Aug
22, 2015 | Agam Imam Pratama
Aksi kekerasan guna membubarkan massa warga kembali
dilakukan oleh TNI di Urutsewu (08/15). Setelah sebelumnya terjadi peristiwa
serupa (baca: http://literasi.co/pemaksaan_pemagaran_di_urutsewu_memakan_korban).
Pemagaran di Desa Lembupurwo sebelumnya mendapat perlawanan keras dari warga, meskipun pada akhirnya perlawanan warga dikalahkan oleh kekerasan. Kali ini pemaksaan pemagaran bergeser ke desa sebelahnya, yakni desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, desa terujung yang berbatasan langsung dengan Purworejo.
Pemagaran di Desa Lembupurwo sebelumnya mendapat perlawanan keras dari warga, meskipun pada akhirnya perlawanan warga dikalahkan oleh kekerasan. Kali ini pemaksaan pemagaran bergeser ke desa sebelahnya, yakni desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, desa terujung yang berbatasan langsung dengan Purworejo.
[caption id=”attachment_3686" align=”aligncenter”
width=”638"]
Foto: Agam.[/caption]
Berawal dari mulai masuknya batu dan pasir menggunakan
truk di pesisir se latan desa Wiromartan sejak beberapa hari lalu. Hari ini, 22
Agustus 2015 kurang lebih 150 warga Desa Wiromartan dengan dukungan warga
desa-desa di sekitarnya melakukan aksi ke pesisir selatan desanya guna
mempertanyakan legalitas pemagaran oleh TNI AD. Aksi tersebut dimulai pukul
10.00 WIB. Dalam orasinya, Kepala Desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho
menyampaikan, “saya sebagai kepala desa tidak menerima sepucuk surat pun dari
manapun mengenai pemagaran ini. Kalau memang pemagaran ini resmi, kan
seharusnya ada pemberitahuan ke desa. Dengan begitu kita disini bukan
menghalang-halangi apa yang “katanya” sebagai program pemerintah, justru
sebagai dukungan agar pemerintahan termasuk regulasinya berjalan baik. Kalau
memang ini resmi program pemerintah, coba mana pimpinannya maju ke depan,
tunjukkan bukti-buktinya, kalau memang terbukti sah warga kami bahkan siap
membantu pemagaran, tanpa dibayar sepeserpun. Tapi kalau tidak punya bukti, ya
pemagaran ini harus dihentikan.”
[caption id=”attachment_3687" align=”aligncenter”
width=”595"]
Foto: Agam.[/caption]
Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, aksi yang
kurang lebih baru berjalan setengah jam tersebut dibubarkan dengan tanpa
memberi peringatan. Pihak TNI dengan kekuatan kurang lebih 200 personil yang
sedari awal sudah mengitari warga tiba-tiba menyerang secara membabi buta.
Nampak di lokasi beberapa warga dipukuli hingga jatuh, warga lain yang berusaha
menggotong warga yang jatuh pun tak luput dari pukulan tongkat dan tendangan
sepatu lars.
Muchlisin, kepala Desa Petangkuran, Kecamatan Ambal
misalnya, menuturkan, “saya sudah jauh padahal, sekitar 200 meter dari lokasi.
Saya sedang mempertanyakan kepada polisi yang berjaga kenapa tidak dilerai,
padahal sudah jelas keberingasan TNI. Tiba-tiba 6 orang TNI datang, saya
dimasukkan ke dalam lubang bekas galian dan diinjak-injak dengan sepatu lars
hingga muka, leher dan badan saya babak belur begini. Oknum polisi yang di
lokasi tempat saya diinjak-injak juga hanya diam saja,” ujarnya.
Dalam kejadian ini, sedikitnya 4 orang luka berat yakni
Widodo Sunu Nugroho, Prayogo dan Ratiman, warga Kecamatan Mirit, dan Rajab
warga Petangkuran Kecamatan Ambal. Saat ini mereka dirujuk di RSU Kebumen
setelah sebelumnya dirawat di Puskesmas Mirit. Sedangkan belasan lainnya
mengalami luka memar, bahkan seorang ibu hamil juga terkena pukulan dan sempat
dirawat di Puskesmas Kecamatan Mirit.
Tak dapat dipungkiri tentunya ada beberapa hal yang
menjadi janggal dalam persoalan ini. Pertama, adalah aksi damai warga yang
datang secara baik-baik menanyakan kelegalan pemagaran justru dijawab dengan
kekerasan. Toh jika memang pemagaran itu program pemerintah, tinggal
ditunjukkan saja surat-suratnya dan selesai persoalan, namun pada kenyataannya
hal tersebut tidak dilakukan sehingga menimbulkan banyak pertanyaan.
Kedua yakni pemagaran tidak melibatkan pihak-pihak yang
seharusnya berwenang terkait hal tersebut, bahkan pemerintah (melalui
lembaga-lembaga yang seharusnya berwenang) sama sekali tidak nampak. Terkesan
ada pembiaran terhadap konflik yang berlarut ini, atau justru adanya dominasi
militer terhadap lembaga-lembaga pemerintah khususnya di Kebumen sehingga takut
untuk mengambil sikap.
Ketiga, yakni begitu tampaknya dominasi TNI atas POLRI di
Kabupaten Kebumen. Bukan hanya kali ini saja, beberapa aksi dan demonstrasi
sebelumnya pun yang seharusnya polisi sebagai pengamanan justru tentara yang
melakukannya. Bahkan pada audiensi di DPRD Kebumen 8 Juli lalu, pengamanan pun
dari pihak TNI, yang seolah berusaha mengintimidasi jalannya proses audiensi.
[caption id=”attachment_3688" align=”aligncenter” width=”583"]
Foto: Agam.[/caption]
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apa yang harus
dilakukan warga masyarakat Urutsewu yang merupakan juga bagian dari warga
Negara Indonesia?. Warga diam, diacuhkan. Warga keras, tak ditanggapi. Warga
marah, dipukuli. Dan hari ini warga bertanya, dibalas dengan senjata. Lalu pada
akhirnya, sebagai warga harus bagaimana?[]
0 comments:
Post a Comment