Wednesday, December 22, 2010

Memetakan Elite Desa yang Tidak Pro-Rakyat

“Apa yang dilakukan oleh Tino yang mengatasnamakan Paguyuban Kades Kecamatan Ambal, terkait dukungan terhadap item kawasan pertahanan keamanan dalam draft Raperda RTRW, sah-sah saja”, kata Seniman. Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) menanggapi pernyataan Kades Tino, sebagaimana diberitakan SM (18/12) beberapa hari yang lalu.

Hal itu tidak berpengaruh terhadap tuntutan penolakan kawasan Hankam yang selama ini diperjuangkan ribuan petani di wilayah pesisir selatan Kebumen. Bagi FPPKS, penolakan terhadap kawasan Hankam di Urutsewu telah melewati berbagai ujian berat.
“Pernyataan kades Tino, adalah persoalan kecil”, imbuhnya. Apalagi karena hanya ada 2 kades dalam Paguyuban Kades Kecamatan Ambal. Selain Tino, hanya Kades Kaibon, Sunarto, yang mendukung pernyataan itu. Yang lain hanya Sekdes Kenoyojayan dan Kadus salah satu dusun di desa Kaibon.

Memahami Masalah

Banyak orang, termasuk petani pesisir Urutsewu yang memang belum mengerti soal keberadaan Rancangan Perda RTRW Kebumen dan substansinya. Jadi wajar jika para petani terkesan “tidak mempermasalahkan” itu. Padahal jika Raperda itu sampai lolos, petani Urutsewu tak lagi bisa leluasa melakukan pekerjaannya di sana. Penetapan kawasan Urutsewu sebagai kawasan Hankam, amat beresiko bukan hanya terhadap penguatan sektor pertanian, tetapi juga terhadap keselamatan umum.

Fakta dan pengalaman empiris selama latihan TNI dipusatkan di Desa Setrojenar cukup menjadi basis untuk memahami konflik kepentingan ini. Pada saat-saat latihan saja, atau ketika ada uji coba senjata dan peralatan perang, dapat dilihat betapa meruginya petani, termasuk nelayan dari wilayah 3 kabupaten; Kebumen, Cilacap dan Purworejo. Sudah jadi kebiasaan saat ada jadwal latihan atau ujicoba senjata, petani dan nelayan dilarang melakukan pekerjaan rutinnya. Resikonya, petani tak bisa merawat tanaman, nelayan tak bisa melaut. Apalagi selama ini di kawasan pesisir banyak orang membudidayakan tanaman holtikultura seperti semangka dan cabai serta jenis sayuran lainnya.

Jenis tanaman ini butuh perlakuan khusus dan rutin. Belum lagi jika musim tumbuh dan serangan hama. Jarang orang memahami secara mendasar, sampai pada kesulitan seperti ini. Apalagi TNI, meskipun secara kelembagaan dan di permukaan mengklaim sebagai “peduli” petani dan lingkungan. Kepedulian yang belum lama ini dipertunjukkan dengan cara menjadi panitia lomba tanam jagung hibrida di mana-mana. Kepentingan strategis mereka dan implikasinya, tak mungkin dapat menjawab problem dan perkembangan kebutuhan obyektif petani dan nelayan.

0 comments:

Post a Comment