* 7 Tahun Tragedi
Urutsewu di Setrojenar:
TRAGEDI: Peringatan 7 Tahun Tragedi Urutsewu (16/4/2011) diikuti oleh ratusan petani pesisir Kebumen selatan. Peringatan digelar (16/4) di lapangan Desa Setrojenar, Bulupesantren [Foto: Teguh P]
Tragedi Urutsewu
yang terjadi di Blok Pendil Desa Setrojenar pada Sabtu, 16 April 2011, telah
lewat 7 tahun silam; kembali diperingati oleh ratusan petani di kawasan pesisir
Kebumen selatan. Peringatan ini dihelat warga pada Senin (16/4) di lapangan
desa setempat, persis di seberang markas Dislitbang TNI-AD.
Rangkaian peringatan
diawali sholat hajat dilanjutkan dengan istighotsah
berjamaah. Nampak diantara jamaah yang hadir Kepala Kesbangpol Linmas
Kebumen Nurtakwa Setyabudi, Camat Suis Idawati yang diiringi Kasie Trantib
Kecamatan Buluspesantren. Peringatan 7 tahun “Tragedi Urutsewu” juga banyak
diikuti petani dan warga tetangga lain desa yang berdatangan dari Kecamatan
Ambal dan Mirit.
Ketua FPPKS
(Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan) Seniman Marto Dikromo juga datang dan
melantunkan puisi “Kidung Pesisiran” diiring pupuh tembang mocopat dan
gambuh di sela musik tradisional yang
dimainkan petani warga Desa Wiromartan Mirit; sebuah desa di ujung timur
Urutsewu yang juga pernah mengalami kekerasan lainnya yang dilakukan tentara
hingga melukai Kades Sunu dan beberapa warganya.
Lantunan “Kidung
Pesisiran” seakan menggugah kembali ingatan petani dari suasana keseharian dan
menghadapkan pada dua situasi yang menuntut perjuangan antara hidup sebagai
pejuang ketahanan pangan dan pejuang hak pemilikan lahan.
Dari kiri ke kanan: Seniman 9Ketua FPPKS), Teguh Purnomo (Koordinator TAPUK), Suri Supangat (Kades Setrojenar) [Foto: teguh P]
Keadilan yang Terluka
Beberapa dari 14
korban kekerasan militer, 6 diantaranya ditembak dan kesemuanya harus rawat
inap di RSU kala itu; juga saling bertemu dan tak bisa mengelak dari suasana yang
mengharu. Mustofa, 71, petani yang saat tragedi berusia 64 tahun dan diserang 6
tentara hingga pingsan di lokasi; nampak merah kusut dan basah matanya di usia
yang menua.
Paryono, ketua
panitia yang memprakarsai peringatan ini mengingatkan betapa timpangnya
keadilan diterapkan. Faktanya, 6 petani rekannya telah menjalani hukuman atas
sangkaan perusakan fasilitas Dislitbang. Tetapi hingga hari ini, tentara yang melakukan
kekerasan dan perusakan 12 sepeda motor warga tak tersentuh hukum. Bahkan ke 12
sepeda motor milik warga yang rusak permanen dan disita tanpa keterangan, tak
jelas keberadaan dan penanganannya hingga hari ini.
Ketua Tim Advokasi
Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK), Teguh Purnomo yang juga hadir menyebut
kejadian ini sebagai merugikan petani.
“Kasus konflik agraria seperti ini tak hanya terjadi di Urutsewu saja”, terangnya sambil menjelaskan kasus serupa sebagaimana terjadi di Temon Kulonprogo atas petani yang menolak pembangunan bandara. Ia melihat di setiap relasi konflik seperti ini, termasuk di Kedungombo; masyarakat kecil seperti petani selalu rentan pada posisi korban atau bahkan dikriminalkan.
“Perlu komitmen bersama semua pihak. Selama ini pemerintah masih abai terhadap penyelesaian konflik pertanahan”, terangnya.
Tak kurang, koordinator
Urutsewu Bersatu (USB) Widodo Sunu Nugroho lebih menyoroti perkembangan konflik
paska tragedi 16 April 2011, dimana pada kenyataannya TNI-AD malah memaksakan proyek
pemagaran pesisir sepanjang 22,5 Km yang mencakup 15 desa di 3 kecamatan yang
ada.
“Sebenarnya ketika TNI-AD memaksakan pemagaran itu jelas melanggar hukum”, tegas Sunu yang kini menjabat Kades Wiromartan itu.
Masih dalam
perkembangan konflik yang sama, Kades Sunu ini pernah mengiring warganya yang
menolak pemagaran lahan pertanian milik petani yang diterjang pembangunan
pagar. Tetapi bukannya mendapat penjelasan TNI-AD, Sunu dan beberapa warganya
malah dipukul tentara hingga pingsan dan terluka.
“Padahal, jelas petani Urutsewu memiliki bukti pemilikan tanahnya”, pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment