Selasa, 2 Oktober 2018 11:29
Ilustrasi peta tsunami hazard pesisir Kulonprogo - ist
YOGYA - Gempa dahsyat dan tsunami laut di Donggala
dan Palu, Sulawesi Tengah sangat mengejutkan banyak pihak.
Para ahli geologi sesungguhnya sudah lama mengetahui, dan
sejarah mencatat, wilayah Sulawesi Tengah ini berdiri di atas zona gempa.
Namun dampak gempa bumi yang mengubur sejumlah desa dan
permukiman akibat proses likuifaksi daratan dan air tanah di bawah permukaan,
menunjukkan fenomena cukup baru. Korban jiwa pun demikian banyak.
Hingga Senin (1/10/2018 malam, penghitungan jumlah korban
meninggal sudah melampaui angka 1.200 orang.
Diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan orang
lainnya belum ditemukan. Entah terkubur reruntuhan dan tanah maupun tersapu ke
lautan.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG,
Daryono, menjelaskan Donggala dan Palu berada persis di atas sesar Palu-Koro.
Catatan sejarah menujukkan gempa hebat dan tsunami pernah
menerjang kedua wilayah ini.
Sesar ini memiliki segmentasi dengan panjang bervariasi
antara 15 hingga 59 kilometer. Karakteristik pergerakannya sesar geser dengan
kecepatan 4 cm/tahun.
Pergerakan sesar Palu- Koro ini empat kali lipat laju
sesar besar Sumatera.
Data gempa besar di Palu tercatat mulai 1905, 1907, 1909,
1927, 1937, 1968, dan 2012. Gempa kuat terakhir terjadi 18 Agustus 2012,
berkekuatan 6,2 skala Richter. Rapatnya interval gempa kuat di Donggala dan
Palu ini menunjukkan sangat aktifnya sesar geser Palu-Koro.
Nah, bagaimana menjelaskan gempa bumi dahsyat dan tsunami
dalam sejarah peradaban bangsa- bangsa di Nusantara? Sejak kapankah tercatat?
Seperti apa gambaran bencana alam itu dalam sumber-sumber sejarah kita?
Bagaimana jejaknya?
Dimulai dari temuan jejak gempa dan tsunami di pesisir
selatan Jawa yang belum tercatat dalam sejarah.
Peneliti LIPI, Eko Yulianto, lewat uji karbon menemukan
deposit tsunami di pesisir Kulonprogo, DIY, berusia 300 tahun, atau diduga
terjadi tahun 1699.
Deposit lebih tua ditemukan berusia 1.698 tahun, 2.785
tahun, dan 3.598 tahun. Deposit dengan usia lebih kurang sama ditemukan di
Lebak, Banten hingga Cilacap, Jateng.
Temuan ini menunjukkan gempa besar dan tsunami dahsyat
sangat potensial di sepanjang wilayah ini.
Gempa Bantul 2006 berpusat di dekat daratan Parangtritis,
persis di patahan Opak yang memanjang dari Parangtritis hingga Piyungan
berbelok ke timur mengikuti kaki pegunungan Nglanggeran hingga Bayat, Klaten.
Ke utara dari Piyungan memanjang melewati Prambanan
hingga sebelah timur gunung Merapi.
Meski tidak ada dalam catatan sejarah, perbedaan ekstrem
kontur daratan di sisi timur Parangtritis dan dataran sebelah barat,
mengindikasikan pernah terjadi tunjaman akibat patahan hebat.
Entah berapa juta tahun lalu, namun mestinya kontur
daratan Bantul dan Gunungkidul pernah di level sama.
Seperti halnya daratan Gunungkidul yang sambung
menyambung dengan kontur perbukitan karst Wonogiri, Pacitan, terus ke timur
hingga Malang, Lumajang hingga Banyuwangi.
Patahan yang ambles mulai dari sisi timur Parangtritis
hingga Kulonprogo itu akhirnya sebagian besar terisi endapan vulkanis dari
gunung Merapi di sebelah utara.
Endapan itu sebagian besar berasal dari gunung Merapi Tua
dan kemungkinan sebagian dari gunung Bibi, yang jauh lebih tua.
Daratan yang patah dan ambles, yang sekaligus jadi
pembatas tegas antara dataran rendah Yogya hingga Bantul dan perbukitan di
Gunungkidul ini sedikit banyak menjelaskan mengapa daerah terdampak paling
parah gempa 2006 terlihat dari Pundong (Bantul) hingga Berbah (Sleman).
Dari temuan dan pembacaan sumber sejarah kuna tertulis,
bencana besar tertulis di Prasasti Rukam bertarikh 829 Saka atau 907
Masehi.
Prasasti ini dikeluarkan Sri Maharaja Dyah Balitung
sebagai pemimpin kerajaan Mdang Mataram saat itu.
Prasasti tembaga ini ditemukan di Desa Petarongan,
Parakan, Temanggung pada 1975. Inti prasasti itu adalah perintah dari Dyah
Balitung lewat sang putra mahkota, Rakryan Mahamantri i Hino Sri Daksotamma
Bahubajra Pratikpasaya, agar menjadikan Desa Rukam sebagai tanah sima
(perdikan) bagi sang nenek, Rakryan Sanjiwana.
Desa itu disebutkan hancur karena letusan gunung berapi.
Namun tidak dijelaskan gunung api mana yang membuat desa itu hancur lebur.
Mengingat temuan ada di wilayah Parakan, diduga kuat
gunung berapi yang dimaksud itu Gunung Sindoro.
Penemuan bangunan pemujaan dan permukiman kuno Mataram di
Liyangan, Parakan, Temanggung menguatkan dugaan itu.
Situs berciri Hindu itu terkubur bermeter-meter di bawah
permukaan oleh material vulkanik dari arah Gunung Sindoro.
Struktur bangunan mula pertama ditemukan tak sengaja
ketika para penggali pasir menemukan batu-batu persegi di kedalaman lebih
kurang enam meter.
Penelitian selama lima tahun terakhir menampakkan Situs
Liyangan sebagai bangunan pemujaan dan kompleks hunian cukup besar.
Jejak lain bencana alam telah mengubur peradaban Mataram
Kuna bisa disaksikan langsung di Candi Sambisari, Candi Kimpulan, Candi Losari,
dan Candi Kedulan. Bangunan terakhir ini tengah dalam proses pemugaran candi
induknya.
Candi Sambisari dan Kedulan yang berdekatan lokasinya di
Purwomartani dan Tirtomartani, Kalasan, Sleman, saat ditemukan terkubur
material vulkanik dari Merapi, sedalam 6-8 meter.(Tribunjogja.com/xna)
Sumber: TribunNews Jogja
0 comments:
Post a Comment