Tim Penutur Selamatkan Bumi | Agustus
24, 2015
TNI telah melakukan pemagaran paksa di Desa Lembupurwo,
Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen. Pemagaran tersebut menimbulkan penolakan
dari warga. Namun, aksi-aksi penolakan warga terhadap pemagaran sepihak oleh
TNI di Lembupurwo malah dijawab dengan kekerasan. Pada tanggal 30 Juli 2015,
seorang peserta aksi yang bernama Rubino, warga desa Wiromartan menjadi
korbannya. Dia dipukul senjata di bagian leher hingga pingsan dan akhirnya
harus dilarikan untuk dirawat di Puskesmas Mirit.
Beberapa hari kemudian Rubino meninggal dunia karena
terjatuh dari pohon Nangka. Disinyalir dampak dari luka dan trauma yang
diakibatkan oleh kekerasan yang diterimanya menyebabkan dirinya kehilangan
konsentrasi saat memanjat pohon dan mengakibatkan dia terjatuh. Pasca kejadian
tersebut, pemagaran sepihak oleh TNI di desa Lembupurwo tetap dilanjutkan.
Derita masyarakat Urut Sewu tak berhenti sampai disitu.
Selepas menyelesaikan pemagaran sepihak di desa Lembupurwo, TNI berusaha
bergeser ke desa lainnya, yakni desa Wiromartan, desa terujung di wilayah
Kebumen bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Purworejo.
Pada tanggal 20-21 Agustus 2015 sudah tampak batu dan
pasir bertumpuk di sepanjang jalan pesisir selatan Desa Wiromartan guna
pembangunan pagar. Masyarakat menjadi marah karena merasa tidak dihargai
sebagai masyarakat desa setempat.
Pasalnya, pemagaran ini dilakukan secara sepihak, tanpa
ada pemberitahuan ke pemerintah desa dan tidak ada sosialisasi ke masyarakat
setempat. Aksi guna mempertanyakan kejelasan dan landasan legal formal
pemagaran pun dilakukan oleh masyarakat pada 22 Agustus 2015.
Berikut ini kronologi jalannya aksi dan tindak kekerasan
yang dilakukan oleh TNI:
07.30 s/d 09.45 WIB
Masyarakat berkumpul di utara Jl. Daendels desa
Wiromartan. Masyarakat ini terdiri dari petani, pemuda dan perempuan. Nampak
juga warga masyarakat desa-desa lain yang ingin turut serta bersolidaritas. Di
lokasi tersebut dilaksanakan pembekalan pra aksi yang dipimpin oleh Widodo Sunu
Nugroho, Kepala Desa Wiromartan. Inti dari pembekalan tersebut antara lain mengingatkan
kepada warga masyarakat bahwasannya ini aksi damai menuntut kejelasan landasan
pemagaran, sehingga warga dianjurkan untuk jangan mudah terprovokasi dan
terpancing emosi ketika di lokasi aksi. Pembekalan tersebut juga diisi dengan
doa bersama yang dipimpin oleh ustad Hasan Munadi (Ustadz setempat) guna
kelancaran aksi.
09.45 s/d 10.00 WIB
Masyarakat peserta aksi bergerak ke selatan beriringan
dengan jumlah massa kurang lebih 100 orang menggunakan sepeda motor. Sepanjang
jalan menuju lokasi pemagaran ada beberapa petani yang sedang di ladangnya
memutuskan untuk bergabung dalam barisan aksi, sehingga jumlah warga peserta
aksi bertambah menjadi kurang lebih 150 orang.
10.01 s/d 10.35 WIB
Masyarakat peserta aksi sampai di lokasi dan kemudian
langsung masuk ke lokasi pemagaran yang dilakukan sepihak oleh TNI, tepatnya di
barat akses jalan untuk masuk ke pantai. Di lokasi pemagaran nampak 2 unit truk
pengangkut pasukan militer, 1 unit alat berat (eskavator) yang sedang melakukan
pemagaran. Perlu dicermati bahwasannya pemagaran ini ditolak oleh warga
masyarakat, khususnya petani pemilik dan penggarap lahan di pesisir Urutsewu.
Yang menjadi soal sebab pemagaran ini menerjang lahan-lahan petani, disamping
tak berijin sebab tanpa ada pemberitahuan kepada pihak pemerintah desa setempat
maupun pada masyarakat.
Salah satu peserta aksi mengawali aksi dengan menjelaskan
maksud dan tujuan warga mendatangi lokasi pemagaran, yakni ingin pimpinan
pemagaran menemui warga agar jelas duduk persoalannya.
Setelah lama ditunggu tak nampak ada inisiatif pimpinan
pemagaran untuk menemui peserta aksi, Widodo Sunu Nugroho yang berpakaian dinas
lengkap guna menjalankan tugas mendampingi warganya mengambil pengeras suara
dan turut berorasi. Dalam orasinya, Kepala Desa Wiromartan menyampaikan
pandangannya sebagai pemerintah desa yang mana pemagaran oleh TNI ini
dipertanyakan legalitasnya, sebab jika memang ini program pemerintah,
seharusnya ada pemberitahuan ataupun tembusan bagi pemerintah desa untuk
mendukung program tersebut. Pada kenyataannya sampai saat ini beliau tidak
menerima sepucuk suratpun.
Masih dalam orasinya, kepala desa meminta TNI yang
melakukan pemagaran untuk menunjukkan bukti-bukti bahwa pemagaran tersebut
memang benar program pemerintah. Jika memang ada dan terbukti benar, pemerintah
desa beserta warganya akan meninggalkan lokasi, bahkan jika dibutuhkan siap
untuk membantu pemagaran.
Permintaan kepala desa ini nyatanya tak bersambut baik,
justru dibalas dengan suara musik dangdut yang berasal dari sound system besar
yang memang telah disiapkan oleh TNI di lokasi aksi. Di sisi yang lain, alat
berat eskavator masih terus berjalan untuk mengangkut material-material
pemagaran ke lokasi rencana didirikannya pagar.
Kegiatan ini menyulut teriakan warga, sebab alat berat
yang dioperasikan tersebut menggilas lahan cabai milik petani. Kepala desa
dibantu beberapa orang berusaha menenangkan warga agar jangan terpancing emosi.
10.36 s/d 10.50 WIB
Kepala desa melanjutkan orasinya dengan meminta pimpinan
pemagaran untuk maju menemui warga. Permintaan ini dijawab dengan tentara yang
bertameng dan bersenjata merangsek maju ke arah kerumunan warga untuk menutup
lokasi pemagaran. Di sisi yang lain, dari arah utara tampak juga serombongan
tentara mendekat. Akhirnya terjadi aksi saling dorong, yang berujung dengan
tentara yang mulai memukuli warga dengan pentungan di lokasi pemagaran.
Kepala desa Wiromartan terus menerus menggunakan pengeras
suaranya menyerukan agar TNI tidak menggunakan cara kekerasan. Seruan ini
dibalas dengan satu kali pentungan ke tangan kirinya yang memegang pengeras
suara, dilanjutkan dengan pentungan kearah kepala. Darah nampak membanjiri muka
dan baju Kepala Desa Wiromartan. Dengan kondisi yang demikian memaksa Kepala
Desa Wiromartan menyingkir sedikit dari lokasi, namun tidak mundur.
Di arah yang lain, kira-kira 10 meter arah barat laut
dari lokasi nampak seorang pemuda (Rajab, warga Kaibon Petangkuran) dikeroyok
dan dipukuli hingga pingsan, kemudian diinjak-injak dengan sepatu lars.
Beberapa warga mencoba menyelamatkan dengan membopong tubuh korban, namun warga
yang berusaha menyelematkan rekannya ini tak luput dari pentungan, pukulan dan
tendangan tentara.
Kepala Desa Wiromartan kembali mendapat penyerangan.
Terdengar teriakan dari TNI, “cari lurahnya, cari lurahnya !!.” Kembali
mendapat pukulan dan tendangan bertubi-tubi menyebabkan Kepala Desa Wiromartan
kemudian pingsan. Sama seperti yang terjadi pada yang lain, beberapa warga yang
mencoba mengangkat tubuh Kepala Desa Wiromartan untuk dibawa menjauh dari
lokasi pun tak luput dari pukulan dan tendangan sepatu lars bertubi-tubi.
Kepala Desa Wiromartan dan satu peserta aksi yang pingsan dipukuli dan
diinjak-injak kemudian dibawa ke Puskesmas Mirit menggunakan sepeda motor.
Di lokasi yang lain, sekitar 250 meter sebelah utara
lokasi pemagaran, Kepala Desa Kaibon Petangkuran Kecamatan Ambal, Muhlisin yang
sebelumnya telah turut mengangkat tubuh Kepala Desa Wiromartan menemui 2 orang
anggota polisi yang tampak berdiri tanpa melakukan tindakan pencegahan, hanya
berteriak, “lari, lari, pulang, jangan disini.”
Kepala Desa Kaibon Petangkuran berteriak-teriak kepada
petugas polisi tersebut untuk menghentikan kebrutalan TNI, namun tidak mendapat
tanggapan yang berarti. Tak selang lama setelah itu, 6 orang tentara mengejar
Kepala Desa Kaibon Petangkuran, memukulinya, dimasukkan ke dalam lubang bekas
galian, kemudian diinjak-injak dan ditendangi dengan sepatu lars. Bapak
Muhlisin mencoba berdiri namun kemudian ditendangi lagi. Beberapa warga yang
berusaha menyelamatkan dihalang-halangi, sampai pada akhirnya berhasil
menyelamatkan diri dengan dibantu beberapa warga.
Kejadian-kejadian serupa dialami oleh banyak warga,
dimana warga lari berhamburan kalang kabut berusaha meninggalkan lokasi dikejar
oleh tentara dan terkena pentungan, pukulan dan tendangan. Perempuan-perempuan
peserta aksi yang menangis melihat sanak kerabatnya dipukuli justru
dibentak-bentak oleh tentara,”siapa suruh kamu ikut kesini !!.” Bahkan lebih
mirisnya terdata beberapa perempuan terkena pukulan dan tendangan.
11.30 WIB
Puskesmas Kecamatan Mirit ramai dengan korban-korban
kebrutalan TNI. Sedikitnya terdata 4 orang mengalami luka berat dan belasan
lainnya luka ringan (lecet dan lebam akibat pentungan, pukulan dan tendangan).
Korban luka berat atas nama Kepala Desa Wiromartan Widodo Sunu Nugroho, Prayogo
dan Ratiman (warga Kecamatan Mirit) dan Rajab (warga Kaibon Petangkuran,
Ambal). Korban luka berat ini kemudian dirujuk ke RSUD Kebumen untuk mendapat
perawatan intensif. Berdasarkan data terakhir yang dihimpun FPPKS hingga 23
Agustus 2015, total korban baik luka berat maupun luka ringan dan yang dirawat
di puskesmas maupun di rumah masing-masing ada 29 orang yang tersebar di
beberapa desa.
Data ini kemungkinan masih bertambah mengingat banyak
warga yang meskipun terkena pentungan, pukulan ataupun tendangan namun lebih
memilih untuk langsung pulang ke rumah mengingat demikian mencekam situasi.
Tak dapat dipungkiri tentunya ada beberapa hal yang
menjadi janggal dalam persoalan ini. Pertama, adalah aksi damai warga yang
datang secara baik-baik menanyakan kelegalan pemagaran justru dijawab dengan
kekerasan. Toh jika memang pemagaran itu program pemerintah, tinggal
ditunjukkan saja surat-suratnya dan selesai persoalan, namun pada kenyataannya
hal tersebut tidak dilakukan sehingga menimbulkan banyak pertanyaan.
Kedua yakni pemagaran tidak melibatkan pihak-pihak yang
seharusnya berwenang terkait hal tersebut, bahkan pemerintah (melalui lembaga-lembaga
yang seharusnya berwenang) sama sekali tidak nampak. Terkesan ada pembiaran
terhadap konflik yang berlarut ini, atau justru adanya dominasi militer
terhadap lembaga-lembaga pemerintah khususnya di Kebumen sehingga takut untuk
mengambil sikap.
Ketiga yakni begitu nampaknya dominasi TNI atas POLRI di
Kabupaten Kebumen. Bukan hanya kali ini saja, beberapa aksi dan demonstrasi
sebelumnya pun yang seharusnya polisi sebagai pengamanan justru tentara yang
melakukannya.
Bahkan pada audiensi di DPRD Kebumen 8 Juli lalu,
pengamanan pun dari pihak TNI, yang seolah berusaha mengintimidasi jalannya
proses audiensi.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apa yang harus
dilakukan warga masyarakat Urutsewu yang merupakan juga bagian dari warga
Negara Indonesia? Warga diam, diacuhkan. Warga keras, tak ditanggapi. Warga
marah, dipukuli. Dan hari ini warga bertanya, dibalas dengan senjata. Lalu pada
akhirnya, sebagai warga harus bagaimana?
* Kronologi ini
adalah tindak kekerasan TNI yang terjadi pada tanggal 22 Agustus 2015, dimana
terjadi pembubaran paksa dengan cara tindak kekerasan terhadap warga
yang menuntut kejelasan pemagaran Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kabupaten
Kebumen. Krononoli dibuat oleh FPPKS-USB (Forum Paguyuban Petani Kebumen
Selatan).
0 comments:
Post a Comment