Tuesday, July 10, 2018

Menolak NYIA Melawan Ketidakadilan Agraria [1]


Penulis: Setro Jenar*

PWPP: Foto rumah petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran - Kulon Progo (PWPP-KP) yang diurug halaman pekarangannya, dibuat parit sekelilingnya; seakan disengaja untuk sama sekali mengisolir petani yang melawan ketidakadilan pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport). [Foto: Dok.PWPP-KP]

Bagaimana situasi terkini masyarakat yang tersudut dalam kronik agraria dan bagaimana “ikatan suci”1 yang melandasi perjuangan para petani di tengahnya; tak banyak yang memahami dengan seutuhnya. Pada kasus penggusuran agraria di Temon Kulon Progo, dimana tak kurang dari 37 KK petani membangun resistensi atas ketimpangan megaproyek bandara internasional New Yogyakarta (NYIA); banyak orang melihat resistensi itu sebagai perlawanan waton sulaya semata.2

Pada suatu malam refleksi pasca “pembuldozeran” lahan dan tanaman petani3, yang ternyata telah berulang dan sebagian tanaman di lahan itu tengah berproduksi, para petani gempung hati dan fikirnya lantaran jelas-jelas teraniaya; makin membulatkan tekadnya untuk tak takluk pada kesewenang-wenangan. Perlakuan tak manusiawi ini, dalam berbagai bentuknya, secara khusus dibahas dalam rapat warga. 

BULDOZER: Seorang tentara menjaga pembuldozeran lahan cabai milik petani yang baru panen perdana. Kejadian penghancuran lahan produktik yang masih Hak Milik petani ini berlangsung di Glagah (28/6) dan Palihan (29/6). 

Alih-alih mendapat pembelaan dari pengayom masyarakat, ribuan polisi juga tentara, bahkan mengawal proses penghancuran lahan dan tanaman milik para petani itu.
“Polisi bukannya mengayomi masyarakat, tapi malah mengawal seluruh proses perusakan (penghancuran lahan_Red) itu”, tukas Hermanto yang dibenarkan warga lainnya. “Sangat tidak manusiawi”, sambungnya.
Tak ada pembelaan dari mana pun.4 Tak juga dari rejim “negara agraris” yang lebih mengimani pembangunanisme sebagai pandangan dalam menentukan kebijakan makronya, melampaui kewajiban menyejahterahkan rakyatnya yang diamanatkan konstitusi. Sehingga tatkala alat-alat berat meluluhlantakkan tanaman holtikultura di lahan milik petani pun, dianggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan umum berupa pembangunan itu.

KECEWA: Foto eksekusi penghancuran lahan pertanian, meski dilawan mati-matian oleh warga, penghancuran itu terjadi juga. Sebelumnya ada statement dari Bupati Bantul dan pihak Angkasa Pura bahwa jika eksekusi ini dilakukan akan menyertakan Komnas HAM. Tapi faktanya negara tak hadir di lokasi dan penghancuran telah terjadi [Dok. PWPP-KP]  

Tetapi pembangunan bandara internasional New Yogyakarta (NYIA) yang dilaksanakan dengan cara menggusur rakyat setempat terutama petani yang secara kultur telah menjalin relasi agraris turun temurun, itu bukan saja tak bisa disederhanakan atas nama pembangunan. Tetapi juga karena Temon mesti dilihat sebagai ruang hidup yang dibangun turun temurun, melintasi zaman dan menjadi puzzle tata-nilai suatu peradaban bercorak agraris di Kulon Progo.  

Budaya agraris, berikut tradisi dan relasi-relasinya, tak bisa begitu saja diabaikan dan disederhanakan dengan cara paksa memindahkan lokasi (relokasi) warga petaninya ke ruang hunian baru. Manakala pemaksaan ini yang terjadi maka itu artinya picu perlawanan rakyat telah ditarik.  
“Ini semua hunian manusia yang memang harus dijaga dan dimanusiawikan”, kata seorang relawan di sela berlangsungnya rapat warga.

Watak Pembangunan dan Pentingnya Solidaritas


POLISI: Keberadaan ratusan polisi, dan juga militer, di lokasi; bukan untuk mengayomi asset milik warga, melainkan untuk mengawal penghancuran lahan [Foto: Dok. PWPP-KP]

Kenapa mesti bersolidaritas? Karena semua orang, bahkan juga pemerintah, telah mengabaikan dan menjauh meninggalkan persoalan ini. Kemelut agraria yang diciptakan picunya dari kuasa kebijakan makro rejim infrastruktur penggusur, makin hari makin menjamur kuantitasnya. Sementara dari perspektif rakyat, sebagaimana mengemuka dalam refleksinya; pembangunan tak selalu harus dilaksanakan dengan cara menggusur warga dimana-mana.

Demikian pula yang terjadi di Temon Kulon Progo. Negara bukan saja tak hadir untuk melindungi rakyatnya dalam menghadapi kemelut agraria ini. Tetapi justru ia -negara- itu menjadi pangkal dari semua kemelut itu dan malah jadi bagian dari masalah. Dan karena negara bukan representasi kedaulatan rakyatnya serta memposisikan pada pengabdian terhadap kekuasaan modal dengan mengabaikan esensi berkeadilan sosial; maka dari situlah resistensi tumbuh bersemi.

Sebagaimana kemelut agraria pesisir Urutsewu di sebelah baratnya, maka petani PWPP-KP dibiarkan menghadapi ancamannya sendirian. Terhadap kasus pemaksaan pemindahan (relokasi) penduduk pun disingkiri oleh para pemangku kepentingan dan otoritas kewenangan di sektor agraria. Watak rejim pembangunan yang dilaksanakan hari ini makin jelas tak berbasis pada pemajuan dan pengembangan budaya agraris.
Lantas apa yang bisa diperbuat?

Bersolidaritas adalah sebuah cara yang paling mungkin buat dilakukan. Meski terhadap kemelut agraria PWPP-KP di Temon, solidaritas itu telah dibangun –terutama- oleh para relawan; tetapi kuasa modal kembali menghancurkannya. Kehancuran memang bukan melulu pada lahan-lahan pertanian yang dibuldozer atau rumah-rumah yang diratakan tanah. Solidaritas sosial yang mencerminkan kearifan budaya gotong-royong pun dideranya.

Portal yang dipasang pada sarana mobilitas umum di Jalan Daendels, dan dijaga 24 jam; hanyalah satu dari sekian fakta tentang Temon hari ini.

[Bersambung]

___
1 Ikatan suci yang dimaksud adalah ikrar suci dengan asma Tuhan dan dengan alam ciptaanNya, yang telah dilangsungkan dalam situasi komunal yang disakralkan. Dalam konteks ini, ikrar dilakukan warga petani Temon Kulon Progo yang menolak penggusuran pembangunan bandara NYIA.
2 Terminologi Jawa untuk sebuah pertentangan berdalih “pokoknya”, tanpa landasan yang -khususnya- secara idiil dapat dipertanggungjawabkan.
3  Dibawah pengawalan aparat (polisi dan militer) pihak Angkasa Pura lancarkan “pembuldozeran” lahan -cabai- pertanian jelang dan pada masa panen di dusun Glagah (28/7) dan Palihan (29/7). Pengoperasian alat berat lainnya melakukan penggalian dan pengurugan tanah “hak milik” seperti halaman dan sekitar rumah petani yang menolak NYIA.    
4 Statement Bupati Kulon Progo dan fihak Angkasa Pura yang akan menyertakan Komnas HAM saat -eksekusi- lahan dan pembersihan tanaman dinilai sebagai ingkar janji.   

* Setro Jenar, petani pedukuhan Godi, pegiat agraria korban kekerasan militer pada Tragedi Urutsewu 16 April 2011 

0 comments:

Post a Comment