KPA/Jakarta, 13-09-2015; Bertempat di Kantor Kontras, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Komite Aksi Hari Tani Nasional melakukan Konferensi Pers terkait Persiapan Aksi Hari Tani Nasional pada tanggal 21 September 2015 di Istana Negara. Adapun agenda aksi tani tersebut adalah mengingatkan pada Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla untuk melaksanakan Reforma Agraria dan membentuk Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria.
Hadir dalam Konferensi Pers bersama sebagai Narasumber, Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria menyoroti tentang kebijakan Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla yang tidak memihak pada Reforma Agraria, ini dibuktikan dengan tidak adanya kebijakan yang pro terhadap perjuangan Petani dalam mempertahankan hak atas tanah, Dewi dari Solidaritas Perempuan menyampaikan bahwa saat ini perjuangan kaum perempuan dalam mempertahankan hak atas tanah masih terhambat pada adanya diskriminasi terhadap perempuan, menuntut keadilan gender dan Moderator Budi dari Kontras menyatakan bahwa Koalisi yang terdiri berbagai elemen masyarakat ini sepakat bahwa Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla saat ini belum sepenuhnya melaksanakan agenda Reforma Agraria.
Mendesak Jokowi-JK untuk Melaksanakan Reforma Agraria Sejati
Pemerintahan Jokowi-JK melabeli salah satu program di RPJMN sebagai reforma agraria. Program tersebut meliputi redistribusi tanah, legalisasi aset dan bantuan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah 9 juta hektar tanah dialokasikan untuk redistribusi dan legalisasi. Pemerintah menetapkan tanah seluas 4,5 juta hektar lewat legalisasi asset (sertifikasi), sementara 4,5 juta hektar tanah lewat redistribusi tanah yang sebagian besar melalui proses pelepasan kawasan hutan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sebagai implementor bagi program tersebut belum menyiapkan berbagai prasyarat implementasi, baik landasan hukum hingga strategi pelaksanaan. Sehingga, hingga saat ini belum terdapat kejelasan pelaksanaan dari program tersebut. Di sisi lain, berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung kedalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menilai bahwa program yang diklaim sebagai reforma agraria oleh Jokowi-JK bukan sebagai reforma agraria sejati.
Selain masih cenderung terbatas dan sektoral, program yang diklaim sebagai reforma agraria oleh Jokowi-JK belum diorientasikan pada penyelesaian berbagai persoalan agraria secara menyeluruh, mulai dari ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, konversi lahan-lahan pertanian, penurunan jumlah petani hingga konflik agraria. Tanpa orientasi dari pemerintahan saat ini untuk menyusun langkah-langkah guna menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, maka program dalam RPJMN yang tercatat sebagai reforma agraria, bukan merupakan reforma agraria sejati.
Di tahun 2014, rasio gini tanah tercatat 0,72 yang mana menandakan ketimpangan pemilikan dan penguasaan masih terjadi hingga saat ini. Bahkan, dengan minimnya langkah-langkah pemerintah untuk meminimalisir ketimpangan tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan terus membengkak. Kemudian, persoalan penurunan jumlah petani tak kalah mengkhawatirkan, dimana dalam catatan BPS, telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga petani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Lebih lanjut, persoalan konflik agraria juga belum menemukan titik terang di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Meski dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah terjadi 472 kasus konflik di tahun 2014 yang melibatkan 105.887 kepala keluarga, belum ada keseriusan pemerintah untuk menghentikan peningkatan angka konflik. Di sisi lain, tindakan kekerasan maupun kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, aktivis agraria, dan kelompok masyarakat lainnya masih terjadi, dan KPA mencatat di tahun 2014, terdapat 19 orang tewas, 107 dianiaya, 17 orang tertembak dan 225 orang ditangkap. Adapun, pelaku kekerasan di dominasi oleh aparat kepolisian, preman dan TNI.
Selain itu, berbagai persoalan terkini juga turut menambah pelik kondisi agraria di Indonesia, sebut saja tingginya angka impor produk pangan, kekeringan hingga kebakaran lahan. Dalam kebijakan impor, Jokowi-JK tak berbeda dengan pemerintah terdahulu karena cenderung masih bertopang terhadap impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Terlebih, adanya kekeringan yang melanda berbagai daerah hingga saat ini menambah kuat alasan pemerintah untuk membuka keran impor. Alasan lain, sebagaimana diungkap oleh Gubernur BI, bahwa impor pangan dibutuhkan untuk menjaga inflasi ditengah pelemahan nilai tukar rupiah.
Secara spesifik, persoalan kekeringan yang terjadi di banyak daerah, terutama di sebagian daerah yang menjadi lumbung pangan merupakan indikasi kuat dari ketidaksiapan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap petani. Tak hanya itu, minimnya perhatian pemerintah terhadap petani dan sektor pertanian menyebabkan tidak adanya langkah-langkah antisipatif dalam menghadapi kekeringan, ataupun ancaman-ancaman lain di sektor pertanian secara khusus, maupun sektor-sektor agraria lain secara umum.
Persoalan lain, dalam kasus kebakaran lahan di beberapa daerah, pemerintah terlihat belum memiliki keseriusan untuk menghentikan praktik pembakaran lahan yang disinyalir dilakukan oleh beberapa perusahaan besar guna melakukan konversi lahan secara massif. Tak hanya itu, kebakaran lahan juga mengindikasikan bahwa pemerintah pusat dan daerah belum mampu mengatur secara tegas peruntukan dan pemanfaatan lahan-lahan di banyak daerah. Sehingga, konversi lahan-lahan produktif terus terjadi, bahkan tak jarang konversi lahan dilakukan tanpa pertimbangan yang cukup, layaknya praktik perluasan perkebunan sawit.
Di tengah kondisi demikian, pemerintah tidak bisa abai dan menutup mata atas realitas yang terjadi. Perubahan secara menyeluruh dalam berbagai sektor agraria mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah, karena tanpa itu, krisis di ragam sektor agraria menjadi tak terhindarkan. Maka, sebagai wujud niat dan komitmen politik pemerintahan Jokowi-JK untuk mendorong dan melaksanakan penyelesaikan persoalan agraria, pembentukan lembaga pelaksana reforma agraria di bawah otoritas Presiden menjadi mendesak untuk diwujudkan. Lembaga tersebut nantinya akan menyusun dan melakukan aksi nasional pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia yang melibatkan kementerian lintas sektor, masyarakat, dan lainnya.
Berdasarkan paparan dan data diatas, dalam kesempatan ini kami dari Komite Aksi Hari Tani Nasional, sekali lagi menegaskan:
- Pemerintahan Jokowi JK harus segera melaksanakan reforma agraria sejati dan menyelesaikan konflik agraria
- Bentuk segera badan khusus dibawah Presiden yang bertugas melaksanakan aksi nasional reforma agrarian.
- Menyerukan kepada seluruh organisasi rakyat, baik petani, buruh, kaum perempuan, mahasiswa dan masyarakat miskin perkotaan untuk bersatu dan mendukung rangkaian aksi serentak pada momen hari tani nasional 2015.
Demikian siaran pers, kami sampaikan untuk menjadi perhatian bersama.
KPA, API, STI Indramayu, SEPETAK Karawang, FPBI, SMI, GPM Majalengka, KIARA, WALHI, Elsam, KontraS, TuK Indonesia, Sawit Watch, IHCS, SPKS, SP, SP Jabodetabek, Bina Desa, SainS, Pilnet, KPOP, JKPP, JATAM, RMI, AMANAT Bogor, Pusaka
Jakarta, 13 September 2015
Juru Bicara Komite Aksi Hari Tani Nasional
Kent Yusriansyah
Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat/ Biro Bantuan Hukum KPA
0 comments:
Post a Comment