December 6, 2017
Seorang ibu menangis di bawah cakar besi ekskavator. Suaranya parau, dia menjerit, berteriak histeris.
“Toloonngg, jangan paksa kami, Pak. Toloooongg”.
Ekskavator tetap bergerak dikawal puluhan aparat. Menerjang, merobohkan pohon kelapa di sudut pekarangannya. Dia semakin histeris, berlutut menanamkan dua kakinya ke tanah. Agar tak ada satupun orang yang dapat menggoyahkan tubuhnya, sekalipun, Cakar Besi ekskavator menghantam.
Paijah[1] namanya, usianya kini menginjak 69 tahun. Sejak lima tahun lalu dia lantang menolak pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport) di Kecamatan Temon – Kulonprogo, sekarang, suaranya tetap sama. Pada Senin (04/12/2017), sejauh mata memandang, pohon ambruk berantakan, bangunan dan rumah hancur ditinggal penghuninya. Hanya rumah dan pepohonan di pekarangan Paijah dan juga 38 warga lain yang tetap tegak berdiri. Kondisi itu bukan karena bencana tsunami, bukan. Tapi bencana kemanusiaan, di mana atas nama pembangunan, para manusia diusir, sebab capung besi (Pesawat) akan segera mendarat, tepat di tanah milik mereka.
Siang itu, rumah Paijah menjadi sasaran penggusuran selanjutnya. Aparat bersenjata lengkap berbarengan memasuki pekarangan Paijah diikuti sebuah mobil Ekskavator. Mimik wajah mereka begitu serius dan kaku, seperti sedang menggrebek penjahat kelas kakap. Toh, yang keluar dari rumah 8×10 meter berpembatas kayu itu adalah seorang ibu tua renta.
Aparat keamanan mencoba menghandang langkah Paijah, jaringan solidaritas aktivis sontak bergerak memaksa para aparat mundur keluar dari pekarangan. Paijah dengan berani menghadang ekskavator yang mulai menyentuh bibir pekarangannya. Dia menjerit dan meminta tolong kebaikan hati penguasa yang telah mengeras itu.
“Tolooonng, Pak, ini kan negara Pancasila, Pak. Saya juga punya hak, hargai hak saya. Toloooong, Paaak….Bapaak adalah wakil rakyat, Pak. Tolooong, Pak. Jangan tindas kami, Pak. Tolooong,” teriaknya keras mengalahkan deru ekskavator yang sedari tadi bersiap ingin meratakan rumahnya. Dengan keberaniannya, dia seperti berkata: tumbangkan dan hancurkan dulu tubuhku sebelum kau tumbangkan pohon-pohon dan rumahku!
Melihat kejadian itu, kami sontak teringat dengan Rachel Corrie (warga AS), seorang pemudi 23 tahun yang tubuhnya luluh lantak di padang Gaza pada tahun 2003. Siang itu, di tengah udara yang begitu panas dan desingan peluru militer Israel, Corrie berlari menghadang tank dan bulldozer yang hendak merubuhkan bangunan warga Palestina. Ia tegak berdiri, sementara bulldozer terus melaju. Orang-orang dari kejauhan berteriak agar Corrie menyingkir. Namun tekad dan keberaniannya sudah bulat untuk membela kemanusiaan. Tubuhnya terkoyak, dilindas bulldozer berkali-kali.
Keberanian Paijah sudah bulat, atas nama tanah, darah, dan kehidupan. Hanya itu harta satu-satunya yang dimiliki. Ketika digusur, tak tahu dia sekeluarga harus tinggal di mana. Warga lain dan jaringan aktivis turut membantu menghalau para aparat. Perlahan tapi pasti mereka berhasil mendesak mundur para aparat dan mobil ekskavator setelah merobohkan sebatang pohon kelapa Paijah.
“Para aparat itu harus membela rakyat, jangan jadi babu korporat. Kalian pikir dari mana gaji kalian?” teriak seorang aktivis.
Peristiwa itu berjalan begitu cepat. Warga yang tergabung dalam PWPP-KP (Paguyuban Warga Penolak Penggusuran – Kulon Progo) dan jaringan aktivis tiba-tiba sudah memenuhi pekarangan Bu Paijah. Mereka terhimpun di setiap rumah warga yang melawan penggusuran yang tersebar di beberapa titik. Jumlah mereka mencapai 500-an orang. Dengan menyanyikan lagu Darah Juang dan orasi-orasi politik perlawanan mereka menggiring para aparat menyingkir dari pekarangan Bu Paijah hingga mencapai “pos keamanan”.
*** *** ***
Siang itu udara panas semakin menyengat. Pepohonan rindang ambruk tak karuan, sebagian besar rumah telah ditinggal pergi penghuninya. Yang tersisa, reruntuhan tembok dan keangkuhan penguasa. Bu Sutiah termenung sendiri, di bawah pohon kelapa, duduk, beralaskan setangkai blarak. Tatapannya kosong, bibirnya kadang bergumam, seperti sedang berpikir merangkai kata, jikalau, Ekskavator Penggilas dikawal para aparat datang, dia bisa lancar berkata.
Sutiah tampak meratapi pilu, dia tak tahu harus berbuat apa. Kami datang menghampiri. Siang itu masih ada 6 rumah yang berdiri tegak dengan pepohonan rindang meneduhi di sekitar rumahnya. Mereka bertahan, mereka melawan. Kami duduk menghadap ke utara, mengobrol dengan Bu Sutiah. Dihadapan kami, terhampar luas area persawahan yang kini kosong, tak ada tanaman.
“Di situ adalah kawasan yang subur, Mas,” ujarnya.
Pembangunan bandara seluas 637 hektare yang berdiri di atas tanah milik 419 KK tersebut, telah menyingkirkan 11.000 orang. Kawasan ini mampu menghasilkan 60 ton gambas dan 90 ton Terong perhektar/tahun. Mencukupi buah lebih dari satu kecamatan temon dengan 180 ton melon dan 190 ton semangka perhektar/ tahun.(PWPP-KP, 2017).
Bu Sutiah duduk termangu dengan tatapan kosong dan mata berkaca-kaca. Dia sedang menata papan kayu. Di tengah obrolan, Sutiah memberi tahu kami letak rumahnya yang tepat di belakang kami duduk. Rumah bertembok itu dalam kondisi kosong, gentengnya sudah diambilin. Begitupula pintu dan jendelanya. Sutiah ternyata sudah menyerah, dia pasrah jika hari ini rumahnya digusur.
Perempuan beranak dua itu rencana akan tinggal sementara di rumah ibunya, di desa sebelah, sambil menunggu dana ganti rugi diberikan. Untuk kebutuhan makan, dia masih memiliki 0,5 H sawah yang tidak masuk dalam proyek NYIA.
Tidak berselang lama, dua ekskavator bergerak merangkak menggilas bangunan yang luluh lantak ditinggal penghuninya. Sekitar 40 polisi dan pihak angkasa pura datang. Bu Sutiah dengan ragu berjalan menghampiri. Terjadi negosiasi antara dia dan anaknya dengan pihak PT Angkasa Pura (PT AP). Pihak PT AP menebar janji bahwa akan memenuhi pelunasan. Sementara tetangga Bu Sutiah, Ngadi tampak bernegosiasi dengan angkasapura, Bu Sutiah berdiri di sebelahnya.
“Kita belum mendapat ganti rugi. Janjinya juga akan diberi rumah susun. tapi mana?!” ungkap Ngadi.
“Ya nanti, Pak, sudah bertemu dengan Pak Lurah?” sahut Heni dari PT Angkasapura
“Sudah seminggu lalu. Mana Pak Lurah, kok gak ikut datang?” Ngadi menimpali.
“Ya sudah, kami data Bapak. Kami janji akan memenuhi tuntutan Bapak, yang terpenting bapak legowo, ya,” kata Heni.
Ngadi dan Sutiah dengan berat hati mempercayai janji dari PT AP. Mobil Ekskavator kembali merangkak setelah beberapa saat berhenti. Dua dari enam rumah yang masih tegak berdiri di sisi paling barat proyek NYIA akhirnya dirobohkan. Parmin tampak gemetaran menahan marah. Dia bersama tiga tetangganya duduk di sebelah kandang Sapi.
“Diapusi kok yo gelem! (dibohongi kok mau)” ujarnya geram ketika melihat Sutiah membiarkan rumahnya dianiyaya ekskavator.
Parmin (59 tahun) memiliki 4 orang anak yang tinggal satu rumah dengannya. Dia adalah salah satu dari tetangga Sutiah yang tetap bertahan dan melawan penggusuran. Rumah, pohon, dan sepetak tanahnya dihargai oleh PT PA senilai sekitar 300 juta. Dengan tegas ia menolak. Baginya, jumlah itu tidak akan mampu untuk membeli tanah dan membangun rumah baru. Apalagi dana ganti rugi dari PT. PA tidak langsung turun, namun dicicil secara bertahap.
Kami akhirnya berjalan menuju sisi paling timur dari mega proyek NYIA. Terlihat Paidi berteriak marah mengutuk pengemudi ekskavator. Lantaran, genteng dan kaca rumahnya pecah akibat hantaman ekskavator yang tengah merubuhkan rumah tetangganya. Retno, Ngadinah, dan Sri turut membantu Paidi mengamankan rumahnya. Mereka adalah anggota PWPP-KP.
Retno (37 tahun) adalah warga asli dari Semarang, sejak 11 tahun terakhir, mendapatkan suami orang Desa Glagah, Kecamatan Temon dan menetap di situ. Empat bulan sudah Retno tidak lagi bertani. Sawah yang digarap telah luluh lantak diterjang ekskavator. Tanaman semangka yang ditanamnya, mati tergilas. Sawah itu diklaim milik Pakualaman Ground.
“Kami Empat bulan nganggur gara-gara bandara, Mas, mata pencaharian utama kami udah dirampas,” ujarnya. Suami Bu Retno kini bekerja serabutan. Sedangkan dia di rumah, berjaga jika sewaktu-waktu mobil ekskavator menggilas datang, maka dia sudah siap memasang badan, melawan.
Sementara Bu Ngadinah (53 tahun) bertahan hidup dengan mengandalkan tabungan panen dari sawah yang sebelumnya digarap. Tak ada alasan baginya untuk menerima bandara, meskipun enam saudaranya memilih demikian. Tak mengapa baginya dikuculkan dan dihardik sanak saudaranya, daripada kehilangan satu-satunya sumber penghidupanya. Sebab ia sadar betul, mana mungkin bandara akan membutuhkan tenaganya. Tenaga seorang perempuan paruhbaya dengan pendidikan sebatas SMP.
“Mau apa (bekerja -red) orang seperti saya ini dengan adanya bandara?! Sekolah saja cuma sampai SMP, Mas!”
Tapi, obrolan kami terhenti ketika Ngadinah dihampiri Sri (62 tahun). Sri adalah anak kedua dari tiga saudara. Rumah mereka sejajar, tapi itu dulu. Kini tinggal rumah Bu Sri saja yang masih tegak berdiri. Kedua rumah saudaranya tinggal puing semata. Kakak dan adiknya telah “menyerah”. Bu Sri tetap bertahan, ia tidak memiliki pilihan lain. Harta satu-satunya hanyalah rumah yang terus dijaga bersama suami dan anaknya. Dia tidak memiliki sawah luas seperti tetangganya yang lain, yang saat ada ganti-rugi, dapat membeli tanah dan rumah baru.
*** *** ***
Baik Paijah, Sutiah, Ngadi, Parmin, Retno, Ngadinah, dan Sri, sejak 2012 adalah anggota dari Wahana Tri Tunggal (WTT), sebuah organisasi yang terbentuk untuk menentang pembangunan NYIA. WTT adalah organisasi yang menggabungkan tiga kelas dalam masyarakat: buruh tani, petani gurem, & tuan tanah. Sudah tidak terhitung berapa kali aksi yang mereka lakukan, dan sudah berapa banyak tenaga serta harta yang mereka curahkan dalam proses perjuangan. Organisasi yang begitu besar itu lama kelamaan mulai keropos. Puncaknya pada tahun 2016, ada kejadian yang disebut sebagai “WTT Bubrah (WTT Pecah/hancur).
Sutiah dengan terbata-bata mengungkapkan kekecewaannya pada Seno, mantan elit di WTT. Menurutnya dia adalah penghianat. Seno adalah salah satu petani kaya di Kecamatan Temon. Luas tanahnya sekitar 4 hektar, saat menerima ganti rugi, dia mendapat 6 Miliar. Kini setelah membuat WTT Pecah, dia bekerja untuk PT AP. Kondisi itu yang membuat Sutiah kebingungan menempatkan posisi dengan Seno, karena dia sekarang yang menjadi tangan kanan penguasa dalam setiap proses ganti rugi.
Sementara Retno mengutuk Janawi (elit WTT) dan menyebutnya sebagai makluk halus. Setelah Janawi sepakat menerima ganti rugi, dia menjadi orang yang datang ke rumah-rumah anggota WTT untuk tidak lagi menolak NYIA. Janawi menurut Retno memang mendapat tugas dari PT AP untuk merayu warga dengan imbalan uang tertentu.
Sementara kakak Ngadinah yaitu Ngatini, kini menjadi kaya. Ngatini dulu juga anggota WTT. Dia adalah tuan tanah di Kecamatan Temon dengan tanah mencapai 6 Hektar. Saat ganti rugi dia mendapatkan uang sekitar 8 Miliar. Ngatini juga terlibat dalam membujuk warga agar menjadi Pro Bandara paska WTT Pecah. Namun Ngadinah menolak. Ngatini membelikan saudara-saudara mereka motor, akan tetapi Ngadinah tidak, karena tetap keukeuh menolak pembangunan NYIA.
Setelah pecahnya WTT, mereka yang masih melawan kemudian membentuk PWPP-KP. Para tuan tanah menjadi biang pecahnya WTT. Dengan ganti-rugi dari PT AP, mereka bisa membangun kehidupan baru, yang sama baiknya. Berbeda dengan Parmin, Ngadinah, atau Sri.
Perlawanan PWPP-KP saat ini masih terus berlanjut hingga sekarang. Mereka menolak kompromi, menentang upaya Konsinyasi, tetap bertahan dan melawan: membela tanah, membela darah, membela kehidupan.
[1] Semua orang dalam tulisan ini telah disamarkan, dengan tujuan untuk melindungi responden, karena situasi di Kecamatan Temon, Kulonprogo masih dalam kondisi konflik dan terus memanas.
Liputan Kasus ini ditulis oleh Arif Novianto dan Hardian Wahyu Widianto (awak MAP Corner-Klub MKP UGM).
Sumber: MAP Corner UGM
0 comments:
Post a Comment