Belasan petani Urutsewu gelar rapat evaluasi aksi di sekretariat bersama FPPKS-USB
Petani pemilik tanah pesisir Urutsewu memprotes upaya
mediasi yang dilakukan Pemkab Kebumen dalam menindaklanjuti hasil kunjungan
gubernur Jateng selama 2 harinya di Kebumen. Ganjar Pranowo yang meminta petani
pesisir mengumpulkan bukti-bukti pemilikan tanah yang dipunya, merasa diabaikan
keberadaannya karena tak disertakan sebagai pihak kunci dalam mediasi awal di
Gedung F Setda Kebumen (14/9) lalu.
Ikhwal keberatan ini muncul saat belasan petani
melakukan evaluasi atas pelaksanaan tahap awal mediasi yang menyertakan fihak
TNI-AD, dari Kodim hingga perwakilan Kodam; tetapi mengabaikan keberadaan
petani sebagai yang berhak atas tanah pesisir di dalam forum itu. Sehingga upaya
menyelesaikan konflik agraria pesisir Urutsewu yang tengah diinisiasi Muspida
Kebumen pun diragukan kredibilitas dan independensinya.
Terlebih karena dalam forum itu yang diundang hanya
pejabat Kades dari 7 desa tertentu diantara 15 desa pesisir Urutsewu. Hal ini
terkesan bahwa seolah yang melawan klaim TNI dan menolak pemaksaan pemagaran
yang dilakukan TNI hanya lah 7 desa itu saja. Padahal khusus untuk pemaksaan
pemagaran TNI yang dimulai sejak Oktober 2013 itu telah sejak awal muncul
penolakan petani dan warga lainnya. Penolakan nyata muncul dari petani warga
desa-desa yang dalam realitas sekarang telah selesai dipagar.
“Di forum itu ada pejabat TNI dan pemerintah, tetapi
tak ada keikutsertaan petani pemilik tanah di dalamnya,” tegas seorang petani
yang datang rapat evaluasi (16/9) di rumah seorang warga Kaibon Petangkuran,
Ambal.
Di forum yang diinisiasi Muspida itu pula, dimana
pejabat Kades mesti menyerahkan data bukti pemilikan tanah warga, tetapi tak
ada keharusan pihak TNI menyerahkan bukti pemilikan yang jadi dasar klaimnya.
“Ini jelas tak berkeadilan, apalagi kenyataannya
pemagaran oleh TNI jalan terus,” tukas seorang petani lain dari desa Kaibon
yang tanah miliknya telah terlanjur terlanggar pemaksaan pemagaran oleh TNI.
Komposisi Tim Mediasi yang tengah dipersiapkan ini pun,
rupa-rupanya tak memberi ruang bagi petani untuk merekomendasikan kalangan
akademisi tertentu yang integritas serta intelektualnya sepenuhnya dapat
dipercaya.
Logika Perampasan Tanah Petani
Banyak hal penting terungkap dalam rapat informal
dengan agenda pokok evaluasi aksi (16/9) malam itu yang jadi membukakan
kesadaran baru dan sangat relevan dengan kelanjutan tahap perjuangan petani
pesisir Urutsewu. Belakangan diketahui dari sumber LPSE TNI-AD yang bisa
diakses laman webnya. Ternyata proyek prestisius pagar yang menandai
hegemoni militer atas kawasan holtikultura pesisir ini bernilai 4 miliar 720
juta rupiah.
Dalam logika pembangunan yang umum, alokasi dana APBN
sebegini besar merupakan hal yang tak mudah dimuluskan pelaksanaannya. Hal ini
menandakan ada keterlibatan lintas kementerian dan lembaga negara di tingkat
nasional, termasuk lembaga legislative pusat. Tetapi ironisnya, pembangunan
pagar pesisir oleh TNI ini tak disertai dokumen lengkap. Ihwal ini juga tak
dipertanyakan dalam meeting mediasi yang digagas Muspida Kebumen di Gedung F
Setda yang lalu.
Padahal sebuah instansi pemerintah yang mau membangun
kantor untuk menunjang fungsi penyelenggaraan Negara sekalipun; harus memiliki
legalitas IMB.
Faktanya, ketika petani, warga dan unsur pemerintahan
desa menanyakan perihal legalitas pemagaran pesisir di wilayahnya; malah
dijawab dengan pentungan dan serangan brutal fihak militer. Contoh terakhir
atas tindakan brutal ini adalah apa yang terjadi di pesisir desa Lembupurwo
(30/7) serta pesisir desa Wiromartan (22/8) dengan 31 korban terluka, termasuk
perempuan.
Semua ini membuktikan bahwa problem krussial pertanian
pesisir Urutsewu bukan lah sebuah konflik agrarian, tetapi telah terjadi
perampasan tanah-tanah pertanian yang dilakukan secara sistematis. Dan
pemaksaan pemagaran oleh TNI, ditambah tindakan brutal terakhirnya; memperkuat
bukti terjadinya perampasan tanah pertanian itu.
0 comments:
Post a Comment