Thursday, September 17, 2015

Petani Urutsewu Kritisi Tim Mediasi



Belasan petani Urutsewu gelar rapat evaluasi aksi di sekretariat bersama FPPKS-USB

 Petani pemilik tanah pesisir Urutsewu memprotes upaya mediasi yang dilakukan Pemkab Kebumen dalam menindaklanjuti hasil kunjungan gubernur Jateng selama 2 harinya di Kebumen. Ganjar Pranowo yang meminta petani pesisir mengumpulkan bukti-bukti pemilikan tanah yang dipunya, merasa diabaikan keberadaannya karena tak disertakan sebagai pihak kunci dalam mediasi awal di Gedung F Setda Kebumen (14/9) lalu.

Ikhwal keberatan ini muncul saat belasan petani melakukan evaluasi atas pelaksanaan tahap awal mediasi yang menyertakan fihak TNI-AD, dari Kodim hingga perwakilan Kodam; tetapi mengabaikan keberadaan petani sebagai yang berhak atas tanah pesisir di dalam forum itu. Sehingga upaya menyelesaikan konflik agraria pesisir Urutsewu yang tengah diinisiasi Muspida Kebumen pun diragukan kredibilitas dan independensinya.

Terlebih karena dalam forum itu yang diundang hanya pejabat Kades dari 7 desa tertentu diantara 15 desa pesisir Urutsewu. Hal ini terkesan bahwa seolah yang melawan klaim TNI dan menolak pemaksaan pemagaran yang dilakukan TNI hanya lah 7 desa itu saja. Padahal khusus untuk pemaksaan pemagaran TNI yang dimulai sejak Oktober 2013 itu telah sejak awal muncul penolakan petani dan warga lainnya. Penolakan nyata muncul dari petani warga desa-desa yang dalam realitas sekarang telah selesai dipagar.

“Di forum itu ada pejabat TNI dan pemerintah, tetapi tak ada keikutsertaan petani pemilik tanah di dalamnya,” tegas seorang petani yang datang rapat evaluasi (16/9) di rumah seorang warga Kaibon Petangkuran, Ambal.
Di forum yang diinisiasi Muspida itu pula, dimana pejabat Kades mesti menyerahkan data bukti pemilikan tanah warga, tetapi tak ada keharusan pihak TNI menyerahkan bukti pemilikan yang jadi dasar klaimnya.

“Ini jelas tak berkeadilan, apalagi kenyataannya pemagaran oleh TNI jalan terus,” tukas seorang petani lain dari desa Kaibon yang tanah miliknya telah terlanjur terlanggar pemaksaan pemagaran oleh TNI.

Komposisi Tim Mediasi yang tengah dipersiapkan ini pun, rupa-rupanya tak memberi ruang bagi petani untuk merekomendasikan kalangan akademisi tertentu yang integritas serta intelektualnya sepenuhnya dapat dipercaya.          

Logika Perampasan Tanah Petani

Banyak hal penting terungkap dalam rapat informal dengan agenda pokok evaluasi aksi (16/9) malam itu yang jadi membukakan kesadaran baru dan sangat relevan dengan kelanjutan tahap perjuangan petani pesisir Urutsewu. Belakangan diketahui dari sumber LPSE TNI-AD yang bisa diakses laman webnya. Ternyata proyek prestisius pagar yang menandai hegemoni militer atas kawasan holtikultura pesisir ini bernilai 4 miliar 720 juta rupiah.

Dalam logika pembangunan yang umum, alokasi dana APBN sebegini besar merupakan hal yang tak mudah dimuluskan pelaksanaannya. Hal ini menandakan ada keterlibatan lintas kementerian dan lembaga negara di tingkat nasional, termasuk lembaga legislative pusat. Tetapi ironisnya, pembangunan pagar pesisir oleh TNI ini tak disertai dokumen lengkap. Ihwal ini juga tak dipertanyakan dalam meeting mediasi yang digagas Muspida Kebumen di Gedung F Setda yang lalu.

Padahal sebuah instansi pemerintah yang mau membangun kantor untuk menunjang fungsi penyelenggaraan Negara sekalipun; harus memiliki legalitas IMB.

Faktanya, ketika petani, warga dan unsur pemerintahan desa menanyakan perihal legalitas pemagaran pesisir di wilayahnya; malah dijawab dengan pentungan dan serangan brutal fihak militer. Contoh terakhir atas tindakan brutal ini adalah apa yang terjadi di pesisir desa Lembupurwo (30/7) serta pesisir desa Wiromartan (22/8) dengan 31 korban terluka, termasuk perempuan.

Semua ini membuktikan bahwa problem krussial pertanian pesisir Urutsewu bukan lah sebuah konflik agrarian, tetapi telah terjadi perampasan tanah-tanah pertanian yang dilakukan secara sistematis. Dan pemaksaan pemagaran oleh TNI, ditambah tindakan brutal terakhirnya; memperkuat bukti terjadinya perampasan tanah pertanian itu.                

0 comments:

Post a Comment