Hari Tani Nasional, 24
September 2014; ditandai dengan aksi petani kawasan pesisir Urutsewu di depan
gerbang kantor DPRD Kebumen. Aksi yang dimulai pada jam 10.30 wib; dikemas
dalam sajian happening-art jadi menarik dan menghadirkan suasana yang
berbeda serta jauh dari kesan anarkis. Organ tani yang melakukan aksi hari ini
adalah Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan [FPPKS] dan Urut Sewu Bersatu
[USB]. Dua organ tani ini secara konsisten melakukan penolakan terhadap
pemanfaatan tanah pertanian pesisir untuk latihan militer dan ujicoba senjata
berat. Juga menolak pengalihan fungsi tanah pertanian holtikultura untuk
pertambangan pasirbesi.
Belasan pemuda tani melumuri
tubuhnya dengan lumpur dan memainkan peran sebagai tanah obyek sengketa agraria
yang tak kunjung usai hingga hari ini. Berbagai aksi demonstrasi telah
dilakukan hingga terakhir mendatangi Jokowi dan melakukan audiensi di Jakarta.
Besarnya harapan petani terhadap presiden terpilih hasil Pilpres 2014 ini pun belum
juga mendapatkan gambaran jelas mengenai penyelesaian tuntas atas sengketa
agraria yang telah menelan korban nyawa, darah dan harta rakyat Urutsewu.
Bahkan pada Hari Tani ini
pun, saat petani tengah kembali melakukan aksi penolakan buat ke sekian kalinya,
fihak militer tak menghentikan aksi latihannya hari ini di pesisir Ambalresmi.
Mengingat
Kembali Sejarah Tanah Urutsewu
Tak ada kemarahan yang
menyala di terik siang, kemarahan petani Urutsewu telah memuncak pada tengara
bentrokan atau tepatnya Tragedi Setrojenar 16 April 2011 silam. Hari ini
kemarahan itu menguat dalam bahasa simbolik melalui aksi teatrikal yang digelar
petani; lengkap dengan iringan gamelan tradisional. Aksi teatrikal ini secara
gamblang memaparkan sejarah tanah pesisir Urutsewu sejak masa Klangsiran
[1920, 1932] masa Cirat [1932-1952].
Kejayaan aktivitas produksi sosial masalalu yang sempat jadi entitas
petani pesisiran, hari-hari ini terganggu oleh gejala dominasi peran militer
dengan dalih “tanah Negara” dan issue wilayah pertahanan keamanan.
Ingatan kolektif atas
sejarah tanah pesisir Urutsewu ini muncul dalam peragaan nDoro Klangsir [pejabat
agraria kolonial Hindia-Belanda], yang
disertai asisten dan diiringi tabuhan kemong bertalu yang dibunyikan
secara ritmik oleh pembantu yang menyertainya. Esensi dari peristiwa Klangsiran
adalah pemetaan tanah milik dan pendataan dalam Buku C desa-desa yang
dilewatinya.
Dan sejarah tanah pesisir
Urutsewu ini tidak lagi diomongkan, sebagaimana dilakukan dalam aksi-aksi
selama ini; tetapi diperagakan, didirikan.
Dewan Baru,
Problem Lama
Pemaparan aspek historis
dalam aksi teatrikal petani Urutsewu hari ini, sungguh sangat lah
gamblang. Massa aksi tidak memasuki gedung dewan yang juga pernah berulangkali
dimasuki sebelumnya dengan membawa problem yang sama; problem lama. Beberapa
anggota DPRD memang turun menemui petani di muka gerbang yang diterpa terik
siang
“Kami masih akan mempelajari
dulu apa yang kami terima hari ini”, begitu pernyataan sang wakil, entah
mewakili siapa.
Tak ada kemarahan menyala di
terik siang itu. Tetapi jelas, massa aksi kecewa oleh pernyataan yang lebih
merupakan retorika belaka. Dalih bahwa mayoritas anggota dewan adalah orang
baru, sepertinya bakal jadi alasan klasik menyikapi problem Urutsewu. Entah
sampai kapan secara tuntas diselesaikan, dengan memihak kepentingan rakyat,
seperti bunyi katanya.
0 comments:
Post a Comment