This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, October 06, 2018

Warisan Kemiskinan Proyek Bank Dunia di Kedung Ombo

2018/10/06

Laporan Khusus dari Tim Riset dan Data, Katadata


Pembangunan mega proyek Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah tidak diikuti dengan program perlindungan bagi korban terdampak. Akibatnya, setelah 30 tahun waduk beroperasi, warga di area waduk masih terjerat dalam kubangan kemiskinan berkepanjangan.


Lahan, rumah, semua habis tak tersisa dan tidak ada simpanan apa pun,” ujar Parno saat bercerita mengenai kenangan kelam 30 tahun silam. Dia merupakan salah satu generasi pertama korban proyek pembangunan dam raksasa yang mengakibatkan banyak warga kehilangan harta benda dan mata pencaharian.

Tempat tinggalnya dahulu, Dusun Kedungpring, Desa Kedungrejo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali sudah hilang tenggelam oleh air Waduk Kedung Ombo. Dia terpaksa mencari tempat tinggal baru meninggalkan kampung halamannya yang ditempatinya sejak kecil.

Sekarang Parno tak mempunyai pekerjaan tetap. Dia menjadi buruh serabutan, termasuk buruh tani. “Dulu saya petani, sekarang buruh tani. Ngono wae opo enekke (begitu saja apa adanya),” kata pria berumur 65 tahun ini.

Selama 13 tahun sejak waduk beroperasi, Parno harus mengungsi dari kepungan air waduk. Baginya, proyek Waduk Kedung Ombo adalah mala petaka. Betapa tidak. Seandainya, tidak ada proyek itu, dia bisa mengolah lahan sawah seluas 1 hektare hasil warisan dari orang tuannya. Namun sejak 1989, sawahnya terendam air waduk sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Perubahan profesi menjadi buruh serabutan membuat kesejahteraannya merosot.


Bergeser sedikit dari Boyolali, ada Fariz yang juga menerima kenyataan pahit. Warga Desa Gilirejo, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen ini kehilangan tempat tinggal dan sawah seluas 4 hektare karena terendam oleh Waduk Kedung Ombo. Posisi rumahnya memang hanya berjarak beberapa meter dari bibir waduk, sehingga masuk area greenbelt atau sabuk hijau yang harus bersih dari permukiman.

Dia mengenang seandainya tiga dekade silam, sawahnya tidak tenggelam, dia mengaku bisa pensiun dini. Sawahnya yang luas bisa digarap dengan mempekerjakan beberapa orang. “(Seharusnya) Saya bisa di rumah saja. Menanti hasil dari sawah yang cukup untuk makan satu tahun,” kata Fariz.
Sekarang, Fariz terpaksa bekerja keras menjadi pedagang kambing untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama istri dan ketiga anaknya. Bila tidak ada hewan ternak yang dijual, dia bekerja serabutan di pasar kambing di Sragen yang jauh dari tempat tinggalnya. Dari hasil membantu di pasar, dia bisa mendapat Rp 25 ribu. Tapi, setelah dipotong biaya membeli bensin Rp 15 ribu, uangnya hanya tersisa Rp 10 ribu untuk keluarganya. “Bisa apa dengan uang sebesar itu?” ujarnya.

Bertahan di Tengah Kemiskinan


Hingga saat ini, Fariz masih bertahan di tempat tinggalnya. Rumah semi permanen, berdinding kayu, bambu dan sedikit bata. Sementara, sebagian lantai rumah masih beralas tanah walaupun sebagian kecil sudah disemen. Bagian atap rumah banyak yang rusak. “Usuk (bagian rangka atap) dan genteng mau jatuh,” ujar Fariz.


Sementara di dapur, hanya ada tungku kayu bakar untuk memasak. Barang mewah yang terlihat hanya satu televisi di ruang keluarga. “Saya tidak punya kulkas. Boro-boro mas. Wong kompor saja bukan (berbahan bakar) gas LPG,” kata Fariz.

Untuk mobilitas dan mencari nafkah setiap hari, dia mengandalkan motor bebek lawas, Honda Supra yang sudah berusia 21 tahun.

Parno dan Fariz adalah contoh dari para warga yang menjadi korban pembangunan Waduk Kedung Ombo di Kabupaten Sragen dan Boyolali. Mereka tinggal di rumah yang tidak layak huni, kehilangan tanah dan lahan pertanian, serta tidak lagi punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Mereka bersama warga lain terjerat dalam kesulitan ekonomi dan sosial.
Hasil survei tim Katadata terhadap warga terdampak yang tinggal di sekitar Waduk Kedung Ombo menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi membuat mereka tidak bisa menambah kepemilikan barang kebutuhan rumah tangga setelah 30 tahun pembangunan waduk.

Kepemilikan barang dari warga terdampak yang pindah ke sekeliling area waduk hanya bertambah satu barang. Kacaunya proses pembangunan di masa lalu membuat mereka sulit menaikkan taraf hidup dan menambah barang rumah tangga, seperti lemari es, televisi, bahkan ponsel yang kini sudah jamak dimiliki masyarakat. Yang ada justru harta mereka berkurang, terutama terkait dengan kepemilikan tanah dan lahan pertanian.

Perbandingan Kepemilikan Barang Warga Terdampak (Jawa Tengah)


Tanah dan lahan pertanian mereka menurun antara sebelum dan sesudah pembangunan waduk.

Tidak hanya dari sisi kepemilikan barang, mereka masuk dalam kategori miskin. Dari tingkat pengeluaran, hasil survei menunjukkan pengeluaran keluarga terdampak di sekitar waduk rata-rata Rp 1,3 juta per bulan. Sebagai perbandingan, menurut data BPS, pengeluaran keluarga yang termasuk dalam kategori miskin adalah Rp 1,8 juta per bulan.

Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar pengeluaran mereka habis terpakai untuk kebutuhan pangan. Di wilayah terdampak di sekitar Kedung Ombo, pengeluaran untuk pangan mencapai 67% dari total rata-rata pengeluaran per bulan.

Kondisi saat ini tentu saja berbanding terbalik dengan kondisi sebelum waduk dibangun. Dulu banyak warga terdampak memiliki lahan garapan yang ditanami komoditas pangan. Hasilnya sebagian dijual dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, setelah lahan garapan terendam, mereka kehilangan mata pencaharian sekaligus sumber bahan pangan sehingga harus mencari sumber lain.
Tidak adanya keterampilan dan keahlian lain yang dimiliki, membuat mereka tidak punya banyak pilihan soal mata pencaharian. Hampir 87% warga terdampak bekerja sebagai petani dan buruh tani. Baik di lahan milik sendiri maupun menjadi buruh di lahan orang lain. Meski begitu, menggarap lahan sendiri hanya bisa dilakukan pada saat air mengering sehingga tidak bisa bercocok tanah sepanjang tahun.


Pekerjaan Warga Terdampak (Jawa Tengah)
Terbang jauh ke Mukomuko, salah satu tempat tujuan transmigrasi warga terdampak Kedung Ombo, memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda. Hingga saat ini, sebagian besar atau 81% transmigran masih berprofesi sebagai petani. Lainnya, bekerja sebagai buruh dan pedagang atau wiraswasta.
Berbeda dengan di Jawa Tengah yang menjadi buruh petani di lahan milik orang lain, sebagian besar petani di Mukomuko bertani dan berkebun di lahan milik sendiri walaupun tanah yang diberikan tidak cocok untuk menanam padi.

Dari sisi kesejahteraan, rata-rata pengeluaran keluarga transmigran tidak besar, hanya Rp 1,8 juta per bulan dengan pengeluaran untuk pangan sebesar 40,3%. Sebagian besar pendapatan mereka bergantung pada hasil panen dari lahan sendiri. Pengeluaran ini hampir sama dengan pengeluaran keluarga miskin berdasarkan versi BPS.

Setumpuk Masalah Pemicu Kemiskinan
Pembangunan Waduk Kedung Ombo tak bisa dimungkiri masih mewariskan banyak masalah hingga sekarang, terutama kemiskinan bagi korban terdampak. Sejatinya, tujuan proyek ini memang untuk kepentingan orang banyak. Proyek pembangunan dengan bantuan Bank Dunia merupakan salah satu proyek mercusuar pada rezim Soeharto.
Citra Satelit Waduk Kedung Ombo

Pembangunan waduk menenggelamkan pemukiman dan lahan subur milik warga di tiga kabupaten
Proyek yang berada di perbatasan tiga wilayah kabupaten di Jawa Tengah, yakni Boyolali, Sragen, dan Grobogan ini merupakan satu paket dengan rencana irigasi seluas 59.340 hektare (Ha). Harapannya, dapat mengairi dan meningkatkan produksi lahan pertanian. Selain itu, waduk ini juga akan difungsikan sebagai pengendali banjir, pengatur suplai air, serta pembangkit listrik berkapasitas 22,5 MW yang bisa mengaliri listrik di Jawa Tengah dan sekitarnya.

Dari sisi biaya, mega proyek ini memang membutuhkan anggaran tidak sedikit. Secara keseluruhan, pembangunan memerlukan biaya sekitar US$ 283,1 juta. Ini mencakup biaya konstruksi waduk, pembangkit listrik dan irigasi, equipment, biaya konsultan, administrasi, hingga biaya untuk ganti rugi lahan bagi warga terdampak.

Anggaran Biaya Proyek Waduk Kedung Ombo (US$)



38,6 Juta(13,6 %)
Konstruksi Waduk
15.7 Juta(5,5 %)
Pembangkit Listrik
88,1 Juta(31,1 %)
Irigasi
14,3 Juta(5,1 %)
Peralatan
15,1 Juta(5,3 %)
Jasa Konsultan
13,4 Juta(4,7 %)
Administrasi
25,5 Juta(9 %)
Akuisisi Lahan
27,4 Juta(9,7 %)
Cadangan Fisik
45,0 Juta(15,9 %)
Cadangan Harga

Cadangan Harga



Besarnya kebutuhan dana untuk mewujudkan proyek besar ini membuat pemerintah Soeharto tak mampu membiayai sendiri. Dari total biaya, pemerintah Indonesia menanggung 37% dan 8% dari kredit ekspor. Bagian terbesar didanai dari pinjaman Bank Dunia, sebesar US$156 juta atau sekitar 55%. Jangka waktu pinjamannya selama 20 tahun.

Proyek yang berada di perbatasan tiga wilayah kabupaten di Jawa Tengah, yakni Boyolali, Sragen, dan Grobogan ini merupakan satu paket dengan rencana irigasi seluas 59.340 hektare (Ha). Harapannya, dapat mengairi dan meningkatkan produksi lahan pertanian. Selain itu, waduk ini juga akan difungsikan sebagai pengendali banjir, pengatur suplai air, serta pembangkit listrik berkapasitas 22,5 MW yang bisa mengaliri listrik di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Dari sisi biaya, mega proyek ini memang membutuhkan anggaran tidak sedikit. Secara keseluruhan, pembangunan memerlukan biaya sekitar US$ 283,1 juta. Ini mencakup biaya konstruksi waduk, pembangkit listrik dan irigasi, equipment, biaya konsultan, administrasi, hingga biaya untuk ganti rugi lahan bagi warga terdampak.

Anggaran Biaya Proyek Waduk Kedung Ombo (US$)


Description: https://image.ibb.co/n1rGbz/icon_waduk.png38,6 Juta(13,6 %)
Konstruksi Waduk
Description: https://image.ibb.co/dD5bbz/icon_plta.png15.7 Juta(5,5 %)
Pembangkit Listrik
Description: https://image.ibb.co/h2Fbbz/icon_irigasi.png88,1 Juta(31,1 %)
Irigasi
Description: https://image.ibb.co/c2AypK/icon_equiep.png14,3 Juta(5,1 %)
Peralatan
Description: https://image.ibb.co/k0U2Gz/icon_helmet.png15,1 Juta(5,3 %)
Jasa Konsultan
Description: https://image.ibb.co/bEFypK/icon_admin.png13,4 Juta(4,7 %)
Administrasi
Description: https://image.ibb.co/k1FL3e/icon_land.png25,5 Juta(9 %)
Akuisisi Lahan
Description: https://image.ibb.co/jUvW9K/icon_barang.png27,4 Juta(9,7 %)
Cadangan Fisik
Description: https://image.ibb.co/i9b4UK/icon_price.png45,0 Juta(15,9 %)
Cadangan Harga


Besarnya kebutuhan dana untuk mewujudkan proyek besar ini membuat pemerintah Soeharto tak mampu membiayai sendiri. Dari total biaya, pemerintah Indonesia menanggung 37% dan 8% dari kredit ekspor. Bagian terbesar didanai dari pinjaman Bank Dunia, sebesar US$156 juta atau sekitar 55%. Jangka waktu pinjamannya selama 20 tahun.

Seorang warga memperlihatkan surat ganti rugi yang diterima dari pemerintah.

Dalam prosesnya, pembangunan waduk ini cenderung dipaksakan agar sesuai jadwal, berlangsung selama lima tahun, dari 1985-1990. Proses ganti rugi pembebasan lahan dimulai pada saat waduk mulai dibangun. Ini juga berbarengan dengan program transmigrasi penduduk ke luar Pulau Jawa seperti Bengkulu, Jambi, hingga Papua.
Sebagian besar dari mereka dipindahkan ke Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, khususnya di SP 5 sampai 8. Pada 1991, Waduk Kedung Ombo ini diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Perjalanan Proses Ganti Rugi Lahan Warga

Persoalannya, sepanjang periode pembangunan, prosesnya tidak berjalan selancar sesuai yang direncanakan. Satu per satu masalah muncul. Pemicu awalnya adalah masalah ganti rugi. Warga merasa ganti rugi terlalu kecil, tidak ada pengukuran yang sah, bahkan tidak ada sosialisasi menyeluruh kepada warga. Lahan pertanian mereka juga tidak dihitung dalam penggantian rugi tersebut.

Kesaksian itu diungkapkan oleh Gatot Ratmoko, salah satu korban pembangunan waduk. Dia memandang pemerintah tidak melakukan tugasnya dengan baik. “Pemerintah lupa. Melupakan musyawarah mufakat,” ujar Gatot.




Masalah bertambah pelik ketika warga penolak ganti rugi kemudian mengalami intimidasi, kekerasan hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Upaya pemerintah melibatkan aparat kepolisian dan TNI pada masa itu, justru semakin memperkeruh proses ganti rugi yang sudah kisruh tersebut.

Aksi warga penentang ganti rugi ini kemudian berujung pada pengaduan ke Lembaga Swadaya Setempat (LSM) setempat hingga protes terhadap Bank Dunia. Lembaga donor ini dinilai tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap pencairan uang ganti rugi.

Selain soal ganti rugi, penyebab kemiskinan yang dialami para korban terdampak adalah kehilangan lahan yang menjadi sumber mata pencaharian. Seperti halnya Parno dan Fariz, Wajiman, pria yang tinggal di dusun Gunung Sono, Desa Gilirejo, juga menjadi contoh warga yang kehilangan sumber pendapatan penopang kesejahteraannya. 
Dalam menggarap sawahnya, Wajiman mengaku bergantung pada pasang-surutnya air waduk. Bila musim hujan tiba, air waduk akan naik sehingga warga menganggur karena tidak ada lahan yang bisa digarap. Sebaliknya, jika kemarau panjang, Wajiman bersama warga terdampak lainnya, bisa bercocok tanam karena air waduknya surut.



Sumber lain yang menjadi pemicu kemiskinan warga adalah akses terhadap fasilitas publik. Pembangunan waduk justru memutus banyak akses dan cenderung menyulitkan warga yang tinggal di sekitar waduk. Contohnya, Juninah, warga desa Mlangi, Kabupaten Boyolali. Seorang janda berusia 57 tahun merasakan akses saat ini lebih sulit jika dibandingkan sebelum adanya proyek pembangunan waduk.


“Dahulu, di situ ada jalan raya menuju pasar dan kota,” kata dia seraya menunjuk jalan di hadapannya yang sudah tergenang air. “Namun sekarang, kami harus berputar menyusuri kampung untuk mencapai pasar dan pusat kota.”


Dampak dari terputusnya akses ke fasilitas publik tersebut membuat Juninah dan para warga di sekitar waduk harus mengeluarkan anggaran yang jauh lebih besar untuk biaya transportasi. Jarak yang terlalu jauh dengan pasar membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan pokok, terutama kebutuhan pangan. Harganya menjadi lebih mahal karena tidak mudah diperoleh.



Transmigrasi Bukan Solusi

Kesulitan ekonomi bukan saja dialami warga terdampak yang tinggal di sekitar Kedung Ombo. Kehidupan warga yang menerima ganti rugi dan ikut program transmigrasi pun tidak lebih baik dibanding warga yang memilih bertahan. Warga transmigran merasa tempat yang dituju jauh dari harapan yang ditawarkan pemerintah. Lokasinya terpencil dan terisolasi. Bahkan, lahan yang dijanjikan terbukti tidak siap untuk ditanami padi dan tanaman pangan lain.

Sugeng adalah salah satu contoh korban terdampak yang kemudian ikut transmigrasi bersama 3.006 keluarga. Dia meninggalkan tanah leluhurnya di desa Klewor, Boyolali, Jawa Tengah. Ayah tiga anak ini sejak 1990 harus mengais periuk di desa Rawa Mulya, Satuan Pemukiman 7 (SP7), Mukomuko, Bengkulu.

__

Sugeng merasakan betapa pahitnya kehidupan di daerah transmigran. Dia mengaku, lahan yang disediakan pemerintah jauh panggang dari api. Lahan baru yang mereka tempati, ternyata bermasalah. Karakter tanah gambut sangat menyulitkan warga untuk bertani. Terlebih lagi sistem irigasi sederhana tak mampu mengantarkan air sampai ke sawah.

Selain itu, dari dua hektare (ha) yang dijanjikan, hanya pekarangan seluas 1/4 ha yang sudah diratakan dengan tanah. Sementara ¾ ha lahan garap (lahan 1) masih belantara lebat dan bergambut, dan satu hektare lahan lainnya (lahan 2) dicaplok perusahaan perkebunan kelapa sawit CV Adimulya Karya.

“Kami tergiur dengan iklan di TVRI. Katanya di tempat trans (Satuan Pemukiman Transmigrasi Mukomuko) sudah ada irigasi, bendungan dan tanah hitam seperti di Jawa,” kata Sugeng.

Cerita kepahitan serupa juga disampaikan oleh Sriyono (58 tahun), transmigran Kedungombo lainnya. Dia adalah satu dari tiga transmigran terakhir yang diberangkatkan dari Dusun Sindang Rejo, Kemukus, Boyolali. Menumpang pesawat Hercules, Sriyono, istri dan anak perempuan dipindahkan pada Mei 1990.

Tak ada pilihan lain bagi keluarga Sriyono saat itu. Waduk sudah sepenuhnya disterilkan dari penduduk. Sedangkan, pemerintah cukup gesit. Tiga hari sekali pesawat milik TNI itu bolak-balik memberangkatkan penduduk dari Kedung Ombo.

Sesampai di SP7, Sriyono kaget karena fasilitas yang dijanjikan jauh dari layak. Padahal, saat sosialisasi pembangunan waduk berjalan pada 1982-1985, cetak biru yang dia terima menunjukan rumah berukuran 7x5 m2lengkap dengan toilet, dapur dan air bersih.

Nyatanya, Sriyono dan 375 transmigran di SP7 hanya menempati rumah berukuran 5x6 m2. Itupun dengan sumur yang harus dibagi dengan empat kepala keluarga lainnya. Rumahnya beralaskan tanah. Tak ada ubin, apalagi tembok bata. CV Galung, kontraktor lokal pemborong proyek di SP7 membangun rumah dengan bahan kayu pulai/gabus, jenis kayu yang mudah lapuk.

Kondisi rumah di daerah transmigrasi yang tidak sesuai harapan membuat mereka kecewa. Akibatnya, banyak warga yang tidak tahan dan nekat kembali ke Jawa Tengah meski tak ada lagi lahan yang bisa digarap. “Waktu pengenalan pemerintah, katanya dapat lahan tinggal tanam. Jangankan lahan, rumah saja belum bisa ditempati hingga seminggu,” ujar Sriyono mengenang masa awal transmigrasi.


Sriyono mengakui saat pindah ke Mukomuko, para transmigran memang dibekali oleh pemerintah. Bekal itu berupa jatah hidup, sarana dan prasarana tani (sarpras tani), dan uang ganti rugi. Namun bantuan tersebut dinilai jauh dari memadai.

Setiap satu bulan selama satu tahun pertama warga transmigran menerima jatah hidup berupa bahan kebutuhan pokok, seperti beras 10 kilogram (kg), ikan asin 3 kg, minyak tanah 10 liter, gula 3 kg, dan minyak goreng 3 kg. Ada juga bantuan sarana prasarana tani berupa bibit, pupuk, dan alat kelengkapan tani.




Berbagai masalah di awal kepindahan Sugeng dan Sriyono hanyalah permulaan dari dekade penuh kesulitan akibat salah urus transmigran Kedung Ombo oleh pemerintah. Bagi mereka, kehidupan lima tahun pertama terasa paling berat.

Setelah jatah hidup berhenti, warga mulai bercocok tanam. Awalnya warga menyisir lahan garapan yang lokasinya hanya berjarak 4 km dari pemukiman. Namun, mereka membutuhkan waktu enam bulan hingga satu tahun, hanya untuk membuka lahan. “Masih hutan belantara. Pohonnya besar-besar!,” kata Sugeng.

Namun, berkah gotong royong dan bahu membahu, warga berhasil menyisir satu per satu lahan sembari mulai menanam bibit padi, jagung dan kedelai yang diberikan pemerintah setiap musim tanam. Sayangnya, pemerintah tidak membekali warga mengenai pengetahuan menanam tanaman pangan di lahan dengan kadar sulfat dan asam tinggi agar tumbuh dan menghasilkan.

“Tidak ada sosialisasi dan pendampingan dari Departemen Pertanian. Masyarakat tahunya menanam seperti di Jawa,” katanya. Karena itu, tidak jarang mereka mengalami kegagalan dalam memanen hasil cocok tanam mereka.



Urgensi Perlindungan Bagi Korban Terdampak

Adanya berbagai masalah pasca pembangunan Waduk Kedung Ombo membuktikan bahwa Bank Dunia sebagai penyokong dana utama kurang serius mengawasi proyek tersebut. Karena itu, tidak mengherankan jika masih banyak warga terdampak mencoba bertahan di sekitar area waduk seraya menunggu masalah ganti rugi segera diselesaikan.
Belum tuntasnya masalah ganti rugi menambah panjang derita para korban pembangunan waduk Kedung Ombo.


Hasil survei Katadata membuktikan bahwa ganti rugi yang dibayarkan memang bermasalah. Korban waduk rata-rata hanya menerima uang ganti rugi Rp 250 per m2. Padahal, berdasarkan proposal Bank Dunia seharusnya warga mendapatkan ganti rugi rata-rata Rp 417 per m2 untuk harga pada masa itu.

Angka ganti rugi tersebut juga terbilang sangat rendah jika dibandingkan dengan harga tanah di sekitar Waduk Kedung Ombo. Harga tanah yang tidak terkena dampak pembangunan pada saat itu bisa mencapai Rp 10 ribu per m2. Akibatnya, para korban pembangunan Waduk Kedung Ombo tidak bisa pindah ke lokasi di sekitarnya karena tak mampu membelinya.
Jika mampu pun, mereka harus menerima kenyataan memiliki tanah dengan luas yang jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

Permasalahan yang muncul pada kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo seharusnya bisa dihindari atau setidaknya dapat diminimalisir dengan adanya safeguard. Safeguard adalah sebuah sistem pencegahan terhadap dampak yang muncul dari pencairan dana pinjaman lembaga donor agar sesuai dengan tujuan pemberian pinjaman tersebut. Safeguardjuga mengantisipasi munculnya dampak negatif di masa depan.


Warga menambatkan perahunya seusai dari ladang di pinggir waduk.

Permasalahannya, pada saat proyek Waduk Kedung Ombo dibangun pada 1985, Bank Dunia belum mensyaratkan safeguard. Lembaga donor menyerahkan pengawasan pinjaman dan dampak yang ditimbulkan, sepenuhnya kepada negara peminjam. Safeguard justru baru hadir pada 1995 atau setelah dampak sosial proyek Waduk Kedung Ombo mencuat ke publik.

Seandainya, pada masa itu, safeguard diterapkan dalam proyek Waduk Kedung Ombo, maka permasalahan seperti ganti rugi dan dampak sosial yang muncul dapat diidentifikasi lebih awal. Apalagi, harga ganti rugi dan lokasi pemindahan menjadi faktor yang sangat penting bagi warga terdampak sebuah proyek pembangunan. Pemilihan lokasi tidak boleh sembarangan. Paling tidak memiliki karakteristik yang sama atau bahkan lebih baik dari lokasi yang mereka tempati sebelumnya.

Bila sebagian besar warga terdampak profesinya adalah petani, maka lokasi di tempat baru yang disediakan oleh pemerintah seharusnya bertanah subur. Selain itu luas lahan ganti rugi yang diberikan setidaknya sama dengan luas di lokasi asal.

Di lokasi baru, warga terdampak proyek pembangunan juga membutuhkan fasilitas umum dan sosial tersedia di desa, seperti jalan yang layak dan pasokan listrik. Warga juga membutuhkan pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dengan dokter jaga yang siaga selama 24 jam. Sarana pendidikan, seperti sekolah-sekolah dari jenjang SMA dan SMK juga harus mudah diakses. Kehadiran fasilitas pengisian bahan bakar untuk kendaraan, pasar, dan kantor polisi juga diperlukan dan tersedia hingga ke level perdesaan.

Di sisi lain, solusi lain yang ditawarkan pemerintah, yakni transmigrasi pun tampaknya tidak disiapkan dengan matang. Warga dipaksa menerima ganti rugi sebagai salah satu persyaratan untuk ikut program transmigrasi. Warga yang ikut bertransmigrasi ke Mukomuko Bengkulu, misalnya dijanjikan akan mendapatkan lahan rumah seluas 1 ha dan 2 ha lahan pertanian dengan kondisi siap untuk digarap. Fakta di lapangan ternyata berbeda dan tidak sesuai dengan janji pemerintah.

Di lokasi transmigrasi Mukomuko, karakteristik lahannya berbeda dengan tanah di Kedung Ombo. Berbagai usaha untuk bertani tidak membuahkan hasil karena tanah di Mukomuko banyak bergambut. Tidak sedikit warga yang menyerah dan memutuskan pergi keluar dari daerah transmigrasi. Bahkan tidak sedikit warga kembali ke Jawa Tengah dan memilih bertahan di sekitar waduk Kedung Ombo ketimbang hidup di daerah transmigrasi.


Edo Rahman dari Departemen Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan Walhi menilai masalah ini tak hanya tanggung jawab pemerintah. Bank Dunia juga perlu urun rembug mengatasinya. Lembaga keuangan internasional itu merupakan pemberi pinjaman US$ 156 juta dari proyek US$ 283 juta ini. “Pinjaman yang diberikan ini membuat dampak kemiskinan antargenerasi terjadi,” kata Edo.

Belajar dari berbagai permasalahan yang menyelimuti proses pembangunan Waduk Kedung Ombo, maka safeguard menjadi persyaratan sangat penting dalam setiap pendanaan dari Bank Dunia.
Tanpa adanya Safeguard, dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan bagi warga terdampak bisa menyebabkan efek yang berkepanjangan.

Apalagi, ada kabar bahwa Bank Dunia akan melonggarkan atau meniadakan persyaratan safeguard setelah munculnya “pesaing”, seperti Multilateral Development Banks (MDB) atau bank pembangunan multilateral lainnya di dunia. Padahal, banyak kalangan berharap Bank Dunia tidak mengendurkan safeguard hanya untuk mempermudah persyaratan pinjaman untuk negara peminjam.

Safeguard ini harus tetap ada bagi setiap proyek pembangunan. Terlebih untuk pembangunan yang mengorbankan warga setempat harus berpindah ke tempat baru. Tanpa adanya safeguard, bukan tidak mungkin kasus seperti Kedung Ombo dapat terulang pada kemudian hari. Sudah seharusnya, setiap pembangunan membawa manfaat bagi banyak semua orang, tanpa ada warga terdampak yang terkesan dikorbankan.

***

Sumber: KataData.Co.Id 



Tuesday, October 02, 2018

Jejak Tsunami Besar di Pesisir Kulonprogo Dekat Calon Bandara

Selasa, 2 Oktober 2018 11:29

Ilustrasi peta tsunami hazard pesisir Kulonprogo - ist

YOGYA - Gempa dahsyat dan tsunami laut di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah sangat mengejutkan banyak pihak.

Para ahli geologi sesungguhnya sudah lama mengetahui, dan sejarah mencatat, wilayah Sulawesi Tengah ini berdiri di atas zona gempa.

Namun dampak gempa bumi yang mengubur sejumlah desa dan permukiman akibat proses likuifaksi daratan dan air tanah di bawah permukaan, menunjukkan fenomena cukup baru. Korban jiwa pun demikian banyak.

Hingga Senin (1/10/2018 malam, penghitungan jumlah korban meninggal sudah melampaui angka 1.200 orang.

Diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan orang lainnya belum ditemukan. Entah terkubur reruntuhan dan tanah maupun tersapu ke lautan.

Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan Donggala dan Palu berada persis di atas sesar Palu-Koro.
Catatan sejarah menujukkan gempa hebat dan tsunami pernah menerjang kedua wilayah ini. 

Sesar ini memiliki segmentasi dengan panjang bervariasi antara 15 hingga 59 kilometer. Karakteristik pergerakannya sesar geser dengan kecepatan 4 cm/tahun.

Pergerakan sesar Palu- Koro ini empat kali lipat laju sesar besar Sumatera.

Data gempa besar di Palu tercatat mulai 1905, 1907, 1909, 1927, 1937, 1968, dan 2012. Gempa kuat terakhir terjadi 18 Agustus 2012, berkekuatan 6,2 skala Richter. Rapatnya interval gempa kuat di Donggala dan Palu ini menunjukkan sangat aktifnya sesar geser Palu-Koro. 

Nah, bagaimana menjelaskan gempa bumi dahsyat dan tsunami dalam sejarah peradaban bangsa- bangsa di Nusantara? Sejak kapankah tercatat? Seperti apa gambaran bencana alam itu dalam sumber-sumber sejarah kita? Bagaimana jejaknya? 

Dimulai dari temuan jejak gempa dan tsunami di pesisir selatan Jawa yang belum tercatat dalam sejarah.

Peneliti LIPI, Eko Yulianto, lewat uji karbon menemukan deposit tsunami di pesisir Kulonprogo, DIY, berusia 300 tahun, atau diduga terjadi tahun 1699. 
Deposit lebih tua ditemukan berusia 1.698 tahun, 2.785 tahun, dan 3.598 tahun. Deposit dengan usia lebih kurang sama ditemukan di Lebak, Banten hingga Cilacap, Jateng.

Temuan ini menunjukkan gempa besar dan tsunami dahsyat sangat potensial di sepanjang wilayah ini.

Gempa Bantul 2006 berpusat di dekat daratan Parangtritis, persis di patahan Opak yang memanjang dari Parangtritis hingga Piyungan berbelok ke timur mengikuti kaki pegunungan Nglanggeran hingga Bayat, Klaten.

Ke utara dari Piyungan memanjang melewati Prambanan hingga sebelah timur gunung Merapi.

Meski tidak ada dalam catatan sejarah, perbedaan ekstrem kontur daratan di sisi timur Parangtritis dan dataran sebelah barat, mengindikasikan pernah terjadi tunjaman akibat patahan hebat. 
Entah berapa juta tahun lalu, namun mestinya kontur daratan Bantul dan Gunungkidul pernah di level sama.

Seperti halnya daratan Gunungkidul yang sambung menyambung dengan kontur perbukitan karst Wonogiri, Pacitan, terus ke timur hingga Malang, Lumajang hingga Banyuwangi. 

Patahan yang ambles mulai dari sisi timur Parangtritis hingga Kulonprogo itu akhirnya sebagian besar terisi endapan vulkanis dari gunung Merapi di sebelah utara.

Endapan itu sebagian besar berasal dari gunung Merapi Tua dan kemungkinan sebagian dari gunung Bibi, yang jauh lebih tua.   

Daratan yang patah dan ambles, yang sekaligus jadi pembatas tegas antara dataran rendah Yogya hingga Bantul dan perbukitan di Gunungkidul ini sedikit banyak menjelaskan mengapa daerah terdampak paling parah gempa 2006 terlihat dari Pundong (Bantul) hingga Berbah (Sleman).   

Dari temuan dan pembacaan sumber sejarah kuna tertulis, bencana besar tertulis di Prasasti Rukam bertarikh  829 Saka atau 907 Masehi.
Prasasti ini dikeluarkan Sri Maharaja Dyah Balitung sebagai pemimpin kerajaan Mdang Mataram saat itu. 

Prasasti tembaga ini ditemukan di Desa Petarongan, Parakan, Temanggung pada 1975. Inti prasasti itu adalah perintah dari Dyah Balitung lewat sang putra mahkota, Rakryan Mahamantri i Hino Sri Daksotamma Bahubajra Pratikpasaya, agar menjadikan Desa Rukam sebagai tanah sima (perdikan) bagi sang nenek, Rakryan Sanjiwana. 
Desa itu disebutkan hancur karena letusan gunung berapi. Namun tidak dijelaskan gunung api mana yang membuat desa itu hancur lebur.

Mengingat temuan ada di wilayah Parakan, diduga kuat gunung berapi yang dimaksud itu Gunung Sindoro. 

Penemuan bangunan pemujaan dan permukiman kuno Mataram di Liyangan, Parakan, Temanggung menguatkan dugaan itu.

Situs berciri Hindu itu terkubur bermeter-meter di bawah permukaan oleh material vulkanik dari arah Gunung Sindoro. 

Struktur bangunan mula pertama ditemukan tak sengaja ketika para penggali pasir menemukan batu-batu persegi di kedalaman lebih kurang enam meter.

Penelitian selama lima tahun terakhir menampakkan Situs Liyangan sebagai bangunan pemujaan dan kompleks hunian cukup besar.

Jejak lain bencana alam telah mengubur peradaban Mataram Kuna bisa disaksikan langsung di Candi Sambisari, Candi Kimpulan, Candi Losari, dan Candi Kedulan. Bangunan terakhir ini tengah dalam proses pemugaran candi induknya. 


Candi Sambisari dan Kedulan yang berdekatan lokasinya di Purwomartani dan Tirtomartani, Kalasan, Sleman, saat ditemukan terkubur material vulkanik dari Merapi, sedalam 6-8 meter.(Tribunjogja.com/xna) 

Sumber: TribunNews Jogja