Wednesday, December 22, 2010

Latihan TNI Mengganggu Kerja Petani

 
"Pada saat latihan, kami tak bisa bekerja, tanaman tak bisa disiram; layu dan mati akhirnya.."
Begitulah, ungkapan banyak petani terhadap substansi rencana penetapan peruntukan kawasan Urutsewu sebagai kawasan Hankam. Resikonya, sebagaimana dikemukakan dalam naskah Executive Summary, 2010, hlm.39 butir k; tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan dan keamanan

Masih mau dibilang bahwa petani di Urutsewu “tak mempermasalahkan” semua itu? Sebagaimana pernyataan Tino Kades Ambalresmi dan Sunarto Kades Kaibon. Ah, bisa-bisanya. Pahamkah kedua pejabat itu ? Apalagi dengan mencatut dan mengatasnamakan Paguyuban Kades Kecamatan Ambal.

Hari ini, Rabu (22/12: 15.30) saat TNI masih latihan tembak senjata kanon di pesisir desa Ambalresmi dan Kaibon, petani tak bisa melakukan kegiatan di lahan miliknya yang berdekatan dengan pesisir itu. Seorang petani, Siman (67 th), harus menunggu sore atau bahkan harus menunggu lain hari untuk bisa pergi ke sawahnya. Warga desa Kaibon Petangkuran ini, terpaksa berdiam di rumah saja. Padahal ia butuh melaksanakan kegiatan bertaninya, termasuk merumput untuk pakan lembu piaraannya.

Saat ditanya apakah dia merugi atas kegiatan TNI, ia terdiam. Tapi begitu dijelaskan bahwa tak ada alasan untuk takut mengatakan kenyataan, barulah ia menjawab jujur.
“Bagaimana pun juga, latihan TNI itu mengganggu pekerjaan kami. Dan juga banyak sedulur petani yang lainnya”, jawabnya lugas.
Lebih lanjut, saat diberitahu bahwa sekarang ini pemerintah sedang menyusun aturan hukum yang akan menetapkan kawasan itu menjadi kawasan Hankam, sorot mata orangtua ini nampak kuyu; antara tak rela dan nelangsa. Siman mengatakan bahwa petani selalu mengalah selama ini. Padahal, dari jaman dahulu, dia dan banyak petani lainnya telah mengolah tanah itu bukan hanya sebatas berasengaja, tetapi hingga banyuasin. Sampai ke tepi air laut. Dia menolak penetapan kawasan ini untuk Hankam.

Kerugian Tanpa Ganti

Selain Siman, ada Sugino (32 th) petani generasi berikutnya yang juga memiliki lahan di kawasan pesisir Ambal. Seperti Siman, dia juga tak bisa bekerja di sawahnya selama TNI melaksanakan latihan. Kebiasaan lain saat ada latihan TNI ini, disertai juga dengan larangan terhadap para nelayan di kawasan perairan selatan. Apakah ada yang berfikir dan menghitung berapa kerugian petani dan nelayan saat harus libur bekerja? Tentu, tak ada. Padahal itu fakta.
“Tak ada ganti kerugian itu. Tak pernah”, tegas Sugino.
Memang jika petani bekerja dalam sehari tidak selalu harus mendapatkan uang atau penghasilan berapa. Jadi semua yang telah terjadi juga tak bisa diselesaikan dengan mekanisme ganti kerugian petani. Tetapi apa yang dilakukan petani sehari-hari tak bisa diukur dengan penghasilan serta nilai uang. Apalagi jika menyangkut kebutuhan dan hajat hidup bersama. Berapa biaya untuk menjaga tanah di sana tetap dalam kesuburan, daya tahan serta daya dukung yang bermuara pada kelestarian bumi? Tak terkira !

Secara kasuistik, coba perhatikan gambar foto di atas. Itu adalah lanskap lain bidang lahan petani yang disamping ditanami sayuran (terung), juga ditanamai cikal pohon kelapa. Tetapi ketika di suatu hari pasca Lebaran lalu, TNI latihan di lokasi ini; beberapa serdadu bertindak anarkis dan mengabaikan hak petani atas tanah dan tanaman di situ. Ada 19 batang cikal dicabuti tanpa permisi. Meski memang ada tindakan meminta ma'af, tetapi itu terjadi selang lain hari. Dan yang datang meminta maaf itu bukan perwakilan dari TNI-AD, melainkan Kades Ambalresmi. Padahal TNI berlatih di pantai Ambalresmi itu barulah beberapa bulan saja di sana.. []

0 comments:

Post a Comment