Martin Sitompul | 02 September 2015
Eksploitasi ekonomi pada masa tanam paksa bukan hanya
dilakukan oleh Belanda. Pemimpin lokal yang tidak amanah turut terlibat di
dalamnya.
Wajib tanam tebu masa Sistem
Tanam Paksa di Krebet, Malang. Foto: KITLV.
KERUSAKAN yang diakibatkan Perang Diponegoro (1825-1830)
memukul roda perekonomian Belanda. Keadaan demikian menyebabkan pemerintah
Belanda harus mencari cara untuk kembali mendulang laba di tanah koloni.
Pemerintah Belanda akhirnya mengirimkan Gubernur Jenderal yang baru, Johannes
van den Bosch untuk mengatasi kemelut ekonomi itu. Van den Bosch mengeluarkan
satu sistem budidaya tanaman yang dikenal dengan kebijakan cultuurstelsel.
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya
Jilid 1, sistem ini memungkinkan eksploitasi pedesaan Jawa secara maksimal dan
membuktikan bahwa koloni dapat memberikan hasil melebihi biayanya.
Tiap desa harus menyerahkan seperlima bagian dari tanah
dan pekerja taninya untuk ditanami produk natura (hasil bumi) yang sedang laku
di pasar dunia, seperti kopi, tebu, teh, dan indigo.
Tanaman pemerintah harus dirawat warga desa sampai masa
panen. Mereka memanen dan menyetorkan hasilnya ke pabrik pengolahan atau gudang
setempat. Desa akan menerima pembayaran uang hasil bumi yang ditaksir saat
tanaman dagang masih berdiri di ladang.
“Dengan sistem bonus dan insentif yang cerdik, Van den Bosch berhasil mengerahkan para Bupati Jawa untuk mengawasi penanaman, panen, dan pengangkutannya. Dia hanya memerlukan sejumlah kecil pegawai administrasi Belanda untuk mengawasi kelancaran seluruh sistem,” tulis Lombard.
Dalam praktiknya, sistem budidaya tanaman ini dijalankan
dengan aneka rupa penyelewengan. Transaksi kekuasaan antara pemerintah kolonial
dan penguasa lokal membuat sistem budidaya menjadi tanam paksa.
“Kesetiaan penguasa lokal kepada penguasa Belanda diimbangi dengan pembayaran gaji yang besar dan hadiah persentase dihitung dari panen tanaman dagang yang dihasilkan kabupaten masing-masing,” tulis Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa. “Kerja yang dituntut dari kaum tani diperlakukan sama seperti corvee (rodi atau kerja paksa).”
Lama-kelamaan, ketentuan jumlah tanah dan tenaga tani
yang dikerahkan lebih dari lima persen. Hal ini dilakukan oleh para bupati
untuk memperoleh lebih banyak bonus persentase penjualan tanaman dagang. Van
Niel mencatat, beberapa daerah melibatkan 90 persen keluarga tani untuk
mengerjakan tanah pemerintah.
Tidak pelak lagi, petanilah yang harus memanggul derita
tanam paksa.
“Terlalu banyak waktu dicurahkan untuk penanaman pemerintah sehingga menelantarkan tanaman padi. Apabila terjadi gagal panen selama setahun atau dua tahun maka terjadilah bencana kelaparan, muncul wabah penyakit, dan perpindahan penduduk ke daerah-daerah lain,” tulis Van Niel.
Sementara itu, Lombard mencatat, selama empat dekade
diterapkan, sistem tanam paksa menyumbangkan 800 juta gulden terhadap kas
pemerintah Belanda.
Roman Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli
menggambarkan dengan jelas rupa penindasan yang dialami sekaligus
ketidakberdayaan petani Jawa. Bupati dan pejabat desa sebagai penguasa lokal
kerap mengeksploitasi petani untuk keuntungan mereka sendiri. Hal ini terjadi
karena pertalian feodal mengikat petani sebagai kawula yang harus tunduk
terhadap bupati.
“Orang Jawa dianiaya!” kata Multatuli yang bernama asli Eduard Douwes Dekker.
“Orang merasa biasa, bahwa beratus-ratus keluarga mendapat panggilan dari tempat jauh, untuk tanpa bayaran mengerjakan ladang-ladang milik bupati. Orang merasa hal biasa, bahwa mereka memberikan tanpa bayaran barang makanan untuk keperluan rumah tangga bupati. Dan jika bupati berkenan menyenangi seekor kuda, seekor kerbau, seorang anak gadis, seorang istri orang biasa, maka dianggap luar biasa atau mustahil jika orang itu tidak mau menyerahkan tanpa syarat apapun.”
Kaum liberal Belanda menentang sistem tanam paksa dan
secara bertahap dihapuskan pada 1870. Penolakan ini juga datang dari kalangan
pengusaha yang tergiur keuntungan dan potensi usaha di Jawa.
Pada tahun itu pula lahir Undang-Undang Agraria tahun
1870, yang mengatur kepemilikan tanah negara seraya memberikan peluang masuknya
modal swasta.
Sumber: Historia
0 comments:
Post a Comment