Pagar di pesisir Urutsewu yang dibangun TNI-AD [Foto: istimewa]
Jika
saja TNI-AD batal membangun pagar di pesisir Urutsewu, petani tak terprovokasi
untuk bergerak melancarkan perlawanan.
Rupanya proyek “prestisius” pemagaran ini
memang makin membuktikan fakta atas sinyalement perampasan tanah-tanah pemajekan yang merupakan lahan garap
pertanian holtikultura. Kalau pun tak seluruh kawasan pesisir ini dijadikan
lahan budidaya produktif, maka bukan berarti tanah-tanah ini sebagai lahan tak bertuan yang bisa diklaim pihak
lain, dalam hal ini fihak militer; begitu saja. Atau pun dianggap bandha Kumpeni tinggalane Landa. Karena
ungkapan tanah peninggalan kolonial yang
diserahkan ini pun pernah diwacanakan sebagai asal-usul sejarah tanah latbak
di pesisir itu. Bahkan disertai sesumbar bahwa
semua ada bukti dokumentasinya.
Pada versi yang lain terkait melegitimasikan
riwayat lapangan tembak militer, diwacanakan pula bahwa “tradisi” latihan
perang atau latihan menembak telah dimulai oleh TNI sejak 1937. Ini makin
membodohi masyararakat karena jelas-jelas republik ini belum punya institusi
kemiliteran masa itu. Muncul pula idiom “tanah negara” tanpa penjelasan
mendasarnya apa. Terakhir sampe menjelang lahirnya regulasi lokal Rencana Tata
Ruang Wilayah baru yang kontorversial, diwacanakan pula “kawasan hankam”
sebagai bagian dari kawasan strategis nasional. Intinya, di semua frasa itu,
sejarah adat dan sejarah tanah pesisirnya sendiri yang dapat menjelaskan
sejarah material hak-hak pemilikan rakyat; tersingkir!
Sedangkan dalam ihwal tata-kelola agraria,
ada idiom budaya lokal masyarakat tradisional pesisir yang sejak mulanya
memiliki kearifan tersendiri dalam
mengelola bumi. Kearifan lokal berupa konsep Tata Ruang pesisir selatan dikenal
belakangan dengan sebutan kawasan Brasengaja.
Dari kata bera dan sengaja; yang artinya sengaja diberakan
[dibiarkan, tak dibudidayakan]. Ini adalah konsep tata ruang versi masyarakat
tradisi untuk menyediakan zona pangonan
semacam “sabuk hijau” pesisirnya. Dan dalam realitasnya, atas bentang zona ini,
disamping tak dibudidayakan, juga sebagai zona penggembalaan ternak.
Secara adat perlu diketahui bahwa petani
pesisir terbiasa menggiring ternak piaraannya ketika bekerja di sawah atau pun
lahan kering garapannya. Di saat petani bekerja ini lah, ternak piaraan seperti
lembu atau kambing; dilepas di zona penggembalaan guna mencari makan. Baru lah
pada sore harinya ternak ini dihela kembali ke kampung bareng dengan pulangnya
petani dari rutinitas agrarisnya. Di beberapa kampung pesisir, tugas
menggembalakan ternak biasa diambil-alih oleh anak-anak yang lazim disebut Cah-Angon.
Perihal eksistensi Cah-Angon ini, secara adat dan oleh sebab konsistensi peran
tradisionalnya, diapresiasi oleh masyarakat pesisir dengan ritual tersendiri
seperti entak-entik di desa Entak
[Ambal] dan Rowo [Mirit]. Juga desa-desa lainnya yang berkaitan secara kultural
dengan pesisir.
Tanah
Pemajekan
Galian pondasi pagar yang dibuat fihak militer yang melanda "tanah pemajekan" lahan jagung milik petani [Foto: Dok.Istimewa]
Pada tahun 1932, pada masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda, dilakukan pemetaan tanah-tanah pesisir selatan. Mapping kawasan pesisir yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda ini dinamai masa Klangsiran.1) Pemetaan kawasan pesisir dilakukan oleh seorang yang disebut masyarakat sebagai Mantri Klangsir atau nDoro Klangsir. Pada beberapa desa pesisir, mapping yang menghasilkan blok, persil, klasifikasi dan kategori serta data-data tanah ini telah mulai dilakukan pada dekade sebelumnya, seperti yang terjadi pada rentang tahun 1922 di desa Brecong, Buluspesantren2)
Pada tahun 1932, pada masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda, dilakukan pemetaan tanah-tanah pesisir selatan. Mapping kawasan pesisir yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda ini dinamai masa Klangsiran.1) Pemetaan kawasan pesisir dilakukan oleh seorang yang disebut masyarakat sebagai Mantri Klangsir atau nDoro Klangsir. Pada beberapa desa pesisir, mapping yang menghasilkan blok, persil, klasifikasi dan kategori serta data-data tanah ini telah mulai dilakukan pada dekade sebelumnya, seperti yang terjadi pada rentang tahun 1922 di desa Brecong, Buluspesantren2)
Dalam masa Klangsiran ini juga ditandai dengan patok pembatas yang dalam idiom
setempat disebut Pal Budheg [Setrojenar],
Pal Keben [Entak] dan Pal Tanggulasi [Kaibon]. Testimoni
petani yang berpartisipasi pada pemetaan Klangsiran
ini meyakini keberadaan pal
sebagai pembatas antara tanah kolonial yang diistilahkan sebagai tanah Kumpeni dengan tanah rakyat
petani. Perihal pal pembatas di
kawasan pesisir Urutsewu dan fungsinya sebagai pembatas ini dijelaskan oleh
petugas agraria kolonial yang oleh petani disebut nDoro Klangsir. Sedangkan keberadaan pal secara faktual hanya tersisa 3 di bentangan 22,5 kilometer
pesisir yang ada.
Peristiwa yang berkaitan langsung dengan
sejarah tanah-tanah sepanjang pesisir Urutsewu ini begitu lekat tersimpan dalam
ingatan kolektif petani. Begitu pun Klangsiran
yang merupakan sistem distribusi tanah-tanah petani dan menghasilkan
data-data administrasi tanah di Buku C desa ini. Konsekuensi dari semua ini
adalah perlindungan hukum negara atas hak pemilikan tanah petani serta
kewajiban bagi petani untuk membayar pajak tanah. Itu sebabnya tanah-tanah
sepanjang pesisir Urutsewu sampai pada batas pal-budheg [untuk kawasan tertentu lainnya bahkan batas tanahnya
sampai banyuasin, bibir pantai] disebut dengan tanah pemajekan; tanah yang dibayar pajaknya kepada negara oleh
petani.
Fakta bahwa ketika di atas bentang tanah pemajekan ini dibangun pagar pembatas, meski dengan dalih-dalih
kepentingan nasional dan aturan hukum lain yang dibuat belakangan; maka dalam
perspetif rakyat telah terjadi pelanggaran hak dalam bentuk perampasan tanah
secara sistematis. Kenyataan ini tumbuh dan berhadapan dengan landasan filosofi
petani Sedumuk Bathuk Senyari Bumi.
Perjuangan petani pesisir dalam
mempertahankan hak tanah-tanah pesisir mereka terbangun diatas kesadaran
ideologis itu.
________
1]
Klangsiran, pemetaan
tanah kawasan pesisir selatan Kebumen, dilakukan secara partisipatif oleh
petugas agraria pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan menyertakan
masyarakat pesisir yang memiliki hak atas tanah pertanian; dilakukan antara
tahun 1922–1932. Di era ini dikenal pula sistem distribusi tanah tradisional
yang disebut kemudian dengan idiom “galur larak”
0 comments:
Post a Comment