Monday, April 16, 2018

Pemerintah Masih Abaikan Petani Urutsewu


* 7 Tahun Tragedi Urutsewu di Setrojenar:


TRAGEDI: Peringatan 7 Tahun Tragedi Urutsewu (16/4/2011) diikuti oleh ratusan petani pesisir Kebumen selatan. Peringatan digelar (16/4) di lapangan Desa Setrojenar, Bulupesantren [Foto: Teguh P]

Tragedi Urutsewu yang terjadi di Blok Pendil Desa Setrojenar pada Sabtu, 16 April 2011, telah lewat 7 tahun silam; kembali diperingati oleh ratusan petani di kawasan pesisir Kebumen selatan. Peringatan ini dihelat warga pada Senin (16/4) di lapangan desa setempat, persis di seberang markas Dislitbang TNI-AD.

Rangkaian peringatan diawali sholat hajat dilanjutkan dengan istighotsah berjamaah. Nampak diantara jamaah yang hadir Kepala Kesbangpol Linmas Kebumen Nurtakwa Setyabudi, Camat Suis Idawati yang diiringi Kasie Trantib Kecamatan Buluspesantren. Peringatan 7 tahun “Tragedi Urutsewu” juga banyak diikuti petani dan warga tetangga lain desa yang berdatangan dari Kecamatan Ambal dan Mirit.

Ketua FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan) Seniman Marto Dikromo juga datang dan melantunkan puisi “Kidung Pesisiran” diiring pupuh tembang mocopat dan gambuh di sela musik tradisional yang dimainkan petani warga Desa Wiromartan Mirit; sebuah desa di ujung timur Urutsewu yang juga pernah mengalami kekerasan lainnya yang dilakukan tentara hingga melukai Kades Sunu dan beberapa warganya.

Lantunan “Kidung Pesisiran” seakan menggugah kembali ingatan petani dari suasana keseharian dan menghadapkan pada dua situasi yang menuntut perjuangan antara hidup sebagai pejuang ketahanan pangan dan pejuang hak pemilikan lahan.

Dari kiri ke kanan: Seniman 9Ketua FPPKS), Teguh Purnomo (Koordinator TAPUK), Suri Supangat (Kades Setrojenar) [Foto: teguh P]


Keadilan yang Terluka

Beberapa dari 14 korban kekerasan militer, 6 diantaranya ditembak dan kesemuanya harus rawat inap di RSU kala itu; juga saling bertemu dan tak bisa mengelak dari suasana yang mengharu. Mustofa, 71, petani yang saat tragedi berusia 64 tahun dan diserang 6 tentara hingga pingsan di lokasi; nampak merah kusut dan basah matanya di usia yang menua.

Paryono, ketua panitia yang memprakarsai peringatan ini mengingatkan betapa timpangnya keadilan diterapkan. Faktanya, 6 petani rekannya telah menjalani hukuman atas sangkaan perusakan fasilitas Dislitbang. Tetapi hingga hari ini, tentara yang melakukan kekerasan dan perusakan 12 sepeda motor warga tak tersentuh hukum. Bahkan ke 12 sepeda motor milik warga yang rusak permanen dan disita tanpa keterangan, tak jelas keberadaan dan penanganannya hingga hari ini.

Ketua Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK), Teguh Purnomo yang juga hadir menyebut kejadian ini sebagai merugikan petani.
“Kasus konflik agraria seperti ini tak hanya terjadi di Urutsewu saja”, terangnya sambil menjelaskan kasus serupa sebagaimana terjadi di Temon Kulonprogo atas petani yang menolak pembangunan bandara. Ia melihat di setiap relasi konflik seperti ini, termasuk di Kedungombo; masyarakat kecil seperti petani selalu rentan pada posisi korban atau bahkan dikriminalkan. 
“Perlu komitmen bersama semua pihak. Selama ini pemerintah masih abai terhadap penyelesaian konflik pertanahan”, terangnya.
Tak kurang, koordinator Urutsewu Bersatu (USB) Widodo Sunu Nugroho lebih menyoroti perkembangan konflik paska tragedi 16 April 2011, dimana pada kenyataannya TNI-AD malah memaksakan proyek pemagaran pesisir sepanjang 22,5 Km yang mencakup 15 desa di 3 kecamatan yang ada.  
“Sebenarnya ketika TNI-AD memaksakan pemagaran itu jelas melanggar hukum”, tegas Sunu yang kini menjabat Kades Wiromartan itu.
Masih dalam perkembangan konflik yang sama, Kades Sunu ini pernah mengiring warganya yang menolak pemagaran lahan pertanian milik petani yang diterjang pembangunan pagar. Tetapi bukannya mendapat penjelasan TNI-AD, Sunu dan beberapa warganya malah dipukul tentara hingga pingsan dan terluka.
“Padahal, jelas petani Urutsewu memiliki bukti pemilikan tanahnya”, pungkasnya.

0 comments:

Post a Comment