Kades Lembupurwo Bagus Wirawan memimpin massarakyatnya dalam aksi penolakan pemagaran pesisir desanya [1/8]. Orasi sang Kades ini ditandingi dengan suara "toa" corong TNI, yang menudingnya sebagai penghasut. Sebuah tudingan tolol [Foto: istimewa]
Itu
sebabnya, dari perspektif rakyat, tindakan pemagaran kawasan pesisir Urutsewu
dikonotasikan sebagai brutalitas militer dalam bentuk barunya.
Sedangkan
dari pendekatan causalitas, bentrokan
petani vs tentara di gumuk dekat lokasi pemagaran pesisir Lembupurwo itu
adalah sample akibat yang
ditimbulkannya. Berbagai fihak prihatin dan menyayangkan bentrokan itu. Tetapi keprihatinan
model begitu, cuma pandangan dungu; karena jelas bahwa persoalan substansialnya
tak dilihat secara obyektif. Lebih menyakitkan, bahkan, karena menganggap ekspresi
perlawanan rakyat ini merupakan buah dari provokasi semata. Tak menyadari bahwa
tindakan pemagaran pesisir itu lah, sejatinya; yang memprovokasi perlawanan dan
penolakan...
Tak
kurang, Kades Lembupurwo sendiri, Bagus Wirawan dan koleganya Kades Wiromartan
Widodo Sunu Nugroho; dituding-tuding sebagai bagian dari provokator itu.
Tudingan yang naif, picik dan tolol. Tapi begitulah faktanya. Saat massarakyat
kembali gelar aksi penolakan pagar pada hari Sabtu [1/8] di tempat bentrokan
dua hari sebelumnya. Melalui corong toa pengeras
suara, fihak militer berkoar-koar mengatai ke dua Kades yang memimpin
massarakyatnya ini sebagai “provokator” dan penghasut.
Dalam
konteks ini, anekdot “maling teriak maling” menemukan tautnya...
0 comments:
Post a Comment