"Patok Kumpeni kah yang mau dipasang ini?", gumam petani dalam hati.
Begitulah saat acara sosialisasi pemasangan patok di Balai Desa Entak (Ambal) dilaksanakan. Menjelang tengah hari siang itu, Selasa (31/5), beberapa pejabat tingkat kecamatan juga datang. Camat Ambal, petugas dari Koramil (Misno) dengan beberapa petugas intel (Teguh, dkk), Martijo sekdes dari desa lain (Kenoyojayan), seperti sebuah tim yang dipersiapkan.
Sedangkan dari desa Entak sendiri, ada Ngatiman (Kades), Rajimin (Congkog), Purwaningsih (Sekdes) dan para Kadus dari Pranji, Daleman dan Mijen serta unsur BPD juga ada.
Acara yang dipandu Safari (Kaur Umum) desa Entak ini, merupakan kelanjutan penolakan warga desa dan petani Entak atas tindakan TNI memasang patok tanah di lahan desa.
Pemasangan patok dilaksanakan hari Minggu (29/5) dan diprotes oleh petani yang melaporkan insiden ini kepada Kades. Untuk menghindari kejadian buruk, Kades Ngatiman meminta petugas patok menghentikan pekerjaannya. Hal ini memang sangat disesalkan, karena jelas-jelas bahwa lahan dimana patok itu ditanam adalah lahan milik petani warga desa Entak. Petugas ini telah mengabaikan azas musyawarah dengan pemilik tanah.
Ternyata bahkan ihwal pematokan tanah ini juga telah dilakukan di beberapa desa sebelumnya. Seolah TNI memang sengaja mengabaikan segala yang melekat di atas tanah yang dipasang patok itu. Jika dicermati, kelakuan ini mirip dengan tindakan provokasi Tentara Kumpeni yang mematok tanah-tanah petani pada awal Perang Jawa, yakni Perang Diponegoro (1825-1830) di masa lalu.
Perluasan Resistensi Desa
Bukti bahwa penolakan terhadap aktivitas TNI di UrutSewu, sejatinya, bukan cuma fakta yang sebagaimana terjadi di desa Setrojenar, yang telah menimbulkan kebrutalan serdadu terhadap warga sipil. Filosofi "Sedumuk Bathuk Senyari Bumi" juga telah mendapatkan pemaknaan kultural yang luas masyarakat di bumi Jawa. Termasuk dalam konteks ini, di kawasan pesisir selatan Kebumen.
Yang terjadi pada "meeting" di Balai Desa Entak (Kec. Ambal) pada Selasa (31/5) siang dan Minggu (29/5) malam, dimana warga jelas-jelas menolak pematokan, apa pun alasannya; harus dilihat sebagai manifestasi kedaulatan (desa dan warga) atas wilayah pesisirnya.
Pernyataan pemerintah, melalui retorika yang disampaikan Camat Ambal, memang pantas dipertanyakan basis konsistensinya. Bahwa TNI-AD tidak akan menguasai dan/atau memiliki tanah-tanah petani di kawasan UrutSewu ini. Itulah, tetapi ketika warga desa Entak meminta kepastian hukum atau jaminan mengenai "pernyataan" yang diulang ini; maka tak ada satu pun pejabat pemerintah atau pun pejabat tentara yang berani konsisten. Termasuk saat Diar, pejabat Danramil Ambal menyusul dihadirkan di forum sipil ini. Terhadap tuntutan warga desa yang butuh kepastian ini, bahkan dianggap tuntutan warga tidak riil. Justru..
Lalu terbang kemana keberanian itu...
Sunday, June 05, 2011
Haruskah Ada: Perang Diponegoro Babad KeDua ?
Sunday, June 05, 2011
No comments
0 comments:
Post a Comment