Thursday, September 17, 2015

Urutsewu: Republik Rasa Juncta [1]



Tarik ulur jumlah perwakilan petani Urutsewu yang diperbolehkan menghadap Pj. Bupati Kebumen, mewarnai aksi geruduk spontanitas 200 warga pesisir Kebumen selatan yang tengah jengah oleh tindakan pemaksaan pemagaran pesisir oleh TNI-AD. Aksi yang semula diseting sebagai pendudukan pendopo (17/9) rumah dinas Bupati ini dimulai jam 14.36 wib tanpa pemberitahuan ke polisi. Pemicunya, lagi-lagi pemagaran paksa oleh TNI di atas lahan-lahan pertanian milik warga. Pemagaran kali ini mulai merambah pesisir desa Ayamputih dan Setrojenar (Buluspesantren).

Pada pagi di hari yang sama, dari pesisir desa Ambalresmi terdengar suara dentuman mortir layaknya perang yang menjatuhkan beberapa mortir berhulu-ledak di sisi timur pesisir desa Kaibon Petangkuran (Ambal). Beberapa petani yang tengah bekerja menengarai suara ledakan ini sebagai psywar sekaligus  menandai bahwa di pagi itu akan ada rintisan lanjut pemagaran di desa lainnya. Ternyata duga tengara ini benar adanya. Beberapa petani warga Ayamputih mengirim pesan pendek ke desa tetangga Setrojenar yang ternyata juga telah mulai ada kiriman masuknya matrial pemagaran.

Kabar ini dengan cepat menyebar dari wilayah barat, tengah hingga ke ujung timur kawasan konflik Urutsewu yang mencakup 15 desa pada 3 kecamatan. Seandainya lalu lintas pesan pendek ini dirubah sinyalnya menjadi suara kentongan, maka akan terdengar hiruk-pikuk titir kentongan yang mengingatkan darurat peristiwa pencurian, perampokan atau pun bencana alam.

Berasa ada kegusaran dalam kirim terima pesan-pesan digital, berpusar dalam dorongan yang begitu kuatnya untuk menolak dengan amarah. Tapi lekatnya pengalaman getir dimana para petani selalu digebuki jika berhadapan dengan tentara, mengingatkan warga untuk tidak mengulang peran sebagai obyek kebrutalan. Lalu, jika malam-malam sebelumnya para petani mengadukan keluh pada Gusti Allah, maka lepas tengah hari itu ratusan warga mengadu ke pejabat Bupatinya.

Janji peje Bupati

Keinginan petani warga pesisir Urutsewu agar sang Bupati sudi keluar menghampiri kerumun massa di regol kanjengan terganjal oleh tarik-ulur tawaran perwakilan saja. Tak kurang pejabat Sekda Adi Pandoyo sendiri menyambungkan syarat pisowanan bertemu Pj Bupati Arief Irwanto. Pada akhirnya massa yang tak menghendaki model perwakilan dapat melunak ditenangkan Kyai Imam Zuhdi yang memimpin aksi.

Selusin perwakilan massa memasuki rumah dinas Bupati untuk sebuah pertemuan tertutup yang mengambangkan asa petani dan warga. Gundah di luar kembali mengalir, seiring desir yang menghantarkan waktu maghrib pun tiba. Rembang malam Jumat Kliwon layaknya keramat putusan yang ditunggu...

Rupanya, problem krussial segenting konflik agraria Urutsewu pun ditadah untuk menunggu janji penyelesaian. Kesanggupan bersabar seperti apa yang dibutuhkan?

Bahkan untuk sekedar menghentikan pemagaran paksa oleh tentara di atas tanah pemajekan milik petani yang seharusnya menjadi mozaik puzzle dari wajah kedaulatan republik ini. Ah, republik rasa Juncta ! 

0 comments:

Post a Comment