Sunday, February 24, 2013

Surat Dari Gunawan Wiradi Untuk FKMA



Dari Gunawan Wiradi untuk Kawan-kawan
Forum Komunikasi Masyarakat Agraris
(FKMA)
Beberapa hari yang lalu, panitia pertemuan FKMA 8-10 Februari 2013 di Jogjakarta mengundang saya untuk hadir dalam satu sesi acara. Panitia kemudian mengirimkan TOR yang cukup panjang, menjelaskan latar dan tujuan dari FKMA. Setelah membacanya, semangat saya muncul cukup besar untuk dapat hadir dalam acara ini. Namun sayang, dengan berbagai keterbatasan situasi dan waktu, ternyata saya berhalangan. Saya meminta maaf tidak dapat memenuhi undangan panitia.
Namun secara prinsip, saya mendukung lahirnya FKMA dan keberlanjutannya ke depan. Untuk itu, demi tetap bisa merespon semangat pertemuan ini, saya kemukakan beberapa hal. Semoga bisa menjadi pengingat kita bersama dalam perjuangan, antara lain:
1. Leluhur kita, para pendiri republik ini, dari awal telah menyadari dan meyakini bahwa masalah agraria adalah masalah yang paling mendasar, karena menyangkut berbagai segi kehidupan.
Seorang pakar mengatakan, petani adalah peletak dasar peradaban. Dari sejarah ribuan tahun yang lalu, ketika manusia mulai hidup menetap, mulai mencangkul tanah dan bercocok tanam, saat itulah mulai berkembang berbagai macam seni dan budaya. Sebelumnya, manusia tinggal mengambil dari alam, berburu dan memetik buah-buahan. Sejak mulai bercocok tanam itu, waktu terbagi menjadi saat-saat giat bekerja dan saat-saat yang lebih santai. Di waktu giat bekerja bercocok tanam, pada awalnya muncullah seni pahat untuk membuat cangkul dari batu. Di waktu santai, mendengarkan semilir angin hingga muncullah seni suara. Selanjutnya, berbagai seni yang lainnya terus saja berkembang, terakhir seni sastra. Jadi, ketika manusia mulai mengolah tanah, budaya yang lain berkembang. Karena itulah petani adalah peletak dasar peradaban. Hal inilah yang disadari oleh para pendiri republik ini, sehingga masalah agraria harus dibenahi terlebih dahulu.
2. Saya menghargai usaha FKMA, yang menunjukkan ada perjuangan untuk menegakkan keadilan agraria. Perjuangan mencapai cita-cita yang besar seperti keadilan agraria, tidak bisa sebentar, tidak sehari dua hari saja, tidak sebulan dua bulan saja. Tapi perjuangan jangka panjang, ini harus disadari. Bagi suatu perjuangan gagasan, tidak ada perjalanan yang berhenti. Oleh karenanya diperlukan ketahanan, tidak cepat lelah, tidak cepat melemah. Bung Karno mengutip kata-kata seorang filosof, the true joy in life, is to align one self with some mighty purpose. Kebahagiaan hidup yang sejati adalah menyatukan diri dengan suatu cita-cita yang besar. Kemudian, if you try to do great things, the shadow of their greatness partly falls upon you also. Jika kau mencoba untuk berbuat sesuatu yang besar, maka bayangan kebesarannya sebagian akan jatuh kepadamu juga. Tapi ini memerlukan pengorbanan. Maka, dalam perjuangan harus siap berkorban, apakah korban harta sampai berkorban nyawa. Kesadaran untuk mau berkorban itu yang paling penting. Dan dalam perjuangan yang besar, tidak ada pengorbanan yang menjadi percuma!
3. Perjalanan hidup manusia, apakah sebagai individu atau bangsa, senantiasa mengalami pasang surut. Saat ini harus disadari, sebagai bangsa kita sedang surut. Tugas terberat saat ini ada di pundak generasi muda, bagaimana membuat bangsa ini bangkit lagi. Manusia yang tidak pernah jatuh, bukanlah manusia yang besar. Tapi manusia yang seringkali jatuh, tapi selalu bangkit kembali, itu baru manusia besar. Bangsa juga begitu. Bangsa yang tidak pernah jatuh bukanlah bangsa yang besar. Tapi yang selalu bangkit dari setiap kejatuhannya, itulah bangsa yang besar.
4. Dalam pengamatan saya, saat ini organisasi-organisasi sosial-masyarakat semakin mudah dipecah-belah. Berbeda sedikit saja membuat pecah, terbelah. Padahal konflik itu selalu ada, konflik internal antar individu, suasana persaingan, dan sebagainya. Sepanjang konflik itu bukan konflik tentang prinsip, kita boleh mengutip istilah Bung Hatta, “Dengan hati yang panas, tapi kepala tetap dingin”. Apa yang prinsip itu? Menyangkut ideologi, yakni cita-cita besar yang ingin dicapai dari keyakinan paling mendasar. Tapi jika konflik hanya dikarenakan masalah iri hati, persaingan prestasi, gaya dan sentimen pribadi, dan sebagainya yang seperti itu, semuanya ini belum pantas disebut pejuang.
5. Jangan iri melihat saudara yang jaya, jangan mengejek melihat saudara sengsara. Khususnya untuk yang sengsara, semestinya dibantu, bukan malah ditinggalkan. Orang yang sengsara, biasanya menjadi serba salah. Begitu pula bangsa ini, kini sedang dilanda sengsara sehingga menjadi serba salah. Janganlah bangsa ini ditinggalkan. Cinta patriotik atas bangsa dan tanah-air harus dipupuk. Jangan ekslusif, sehingga merasa benar atau menonjol sendiri. Sebagai forum komunikasi, FKMA mengandaikan semangat untuk saling berbagi dan menyambung rasa. Bung Karno berkata, “Macht aanwending!“. Menyatukan kekuatan!
6. Organisasi yang kuat, pimpinannya mestinya satu. Saat ini, dengan kedok demokrasi, pimpinan bisa menjadi banyak. Padahal dengan banyaknya pemimpin, membuat organisasi justru menjadi tidak solid, menjadi lemah, bahkan plin-plan. Kita banyak terkecoh dengan istilah “demokrasi”. Mengutip Rosseau, demokrasi dalam makna kebebasannya, selalu bersifat ada batasnya. Kebebasan itu terbagi dua, kebebasan alamiah dan kebebasan sosial. Kebebasan alamiah, dikendalai oleh kemampuan alamiah. Misalnya, ada pohon mangga, setiap orang bebas memetik buahnya. Namun, orang yang pendek akan lebih terbatasi kemampuan alamiahnya memetik mangga, dibanding orang yang bertubuh tinggi. Kebebasan sosial, dikendalai oleh kepentingan bersama (yang di zaman orde baru disebut “kepentingan umum”). Dalam kepentingan bersama, orang menilai dirinya melalui kaca mata orang lain. Dari sinilah bisa muncul kepentingan bersama. Dan bukan menilai orang lain dari kaca mata dirinya sendiri, yang memunculkan egoisme, mementingkan diri sendiri.
7. Maka dasar demokrasi sesungguhnya adalah permusyawarahan. Melalui musyawarah, ditentukan kepemimpinan dan teknis pemilihan pemimpin tersebut yang disepakati bersama, dengan dasar semangat tadi, menilai diri melalui kaca mata orang lain. Dalam memilih pemimpin ada pepatah, “Suatu masyarakat selalu memilih pemimpin yang sesuai dengan masyarakatnya itu sendiri. Sehingga pribadi pemimpin, adalah cermin dari pribadi masyarakatnya sendiri”. Maka bisa dipahami, jika pemimpin yang dipilih itu bodoh, maka itu cermin masyarakatnya sendiri yang telah memilihnya. Jika pemimpinnya koruptor, suka pamer, sibuk membangun citra diri sendiri, tidak menyelesaikan karut-marut bangsanya, menjadi boneka kepentingan sepihak, semua itu adalah cerminan dari masyarakatnya sendiri yang telah memilihnya. Memang sudah pantaslah setiap masyarakat dengan pemimpinnya.
Kemudian sebagai tambahan: sejak orde baru, “kepentingan umum” (termasuk juga semangat gotong royong) dimanipulasi sedemikian rupa. Apa yang disebut kepentingan umum seakan-akan menyangkut semua fasilitas untuk umum. Padahal, tidak semua fasilitas umum, benar-benar untuk umum. Misalnya, sekolah unggulan hanya orang-orang kaya yang bisa mendaftarkan anaknya di sekolah ini. Kemudian jalan tol, hanya orang bermobil yang bisa lewat disini, pun dengan bayaran. Pasar, bisa menjadi kepentingan umum, namun saat ini belum tentu juga. Apalagi pabrik, saat ini semakin tidak mencerminkan kepentingan umum. Suatu dasar dari kepentingan umum yang dilupakan adalah, bahwa kepentingan umum tidak boleh mengandung unsur bisnis. Jika sudah mengandung unsur tersebut, maka bukanlah kepentingan umum.
Terakhir. Hari ini, semoga saja orang-orang sudah semakin sadar akan krisis yang semakin ruwet. Sejak tahun 1980-an, sudah beberapa kali saya ungkapkan, jika berbagai krisis dalam masyarakat tak juga dibenahi, mengutip perkiraan Mahatma Gandhi, akan terjadi suatu situasi dimana masyarakatnya melakukan 7 dosa sosial, antara lain:
1. Politic without principle, politik tanpa prinsip. Seperti sekarang ini, politik dimana-mana hanya soal perebutan kursi, kuasa dan uang.
2. Wealth without work, kemakmuran tanpa kerja. Saat ini walau ada KPK, tapi korupsi justru semakin menggurita saja.
3. Commerce without morality, dagang tanpa moralitas. Ini sudah dosa turunan.
4. Education without character, pendidikan tanpa budi pekerti.
5. Pleasure without conciousness. Narkoba di mana-mana.
6. Science without humanity, pengetahuan tanpa kemanusiaan. Seharusnya, mengutip Sajogyo yang selalu menekankan, “Ilmiah tapi harus manusiawi!”.
7. Worship without sacrifice. Penyerahan tanpa pengorbanan. Ini yang paling parah saat ini.
Ketujuh dosa sosial ini sedang berlangsung saat ini dalam bangsa kita, bahkan jika diteliti lagi, mungkin lebih dari tujuh ini saja.
Demikian dari saya. Semoga pertemuan FKMA selama tiga hari di Jogjakarta ini, bisa memupuk kebersamaan, kekompakan, keyakinan pada perjuangan, dan ketahanan untuk selalu siap berkorban dalam perjalanan yang panjang.

0 comments:

Post a Comment