Friday, September 13, 2019

Perempuan di Garis Depan Perlawanan Urutsewu


Salah satu argumen TNI-AD dalam melaksanakan -pemaksaan- pemagaran di tanah-tanah "pemajekan" milik petani kawasan pesisir Urutsewu, adalah bahwa pagar yang mereka buat itu untuk menjaga asset negara disana. 

Klaim sepihak soal asset negara ini, konon, menurut kalangan tentara, mendasarkan pada adanya serah terima dokumen dari KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Artinya, ada asumsi bahwa tanah pesisir Urutsewu itu milik Kumpeni yang diwariskan oleh KNIL dalam suatu serah-terima kepada TNI. 


Sesungguhnya, "teori" ini telah sejak lama "ditertawakan" warga. Tetapi, ihwal adanya dokumen ini, tidak pernah sekali pun ditunjukkan kepada petani atau pejabat pemerintah yang mencoba memediasi kemelut ini. Apakah pesisir Urutsewu itu warisan Belanda, jika ada itu dokumen tahun berapa, bagaimana isinya, kapan dimana serah-terimanya; tak pernah ada yang tahu.


Di pihak lain, baik dari petani maupun dari pejabat desa telah membuka dan menunjukkan bukti berupa data administrasi tanah dalam Buku C Desa, bukti sertivikat Hak Milik (Dinas Agraria, 1962-1969), bukti pembayaran pajak (dari sejak menggunakan Pethuk atau TUPI hingga SPPT - Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), yang telah ditunjukkan dalam berbagai kesempatan. 





Tampilnya Perempuan
"Wong dudu tanah negara kok arep dipager tentara", demikian sergah seorang ibu di muka tentara yang menjaga pemagaran. "Mbok coba tentara mikir...", lanjutnya. 
Pemagaran ini, yang sejak awalnya mendapat penolakan dan perlawanan dari para petani karena jelas-jelas dilakukan dengan menerjang tanah-tanah pemajekan milik warga, memicu amarah para petani; tak terkecuali ibu-ibu warga Urutsewu desa Brecong yang juga tak rela karenanya. 

Itu sebabnya para perempuan ini langsung bergerak ke lahan pertanian begitu mendengar maklumat yang disuarakan melalui Toa masjid desa dan mushola. Sebagian perempuan  bersama warga lainnya telah lebih dahulu berada karena memang tengah bekerja di lahan garapannya. 

Rekaman video di atas, menjelaskan bagaimana petani, termasuk perempuan mengambil semua resiko menghadapi tentara di lapangan yang tengah memaksakan kehendaknya membangun pagar. Sebelum insiden kekerasan Rabu (11/9) ini, beberapa kali juga terjadi friksi di lokasi pemagaran. []

0 comments:

Post a Comment