunggu setelah 2019 untuk melakukan semua itu. Sebab, mungkin saat itu semuanya sudah terlambat.

***
http://indoprogress.com/2016/11/agar-tidak-menunggu-godot-sampai-2019/

Perampasan Tanah Rakyat: Penodaan Pancasila

MINGGU 20 NOVEMBER 2016 10:41 WIB


Kita sudah mahfum, bahwa mayoritas rakyat Indonesia, sekitar lebih dari 95 persen dari 240 juta rakyat, hanya menguasai sekitar 25 - 30 persen tanah di negara ini. Sekitar 70 persen luas tanah di republik ini dikuasai minoritas (segelintir orang kaya) yang jumlahnya kurang dari 5 persen dari jumlah rakyat Indonesia. Kepemilikan hak atas tanah itupun banyak yang bersumber dari kapital asing yang membentuk badan hukum korporasi nasional. Hukum selalu bisa diakali dan dijadikan alat. Karena hukum yang dibentuk di Indonesia ini adalah termasuk hukum sebagai produk yang dikatakan oleh Roberto M. Unger sebagai “hukum kemenangan kaum borjuis.” Kita sudah tunduk pada sejarah itu.
Dari keadaan ini kita sudah mendapatkan gambaran bahwa status “negara republik” ini hanya label. Negara bukan lagi dimiliki dan dikawal oleh rakyat, tapi dimiliki oleh segelintir orang. Inilah Oligarkhi Indonesia, bukan lagi Republik Indonesia.
Tentu saja perampasan dan dominasi agraria oleh segelintir orang kaya itu menimbulkan konflik, sebab tak satupun orang yang mau haknya dirampas, termasuk perampasan dengan menggunakan hukum. Sejak tahun 2004 hingga 2015, ada sekitar 1.172 konflik agraria di seluas sekitar 6,9 juta hektar tanah. Demikian data yang diperoleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Hingga sekarang konflik agraria itu masih terus terjadi. Itupun data yang ditemukan. Tentu saja masih ada data-data konflik dan penindasan yang mungkin belum ditemukan.
Tahun 2014 lalu para petani di tiga desa, yakni Desa Wanasari, Wanakerta dan Cinta Langgeng, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat kehilangan 350 hektar tanah mereka. Lawanya adalah Agung Podomoro melalui PT. Sumber Air Mas Pratama. Sebelumnya, tahun 2013 tanah itu dijual kepada AUA (Acquire Universal Advantage) Development pada November 2013 senilai Rp 1 triliun. Korporasi ini milik orang Taiwan.
Di Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat terjadi konflik antara warga lima desa melawan PT. Unggul Widya Teknologi. Menurut pendamping warga, lahan yang diklaim perusahaan ini adalah 17.000 ha. Tapi warga berhasil merebut kembali seluas  1.050 Ha. Padahal menurut BPN, lahan HGU korporasi ini hanyalah 8.000 ha.
Baru-baru ini juga terjadi konflik tanah antara warga petani Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabpaten. Langkat.  Konflik ini melibatkan lahan seluas 554 ha yang diduga diserobot oleh PTPN II Kebun Gohor Lama, lalu dikelola oleh PT Langkat Nusantara Kepong, investasi dari Malaysia.
Konflik terbaru juga terjadi antara warga petani Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Sebanyak  1.478 KK warga dengan luas lahan yang dipertahankan lebih dari 500 hektar hendak dipakai sebagai Bandara Kertajati, melalui proses kekerasan. Penolakan warga bukan karena mereka menolak pembangunan, tapi karena prosesnya yang tidak adil dan sepihak. Banyak lagi konflik agraria di mana-mana.
Ciri khas dari konflik-konflik agraria itu adalah “rakyat pemilik tanah dihadapkan dengan pasukan polisi dan tentara.” Seringkali perusahaan juga menggunakan pasukan preman untuk mengintimidasi dan menyerang warga. Situasi ini persis dengan yang terjadi pada jaman Kerajaan Hindia Belanda yang bertuan kepada Kerajaan Belanda di Eropa. Warga masyarakat dipecah-belah, para preman dihimpun, antek-antek terpelajar dikumpulkan, dan segala cara ditempuh untuk menaklukkan warga yang melawan.
Pengadilan pada umumnya hanya menjadi alat legalisasi perampasan tanah-tanah rakyat. Kita akan sangat jarang mendengarkan putusan pengadilan seperti kasus warga Rembang melawan korporasi semen. Jarang sekali. Bahkan hampir tak terdengar. Dalam kekuasaan kehakiman yang telah menjadi sangat liberal akan sulit bagi rakyat kecil yang mayoritas ini untuk memperoleh keadilan. Para hakim pada umumnya sudah menjadi kaum yang memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Sama dengan para penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan advokat.
Lebih baik memang jika sertifikat atau piagam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibuang saja. Jika tak punya piagam penataran P4 itu, ya lebih maklum lagi kalau tidak menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu lebih baik, daripada mempunyai piagam penataran P4 tapi jiwanya kosong dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, menyerahkan negara ini kepada kaum minoritas ekonomi sehingga negara ini kehilangan jiwa republiknya. Dari rakyat, oleh politishit, untuk borjuis.
Rakyat melalui pemilu menyerahkan kedaulatannya kepada para pemimpin terpilih. Lalu para pemimpin itu menyerahkan kedaulatan itu kepada segelintir investor yang menjadi dewa pembangunan dengan mitos “kesejahteraan rakyat.” Lalu rakyat yang telah memilih para pemimpin itu dipentungi kepalanya, diusir, tanahnya dirampas, ditangkap dan dipenjarakan serta banyak yang dibunuh.
Indonesia hendak menyejahterakan rakyat dengan cara bagaimana jika pemimpin dan para pengurus negara sudah berjiwa asing? Asing dari jiwanya sendiri. Dari awal pemimpin sudah berkata, “Siapa yang mengganggu investasi akan dibuldozer!” Andaikan jiwa pemimpin itu asli, bukan berjiwa asing, dia akan berkata sebaliknya, “Siapa yang akan mengganggu rakyat, akan kami buldozer!”
Saya tidak percaya jika para pemimpin itu tak pernah paham bahwa investasi partikelir sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat menghisap, bukan memberikan kemakmuran. Mana bukti kemakmuran itu? Apakah rakyat Madura yang pulaunya dikelilingi pertambangan migas itu makmur? Apakah rakyat Jawa Timur yang menjadi tempat konsesi sekitar 34 blok migas itu menjadi makmur? Apakah rakyat Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi yang hutan dan tanahnya dirampas untuk megaperkebunan kelapa sawit dan hancur untuk tambang itu juga menjadi makmur? Apakah rakyat Papua yang ibu Pertiwi-nya dirusak, gunung-gunungnya yang sakral digempur, sungai-sungainya yang dihormati dialiri limbah tailing, lalu mereka menjadi maju dan makmur? Doktrin tahayul yang bernama “investasi membawa kemakmuran” itu tidak pernah terbukti di negara ini.
Yang ada di negara ini adalah kejahatan para oligakhi. Mereka bersekongkol merusak hutan, merampas tanah rakyat, menguasa lautan, menyiksa dan memenjarakan rakyat yang lemah tak berdosa, menjadikan rakyat kecil hanya sebagai para gedibal. Para penguasa kapital membakar hutan, merampas tanah rakyat, membunuh orang dengan lubang-lubang tambang, menimbun laut dengan menggempur bukit-bukit dan merusak pulau alami, tapi mana yang ditangkap dan dipenjara? Mereka adalah minoritas ekonomi yang mempunyai kekebalan hukum. Sekali waktu mereka apes, tertangkap KPK saat menyuap, barulah dipenjara dengan ala kadarnya. Praktik suap korporasi kepada para birokrat dan penegak hukum sudah menjadi rahasia umum di negara ini. Kejahatan itu juga tak tersentuh. Mana kelanjutan kasus rekening gendut? Tak ada. Apakah kita mau mengatakan bahwa itulah ciri-ciri negara Pancasila? Penistaan terhadap ideologi Pancasila itu dibiarkan begitu saja.
Saya hanya berharap bahwa badan-badan dari para pengurus negara yang kehilangan jiwanya sendiri (Pancasila), yang kerasukan roh-roh neoliberalisme dan kapitalisme rakus-kasar itu, akan kembali menjadi normal dan sembuh dari delusi, bahwa kedunguan dan kerusakan tidak seharusnya dipikirkan sebagai kebaikan dan keindahan. Di mana letak masuk akalnya, jika aparatur negara dan hankam berdiri memperkuat barisan para perampas tanah rakyat dan perusak tanah Pertiwi, untuk melawan rakyat sendiri? 
Jika keadaan itu terus memburuk, sejarah sudah membuktikan bahwa ketidakdilan sosial secara terus-menerus akan melahirkan ketidakpercayaan massal. Harmoni kehidupan bernegara tak bisa dibangun dengan kebohongan-kebohongan dan di banyak tempat juga dengan cara-cara yang kasar kepada rakyat. Ketidakadilan sosial juga selalu mudah untuk dijadikan api pemantik konflik ras.
Lebih baik tanah negara ini dimiliki oleh rakyatnya sendiri dengan proporsi yang adil, lingkungan hidupnya awet lestari, daripada mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi angka pertumbuhannya hanya untuk menambah kekayaan segelintir orang. Ekonomi tak harus tumbuh pesat jika pertumbuhannya tidak adil dan menindas rakyat.
Kebahagiaan rakyat bukan karena tumbuhnya gedung-gedung yang bukan miliknya sendiri dan luasnya kebun di mana rakyat hanya menjadi gedibal, bukan sebagai pemiliknya. Padahal jika negara ini mau, kebun-kebun luas itu bisa menjadi milik negara atau milik rakyat sendiri yang hasilnya dinikmati rakyat secara lebih optimal.

Gedung-gedung tinggi besar dan kebun yang luas itu ternyata hanya alat penghibur rakyat kecil yang sekali waktu terkagum-kagum, melupakan derita hidupnya atas perampasan demi perampasan yang mereka derita selama ini. Kapitalisme dan neoliberalisme telah memberikan ilusi, menyerang alam bawah sadar manusia, menjadi morfin yang mengaburkan kesadaran para penguasa politik atas kesakitan dan derita sosial rakyat. Mungkinkah karena mereka juga menikmati hasil jerih payahnya memperkaya segelintir penguasa kekayaan itu?

https://indonesiana.tempo.co/read/99542/2016/11/20/cakbagio.1/perampasan-tanah-rakyat-penodaan-pancasila

Friday, November 18, 2016

PERNYATAAN SIKAP DARURAT AGRARIA SUKAMULYA

PERNYATAAN SIKAP DARURAT AGRARIA SUKAMULYA
ALIANSI RAKYAT TOLAK PEMBANGUNAN BIJB

MENGECAM KERAS PENGGUSURAN DESA SUKAMULYA BAGI PEMBANGUNAN BANDARA INTERNASIONAL JAWA BARAT (BIJB) DAN MENDUKUNG SEPENUHNYA PERJUANGAN WARGA SUKAMULYA DALAM MEMPERTAHANKAN HAK-HAK MEREKA ATAS TANAH.

 
Hari ini, Kamis (17/11) untuk ketujuh kalinya semenjak 4 Agustus 2016, pihak pemerintah provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Majalengka kembali merencanakan pengukuran untuk penggusuran terhadap desa Sukamulya bagi pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).

Hingga tadi malam (16/11), hasil pantauan kawan-kawan kami di lokasi, pihak pemerintah sudah mulai mengerahkan gabungan pasukan kepolisian mulai dari Polres Majalengka, polsek-polsek yang berada di wilayah Majalengka, hingga mengerahkan dukungan dari Polres Indramayu dan Sumedang. Bahkan 7 buah truk Dalmas, 2 buah truk Brimob, 20 mobil ranger, 1 buah mobil gegana, dan 1 buah water cannon sudah dipersiapkan di Kantor Polsek Kertajati untuk mengamankan proses penggusuran hari ini yang kabarnya langsung dipimpin oleh Kapolres Majalengka, AKBP. Mada Roostanto.

Pihak pemerintah juga telah mengerahkan 1.200 personel gabungan dari POLDA Jabar, POLRES Majalengka, TNI dan Satpol PP dari provinsi Jabar dan kabupaten Majalengka.

Tidak berhenti disitu, proses rencana pengukuran ini kerap diwarnai intimidasi, teror, hingga kriminalisasi yang dilakukan aparat kepolisian kepada warga. Tercacat pada, Selasa 6 September 2016 yang lalu dua orang warga desa Sukamulya, atas nama Agus dan Rahman dipanggil tanpa prosedur yang jelas oleh polres Majalengka dengan tuduhan penganiayaan.

Rencana ambisius dan arogan pemerintah ini terkesan tidak mengindahkan hak-hak rakyat yang akan terampas oleh rencana pembangunan tersebut. 
Tindakan ini justru kembali memperlihatkan wajah buruk Negara yang selalu memakai cara-cara represif melalui pelibatan aparat TNI dan Polri dalam berhadapan dengan rakyatnya.

Selain pelibatan aparat, pemerintah selama ini selalu mengabaikan proses dialog dengan warga dalam proses pembangunan bandara tersebut. Bahkan dalam klaimnya, Pemprov Jabar menyatakan bahwa proses penggusuran kali ini akan menggandeng Komnas HAM.

Tidak dijalankankanya proses-proses musyawarah antara dua pihak ini jelas telah melanggar prosedural dan tahapan yang tercantum dalam UU No.2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pemerintah tidak mempertimbangkan pula dampak lebih luas secara sosial ekonomi bagi kehidupan warga jika penggusuran tetap dilanjutkan.
 

Tindakan sepihak pemerintah ini juga telah melanggar peraturan UN Basic Principles and Guidelines on Develpoment Based Evictions dan Displacement. Sebuah kebijakan yang menekankan pentingnya memelihara hak-hak warga yang digusur demi kepentingan pembangunan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Dari 11 desa yang yang terkena dampak penggusuran yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Perhubungan No. 34/2005 yang diperbarui melalui KP 457 tahun 2012, 10 desa telah diratakan tanpa proses yang jelas. 
Desa Sukamulya merupakan satu-satunya desa yang masih memilih bertahan mempertahankan tanah dan kampungnya. 
Rencana pengukuran hari ini telah mengancam 1.478 KK dengan luas lahan lebih dari 500 ha di desa Sukamulya tergusur demi Proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.

Kami yang tergabung dalam aliansi rakyat tolak pembangunan BIJB yang konsisten dalam memperjuangkan hak-hak rakyat atas tanahnya mendukung sepenuhnya perjuangan rakyat Sukamulya dan mengecam dengan keras rencana pengukuran yang akan menggusur desa Sukamulya untuk pembangunan proyek ambisius pembangunan bandara dengan tuntutan:

1. Menolak segala bentuk perampasan tanah rakyat atas dalih pembangunan
 

2. Menuntut Kementrian ATR/BPN dan Pemprov Jawa Barat untuk menunda proses pengukuran sebelum adanya dialog bersama seluruh masyarakat terdampak dengan melibatkan semuah pihak.
 

3. Menuntut Polda Jawa Barat untuk segera menarik mundur pasukannya dalam proses pengukuran tanah untuk penggusuran tanah warga desa Sukamulya

Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk menjadi perhatian semua pihak sebagai sebuah dukungan terhadap perjuangan rakyat Sukamulya dalam mempertahankan desa mereka dari penggusuran.

Jakarta, 17 November 2016

Salam Hormat,


Aliansi Rakyat Tolak Pembangunan BIJB
-Dewi Kartika, KPA
-Bambang Nurdiansyah, FPRS
-Arip Yogiawan, LBH Bandung
-Haris Azhar, KontraS
-Marlo Sitompul, SPRI
-Muhammad Nuruddin, API
-Dadan Ramdan, Walhi Jabar
-Abdul Rojak, STI
-Abdon Nababan, AMAN
-Muhammad Ali, AGRA
-Eko Cahyono, Sajogyo Institute
-Ridwan Darmawan, IHCS
-Merah Johansyah, Jatam
-Puspa Dewy, Solidaritas Perempuan
-Dahniar Andriani, HuMa
-Nur Hidayati, Walhi
-Ismah Winartono, Gempur



Tuesday, November 01, 2016

Patok Menancap di Lahan Diponegoro hingga Rakyat Kulonprogo

Reporter: Mutaya Saroh | 01 November, 2016

Soal patok mematok tanah yang melibatkan keraton, ini sebenarnya bukan hal baru di Yogyakarta. Jangan dilupakan, musabab perlawanan Diponegoro yang memicu Perang Jawa (1825-1830) tak lain karena patok mematok tanah.
Soal patok mematok tanah yang melibatkan keraton, ini sebenarnya bukan hal baru di Yogyakarta. Jangan dilupakan, musabab perlawanan Diponegoro yang memicu Perang Jawa (1825-1830) tak lain karena patok mematok tanah.

Dulu, pematokan lahan tanpa persetujuan pemilik lahan, bisa menimbulkan perang. Sudah ditulis dalam buku sejarah, pematokan tanah Pangeran Diponegoro oleh Patih Keraton dan Belanda telah melahirkan Perang Jawa.

Pada 16 Februari 2016, bentrokan terjadi di Sidorejo, Kulonprogo. Pemicunya adalah sengketa lahan terkait pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo.  Badan Pertanahan Nasional, di bawah lindungan Polisi, Satpol PP dan TNI, memasangi patok-patok di beberapa titik. Sidorejo, Palihan, Kragon, Bapangan dan Glagah pun kena patok. 

Angkasa Pura I, yang akan mengelola bandara Kulonprogo, mengalokasikan dana sekitar 4 triliun rupiah. Sebagian di antaranya untuk pembebasan lahan. Pihak Pakualaman akan menerima Rp727 miliar sebagai ganti rugi atas sebagian tanah Pakualaman Ground yang terkena pembebasan lahan. Pakualam selama ini merasa tanah-tanah yang dimiliki penduduk di sana secara historis adalah milik wangsa Pakualam. 

Klaim Keraton Ground

Di sekitar Pakualam Ground, terdapat juga area yang masih diklaim sebagai Sultan Ground. Di antaranya adalah lahan yang menjadi sengketa tambang pasir besi. Rencana tambang pasir besi itu mengancam kehidupan pertanian lahan pasir yang selama ini menyangga perekonomian warga di sana. Selama ini lahan pasir di Kulonprogo berhasil ditanami cabai atau semangka. 

Tanah-tanah sengketa tersebut seringkali diklaim sebagai Sultan Ground (tanah-tanah milik Kesultanan) dan Pakualam Ground (tanah-tanah milik Pakualaman) Yogyakarta.  Wilayah kekuasaan kedua wangsa itu berada di wilayah Yogyakarta sekarang. Wilayah kuasa Kesultanan di sekitar kota Yogyakarta, namun wilayah Pakualaman lebih banyak di daerah yang dulu dikenal sebagai Adikarto (kini Kulonprogo). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1951, mulai tanggal 15 Oktober 1951 Adikarto masuk ke dalam daerah Kulonprogo.  

Semula, sebelum Belanda menguasai secara absolut tlatah Jawa, Mataram adalah kerajaan berdaulat dan menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Setelah kematian Sultan Agung dan Amangkurat I menjadi raja, kedaulatan Mataram atas wilayahnya berkurang. Apalagi setelah beberapa wilayah jadi milik Belanda, Mataram pun dipecah jadi empat bagian. Selain Kesultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, ada Kasunanan dan Mangkunegara di Solo. 

Setelah Indonesia merdeka, Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan wilayah Kesultanan Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia sejak 5 September 1945.  Setelah penggabungan dengan Republik tersebut, harusnya Kesultanan tunduk kepada Undang-Undang Agraria Republik Indonesia. 

Menurut Ketua Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran, berdasar Peraturan Daerah (Perda) DIY No.5/1954 tentang hak atas tanah dan tanah bekas Sultan Ground dan Pakualaman Ground, Sultan Ground tidak ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ada adalah tanah negara. Selama ini, di bekas wilayah Kesultanan, sudah banyak rakyat yang memegang sertifikat tanah dari lahan yang mereka tinggali dan miliki.

Atas nama keistimewaan, yang termaktub dalam UU Keistimewaan DIY, topik mengenai status tanah Sultan Ground atau Pakualam Ground kembali mencuat. Ada berbagai isu agraria yang masih menjadi ganjalan di Yogyakarta. Dari soal kepemilikan tanah etnis Tionghoa hingga soal lahan-lahan yang dirancang sebagai area Bandara Internasional Kulonprogo. 
Patok Menancap di Lahan Diponegoro hingga Rakyat Kulonprogo 

Cerita Pematokan Tanah Diponegoro

Soal patok mematok tanah yang melibatkan keraton, ini sebenarnya bukan hal baru di Yogyakarta. Jangan dilupakan, musabab perlawanan Diponegoro yang memicu Perang Jawa (1825-1830) tak lain karena patok mematok tanah juga. Terkait patok-mematok di sekitar areal yang bakal menjadi Bandara Internasional Kulonprogo, patok mematok tanah yang menjadi makam leluhur Pangeran Diponegoro pun punya alasan yang hampir sama: demi lancarnya transportasi. 

Sebelah timur Tegalrejo akhirnya dijadikan jalur utama jalan poros Yogyakarta-Muntilan-Magelang. Begitulah rencana Residen Yogyakarta, Smissaert, pada pertangahan Mei 1825. Orang-orang Patih Danurejo, atas restu Residen Yogyakarta Smissert, memasangi patok-patok untuk memperluas jalan di sekitar tanah dan juga makam leluhur Diponegoro di sisi barat Yogyakarta itu.

“Pada 17 Juni 1825, jalan ini mulai mulai dipasangi patok oleh orang-orang Kepatihan,” tulis Peter Carey dalam Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (2014). Patok-patok itu ternyata menghalangi jalan yang biasa dilintasi orang-orang yang bekerja di tanah-tanah milik  Diponegoro yang berada di sekitar  Tegalrejo. 

Sang Patih, yang dekat dengan Belanda itu, punya permusuhan lama dengan Diponegoro. Ketika akan ada pematokan lahan tersebut, Patih Danurejo selaku perpanjangan Sultan dan Belanda tak memberitahukan kepada Pangeran Diponegoro selaku pemilik tanah. Patih, meski berstatus sebagai pembantu Sultan (di Yogya) atau Sunan (di Solo), namun pada praktiknya dia ditunjuk oleh Belanda.

Menurut Peter Carey, “Sekilas perbuatan Patih Danurejo ini disengaja, sehingga menimbulkan situasi panas dan perkelahian antara pengikut Diponegoro dan anak buah Patih yang segera melibatkan penduduk setempat.”

Pengikut Diponegoro yang tinggal dan bertani di sekitar Tegalrejo, yang merasa tidak dibebani pungutan oleh sang Pangeran, mencabuti patok-patok tersebut. Mereka rela berkelahi dengan orang-orang Patih Danureja. Sang Patih, dalam beberapa cerita, digambarkan sebagai sosok yang licin namun begitu loyal kepada Belanda. 

Menurut Peter Carey, sang pangeran akhirnya memerintahkan mengganti patok-patok jalan dengan tombak-tombak. Bagi Sang Pangeran, pengerjaan jalan itu yang dilakukan secara sepihak dan tidak mengindahkan tata krama merupakan casus belli  alias muasal Perang Jawa yang berkobar sejak 1825 hingga 1830. Dalam perang yang menguras kantong Pemerintah Kolonial Hindia Belanda itu, pihak Pangeran Diponegoro kalah. Sang Pangeran dijebak dalam perundingan di sekitar Magelang. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke  Manado dan Makassar, jauh dari tanah yang dulu dibelanya dengan penuh keberanian. 

Saat ini, di sekitar makam leluhur Diponegoro tersebut, terdapat jalan aspal yang agak lebar dan juga rel kereta api. Ada jalan raya menuju Muntilan, juga rel kereta menuju arah barat ke Wates dan Kutoarjo. Untuk alasan pembangunan transportasi yang direncakan pemerintah kolonial dan didukung oleh Keraton, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya harus mengangkat senjata. Melawan Belanda, juga menghadapi kerabatnya sendiri sesama keturunan Sultan Agung. 

Patok-patok itu kini kembali tertancap di sisi barat Yogyakarta. Tidak lagi di Tegalrejo, tapi di Kulonprogo. Tidak ada lagi Belanda yang punya agenda pembangunan transportasi (darat),  yang ada hanya Angkasa Pura yang punya rencana membangun sarana transportasi (udara). Tapi Kraton masih ada, sebagaimana zaman Diponegoro, dan sama-sama terkait dengan cerita baru soal patok-patok yang tertancap di tanah. 

Cerita baru dari abad 21. Tapi benarkah ini cerita yang benar-benar baru? 
Sumber: Tirto.Id