Sejarah reforma agraria yang berimpitan dengan sejarah kekerasan di perdesaan.
AYA khawatir mengalami déjà vu tatkala membaca dokumen resmi pemerintahan sekarang yang merencanakan pelaksanaan reforma agraria. Bentuknya berupa membagi tanah seluas 9 juta hektare dalam skema legalisasi aset (4,5 juta ha) dan redistribusi (4,5 juta ha). Rinciannya: legalisasi aset oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terhadap 0,6 juta ha untuk transmigrasi, dan 3,9 juta ha yang telah dikuasai masyarakat tapi belum bersertifikat. Redistribusi diambil dari tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) dan Tanah Terlantar seluas 0,4 juta hektare, ditambah 4,1 juta ha kawasan hutan yang dilepas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kebijakan “penataan agraria” agar lebih berkeadilan itu tentu saja menggembirakan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu oleh petani di tengah ketimpangan pemilikan dan kebijakan alokasi tanah serta konflik agraria yang demikian luas di negeri ini?
Tidak perlu kaget jika pemerintah menerjemahkan reforma agraria secara sempit sebagai legalisasi aset. Begitulah adanya. Namun, saya khawatir pada hal lain yang juga mendasar. Pembacaan saya atas sejarah pelaksanaan reforma agraria (landreform) bermuara pada beberapa kesimpulan yang merisaukan.
Ketidaksigapan negara
Buku Andi Achdian, Tanah bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965 (2009) berkesimpulan bahwa kebijakan perombakan struktur agraria nasional dijalankan saat kondisi negara sangat lemah. Negara tidak memiliki jangkauan yang memadai dalam mengurus birokrasi dan aparatnya sampai ke tingkat daerah. Ada keletihan politik selama beberapa tahun sebelumnya di tingkatan elite nasional. “Demokrasi Terpimpin” yang berkuasa saat itu adalah rezim dengan kekuasaan yang mulai merapuh. Sebaliknya, terjadi ruralisasi politik berupa mobilisasi masyarakat desa oleh kekuatan partai politik melalui saluran organisasi taninya masing-masing: setidaknya ada BTI/PKI, Petani/PNI, dan Pertanu/NU, dan lain-lain.
Ada kesenjangan antara solidaritas di tingkat nasional dan lokal. UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) dan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria (UUPA) yang memandatkan pelaksanaan landreform adalah konsensus nasional yang bersifat “jalan tengah”. Keduanya produk kompromi dari perdebatan panjang di parlemen antara kalangan nasionalis, agama, dan komunis. Sebagai misal, Mr. Sadjarwo yang saat itu sebagai Menteri Kompartemen Agraria yang berasal dari BTI dengan Ketua DPR-GR Kiai Haji Zainul Arifin, anggota parlemen KH. Idham Chalid dari NU, serta Mr. Soenario dari PNI, bisa bertemu dalam satu pengertian mengenai “anti-penghisapan masyarakat tani” dan selimut cita-cita “Sosialisme Indonesia”. Produk hukum itu dianggap “bukan komunis namun anti-feodalisme”, serta “menjamin hak milik namun ada batasan”. Namun, ketidakmampuan pelaksana atau hambatan birokratis yang didorong oleh tuan tanah perdesaan dan beberapa sebab lain, yang akan saya jelaskan di bawah, mengakibatkan landreform “matjet”, gagal, dan selanjutnya mengalami stigmatisasi sebagai “pilihan kuminis”.
Panitia landreform nasional (pusat hingga desa) dibentuk berdasarkan Keppres No. 131/1961. Namun, contoh kasus di Jawa misalnya, belum banyak panitia terbentuk sampai di tingkatan lokal—bertugas mengeksekusi kebijakan itu. Panitia pelaksana di kabupaten maupun kecamatan melakukan banyak pelanggaran dan manipulasi dalam pelaksanaanlandreform. Ini yang disimpulkan Soegijanto Padmo dalam Landrefrom dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965 (2000). Selain itu pemilik tanah yang bekerja sama dengan elite desa dalam afiliasi partai non-komunis, justru menolak pelaksanaan redistribusi tanah. Solidaritas kelas mengatasi perbedaan partai. Mereka mengalihkan tanah kepada keluarga, menghibahkan kepada lembaga pendidikan dan agama, atau menjualnya.
Oleh para petani yang tergabung dalam BTI (Barisan Tani Indonesia), tindakan tuan tanah dianggap melawan kebijakan nasional. Maka muncullah gerakan tani yang dikenal pada masa itu sebagai aksef (“aksi sefihak”). Mereka merebut kembali tanah yang telah disewakan, mengambil lagi tanah yang telah digadaikan, meminta kembali tanah yang telah dijual, atau memanen padi di sawah tanpa sepengatahuan tuan tanah.
Gambaran rinci aksef, misalnya di Ngawi, dapat ditemui dalam buku Aminuddin Kasdi,Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965 (2001). Menariknya, bagian awal buku itu menyertakan ulasan kritis Hasan Raid berjudul “Siapa Menjarah Siapa?”. Bagi Hasan yang muslim komunis, tindakan BTI justru dipandang sebagai reaksi atas aksi sepihak tuan tanah. Ia yakin benar bahwa komunis cocok dengan ajaran Islam. Ia mengambil rumusan “teologi agraria” dari Surat Al-An’am ayat 145, “haram hukumnya meminum darah yang mengalir”.
Hasan menafsirkan, haram melakukan akumulasi surplus yang dihasilkan dari tenaga kerja pertanian, keringat, dan darah buruh miskin. Masyarakat feodal tidak saja menikmati hasil kerja manusia, bahkan menguasai manusia itu sendiri. Hasil kerja itu seharusnya untuk mereka yang mengerjakan. Lebih lanjut, konsep akumulasi ini bisa dipakai untuk melihat “riwayat diperolehnya tanah” oleh tuan tanah. Petani kecil tidak mampu mengembalikan pinjaman utang atau tanah yang digadaikan. Akibatnya, tanah jatuh ke tangan tuan tanah. Maka menurutnya, sudah tepat jika UUPBH dan UUPA itu memiliki arti “tanah untuk penggarap”, sebab semula tanah itu adalah milik penggarap. Menengok ke belakang, cara mendapatkan tanah semacam itu juga dinyatakan oleh K.H. Muchith Muzadi (wafat September 2015) yang disebutkan dalam tulisan Gus Dur, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997).
Upaya yang lamban, tidak tegas, bahkan minimnya perangkat birokrasi pelaksanalandreform mendorong situasi yang mudah dimanfaatkan oleh tuan tanah di satu sisi sekaligus oleh kuatnya organisasi tani di sisi lain kala itu. Ia mengakibatkan serangkaian aksi sepihak yang berujung pertikaian penduduk desa. Di Klaten saja pada 1964 terdapat 30 kali aksef. Bahkan pernah 12 hari sekali intensitasnya. Negara seperti melempar bola panas ke tengah masyarakat dan membiarkan mereka bertanding merebutkannya. Ini dijelaskan pula oleh Margo Lyons dalam “Dasar-dasar Konflik di daerah Pedesaan Jawa”, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah (1984).
Pelaksanaan landreform, yang terpaksa didongkrak dari bawah dan berakibat pada keresahan agraria perdesaan, menghantarkan “pembantaian massal pasca-1965”. Ratusan ribu orang dibunuh ataupun dipenjara. Insiden Jengkol Kediri tahun 1961 mengaitkan secara jelas antara pendudukan dan redistribusi tanah serta pembantaian pasca-‘65. Perselisihan dalam upaya melaksanakan landreform di Banyuwangi juga dapat membantu untuk menjelaskan aksi kekerasan setelah kudeta, tetapi bukan satu-satunya faktor dan tidak memuaskan untuk menjelaskan pembantaian massal terjadi, bahkan untuk kasus di Jawa Timur.
Seperti dijelaskan Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965‒1966 (2003),massacre selalu berkaitan dengan konteks lokal. Di Lampung, pembantaian dilakukan oleh penduduk muslim setempat yang terganggu oleh para transmigran Jawa. Di Nusa Tenggara, ketegangan terjadi antara Kristen dan agama-agama setempat. Di Timor, gereja Protestan justru bersama petani miskin dalam masalah landrefrom, yang akibatnya, para pendeta, guru, dan staf universitas menjadi target utama pembunuhan. Di Bali, ada persoalan mempertahankan Hinduisme, persaingan patronase, dan pembantaian oleh militer bersama pecalang kelompok PNI (Tamin). Sementara di Kalimantan Barat terjadi pada orang Tionghoa oleh Suku Dayak.
Sektoralisasi
Mengapa landreform hanya menyasar pertanian perdesaan dan tidak mengarah pada wilayah perkebunan dan kehutanan?
Pemerintahan sekarang perlu belajar dari pengalaman ini. Dalam praktiknya, landreformhanya menyasar wilayah perdesaan. Kampanye “7 setan desa” oleh PKI menghasilkan musuh-musuh di perdesaan yang hanya akan menimbulkan konflik horizontal, bukan perombakan struktural antara kuasa negara dan kuasa rakyat jika seandainya program ini menyasar perkebunan dan kehutanan atau tanah (kuasa) negara lain.
Secara normatif, PP No. 224/1961 mengenai Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian menunjukkan objek tanah landreform mencakup bekas hakerfpacht, bekas HGU, tanah kehutanan yang dikeluarkan dari kawasan, dan tanah terlantar (Pasal 1 huruf d). Artinya: jelas tidak semata-mata tanah perdesaan.
Jawaban pertanyaan tersebut harus dicari pada periode sebelumnya.
Perkebunan telah dikendalikan oleh militer pada masa Darurat Militer (1956‒57) dan berujung pada nasionalisasi (1958), yang menempatkan militer sebagai elite manajerialnya. Organisasi buruh tidak sekuat di pertanian perdesaan untuk mengambil alih perkebunan. Sementara sektor kehutanan memiliki rezim kebijakan di luar kerangka UUPA.
Sudah sejak awal sektor kehutanan tunduk pada UU Kehutanan 1927 dan 1932. Kawasan hutan berada di bawah Dinas Kehutanan, memiliki jawatan-jawatan kehutanan yang kemudian menjadi perusahaan negara tingkat provinsi. Para rimbawan menolak kehutanan menjadi sasaran landreform. Sebagai gantinya, status kehutanan semacam ini menjanjikan pendapatan besar bagi negara dari perusahaan. Presiden Sukarno kemudian menandatangani PP No. 35/1963 yang mengatur hal tersebut. Ini dijelaskan Noer Fauzi Rachman dalam Landreform dari Masa ke Masa: Kebijakan Pertanahan 1945‒2009(2012). Dengan demikian, kondisi politik dan kebijakan yang menyebabkan sektoralisasi dalam landreform.
Arus balik dan kekerasan di Banyuwangi
Di depan saya, ketika menulis ini, terhampar sekira 150 lembar arsip dan potongan koran kurun 1964‒1967. Sebagian telah saya klasifikasi dan saya masukkan dalam plastik baru, menggantikan bungkus lama dari tempat fotokopi di Jalan Malioboro yang masih menggunakan nomor telepon empat digit. Hampir semua adalah laporan resmi pemerintah, militer, atau organisasi politik dalam rangka penumpasan komunis di Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Sragen, Boyolali, Malang, dan yang terbanyak adalah Banyuwangi.
Saya mendapatkannya secara tidak sengaja dari sebuah kampus ternama di Yogya. Mirip salah satu judul cerita pendek Leo Tolstoy, kampus ini “Banyak Tahu Tapi menunggu”. Tumpukan dokumen itu pastinya direncanakan untuk merekonstruksi narasi kelam 1965. Tapi, entah kenapa, ia urung dilakukan. Penantian berakhir kematian, dan diangkutlah arsip itu dari ruang pemiliknya, lalu diumbar ke lorong gedung, dan menanti tukang loak. Sayang, saya bukan juru pungut yang diharapkan.
Dokumen Yogyakarta memuat daftar nama orang yang diduga tersangkut peristiwa 1965 dan laporan situasi politik serta penangkapan oleh tentara. Sebuah konflik pribadi yang memanfaatkan huru-hara ‘65 hingga diculiknya seseorang bernama Lu Sin Gun/Gunawan di Ngampilan pada 30 Maret 1967. Sedikit berbeda, ada laporan militer mengenai berlangsungnya demonstrasi ratusan pemuda tahun 1964, yang mengambil alih Jefferson Library milik kedutaan Amerika. Ada banyak dokumen menarik mencatat peristiwa di daerah lain.
Saya menaruh perhatian pada kasus di Banyuwangi. Pada 1964, disajikan guntingan koran mengenai aksef BTI yang hampir terjadi setiap hari. Aksi mendapat tentangan dari Pertanu (NU) dan Petani (PNI). Tindakan itu masih terjadi bahkan setelah berlangsung Deklarasi Bogor pada 12 Desember 1964. Pada pertemuan ini, Sukarno bersama para utusan pemimpin partai membuat kesepakatan agar semuanya menahan diri dari berbagai ketegangan di perdesaan saat itu. Namun, di tingkat lokal, Deklarasi itu tidak cukup ampuh, setidaknya di Banyuwangi yang diwarnai beberapa letupan sporadis.
Meski kebijakan landreform di Banyuwangi berjalan secara terbatas, ia memberi kesempatan baru bagi kaum tani. Namun, peristiwa G30S mengubah semuanya. Terjadi arus balik sejarah kebijakan agraria dan kekerasan kemanusiaan, tidak terkecuali nasib buruk yang menimpa para petani dan penduduk miskin penerima tanah redistribusi, atau siapapun yang dituduh komunis dan pernah membantu pelaksanaan landreform.
Beberapa potongan peristiwa yang tersaji dalam arsip Banyuwangi menggambarkan hal itu. Terjadi pengusiran dan pemerasan terhadap petani penerima redistribusi.
Surat PUTERPRA 0825/5 Kalibaru (No. 114/3/1966) melaporkan terjadi tindakan pengusiran oleh Asan Purwodjojo (ulu-ulu desa/ pamong yang mengurus pengairan) terhadap petani penggarap bernama Miswadi (simpatisan BTI), Sakimun, Kromo Sajadi, Dul Basar, Untung, dan Sorip. Mereka dilarang menggarap tanah tegalan, bahkan diusir dari rumahnya dan diperintahkan membongkar rumah dalam waktu tiga hari. Asan Purwodjojo beralasan tindakan itu “atas perentah Pemerentah”. Bersama Senawan dan Moedahlal (hansip), Asnan mendatangi rumah Nyi Diro yang saat itu ditinggal suaminya, dan memerintahkannya untuk segera pergi serta membongkar rumahnya.
Aksi pemerasan dilakukan oleh Kratjak, P. Kamsia, Maruwi, dan pengikutnya dari Krajan Kalibarumanis, serta Abdullah P. Aziz dari Curahleduk. Sasarannya adalah Tarip, P. Buri, Tamin, dan 10 orang lain. Mereka ditarik uang sebesar Rp 25.000‒50.000 agar tetap bisa tinggal di desa.
Bahkan tanah yang telah dinyatakan absentee (pemiliknya tinggal jauh dari lokasi tanah) oleh panitia landreform, tidak luput dari sasaran pengambilalihan. Seperti yang terjadi pada tanah bekas milik H. Bahrowi di Dusun Judomulyo, Desa Sukorejo, Kecamatan Bangorejo. Sang pemilik tanah tinggal di Madura sehingga dinyatakan sebagai tanahguntai (pemiliknya tinggal di daerah lain). Ujungnya, anggota Panitia Landreform Desa Sukorejo, H. Mochtar (pemimpin Pertanu) dan Harsono (pemimpin Petani) membuat surat tuntutan agar Bahrudin cs yang bertindak, bahkan berani memprosesnya ke kecamatan itu, ditindak tegas oleh pihak berwajib.
Masih di Dusun Judomulyo, bekas tanah guntai lainnya justru disita oleh Aipda B. Saptor berdasarkan perintah lisan Komandan Distrik Kepolisian 1034/30. Tanah ini semula telah diredistribusi kepada 40 orang (Pak Partu dan kawan-kawan), yang masing-masing menerima dengan kisaran luas 1.730 m2 hingga 8.430 m2. Atas berbagai kesimpangsiuran, Panitia Landreform Pusat kemudian mengeluarkan instruksi No. 10/PLP/II/66 (17 Februari 1966) tentang pengamanan tanah-tanah hasil redistribusi landreform. Dinyatakan, hanya Panitia Landreform Tingkat II yang bisa menguasai kembali tanah-tanah yang “ditinggalkan” penerimanya yang diduga tersangkut G30S.
Unsur lembaga negara juga ambil bagian. Tanah absentee yang telah diputuskan oleh Panitia Landreform di Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, diambil alih oleh KKO (Korps Komando Operasi). Di atasnya ditancapkan papan nama dengan tulisan “Korps Komando Angkatan Laut R.I. Tanah milik DETASEMEN CHUSUS KKO-AL BALURAN. Jang tidak berkepentingan DILARANG MASUK”. Komandan PUPELERADA 083/0825 melakukan pengecekan di lapangan dan membuat instruksi kepada Komandan Pendidikan KKO-AL Baluran agar tidak mencampuri urusan pemerintah daerah setempat. Tindakan klaim sepihak itu bisa berakibat pada “prasangka kurang baik bagi korps ABRI”, sehingga diperintahkan plang itu dicabut.
Tidak jelas dan belum selesainya proses redistribusi memberi celah spekulasi. Terjadi pengambilalihan tanah dan pencabutan tanaman oleh kepala desa bernama Songgon Pribadi bersama pembantu-pembantunya. Tindakan ini buah dari kemelut proses peralihan atas tanah milik H. Samsoel Moearip, yang telah telanjur diwariskan kepada cucunya bernama Serda Soemadji, seorang tentara. Kepada pimpinannya, Soemadji berkirim surat menuntut “pemeriksaan lebih landjut”.
Di wilayah perkebunan juga terjadi aksi penyingkiran para petani sebagaimana di tanah persil PPN (perusahaan perkebunan negara) Karet XVI. Melihat kondisi tersebut, organisasi tani seperti Pertanu membuat kebijakan perlindungan terhadap rakyat tani yang telah melakukan pendudukan di wilayah tersebut. Surat Ketua Pertanu Soehaimi (23 Juni 1966) berisi desakan agar pimpinan perkebunan membatalkan rencana “memperkebunkan kembali” tanah-tanah yang dimanfaatkan rakyat, menghentikan pembuatan lubang yang merusak tanaman rakyat, mengganti kerugiannya, serta bersedia diajak berunding.
Beberapa individu mengalami nasib serupa sebagaimana laporan kepada Pelaksana PUPELERADA 083/0825 mengenai Mirno, Kepala Kadaster (kantor pendaftaran tanah), satu dari enam “petugas negara jang betul-2 telah membantu tugas G.30.S di Daerah TK. II Banjuwangi”. Dituduhkan, ia “dalam memberikan sertipikat hak milik tanah selalu memberikan prioritas pada orang-2 P.K.I. dan memberikan segala rahasia pelaksanaan LANDREFORM KEPADA orang-2 P.K.I. sehingga orang-2 PKI mempunjai bahan jang kuat dalam melaksanakan AKSI SEPIHAK DULU”.
Hubungan antara landreform dan kekerasan di perdesaan adalah sebagian dari narasi besar mengenai pembunuhan massal pasca-1965 (di Banyuwangi). Ceceran catatan kecil seperti ini menopang bangunan besar mengenai aksi penculikan yang berlangsung terencana. “Sendjata Revolver Colt Cobra No. 38094, 12 [dua belas] butir peluru……diamankan di kantor Perhutani Bwi Slt.” Seorang anggota Front Nasional bernama Anies Makroep meminjamnya dari Pajiono (PNI), yang juga hasil pinjaman dari Soebardjo (Krph/ kepala resort pemangkuan hutan Gradjagan). Senjata digunakan untuk menculik seseorang bernama Pak Djo (kamituwo/ kepala dukuh dari Grajagan).
Laporan lain menggenapi gambaran besarnya. Satu laporan mencatat 161 nama “tersangka komunis” dalam golongan A, B, dan C yang ditahan di Kodim 0825. Secara rinci terdapat nama-nama orang yang mati di banyak desa di Kecamatan Pesanggrahan. Tidak disebutkan sebab kematiannya. Tetapi jelas ia serentak dan tidak lama pasca-‘65. Juga rekapitulasi anggota PKI di beberapa kecamatan di Banyuwangi. Disusul daftar pemangku sementara 42 kepala desa yang dijabat oleh 35 tentara dan 7 sipil—sinyalemen yang menunjukkan “efektivitas pengawasan” terhadap penduduk desa. Desa menjadi “rumah kaca” bagi rezim yang baru naik.
Di berbagai tempat, gambaran situasi sosial-politik menyuguhkan ada banyak “gelandangan dan orang-orang yang tidak dikenal” masuk ke daerah lain. Di Kertosono, anak-anak menggelandang dan “mengemis-emis seperti anjing untuk mendapatkan sisa makanan di stasiun kereta api”, demikian catatan Robert Cribb (2003). Mereka itulah yang terpisah dari orangtuanya yang hilang atau terusir dari tanah dan kampung, pergi menyelamatkan diri dari tindak kekerasan di tempat asalnya. Pasca-1965, rekaman situasi semacam itu menjadi catatan wajib koramil.
Jangan terulang lagi
Membaca serakan peristiwa sejarah dan usaha membuatnya terjalin dalam bangunan narasi itu, malah membuat keresahan baru pada diri saya. Saya khawatir jika pemerintahan Jokowi saat ini tidak memiliki kapasitas melakukan reforma agraria. Program macam ini bukan agenda kementerian sektoral, tapi (seharusnya) menjadi agenda pemerintah nasional. Sangat diperlukan koordinasi antarkementerian. Keseluruhannya ini harus dipimpin langsung oleh presiden.
Namun, beberapa kementerian terkait sumber daya agraria baru saja dirombak dan butuh kestabilan. Perlu dilihat infrastruktur dan sumder daya pelaksananya. Jika tidak tersedia kapasitas birokrasi dan satu postur negara yang kuat, maka “agenda besar” ini hanya akan menjadi “omong besar” yang berantakan di tengah jalan. Reforma agraria yang terlihat sekarang tampaknya hanya akan berwujud pada legalisasi aset atas tanah yang sudah dikuasai. Itu penting tetapi tidaklah memadai. Tidak perlu menarget 9 juta hektare jika yang didahulukan adalah legalisasi aset.
Kita memerlukan desain besar reforma agraria yang mengatur aspek politik, kebijakan, hingga teknis pelaksanaannya. Belajar dari sejarah, diperlukan imajinasi baru yang bukan membenturkan kelas sosial perdesaan, melainkan membuat formulasi kreatif yang mengakomodasi sistem penguasaan dan akses atas tanah secara komunal, berbasis adat, dan sensitif pada sejarah yang telah terjalin pada ruang-spasial tempatan.
Hal terpenting lain: reforma agraria sejatinya penataan ulang struktur agraria menuju (ruang hidup) berkeadilan. Tidak benar jika negara cukup “memberi tanah kepada si miskin” sekaligus terus-menerus “memberi tanah kepada si kaya” dalam bentuk izin dan konsesi tanah seluas-luasnya, serta “menyetujui peralihan penggunaan tanah” yang diajukan. Ketimpangan struktural serta sektoral tidak pernah dapat dikoreksi dengan cara begitu. Reforma agraria adalah politik membagi kekuasaan, bukan tindakan administrasi rutin.
Kekhawatiran terakhir saya, dan justru yang terbesar, adalah absennya organisasi tani yang kuat, jauh kuat dari apa yang pernah tampil pada era 1960-an. Lemahnya kondisi negara dan organisasi tani, percayalah, hanya akan melahirkan penunggang gelap yang siap memangsa dari segala arah.
Kesulitannya justru semakin menunjukkan betapa penting reforma agraria bagi negeri ini.[]
Catatan: reforma agraria secara terbatas sebenarnya sudah dilakukan setelah Indonesia merdeka. UU No. 13/1946 menghapus tanah perdikan, yang selanjutnya tanah dibagikan kepada rakyat. UU No. 13/1948 dan UU No. 5/1950 menghapus lembaga konversi dan hak-hak konversi (kerajaan) serta hypotheek dan tanah dibagi untuk buruh tani/perkebunan. UU No. 1/1958 memuat ketentuan penghapusan tanah partikelir dan hak-hak pertuanan. Kesemuanya itu bermuara pada UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok, dan PP No. 224/1961 tentang Landreform.
0 comments:
Post a Comment