Penulis: Setro Jenar*
PWPP: Foto rumah petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran - Kulon Progo (PWPP-KP) yang diurug halaman pekarangannya, dibuat parit sekelilingnya; seakan disengaja untuk sama sekali mengisolir petani yang melawan ketidakadilan pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport). [Foto: Dok.PWPP-KP]
Bagaimana situasi terkini masyarakat yang tersudut dalam
kronik agraria dan bagaimana “ikatan suci”1 yang melandasi perjuangan para petani di
tengahnya; tak banyak yang memahami dengan seutuhnya. Pada kasus penggusuran
agraria di Temon Kulon Progo, dimana tak kurang dari 37 KK petani membangun
resistensi atas ketimpangan megaproyek bandara internasional New Yogyakarta
(NYIA); banyak orang melihat resistensi itu sebagai perlawanan waton sulaya semata.2
Pada suatu malam refleksi pasca “pembuldozeran” lahan dan
tanaman petani3, yang ternyata telah berulang dan sebagian
tanaman di lahan itu tengah berproduksi, para petani gempung hati dan fikirnya lantaran jelas-jelas teraniaya; makin
membulatkan tekadnya untuk tak takluk pada kesewenang-wenangan. Perlakuan tak
manusiawi ini, dalam berbagai bentuknya, secara khusus dibahas dalam rapat
warga.
BULDOZER: Seorang tentara menjaga pembuldozeran lahan cabai milik petani yang baru panen perdana. Kejadian penghancuran lahan produktik yang masih Hak Milik petani ini berlangsung di Glagah (28/6) dan Palihan (29/6).
Alih-alih mendapat pembelaan dari pengayom masyarakat,
ribuan polisi juga tentara, bahkan mengawal proses penghancuran lahan dan
tanaman milik para petani itu.
“Polisi bukannya mengayomi masyarakat, tapi malah mengawal seluruh proses perusakan (penghancuran lahan_Red) itu”, tukas Hermanto yang dibenarkan warga lainnya. “Sangat tidak manusiawi”, sambungnya.
Tak ada pembelaan dari mana pun.4 Tak juga dari rejim “negara
agraris” yang lebih mengimani pembangunanisme sebagai pandangan dalam
menentukan kebijakan makronya, melampaui kewajiban menyejahterahkan rakyatnya
yang diamanatkan konstitusi. Sehingga tatkala alat-alat berat meluluhlantakkan
tanaman holtikultura di lahan milik
petani pun, dianggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan umum berupa pembangunan
itu.
KECEWA: Foto eksekusi penghancuran lahan pertanian, meski dilawan mati-matian oleh warga, penghancuran itu terjadi juga. Sebelumnya ada statement dari Bupati Bantul dan pihak Angkasa Pura bahwa jika eksekusi ini dilakukan akan menyertakan Komnas HAM. Tapi faktanya negara tak hadir di lokasi dan penghancuran telah terjadi [Dok. PWPP-KP]
Tetapi pembangunan bandara internasional New Yogyakarta
(NYIA) yang dilaksanakan dengan cara menggusur rakyat setempat terutama petani
yang secara kultur telah menjalin relasi agraris turun temurun, itu bukan saja
tak bisa disederhanakan atas nama pembangunan. Tetapi juga karena Temon mesti
dilihat sebagai ruang hidup yang dibangun turun temurun, melintasi zaman dan
menjadi puzzle tata-nilai suatu peradaban
bercorak agraris di Kulon Progo.
Budaya agraris, berikut tradisi dan relasi-relasinya, tak
bisa begitu saja diabaikan dan disederhanakan dengan cara paksa memindahkan
lokasi (relokasi) warga petaninya ke ruang hunian baru. Manakala pemaksaan ini
yang terjadi maka itu artinya picu perlawanan rakyat telah ditarik.
“Ini semua hunian manusia yang memang harus dijaga dan dimanusiawikan”, kata seorang relawan di sela berlangsungnya rapat warga.
Watak Pembangunan dan
Pentingnya Solidaritas
POLISI: Keberadaan ratusan polisi, dan juga militer, di lokasi; bukan untuk mengayomi asset milik warga, melainkan untuk mengawal penghancuran lahan [Foto: Dok. PWPP-KP]
Kenapa mesti bersolidaritas? Karena semua orang, bahkan juga
pemerintah, telah mengabaikan dan menjauh meninggalkan persoalan ini. Kemelut
agraria yang diciptakan picunya dari kuasa kebijakan makro rejim infrastruktur
penggusur, makin hari makin menjamur kuantitasnya. Sementara dari perspektif
rakyat, sebagaimana mengemuka dalam refleksinya; pembangunan tak selalu harus
dilaksanakan dengan cara menggusur warga dimana-mana.
Demikian pula yang terjadi di Temon Kulon Progo. Negara
bukan saja tak hadir untuk melindungi rakyatnya dalam menghadapi kemelut
agraria ini. Tetapi justru ia -negara- itu menjadi pangkal dari semua kemelut itu
dan malah jadi bagian dari masalah. Dan karena negara bukan representasi
kedaulatan rakyatnya serta memposisikan pada pengabdian terhadap kekuasaan
modal dengan mengabaikan esensi berkeadilan sosial; maka dari situlah
resistensi tumbuh bersemi.
Sebagaimana kemelut agraria pesisir Urutsewu di sebelah
baratnya, maka petani PWPP-KP dibiarkan menghadapi ancamannya sendirian.
Terhadap kasus pemaksaan pemindahan (relokasi) penduduk pun disingkiri oleh
para pemangku kepentingan dan otoritas kewenangan di sektor agraria. Watak rejim
pembangunan yang dilaksanakan hari ini makin jelas tak berbasis pada pemajuan
dan pengembangan budaya agraris.
Lantas apa yang bisa diperbuat?
Bersolidaritas adalah sebuah cara yang paling mungkin buat
dilakukan. Meski terhadap kemelut agraria PWPP-KP di Temon, solidaritas itu
telah dibangun –terutama- oleh para relawan; tetapi kuasa modal kembali
menghancurkannya. Kehancuran memang bukan melulu pada lahan-lahan pertanian
yang dibuldozer atau rumah-rumah yang diratakan tanah. Solidaritas sosial yang
mencerminkan kearifan budaya gotong-royong pun dideranya.
Portal yang dipasang pada sarana mobilitas umum di Jalan
Daendels, dan dijaga 24 jam; hanyalah satu dari sekian fakta tentang Temon hari
ini.
[Bersambung]
___
1 Ikatan suci yang dimaksud adalah ikrar suci dengan asma Tuhan dan dengan
alam ciptaanNya, yang telah dilangsungkan dalam situasi komunal yang
disakralkan. Dalam konteks ini, ikrar dilakukan warga petani Temon Kulon Progo
yang menolak penggusuran pembangunan bandara NYIA.
2 Terminologi Jawa untuk sebuah pertentangan berdalih “pokoknya”, tanpa
landasan yang -khususnya- secara idiil dapat dipertanggungjawabkan.
3 Dibawah pengawalan aparat (polisi
dan militer) pihak Angkasa Pura lancarkan “pembuldozeran” lahan -cabai- pertanian
jelang dan pada masa panen di dusun Glagah (28/7) dan Palihan (29/7).
Pengoperasian alat berat lainnya melakukan penggalian dan pengurugan tanah “hak
milik” seperti halaman dan sekitar rumah petani yang menolak NYIA.
4 Statement Bupati Kulon Progo dan fihak Angkasa Pura yang akan menyertakan
Komnas HAM saat -eksekusi- lahan dan pembersihan tanaman dinilai sebagai ingkar
janji.
* Setro Jenar, petani pedukuhan Godi, pegiat agraria korban kekerasan militer pada Tragedi Urutsewu 16 April 2011
0 comments:
Post a Comment